Jumat, 13 April 2012

PERSPEKTIF KEADILAN GENDER DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan di Indonesia terkait dengan bagaimana cara pengelolaan sumber daya alam yang ada di negara kita. Kerusakan lingkungan yang terjadi tidak lepas dari paradigma pola-pola pembangunan pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia yang kemudian direplikasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang ada. Ketiadaan pengaturan yang adil (secara sosial dan lingkungan) yang dikeluarkan oleh pemerintah menyebabkan adanya perpindahan penguasaan atas sumber daya alam (SDA) dari tangan rakyat, perempuan dan laki-laki kepada pihak lain, pelaku bisnis dan pemerintah. Kondisi seperti ini kemudian menyingkirkan sebagian besar rakyat dari sumber-sumber penghidupannya.
Sementara di desa, perempuan menghadapi tekanan ganda dalam reaksi persoalan di atas. Pertama, menghadapi tekanan dari pihak luar yang sebagian besar telah mengambil alih SDA yang merupakan sistem penghidupan mereka. Kedua, dalam budaya kehidupan komunitas yang patriarki, perempuan juga dihadapkan dengan ketidakadilan internal yang sudah tercipta sebelum para pihak luar (privat dan pemerintah) datang menguasai SDA mereka.
Situasi yang tidak adil ini direspon oleh kaum perempuan dengan bekerja dan bekerja. Ada tidak adanya uang, perempuan harus memastikan keberlangsungan pangan keluarga. Situasi ini membuat sebagian besar perempuan yang hidup di dalam dan sekitar SDA tidak memikirkan kondisi kesehatan mereka sendiri. Sementara itu generasi muda perempuan melakukan hal yang sama seperti para laki-laki. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga di kota-kota atau menjadi buruh migran ke luar negeri.
Namun, upaya yang dilakukan kaum perempuan belum dinilai sebagai bagian dari konstribusi yang strategis untuk dihargai dalam banyak aspek, seperti aspek kebijakan dalam PSDA di Indonesia. Perempuan masih dianggap kurang atau bahkan tidak berkonstribusi dalam proses pembangunan. Pekerjaan domestik perempuan tidak pernah dianggap sebagai jasa yang bernilai. Keadaan ini berjalan tanpa protes karena dianggap sebagai kewajiban bahkan sebagai kodrat. Secara sadar tidak sadar, perempuan yang bekerja mengurus keluarga dilihat sebagai orang yang tidak bekerja dan dilegalisasikan dalam kelompok bukan angkatan kerja.
Sebagai contoh, masalah perusakan hutan seringkali dikaitkan dengan perempuan dari kampung-kampung sekitar yang memotong pohon untuk dijadikan kayu bakar tanpa melalui telaahan yang komprehensif. Namun demikian, apabila dilakukan konsultasi langsung dengan perempuan, ditemukan bahwa perempuan pada umumnya hanya mengumpulkan ranting pohon dan laki-lakilah yang lebih banyak melakukan penebangan.
Budaya masyarakat merupakan salah satu hal yang membatasii partisipasi perempuan dalam menyampaikan keperluan dan aspirasi mereka di pertemuan desa, khususnya masalah lingkungan yang biasanya dianggap sebagai urusan dan dominasi laki-laki. Apabila perempuan berpartisipasi pada pertemuan, laki-laki tidak mendengarkan keluhan, rekomendasi dan apa yang dibicarakan perempuan. Perempuan dianggap hanya berurusan dengan kegiatan domestik tertentu yang tidak mendapatkan gaji atau tidak dianggap sebagai pekerjaan penting. Tempat mereka dalam organisasi desa tidak dianggap penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan.
B.    Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka perumusan makalah ini sebagai berikut:
  1. Bagaimana kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
  2. Mengapa perspektif keadilan gender penting dimasukkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia?
C.    Tujuan dan Manfaat Makalah
Tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah:
  1. Untuk mengetahui karakteristik kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
  2. Untuk mengetahui esensi perspektif keadilan gender dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
  3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Administrasi Pembangunan.

PEMBAHASAN

Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Indonesia
Pengelolaan sumber daya alam (PSDA) di Indonesia dilandasi pasal 33 UUD 1945. Dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN), politik PSDA di Indonesia yang diwakili oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945 berpusat pada kekuasaan yang besar dari negara terhadap penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan sumber daya alam.
Paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia. Jika dikaitkan dengan isu gender tidak terlihat hubungan dengan penyebab dasar tersebut. Tetapi jika ditelusuri tentang bagaimana cara penilaian, pengalokasian, dan penghargaan kekayaan ekosistem hutan, bagaimana dan oleh siapa kekayaan ekosistem hutan dimanfaatkan, di mana terjadi kerusakan dan penyusutan kekayaan ekosistem hutan serta adakah pihak yang mengalami kerugian atas pemanfaatan kekayaan ekosistem hutan. Maka kita akan menemukan aspek gender dalam penguasaan dan pengelolaan kekayaan ekosistem tersebut. Dalam paradigma HMN, isu sosial (terutama dari aspek manusianya) dipandang sebagai seperangkat batasan sosial dan kultural yang bisa diatasi secara seragam (generalisasi) melalui penyebaran teknologi ke wilayah pedesaan dan suntikan modal tambahan ke dalam bentuk produksi non kapitalis dan non komersial. Aspek manusia ditempatkan sebagai penerima pasif hasil pengelolaan kekayaan alam yang dirancang dan didominasi oleh sekelompok subjek dari luar. Dikarenakan paradigma HMN tidak memaknai manusia sebenarnya adalah perempuan dan laki-laki yang memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda. Di sebagian besar wilayah di Indonesia, upaya pembangunan tersebut telah menyebabkan perubahan tatanan sosial masyarakat. Konsep pembagian peran dan posisi tawar antara perempuan dan laki-laki dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam juga berubah seiring dengan berubahnya tatanan sosial mereka.
Kelangkaan hukum atau kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang mempertimbangkan isu sosial (terutama dari aspek manusianya) menyebabkan peran dan posisi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam semakin tidak terakomodir, bahkan tidak terlindungi dalam kebijakan-kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang ada saat ini. Secara normatif, penguasaan sumber daya alam lebih banyak berada di tangan laki-laki. Hukum normatif tidak berpihak kepada perempuan dan hampir tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk dapat menguasai dan memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam tersebut secara bebas. Posisi perempuan sangatlah tidak diuntungkan dalam hukum, padahal dalam prakteknya untuk mengatasi kemiskinan keluarga, perempuanlah yang sering menempatkan diri sebagai survivor. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih didasari oleh paradigma Hak Menguasai oleh Negara yang semakin memarjinalkan perempuan.

Pentingnya Kebijakan Yang Memperhatikan Hak-Hak Perempuan
Pertambahan penduduk yang tinggi disertai konflik sosial dan krisis ekonomi yang berkepanjangan menyebabkan permasalahan pengelolaan sumber daya alam (PSDA) yang dihadapi Indonesia kini semakin kompleks. Hal ini disebabkan karena pembangunan nasional masih bergantung pada sumber daya alam yang sudah semakin menipis bersamaan dengan terjadinya kerusakan lingkungan yang merugikan generasi berikutnya. PSDA menjadi sangat penting mengingat hal ini menyangkut perekonomian suatu bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Masalah utama PSDA adalah adanya perbedaan kepentingan antar sektor atau instansi dalam pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, sehingga kepentingan lingkungan hidup seringkali terabaikan. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi sumber daya alam merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat yang dapat disalurkan melalui perseorangan, organisasi lingkungan hidup, lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat.
Krisis ekonomi yang melanda sebagian negara-negara di Asia yang berawal tahun 1997, mengakibatkan merosotnya kehidupan sosial yang sangat mendalam di Indonesia. Sampai dengan saat ini kondisi ekonomi Indonesia belum pulih benar sedangkan upaya-upaya ke arah pemulihan seringkali mengakibatkan kerusakan lingkungan. Ironisnya ketidakpedulian terhadap kelestarian lingkungan seringkali diperparah oleh ketimpangan pola hubungan antara perempuan dan laki-laki. Keterlibatan secara sejajar antara laki-laki dan perempuan harus didorong oleh pembagian tugas dan kesempatan akses dalam pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya alam. Namun demikian, saat ini banyak perempuan yang masih dikesampingkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Jumlah kaum perempuan Indonesia yang lebih dari jumlah kaum laki-laki membuat para perempuan berpotensi besar untuk turut menyukseskan pengelolaan sumber daya alam maupun pelestarian sumber daya alam. Namun demikian, adanya marjinalisasi perempuan seperti adanya sistem patriarkis yang dianut oleh masyarakat mengakibatkan perempuan kurang mendapat kesempatan berperan serta dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Bila potensi perempuan ini dimanfaatkan maka akan membantu pelaksanaan program dan kegiatan PSDA di Indonesia. Oleh karena itu, kesadaran dan kepekaan terhadap kesenjangan yang dihadapi perempuan dan dampak llingkungan yang ditimbulkannya perlu diperhatikan.

KESIMPULAN
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) di Indonesia masih didasari oleh paradigma Hak Menguasai oleh Negara (HMN) yang semakin memarjinalkan perempuan. Kelangkaan hukum atau kebijakan PSDA yang mempertimbangkan isu sosial, terutama aspek manusia menyebabkan peran dan posisi perempuan dalam PSDA semakin tidak terakomodir bahkan tidak terlindungi dalam kebijakan PSDA yang ada saat ini. Penguasaan sumber daya alam lebih banyak berada di tangan laki-laki. Hukum normatif tidak berpihak kepada perempuan dan hampir tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk dapat menguasai dan memegang kontrol atas pengelolaan sumber daya alam tersebut secara bebas.
Peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam penting dimasukkan karena perempuan berpotensi besar dalam menyukseskan pengelolaan maupun pelestarian sumber daya alam. Bila potensi perempuan ini dimanfaatkan maka akan membantu pelaksanaan program dan kegiatan PSDA di Indonesia. Selain itu prespektif keadilan gender penting untuk dimasukkkan dalam PSDA karena selama ini perempuan menjadi pihak yang dimarjinalisasi. Hal ini sebagai akibat sistem patriarkis yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga perempuan kurang mendapat kesempatan berperan serta dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Oleh karena itu, kesadaran dan kepekaan terhadap kesenjangan yang dihadapi perempuan dan dampak lingkungan yang ditimbulkannya perlu diperhatikan.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto.2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. UGM
Arifin Arief. 1994. Hutan: Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Muhadjir Darwin. 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Wacana.
Sondang P. Siagian. 2003. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar