Selasa, 10 April 2012

TERKIKISNYA BUDAYA NADRAN (SEDEKAH LAUT) DI CIREBON


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Negara yang terdiri dari beragam suku bangsa dan budaya yang berbeda dan mempunyai ciri khas masing-masing yang unik pula, berdasarkan pada kegiatan yang telah terjadi secara turun temurun dan mendarah daging di masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah budaya Nadran (Sedekah Laut) pada masyarakat pesisir pantai di Jawa Barat, merupakan bentuk dari budaya asli masyarakat Indonesia yang telah ada sejak dulu hingga sekarang. Sebagai salah satu warisan budaya nenek moyang.
Namun di era pesatnya globalisasi saat ini, budaya-budaya lokal seperti Nadran (Sedekah Laut) sangat rentan tersingkir dan hilang dari kebudayaan nasional, diakibatkan banyaknya pengaruh dari budaya-budaya asing yang masuk dan kian hari kian memperburuk kondisi kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada.
Oleh karena itu saya ingin menyoroti sebuah tempat di pesisir pantai kota Cirebon yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya lokalnya, khususnya budaya Nadran (Sedekah Laut) yagn saat ini hampir dilupakan dan pudar dikarenakan semakin sedikitnya masyarakat yang mengerti dan memahami makna yang terkandung dalam prosesi Nadran yang selama ini hanya dianggap sebagai pesta rakyat tanpa filosofi yang ada didalamnya. Sehingga diperlukan media dan sarana yang memadai untuk mempelajari Nadran (Sedekah Laut).
Daerah pesisir pantai kota Cirebon merupakan salah satu tempat yang masih mempertahankan dan melestarikan budaya Nadran (Sedekah Laut), agar kita tidak hanya bisa merayakannya saja tetapi juga tahu akan makna dan filosofinya.
Sehubungan dengan hal itu observasi Nadran (Sedekah Laut) ini diharapkan dapat menjadi sumber bacaan yang berguna untuk masyarakat dan generasi muda kita agar lebih mencintai dan melestarikan nilai-nilai budaya yang ada.

B.     Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
Mengapa Nadran (Sedekah Laut) sekarang ini semakin pudar?

C.     Tujuan
Memberikan informasi dan pengetahuan yagn penting mengenai kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada di Indonesia agar bisa terpelihara dan terlestarikan di tengah pesatnya era globalisasi.


PEMBAHASAN

A.     Sejarah Tradisi Nadran Masyarakat Cirebon
Nadran adalah perayaan masyarakat (pesta rakyat) di daerah pesisir kota Cirebon yang berlangsung setiap tahunnya sebagai ucapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rezeki yang telah diberikan. Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun menurun. Kata Nadran sendiri menurut sebagian nelayan Cirebon, berasal dari kata Nazar yang mempunyai arti dalam agama Islam ; pemenuhan janji. Adapun inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhur) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, dan merupakan ritual tolak bala (keselamatan).
Dalam upacara Nadran juga dilakukan permohonan agar diberi keselamatan dalam melaut, serta tangkapan hasil laut mereka melimpah di tahun mendatang. Upacara Nadran dilakukan masyarakat nelayan Cirebon satu tahun sekali yang waktunya jatuh antara bulan Juli sampai agustus. Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal. Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain solidaritas, etis, estetis, kultural dan reliius, tradisi Nadran dapat meningkatkan persaudaran antar warga desa yang selama ini dikenal memiliki watak dan karakter yang keras.
Berdasarkan buku penelitian Dr. Heriyani Agustina, Kepel Press-2009 diceritakan tentang buku “Negara Kertabumi” karya Pangeran Wangsakerta dengan sumber cerita dari Kartani (Penasehat Budaya Cirebon) disebutkan bahwa asal-usul pelaksanaan budaya Nadran adalah berawal pada tahun 410 M, dimana Raja Purnawarman, raja ketiga Kerajaan Tarumanegara yang terletak di dekat sungai Citarum yang mengalir dari Bandung ke Indramayu, memerintahkan Raja Indraprahasta Prabu Santanu ( yang sekarang Kec. Talun, Kab. Cirebon) untuk memperdalam atau memperbaiki tanggul, yang bertujuan untuk menduplikat Sungai Gangga di India. Agar tanggul sungai lebih kuat, dibuatlah prasastinya tangan sang Prabu Purnawarman yang sekarang belum ditemukan, serta sang Prabu memberikan hadiah-hadiah untuk Brahmana 500 ekor sapi, pakaian-pakaian dan satu ekor gajah untuk Raja Indraprahasta (Prabu Santanu). Duplikat Sungai Gangga tersebut untuk keperluan mandi suci. Sungai yang dimaksud adalah sungai Gangganadi dan muaranya di sebut Subanadi (muara adalah perbatasan antara sungai dan laut). Sungai tersebut sekarang adalah sungai Kriyan, terletak di belakang Keraton Kasepuhan Kota Cirebon. Mandi suci di sungai Gangganadi dilakukan setahun sekali, sebagai acara ritual untuk menghilangkan kesialan dan sebagai sarana mempersatukan rakyat dan pemujaan kepada sang pencipta.( Sumber Kartani dan Kaenudin)
Sebetulnya tradisi Nadran bukanlah tradisi asli daerah Cirebon apalagi masyarakat Desa Mertasinga, karena tradisi ini banyak juga ditemukan dibeberapa daerah lain dengan nama yang berbeda, seperti di Jawa Tengah dikenal dengan tradisi Labuhan, karena ada beberapa kepercayaan bahwa apabila mereka tidak melakukan sedekah ini, mereka berkeyakinan bahwa Dewa Baruna akan murka dan segera mengirim bencana melalui dewa petir, Dewa Halilintar dan Dewa Angin yang mengakibatkan nelayan tidak dapat melaut. Akhirnya tidak dapat mencari ikan sebagai sumber kehidupan utama. Penggunaan daging kerbau sebagai persembahan dan bukanya daging sapi, dikarenakan daging kerbau lebih banyak, juga ada kemungkinan sapi merupakan hewan yang dianggap suci dalam agama Hindu, sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dibunuh. Selain itu juga sapi dianggap jelmaan dari dewa.
Selain melarung ritual lainnya adalah pembacaan mantra-mantra sambil membakar dupa atau kemenyan yang bertujuan memohon keselamatan kepada para Dewa Laut. Mantra juga berfungsi untuk memanggil arwah para leluhur yang telah ikut menjaga keselamatan mereka dalam mencari rejeki di laut. Kesan magis pada asap dupa dan kemenyan bertujuan untuk ketenangan sekaligus permohonan kehadirat Yang Maha Kuasa, agar permohonan mereka lebih cepat sampai ke hadapan Tuhan serta cepat dikabulkan segala permohonan atau permintaannya.
Dalam rangkaian tradisi Nadran juga di tampilkan hiburan Wayang yang merupakan kesenian dari Hinduisme dan animisme, yang dapat diperankan seperti tokoh Mahabarata dan Ramayana. Pertunjukan lain dari wayang yang sangat kental dengan Hinduisme dan animismenya adalah wayang dengan lakon Wudug Basuh, yang menceritkan tentang pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) oleh para Dewa, dengan cara mengaduk air laut menggunakan ekor naga Basuki. Tirta Amerta diperlukan untuk mengurapi para Dewa agar mereka terhindar dari kematian, tapi mereka tidak dapat terhindar dari sakit. Oleh karena itu, masing-masing-masing dewa diberi tempat dikayangan Suralaya. Namun demikian ada kelanjutannya, air laut yang diaduk oleh para dewa tersebut mengakibatkan mahluk laut terganggu, lalu bermuculan ke daratan sambil membawah wabah penyakit wudug, budug (bisul), penyakit-penyakit lainnya. untuk mengatasi wabah ini para Dewa meminta bantuan pada Sanghiyang Baruna untuk menentramkan mahluk laut supaya tidak mengganggu penghuni daratan. Sangyang Baruna melantunkan jampa mantra di baskom air kembang, lalu air kembang yang telah diberi mantra disiramkan pada layar perahu nelayan.
Meskipun Nadran bernuansa magis dan animisme, masyarakat primitif pada waktu itu telaah memiliki kesadaran mistik terhadap keberadaan penguasa alam semesta, disertai rasa terima kasih dan bermohon kepada Yang Maha Kuasa suapaya diberi kebaikan dan keselamatan.




B.     Potensi Nadran dalam Meningkatkan Ekonomi
Setiap daerah tentunya  sadar bahwa menggairahkan potensi wisata pesisir seperti Nadran akan berdampak pada peningkatan kondisi ekonomi masyarakat pesisir. Saat ini tingkat ekonomi masyarakat pesisir pada umumnya masih rendah, namun masyarakat pada umumnya enggan beralih ke profesi lain karena mereka menganggap profesi nelayan sebagai amanat yang dititipkan secara turun-temurun dari pendahulu mereka.
Menjadi tugas pemerintah untuk mengomptimalkan ekonomi masyarakatnya dengan mengembangkan objek wisata di daerah pesisir pantai. Banyak ragam wisata yang dapat ditawarkan oleh kawasan pesisir pantai, mulai dari wisata alam bahari, budaya, sampai wisata kuliner khas pesisir.
Nadran adalah salah satu faktor yang menyebabkan menjamurnya objek wisata yang ada di daerah pesisir pantai. Oleh karena itu selain sebagai upacara tradisi, Nadran juga bisa menjadi aset wisata yang berperan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.

C.     Nadran Seolah-olah Kehilangan Ruhnya
Nadran sekarang tidak lagi terlihat sebagai upacara pelestarian tradisi. Namun lebih ke arah sarana hiburan semata bagi masyarakat. Oleh karena itu Nadran seolah telah kehilangan ruhnya. Ini terlihat dari banyaknya masyarakat yagn telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral, bahkan hiburan yang menyertai Nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan dangdutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan. Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, sehingga perlu kita benahi kembali.


D.    Proses dalam Nadran
Dalam profesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng yang disiapkan dalam sebuah dongdong atau miniatur kapal nelayan. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat. Sesajen lainnya dilarang ke tengah laut lepas untuk ditenggelamkan.
Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut dengan bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian tari-tarian, pergelaran wayang kulit, mantra, doa-doa dan sesajen.
Sesajen yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak, yang berupa anjungan  berbentuk replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas dan lain sebagainya. Sebelum dilepaskan kelaut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring, bouroq, barongsai, telik sandi, jangkungan ataupun seni kontemporer (drumband).
Pembacaan mantra dilakukan oleh  seorang tokoh spiritual nelayan yang dilanjutkan dengan mengusung dongdong menuju lautan. Puncak prosesi berlangsung saat dongdong yang berisi sesaji diceburkan ke laut. Puluhan kapal langsung berebut mendekati sesaji tersebut. Mereka percaya berbagai sesaji yang menempel pada kapal mereka akan mendatangkan berkah bagi tangkapan selanjutnya. Selesai prosesi petarungan dan berebut sesaji, para nelayan ini kembali dengan harapan baru, mereka yakin hasil tangkapan ikan semakin meningkat setelah ruwatan selesai dilakukan.


PENUTUP

A.     Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Budaya Nadran adalah pesta perayaan masyarakat di daerah pesisir kota Cirebon yang berlangsung secara turun-temurun setiap tahunnya sebagai ucapan syukur dan terima kasih terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rezeki berupa kekayaan laut yang melimpah kepada para nelayan dan dilakukan dengan cara saling bergotong royong dan bahu membahu antar nelayan.
2.      Budaya Nadran sangat berpengaruh terhadap potensi wisata yang berdampak pada peningkatan kondisi ekonomi masyarakat pesisir yang umumnya rendah dan anggapan bahwa  profesi nelayan sudah menjadi amanat dari nenek moyang.
3.      Nadran pada saat ini seolah telah kehilangan ruhnya, karena tidak lagi terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, namun lebih ke arah hiburan semata bagi masyarakat, ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesan-pesan moral yang ada.
4.      Dalam prosesi pelaksanaannya Nadran biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng dalam  sebuah miniatur kapal yang akan dilarung di tengah laut dan ditenggelamkan.

B.     Saran
Di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi dan pesatnya pengaruh budaya barat, sudah seharusnya kita sebagai generasi muda mempertahankan tradisi leluhur sebagai salah satu budaya lokal nusantara yang mempunyai nilai-nilai solidaritas, etis, estetis, kultural, dan religius yang terdapat dalam Nadran.


DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Heriyani, 2009, Nilai-nilai Filosofi Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon, Realisasinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan, Kepel Press, Yogyakarta.

Atifin, Zaenal, 2007. Tradisi Nadran Nelayan, http.www. indosiar.com. diakses  pada 18 Desember 2011.

Tim Wacana Nusantara, 2010, Nadran Interaksi Budaya Pesisir antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta, http://id_wikipedia.org/wiki/Tim (19 Desember 2011).

Yusuf, Indra, 2007. Tradisi Nadran Potensi Wisata Pesisir, http.www.wikipedia.com. diakses pada 18 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar