Jumat, 13 April 2012

REFORMASI APARATUR NEGARA UNTUK MELAKSANAKAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK


 “... reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi administrasi...” Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat buruk pemerintah menyadari perlunya reformasi administrasi. “By the time it was realized that defective administrative system were a serious obstacle to progress, that what was wrong with them was fundamental, and hihger priority should be to putting them right, the prevailing gales were fast blowing into huricanes.
Mungkin Indonesia adalah salah satu negara yang tidak memberikan perhatian besar pada reformasi administrasi. Walau pun jabatan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara selalu ada dalam Pemerintahan Orde Baru, Pemerintahan Reformasi, Pemerintahan Gotong Royong dan terakhir dalam Pemerintahan Indonesia Bersatu, tetapi kedalaman dan keluasan reformasi aparatur negara belum menyentuh bagian-bagian yang paling mendasar dalam sistem administrasi khususnya sistem kepegawaian.
Dirangsang oleh pemikiran-pemikiran Osborne dan Gaebler melalui buku mereka “Reinventing Government” (1992) dan Osborne dan Plastrik melalui buku berjudul provokatif “Banishing Bureaucracy: the Five Stages of Reinventing Government” (1998), berkembanglah pemikiran yang cukup berpengaruh di lingkungan lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping. Lembaga-lembaga multilateral mau pun bilateral dengan cepat menerima pandangan tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya bagian dari paket program pengembangan good governance, yang secara sempit diartikan sama dengan small government atau clean government. Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga internasional di Indonesia – khususnya privatisasi dan debirokratisasi – juga tidak terlepas dari pemikiran dasar ini, padahal dalam kenyataannya peranan Pemerintah Indonesia, anggaran pemerintah cukup kecil, tidak mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), berarti berada jauh di bawah negara-negara OECD yang sekarang masih cukup tinggi yaitu rata-rata 47.7 persen. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai, Indonesia ternyata berada di bawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan tugas-tugas pokoknya, Pemerintah Indonesia mendapat desakan kuat dari luar untuk melakukan debirokratisasi dan deregulasi.
Berbeda dari persepsi publik bahwa negara ini kelebihan PNS, dengan 3.622.000 PNS sebenarnya Indonesia belum mencapai rasio minimal yang dipersyaratkan agar mampu menyelenggarakan pelayanan umum yang memadai bagi 217 juta penduduk yang tersebar di 440 kabupaten dan kota. Dari jumlah tersebut lebih dari 1,6 juta orang adalah tenaga kependidikan dan 126.000 tenaga kesehatan. Dari gambaran umum ini jelaslah bahwa bagi Indonesia isu pokok bukan besarnya jumlah PNS, karena untuk memberikan pelayanan umum yg minimal diperlukan lebih kurang 4,3 juta PNS. Kualitas SDM aparatur negara juga relatif cukup baik karena dari total PNS, hanya 6 persen yang berpendidikan SD dan SLTP, 37 pesen berpendidikan SLTA, 55 persen berpendidikan S-0 dan S-1, dan sekitar 2,5 lebih memiliki pendidikan pascasarjana.
Karena itu nampaknya reformasi birokrasi khususnya reformasi kepegawaian harus dipusatkan pada 3 aspek yaitu penataan sistem penggajian dan jaminan sosial PNS, pendistribusian mutu PNS yang lebih merata antar daerah perkotaan dan pedesaan, serta mengatasi ketimpangan dalam kompetensi perumusan kebijakan.
Penataan gaji dan jaminan sosial harus merupakan fokus utama dalam reformasi birokrasi karena sistem penggajian PNS yang diterapkan terlalu menyimpang dari acuan teori penggajian yang berlaku. Literatur manajemen SDM yang banyak dianut oleh banyak negara, skala penggajian yang baik dan yang mampu memacu prestasi kerja adalah yang memiliki rasio 1 : 20 antara gaji terendah dan gaji tertinggi. Pada masa-masa awal Pemerintahan Indonesia, sistem penggajian PNS menggunakan skala seperti tersebut. Skala yang digunakan saat ini, yang dikenal dengan Peraturan Gaji Pegawai Sipil (PGPS) telah menyimpang dari teori penggajian. Skala penggajian yang kita terapkan mungkin merupakan sistem penggajian yang paling kompleks di dunia karena menggunakan skala gabungan dan rasio antara gaji pokok tertinggi dan terendah terlalu tipis. Dalam PGPS dikenal gaji pokok yang berkisar antara Rp. 700.000, gaji terendah, dan Rp 1,700,000, gaji tertinggi. Selain itu ada tunjangan fungsional yang besarnya dan tunjangan struktural untuk para pejabat eselon IV sampai eselon I. Karena itulah sistem penggajian ini disebut sebagai sistem yang menggunakan skala gabungan.
Sistem penggajian dengan skala gabungan tersebut ternyata belum menjamin tingkat kesejahteraan yang mampu mendukung kinerja PNS. Total penerimaan PNS jauh dibawah gaji dan tunjangan yang diterimakan pada para pegawai BUMN dan anggota legislatif. Bahkan berada dibawah gaji para anggota dan pegawai berbagai komisi yang tumbuh seperti jamur selama masa pemerintahan SBY-MJK. Karena itu reformasi birokrasi harus memberikan prioritas pertama pada sistem penggajian PNS.
Reformasi birokrasi juga harus diarahkan untuk menciptakan system kepegawaian meritokratik. Landasan hukum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah ada yaitu UU No. 43 tahun 1999. Untuk menjamin agar birokrasi pemerintah bersih dari praktek “spoilled” dan pengelolaan aparatur negara betul-betul terlaksana secara meritokratik, UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan kepegawaian negeri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah.
Pasal 13 Ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi independen tersebut yaitu Komisi kepegawaian Negara yang terdiri atas 5 anggota yang mewakili stakeholder penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses perumusan kebijakan yang lebih demokratis. Di banyak negara maju, independent civil service commission, yang terdiri 3 sampai 21 anggota telah digunakan karena dipandang lebih mampu menjamin proses perumusan kebijakan kepegawaian meritokratik.
Sekarang sudah saatnya bentuk kelembagaan yang lebih akomodatif dan regulatif ini dikenalkan pada tatanan birokrasi pemerintah, untuk mengelola fungsi-fungsi regulasi dalam pemerintahan. Di negara lain komisi kepegawaian mulai mulai lebih disukai daripada badan kepegawaian. Hampir semua negara Asia sekarang ini menggunakan bentuk komisi atau Civil Service Commission untuk menjalankan fungsi kepegawaian. Indonesia termasuk negara yang lamban mengadakan structural adjustment dalam bidang kepegawaian.
Komisi Kepegawaian atau Civil Service Commission yang terdiri dari 5-7 anggota harus diberikan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung oleh Presiden, apalagi kalau Presiden masih merangkap jabatan ketua partai. Selama otoritas pengangkatan pejabat teras pemerintahan tetap dipegang oleh presiden, tak perlu khawatir dengan bentuk komisi independen.
Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara harus di difinisi ulang dan lebih diarahkan pada koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta system ekonomi yang dapat menciptakan keadilan sosial bagi semua. Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu bangsa juga akan cocok untuk Indonesia.
Karena itu Indonesia harus berani mencari sistem pemerintahan dan system ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak bangsa Indonesia -- gotong royong atau kekeluargaan – seharusnhya merupakan landasan dasar dalam pemikiran tentang kedua sistem tersebut.
Sebagai bagian integral dari reformasi aparatur negara, perlu dilakukan pembenahan pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model manajemen baru, sistem kepegawaian baru termasuk penerapan sistem penggajian dan jaminan sosial yang lebih rasional, serta penerapan aplikasi tekonologi informasi moderen dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara mendasar.




Sumber/ Referensi-Bahan Bacaan:

Indiahono, Dwiyanto. 2006. Reformasi “Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gava Media

Hariandja, Denny B.C. 2005. Birokrasi Nan Pongah. Cetakan kelima. Yogyakarta: Kanisius

Siagian, Sondang P. 2007. Administrasi Pembangunan; Konsep, Dimensi dan Strateginya. Cetakan kelima. Jakarta: PT Bumi Aksara

Sutiono, Agus, dkk. 2004. Memahami Good Governance: Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Editor: Ambar Teguh Sulistiyani. Yogyakarta: Gava Media

Undang-Undang No 43 Tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar