Selasa, 30 April 2013

KENDALA DAN HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM FORTIFIKASI


I.            PENDAHULUAN
Di Indonesia, program fortifikasi pangan didasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam hal ini pemerintah menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan dan dikonsumsi masyarakat, terutama yang berekonomi lemah. Program fortifikasi pangan juga tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014. Di banyak negara, fortifikasi merupakan program andalan untuk mencegah gizi mikro, yaitu kekurangan vitamin dan mineral yang banyak diderita penduduk, terutama anak dan ibu hamil. Selama ini pemerintah telah memberlakukan kewajiban fortifikasi bagi garam dengan yodium sejak tahun 1994. Kemudian fortifikasi wajib tepung terigu pada tahun 2001 dan 2008, yaitu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin BI dan B2.
Beberapa negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat gizimikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi mikro nasional adalah untuk manjamin bahwa zat gizimikro yang dibutuhkan tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizimikro tersebut). Strategi-strategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi.
Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan yang baik.
II.            ISI
Penduduk dunia dengan proporsi yang signifikan menderita atau beresiko terhadap kekurangan vitamin dan mineral, yang biasa dikenal sebagai zat gizimikro. Asupan yang cukup dan ketersediaan vitamin dan mineral yang esensial secara erat berkaitan dengan kelangsungan hidup, perkembangan fisik dan mental, kesehatan yang baik secara umum, dan kesejahteraan menyeluruh dari semua individu dan masyarakat. Beberapa studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi luasnya cakupan kekurangan zat gizimikro di negara-negara berkembang.
Vitamin A, zat besi dan iodium adalah tiga zat gizi mikro utama yang menarik banyak perhatian, terutama pada dekade terakhir. Alasan-alasan dibalik pemfokusan usaha-usaha untuk mengurangi defisiensi ketiga zat gizimikro ini adalah:
¾    Didasarkan pada informasi yang tersedia: kekurangan vitamin A, iodium dan anemi gizi besi memiliki prevalensi yang tinggi di dunia dewasa ini;
¾    Informasi yang tersedia sebagai konsekuensi kekurangan zat gizimikro tersebut terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, kapasitas kerja, dan efisiensi ekonomi;
¾    Meskipun beberapa konsekuensi klinis dari kekurangan zat gizimikro telah lama diketahui, dimensi global dan spektrum yang luas dari efek dentrimental dari kekurangan zat gizimikro yang sedang (mild) terhadap perkembangan fisik dan mental, mortalitas, dan morbiditas telah diketahui belakangan ini;
¾    Luasnya spketrum kekurangan zat gizimikro ini pada tingkat populasi dapat diukur secara relatip dengan akurat; dan
¾    Solusi untuk menghilangkan kekurangan zat gizi mikro telah diketahui dan mudah diimplementasikan dan biayanya relatif murah.
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan dan untuk meningkatkan status gizi populasi. Namun demikian, fortifikasi pangan juga digunakan untuk mengganti dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. Fortifikasi mengacu kepada penambahan zat-zat gizi pada taraf yang lebih tinggi dari pada yang ditemukan pada pangan asal/awal atau pangan sebanding.
The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan  yang dikonsumsi  secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.

1.      Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversibel itu sebabnya penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium.
Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air telah dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara luas oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam  impure salt pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan prevalensi GAKI. 
Pada kenyataannya, program yodisasi garam di Indonesia dalam upaya menanggulangi GAKY sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk menunjang program yodisasi garam tersebut. Di antara penyebab hal ini adalah lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah. Permasalahan ini menunjukkan diperlukannya suatu  cara yang dapat mengeliminasi peredaran garam yang tidak beryodium.
Situasi dan kondisi di Indonesia menunjukkan betapa sulitnya mengatur produsen garam kecil untuk mendukung USI. Yodisasi garam di negara Indonesia dimulai sejak penjajahan Belanda  pada  tahun 1927,  kemudian terhenti di tahun 1945 ketika monopoli garam dibubarkan.  Pada  tahun  1976  usaha untuk melenyapkan GAKY dimulai lagi dengan bantuan dari UNICEF, tetapi tidak berhasil karena minimnya tanggung jawab dan koordinasi di antara para menteri dan sektor swasta  di dalamnya.
Beberapa faktor yang dapat menjadi penghambat adalah:
1)      Harga garam beryodium yang lebih mahal dibandingkan dengan garam yang tidak beryodium, membuat masyarakat lebih memilih garam yang tidak beryodium untuk konsumsi sehari-harinya.
2)      Minat dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap garam beryodium,
3)      Kurangnya kesadaran produsen untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan nilai kandungan minimal sehingga banyak garam beryodium yang tidak memenuhi syarat,
4)      Lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah,
5)      Ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan belum memadai.

2.      Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai atau mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatan jangka panjang (Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal diterimanya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisien zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti  besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi ammonium sulfat, dan lain-lain.
Dibandingkan dengan zat gizi mikro lain, zat besi dikatakan sebagai mineral yang paling sulit difortifikasi. Permasalahan utamanya adalah senyawa besi larut air seperti besi sulfat, besi laktat dan sebagainya, yang diketahui paling mudah diserap tubuh, seringkali menyebabkan perubahan warna dan bau yang tidak diinginkan pada pangan pembawanya. Sebagai contoh, penambahan pada garam kualitas rendah dengan cepat akan mengakibatkan perubahan warna dan bau tidak sedap, akibat reaksi antara ion besi dengan udara dan senyawa pengotor seperti magnesium klorida dan magnesium sulfat. Disisi lain senyawa tidak larut air seperti besi elemen tidak menimbulkan perubahan warna dan bau, namun sulit diserap oleh tubuh sehingga nilai gizinya sangat rendah. Selain itu, permasalahan utama lainnya adalah terjadinya reaksi antara iodium dengan besi yang mengakibatkan berkurang atau hilangnya kandungan iodium.
Oleh karenanya, pada pengembangan teknologi fortifikasi garam beriodium dengan zat besi, kedua permasalahan ini harus diatasi agar didapatkan garam fortifikasi yang dapat diterima secara organoleptik dan memiliki nilai gizi yang tinggi.


3.      Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan membandingkan antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersia (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan atau digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.  Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retinol  atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, teh, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah difortifikasi  oleh vitamin A.
Meskipun vitamin A ada pada buah dan sayuran, tetapi jumlah yang dikonsumsinya harus banyak. Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk penanggulangan kekurangan vitamin A adalah diversifikasi pangan, suplementasi vitamin A dosis tinggi, dan fortifikasi pangan. Pemberian suplemen atau kapsul vitamin A masih tergolong mahal bagi masyarakat, salah satu solusi yang dapat digunakan adalah fortifikasi vitamin A. Permasalahannya adalah mencari vehicle atau kendaraan yang tepat untuk fortifikasi. Kandidat Bahan pangan yang dapat digunakan untuk fortifikasi saat ini adalah minyak goreng. Beberapa alasan yang membuat minyak goreng potensial sebagai kendaraan fortifikasi vitamin A adalah karena minyak goreng merupakan komoditas kedua setelah beras yang dikonsumsi oleh lebih dari 90% penduduk, konsumsi minyak goreng per kapita yang mencapai > 23 gram (lebih dari 10 gram jumlah minimun untuk fortifikasi), rumah tangga rata-rata menggunakan 1-3 kali minyak goreng untuk penggorengan, stabilitas vitamin A selama penyimpanan dan penggorengan juga telah teruji (retensi selama penggorengan tinggi), dan dibuktikan dengan berbagai penelitian bahwa konsumsi minyak goreng berfortifikasi vitamin A terbukti mampu meningkatkan status vitamin A anak usia sekolah.

III.            PENUTUP
Kecukupan gizi terutama yang terkait langsung dengan pertumbuhan, kecerdasan otak dan kesehatan secara universal khususnya iodium dan zat besi serta protein amat penting. Agar supaya Indonesia tidak kehilangan satu generasi sebagai akibat kurangnya asupan gizi dalam diet maka sudah menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama terpadu guna mengatasi kekurangan gizi sehingga diperoleh generasi yang cerdas dan tangguh. Salah satunya adalah dengan dilakukannya program fortifikasi zat gizi pada produk pangan.
Untuk itulah kualitas SDM memerankan peranan yang penting dalam pengembangan bangsa. Pengembangan ilmu dan pengetahuan ( IPTEK ) yang berlangsung cepat dan menjadi barometer kemajuan suatu bangsa membutuhkan SDM berkualiats tinggi. Maka hal ini perlu dan harus didukung status gizi yang baik dan memadai. Begitu kompleksnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh kekurangan gizi. Oleh karena itu untuk memenuhi kecukupan gizi perlu pula di fahami suatu kebijaksanaan yang juga harus ditanggapi dengan sikap yaitu makan dengan menu seimbang dan tidak berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA
Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M.
Ed. Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition, Chaper Burgi, H.; Supersaxo, Z.; Selz, B. 1990. Iodine deficiency diseases in Switernland one hundred years after Theatre Kocher's survey: A historical review with some new goitre prevalence data. Acta Endocrinologica. Copenhagen.

Harris, RS. 1968. Attitudes and approaches to supplementation offoods with
nutrients. J. Agr. Food Chern. 16(2), 149-152.

INNAG. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG.
Wahongton, DC. USA.

WHO. 1995. Global prevalence of vitamin A deficiency. WHO Micronutrient
Deficiency Onformation Systems: Working Paper Number 2. WHO, Geneva, Switzernland.

WHO. 1994. Indicator for assesing iodine deficiency disorders and their controll
through salt iodization. WHO/UNICEF/ICCIDD.Doc. WHO, Geneva, Switzernland.

WHO. 1992. National strategies for overcoming micronutrient malnutrition
EB89/27. 45th World Health Assembly Provisional Agenda Item 21;

WHO, Geneva, Switzernland. World Banka. 1994. Enriching Lives. Overcoming
vitamin A and mineral malnutrition in developing countries. The World Bank. DC, USA.

Anisatusholihah, dkk. 2009. Modifikasi Alat Fortifikasi Yodium Portable Dan
Iodine Test Kit Untuk Menanggulangi Masalah Gangguan AKIBAT Kekurangan Yodium (Gaky) Di Indonesia. http://benbayu.files.wordpress.com/2010/03/4-5-1-anisatusholihah-modifikasi-alat-ortifikasi.pdf. Diakses tanggal 10 April 2011



Sylviana dalam Food Review. 2008. Permasalahan Utama Gizi Indonesia: Defisiensi Zat Gizi Mikro

Yun dalam  Kompas.com. 2010. Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vitamin A. http://kesehatan.kompas.com/read/2010/07/02/11244093/Fortifikasi.Minyak.Goreng.dengan.Vitamin.A. diakses tanggal 11 April 2011

DAFTAR TABEL KALORI & UNIT


DAFTAR TABEL KALORI & UNIT
Makanan Pokok Golongan A
Nama Masakan
Berat (gr)
Kalori
Unit




Jagung Rebus
250
90,2
1
Kentang Rebus
200
166
2
Ketan Putih
120
217
2,75
Ketupat
160
32
0,5
Lontong
200
38
0,5
Nasi Putih
100
175
2,25
Nasi Putih Kentucky
225
349
4,25
Roti Tawar Serat Tinggi
60
149
1,75
Singkong Rebus
100
146
1,75
Talas Rebus
100
98
1,25
Ubi Rebus
100
125
1,5




Makanan Pokok Golongan B




Bubur
200
44
0,5
Crakers
50
229
2,75
Makaroni
25
91
1,25
Mie Instant
50
168
2
Nasi Tim
100
88
1
Nasi Uduk
200
506
6,25
Roti Tawar
50
128
1,5




Makanan Pokok Golongan C




Bihun Goreng
150
296
3,75
Bubur Ayam
200
165
2
Bubur Sum-Sum
100
178
2,25
Kentang Goreng
150
211
2,75
Mie Goreng
200
321
4
Nasi Goreng
100
267
3,25
Soun Goreng
100
263
3,25
Spaghetti
300
642
8
Tape singkong
150
260
3,25

Lauk Pauk Golongan A
Nama Masakan
Berat (gr)
Kalori
Unit




Arsik
95
94,05
1
Ayam Bakar Bumbu Kuning
100
129,4
1,5
Ayam Panggang
100
164,3
3,25
Daging Panggang
70
150
1,75
Ikan Mas Pepes
200
143,5
1,75
Sambal Goreng Tempe
50
116
1,5
Telur Asin Rebus
75
138
1,75
Telur Ayam Rebus
60
97
1,25
Udang Rebus
100
91
1,25




Lauk Pauk Golongan B




Ati Ayam Goreng
50
98
1,25
Ayam Pop
200
265
3,25
Bakso Daging Sapi
100
260
3,25
Empal Daging
100
147
1,75
Ikan Bandeng Goreng
160
180,7
2,25
Ikan Baronang Goreng
120
107,5
1,25
Ikan Bawal Goreng
120
113,3
1,5
Ikan Ekor Goreng
100
107,8
1,25
Ikan Kembung Goreng
80
87,65
1
Ikan Lele Goreng
60
57,5
0,75
Ikan Patin Goreng
200
252,7
3
Ikan Selar Goreng
40
63,75
0,75
Ikan Tenggiri Goreng
60
85,3
1
Ikan Teri Goreng
50
66
0,75
Ikan Tuna Goreng
60
110
1,25
Kerang Rebus
100
59
0,75
Macaroni Schootel
50
177
2,25
Tahu Bacem
100
147
1,75
Telur Mata Sapi
60
40
1,75
Tempe Bacem
50
157
2
Tempe Goreng
50
118
1,5
Tenggiri Bumbu Kuning
90
94,4
1
Udang Goreng Besar
80
68,25
3,25




Lauk Pauk Golongan C




Abon Sapi
50
158
2
Ayam Goreng Kecap
75
358,8
4,5
Ayam Panggang
80
385,6
4,75
Chiken Wing / Sayap Ayam
50
63,6
0,75
Daging Balado
50
147
1,75
Dendeng Balado
40
338
4,25
Gulai Ayam
100
165,3
2
Gulai Cumi
100
183
2,25
Gulai Kepala Ikan Kakap
320
218,8
2,75
Gulai Limpa
60
294
3,5
Gulai Tunjang
80
251
3
Ikan Kembung Balado
125
236,7
3
Ikan Teri
50
213
2,75
Kakap Goreng Tepung
80
119
1,5
Kakap Panir
75
220
2,75
Keripik Tempe
25
68
0,75
Meat Ball / Daging Cincang Bulat
50
168
2
Ayam Kentucky Paha Atas
150
194,5
2,5
Perkedel Jagung
50
108
1,25
Perkedel Kentang
50
123
1,5
Pu Yung Hai
50
114
1,5
Rendang Daging
75
285,5
3,5
Sate Ayam
100
466
6
Ayam Kentucky Sayap
150
116
1,5
Semur Ayam
50
177,8
2,25
Sambal Goreng Ati + Kentang
100
127
1,5
Sambal Goreng Tempe Teri
150
276
3,5
Sambal Goreng Ati Sapi
100
200
2,5
Sambal Goreng Udang + Kentang
100
123
1,5
Sop Sapi
260
227
2,75
Tahu Goreng
100
111
1,5
Tahu Isi
150
124
1,5
Tahu Sumedang
100
113
1,5
Telur dadar
75
188
2,25

Sayuran Golongan A



Nama Masakan
Berat(gr)
Kalori
Unit




Acar Kuning
75
53
0,5
Bening Bayam
50
18
0,25
Cah Labu Siam
100
41,6
0,5
Sayur Asam
100
88
1
Sop Ayam Kombinasi
100
95
1,25
Sop Bayam
50
78
1
Sop Kimlo
100
104
1,25
Sop Mutiara Jagung
100
113
1,5
Asop Oyong Misoa
100
106
1,25
Sop Telur Putuh
100
116
1,5




Sayuran Golongan B




Sayur Lodeh
100
61
0,75
Cah Jagung Putren
100
59
0,75
Cah Jkacang Panjang
100
72
1
Sop Oyong Telur Puyuh
100
134
1,75
Setup Kentang Buncis
100
95
1
Tumis Buncis
100
52
1,5
Tumis Daun Singkong
120
151
1,75
Tumis Kc. Panjang + Jagung
125
118
1,75




Sayuran Golongan C




Buntil
100
106
1,25
Gudeg
150
132
1,75


Minuman Golongan A




Nama Minuman
Berat(gr)
Kalori
Unit




Te'h (Cangkir)
1
0,4
2,8
Kopi (Cangkir)
1
18
0,25
Juice Tomat (Gelas)
100
20
0,25
Juice Melon (Gelas)
150
35
0,5




Minuman Golongan B




Es Kelapa Muda (Gelas)
100
42
0,5
Es Cendol
100
168
2
Susu Skim
15
54
0,75
Coca Cola Diet (Kaleng)
1
1
0



Masakan Siap Saji Golongan A




Nama Masakan
Berat(gr)
Kalori
Unit




Asinan
250
208
2,5
Toge Goreng
250
243
3




Masakan Siap Saji Golongan B




Gado - Gado
150
295
3,75
Ketoprak
250
153
2
Pempek
200
384
4,75
Rawon
160
331
4
Soto Ayam
100
101
1,25
Soto Padang
100
127
1,5
Tongseng
120
331
4

Masakan Siap Saji Golongan C




Hamburger
125
257
3,25
Kerupuk Palembang
50
168
2
Kerupuk Udang
20
72
1
Mie Bakso
200
302
3,75
Nasi Tim Ayam
420
588
7,25
Pizza
125
163
2
Sate Kambing
180
729
9
Sayur Krecek
175
249
3
Siomay
100
361
3,75
Soto Betawi
150
135
1,75
Soto Makasar
150
525
6,5
Soto Sulung
150
86
1


Buah -Buahan Golongan A




Nama Masakan
Berat(gr)
Kalori
Unit




Apel
160
92
1
Apel Merah
140
82
1
Belimbing
160
80
0,75
Duku
200
81
1
Jambu Air
60
35,4
0,5
Jambu Biji
320
157
2
Jeruk Medan
140
46
0,5
Jeruk Pontianak
150
67
0,75
Jeruk Sunkist
200
40
0,5
Mangga Manalagi
100
72
1
Nanas
200
104
1,25
Pepaya
100
46
0,5
Pir
200
80
1
Pisang Rebus
125
136,5
1,75
Salak
150
63,6
0,75
Semangka
150
48
0,5




Buah - Buahan Golongan B




Alpukat
100
85
1
Anggur
125
60
0,75
Lengkeng
100
79
1
Melon
120
46
0,5
Mangga Harum Manis
300
90
1
Pir Hijau
200
105
1,25
Pisang Ambon
100
74,2
1
Pisang Barangan
200
236
3
Pisang Mas
125
11
1,5
Pisang Raja
150
126
1,5
Sirsak
125
55
0,25




Buah - Buahan Golongan C




Durian Montong
100
134
1,5
Rambutan
100
69
0,75
sawo
100
92
1,75


Makanan Ringan Golongan A




Nama Masakan
Berat(gr)
Kalori
Unit




Arem - Arem
75
225
2,75
Bubur Kacang Ijo
100
102
1,25
Ketupat Ketan
120
216
2,75
Lemper
70
247
3
Lepet
120
210
2,5
Lepet Ketan
170
346
4,25




Makanan Ringan Golongan B




Bolu Gulung
110
300
3,75
Cakwee
50
143
1,75
Getuk Lindri
60
127
1,75
Hot Dog
100
285
3,5
Kerak Telur
120
599
7,5
Kue Nagasari
70
149
1,75
Kue Pancong
80
231
3
Mini Croissant
80
406
5
Sandwich
100
164
2
Serabi Pandan
60
137
1,75
Semar Mendem
100
247
3
Uli + Tape Ketan
160
559
7




Makanan Ringan Golongan C




Bakpia
25
68
1
Bakwan
100
270
3,25
Bika Ambon
50
99
1,25
Black Forrest
200
585
7,5
Cara Bikang
70
128
1,5
Cheese Cake
10
281
3,5
Dunkin Donat Keju
170
283
3,5
Emping Melinjo Asin
25
173
2,25
Kastengels (10 bh)
100
426
5,75
Keju Lembaran (1bh)
20
65
3,25
Kerupuk Mie
25
119
1,5
Klepon
60
68
0,75
Kroket Kentang
75
146
1,25
Kue Ape
60
151
2
Kue Cubit
60
183
2,25
Kue Cucur
90
152
2
Kue Ku
50
237
3
Kue Lumpur
80
232
3
Kue Pukis
40
181
2,25
Lapis Legit
50
307
3,75
Lemet/Timus
120
603
7,5
Lopis Ketan
125
350
4,25
Lumpia
60
76
1
Martabak Keju
100
265
.3.25
Martabak Mesir
100
200
2,5
Martabak Telur
95
196
2,5
Muffin Coklat
80
361
4,5
Muffin Keju
80
400
5
Nastar (7bh)
150
538
6,75
Onde - Onde
65
317
4
Pastel
75
302
3,75
Potato Chip
170
298
3,75
Putu Mayang
120
98
1,25
Rempeyek Kacang
50
250
3
Risol
100
247
3
Roti Coklat
100
240
3
Sosis Solo
50
191
2,25
Sus Vla
85
129
1,5
Talam Hijau
70
292
3,5