Selasa, 10 April 2012

Hubungan Hukum Dokter dan pasien dalam Pelayanan Kesehatan


Ditinjau dari aspek sosiologis, hubungan hukum dokter dan pasien dewasa ini mengalami perubahan, semula kedudukan pasien dianggap tidak sederajat dengan dokter, karena dokter dianggap paling tahu terhadap pasiennya, dalam hal ini kedudukan pasien sangat pasif, sangat tergantung kepada dokter. Namun dalam perkembangannya hubungan antara dokter dan pasien telah mengalami perubahan pola, di mana pasien dianggap sederajat kedudukannya dengan dokter. Segala tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasiennya harus mendapat persetujuan dari pasien, setelah sang pasien mendapatkan penjelasan yang cukup memadai tentang segala seluk beluk penyakit dan upaya tindakan mediknya.[1]
Perubahan pola hubungan hukum antara dokter dengan pasien tersebut, terjadi karena disebabkan beberapa faktor antara lain :[2]
1.      Kepercayaan tidak lagi tertuju pada dokter pribadi, akan tetapi pada keampuhan ilmu dan teknologi kesehatan;
2.      masyarakat menganggap bahwa tugas dokter tidak hanya menyembuhkan, akan tetapi lebih ditekankan pada perawatan;
3.      ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi lebih berarti kesejahteraan fisik, mental dan sosial;
4.      semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien, sehingga pasien semakin mengetahui dan memahami hak-haknya dalam hubungan dengan dokter;
5.      Tingkat kecerdasan masyarakat mengenai kesehatan semakin meningkat dan mampu mengadakan penilaian.

Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan pasien, baik di bidang medis, sosiologis maupun antropologi sebagaimana dikutip oleh Veronica Komalawati[3] menyatakan sebagai berikut :
(a)    Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien yang menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah;
(b)    Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasien;
(c)    Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangannya sangat diharapkan oleh dokter tersebut, sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis.
(d)    Kisch dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis, antara lain jenis praktik dokter (praktik individual atau praktik bersama), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya;
(e)    Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan antara dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antara orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan prototip hubungan antara orang dewasa.

Masih dalam hubungannya dengan hubungan hukum dokter dan pasien, Thiroux seperti yang dikutip oleh Anny Isfandyarie[4] membagi hubungan yang seharusnya antara dokter dan pasien dalam 3 (tiga) sudut pandang, yakni :
(1)   Pandangan Paternalisme, menghendaki dokter untuk berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Menurut pandangan ini, segala keputusan tentang pengobatan dan perawatan berada dalam tangan dokter sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan tentang pengobatan, sementara pasien dianggap tidak mempunyai pengetahuan di bidang pengobatan. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien seluruhnya merupakan kewenangan dokter dan asisten profesionalnya, dan pasien tidak boleh ikut campur di dalam pengobatan yang dianjurkan;
(2)   Pandangan Individualisme, beranggapan bahwa pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Oleh karena itu, semua keputusan tentang pengobatan dan perawatan sepenuhnya berada di tangan pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri;
(3)   Pandangan Resiprocal dan Collegial, yang mengelompokkan pasien dan keluarganya sebagai inti, dalam kelompok, sedangkan dokter, perawat dan para profesional kesehatan lainnya harus bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Hak pasien atas tubuh dan nyawanya tidak dipandang sebagai hal yang mutlak menjadi kewenangan pasien, tatapi dokter dan staf medis lainnya harus memandang tubuh dan nyawa pasien sebagai prioritas utama yang menjadi tujuan pelayanan kesehatan yang dilakukan. Keputusan yang diambil dalam perawatan dan pengobatan harus bersifat resiprokal yang artinya bersifat memberi dan menerima, dan collegial yang berarti pendekatan yang dilakukan merupakan pendekatan kelompok yang setiap anggotanya mempunyai masukan dan tujuan yang sama.

Menurut Hermein Hadiati Koeswadji[5] hubungan antara dokter dan pasien terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni : pola hubungan vertikal yang paternalistik dan pola hubungan horizontal yang kontraktual. Dalam hubungan vertikal, kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai pengguna/ penerima jasa pelayanan kesehatan, sedangkan dalam pola hubungan horizontal yang kontraktual, kedudukan antara penerima jasa layanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan yang sederajat.
Dalam hubungannya dengan hal di atas Soejono Soekanto mengemukakan pendapatnya yang mengatakan bahwa :[6]
“Hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan hukum keperdataan, di mana pasien datang kepada dokter untuk disembuhkan penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hubungan keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat”.

Hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan disebut dengan “Transaksi Terapeutik”,[7] yang didasarkan pada perjanjian, yakni perjanjian di mana dokter berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya. Dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil atau kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan, namun perjanjian tersebut berupa upaya atau usaha semaksimal mungkin dari dokter dalam upayanya melakukan penyembuhan terhadap pasiennya secara hati-hati dan cermat didasarkan pada ilmu pengetahuan yang layak.[8] Dengan demikian, hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat terjadi karena perjanjian. Perjanjian antara dokter dengan pasien merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, yang mengandung arti bahwa perjanjianlah yang melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Secara yuridis dengan terjadinya perjanjian antara dokter dan pasien akan melahirkan akibat hukum yang berupa hak dan kewajiban dokter dan pasien yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, hubungan hukum dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam Buku III KUH Perdata (BW).
Dalam hukum perjanjian secara teoritis dikenal dengan adanya 2 (dua) macam perjanjian, yakni :[9]
  1. Ispanningverbintenis, yakni suatu perjanjian di mana masing-masing pihak berupaya atau berusaha semaksimal mungkin mewujudkan atau menghasilkan perjanjian yang dimaksud. Dalam hal ini yang diutamakan adalah upaya atau ikhtiar.
  2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian yang didasarkan pada hasil atau resultaat yang diperjanjikan. Masing-masing pihak berusaha semaksimal mungkin menghasilkan atau mewujudkan apa yang diperjanjikan. Dalam hal ini yang diutamakan adalah hasilnya.
Apabila kedua macam perjanjian di atas dihubungkan dengan perjanjian terapeutik, maka perjanjian terapeutik tersebut dapat dikategorisasikan pada perjanjian Ispanningverbintenis, karena dokter akan sulit atau tidak mungkin dituntut untuk pasti dapat menyembuhkan pasiennya. Jadi yang dituntut dari seorang dokter adalah usaha maksimal dan sungguh-sungguh dalam melakukan penyembuhan dengan didasarkan pada standar ilmu pengetahuan kedokteran yang baik. Demikian pula bagi pasien, dituntut untuk berupaya melaksanakan anjuran dan perintah-perintah dokter agar sakitnya dapat disembuhkan. Kedua belah pihak yaitu dokter dan pasien dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan suatu penyakit.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, Veronica Komalawati memberikan gambaran tentang kekhususan transaksi terapeutik dibandingkan dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut :[10]
a.       Subyek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga profesional di bidang medik yang berkompeten memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter, berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang diberikan dokter tersebut;
b.      Obyek perjanjian berupa upaya medik profesional yang bercirikan pemberi pertolongan;
c.       Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Di dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hubungan hukum antara dokter dan pasien ini terkandung dalam ketentuan Pasal 39, yang menyatakan bahwa :
“Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan”.

Dari ketentuan di atas, dapat ditafsirkan bahwa hukum antara dokter dan pasien merupakan hubungan hukum keperdataan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak. Artinya, apa yang dikehendaki pasien, dikehendaki pula oleh dokter. Dokter dan pasien haruslah seiya sekata. Pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan dan penyembuhan terhadap penyakitnya, demikian pula dokter harus mempercayai pasien tentang semua keluhannya agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat.
Sebagai sebuah profesi, maka dokter atau tenaga kesehatan lainnya diikat oleh sebuah kode etik yang harus dipatuhi dan dilaksanakan serta dijadikan pedoman dalam menjalankan profesi kedokterannya. Kode etik kedokteran secara yuridis tercantum dalam SK Menteri Kesehatan No. 434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang menyebutkan secara khusus hubungan hukum dokter dan pasien dalam pelayanan kesehatan, sebagai berikut :
(1)    Transaksi Terapeutik ini hanya khusus mengatur hubungan hukum antara dokter dan pasien;
(2)    Dilakukan dalam nuansa saling percaya atau konfidensial, yang mengandung makna bahwa pasien atau keluarga pasien harus percaya kepada dokter yang melakukan upaya pengobatan penyembuhan terhadap sakit pasien, demikian pula dokter harus mempercayai pasien. Pasien harus jujur menceritakan tentang segala keluhannya dan segala ketidaktahuannya terhadap obat-obat tertentu, agar dokter dapat memberikan terapi yang tepat;
(3)    Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang bersifat khusus ini meliputi pula hubungan emosional, harapan dan kekhawatiran makhluk insani atas kesembuhan pasien.
Perjanjian terapeutik dalam undang-undang masuk dalam kategori perjanjian untuk melakukan jasa tertentu. Oleh karena itu, apabila telah dilakukan perjanjian terapeutik dengan baik, maka masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi oleh undang-undang.


[1] Veronica Komalawati, Op. Cit., hal. 77.
[2] Soerjono Soekanto, 1989. Op. Cit., hal. 149.
[3] Veronica Komalawati, Op. Cit., hal. 43-45. Lihat juga Anny Isfandyarie, Op. Cit., hal. 91-92.
[4]     Anny Isfandyarie, Op. Cit., hal. 91-92.
[5]       Hermein Hadiati Koeswadji, 1998. Hukum Kedokteran : Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 46.
[6] Soejono Soekanto, 1990. Op. Cit., hal. 4.
[7] Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang dimaksud dengan Transaksi Terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya, serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
[8] Syahrul Machmud, Op. Cit., hal. 46.
[9] Syahrul Machmud, Op. Cit., hal. 47.
[10] Veronica Komalawati, Op. Cit., hal. 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar