Senin, 23 April 2012

Asas dan Dasar Pajak


Di dalam pajak, dikenal adanya beberapa asas yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir, dan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “asas” antara lain diberikan pengertian sebagai “sesuatu  kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir”.
Sudikno Mertokusumo dalam Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa asas hukum  atau prinsip hukum  bukanlah merupakan peraturan hukum  konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang dari setiap sistem hukum  yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum  positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan hukum  konkrit tersebut.[1]
a.       Asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara (Rechtfilosofis)
Asas ini mencari dasar pembenar terhadap pengenaan pajak oleh Negara. Terdapat beberapa teori mengenai asas pembenaran pemungutan pajak oleh Negara, yakni:
1)      Teori Asuransi
Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini menyamakan pajak dengan premi asuransi, di mana pembayar pajak (wajib pajak) disamakan dengan pembayar premi asuransi, yakni pihak tertanggung, sementara  itu, Negara dipersamakan dengan pihak penanggung dalam perjanjian asuransi.[2]
2)      Teori Kepentingan (equivalentie)
Teori ini mengatakan bahwa Negara mengenakan pajak terhadap rakyat, karena Negara telah melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini menunjukkan bahwa dasar pembenar mengapa  Negara mengenakan pajak adalah karena Negara telah berjasa kepada rakyat selaku wajib pajak, dimana pembayaran pajak itu besarnya equivalent (setara) dengan besarnya jasa yang sudah dapat diberikan oleh Negara kepadanya.[3]
3)      Teori kewajiban pajak mutlak
Teori ini sering juga disebut “Teori Bhakti”. Teori ini didasarkan pada organ theory dari Otto von Gierke, yang menyatakan bahwa Negara itu merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga Negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga individu tidak mungkin dapat hidup.[4]
4)      Teori daya beli
Menurut teori ini, pajak diibaratkan sebagai pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat.[5]
5)      Teori pembenaran pajak menurut Pancasila
Pancasila mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong dalam pajak tidak lain daripada pengorbanan setiap anggota keluarga (anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan.[6]
b.      Asas pembagian beban pajak
Asas ini mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu dikenakan kepada rakyat secara adil, di dalam asas ini terdapat:
1)      Teori daya pikul
Menurut teori ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul menurut             W.J de Langen yang dikutip oleh Rochmat Soemitro dalam     Sri Pudyatmoko mengatakan bahwa kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan  pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarga.[7]
2)      Prinsip benefit (benefit principle)
Menurut asas ini pengenaan pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib pajak dari jasa-jasa publik yang di berikan oleh pemerintah. Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan prinsip benefit ini untuk mengukur aspek keadilan dalam perpajakan.[8]
3)      Asas Pengenaan Pajak
Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa/pemerintah Negara mana yang berwenang memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak tertentu.
Dalam hal ini pembicaraan menyangkut yurisdiksi dari suatu Negara, berhadapan dengan Negara lain. Mengenai hal ini dapat diterapkan:
a)       Asas Negara tempat tinggal (domisili)
Asas ini sering juga disebut asas domisili,  yakni Negara di mana seseorang bertempat tinggal tanpa memandang  kewarganegaraannya mempunyai hak yang tak terbatas untuk mengenakan pajak terhadap orang-orang itu dari semua pendapatan yang diperoleh orang itu dengan tidak menghiraukan dimana pendapatan itu diperoleh.[9]
b)      Asas Negara sumber
 Asas Negara sumber yang  mendasarkan penarikan pajak pada tempat di mana sumber itu berada. Negara dimana sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu.[10]
c)      Asas kebangsaan
Asas yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang  pada status wajib pajak yang dikenakan pajak adalah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan Negara tersebut, tanpa memandang tempat tinggalnya.[11]
Dalam kaitannya dengan asas pengenaaan pajak, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan sendiri menentukan bahwa yang menjadi subjek pajak/wajib pajak adalah orang atau badan yang secara nyata memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat dari bangunan. Dari isi ketentuan tersebut maka subjek pajak pada PBB tidak terbatas pada orang yang berkebangsaan Indonesia, atau berdomisili di Indonesia saja melainkan lebih dari itu orang yang memperoleh manfaat dari objek pajak dari Indonesia pun juga dapat dikenai pajak. Pajak Bumi dan Bangunan nampaknya cenderung menggunakan asas sumber, karena yang berwenang mengenakan pajak adalah pemerintah dari Negara di mana sumber itu berada yang berupa kekayaan (bumi dan/atau bangunan) itu berada.
4)      Asas Pelaksanaan Pemungutan Pajak
Dalam asas ini,terkait di dalamnya beberapa asas yakni:
a)      Asas Yuridis
Menurut asas ini hukum  pajak harus dapat memberikan jaminan hukum  yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk Negara maupun warganya. Pajak di Negara hukum segala sesuatunya harus ditetapkan dalam undang-undang. Hukum  pajak harus dapat memberikan jaminan hukum  bagi tercapainya keadilan, dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di dalam pemungutan pajak yakni pihak fiscus dan wajib pajak.[12]
b)      Asas Ekonomis
Pajak selain memiliki fungsi anggaran akan tetapi juga memiliki fungsi mengatur. Oleh karena fungsi yang demikian maka pemungutan pajaknnya:
1.      Harus diusahakan jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan;
2.      Harus diusahakan supaya jangan menghalang-halangi rakyat dalam usahanya mencapai kebahagiaan;
3.      Harus diusahakan jangan sampai merugikan kepentingan umum.[13]

c)      Asas finansial
Asas ini berkaitan dengan fungsi anggaran, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas Negara. Sehubungan dengan hal itu pemungutan pajak agar hasil yang diperoleh besar maka biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.[14]
Asas-asas pemungutan pajak, Adam Smith dalam bukunya              An Inquiry IntoThe Nature and Cause of The Wealth of Nations dalam     Erly Suandy mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama Four Canons atau Four Maxims yaitu sebagai berikut:
a.      Equality Equity yaitu pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah perlindungan pemerintah. Dalam hal Equality tidak diperbolehkan suatu Negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda.
Asas Equity lebih menunjuk pada rasa keadilannya bahwa pengenaan pajak tersebut harus adil dan merata.
b.      Certainty yaitu pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya.
c.       Convenience of Payment, yaitu pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan/keuntungan yang dikenakan pajak.
Economic of Collections, yaitu pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri karena tidak ada artinya pemungutan pajak kalau biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.[15]


[1] Ibid,.hal 16.

[2] Ibid,.hal 23.
[3] Ibid,.hal 23.
[4] Ibid,.hal 24.
[5] Ibid,.hal 25.
[6] Ibid,.hal 26.
[7] Ibid,.hal 26.
[8] Ibid,.hal 26.
[9] Ibid,.hal 27.
[10] Ibid,.hal 27.
[11] Ibid,.hal 27.
[12] Ibid,.hal 28.
[13] Ibid,.hal 28.
[14] Ibid,.hal 28.
[15] Erly Suandy, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hal 27-28.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar