Senin, 22 April 2013

ANALISIS DRAMATURGIS TENTANG KEHIDUPAN SEORANG SOEHARTO


PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah

            Soeharto yang memiliki nama lengkap Haji Muhammad Soeharto adalah sosok nama besar yang memimpin Indonesia selama 32 tahun lamanya. Ia lahir di Kemusuk, Argomulyo,Yogyakarta pada  8 Juni 1921 (www.wikipedia.com). Ia menduduki jabatannya sebagai presiden kedua menggantikan Soekarno. Sebelum menjadi presiden, Ia menduduki jabatan sebagai Mayor Jenderal pada Kemiliteran Indonesia. Ia mengambil alih kekuasaan Soekarno pada tahun 1968, yang kemudian pada tahun-tahun berikutnya yaitu tahun 1973, 1978, 1983, 1988,1993 hingga 1998 MPR tetap memilih ia sebagai presiden. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan “pendudukan” gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dari berbagai daerah.
            Selama hidupnya tak dapat dipungkiri ia salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pembangunan Indonesia. Ia pernah dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Nasional karena keberhasilannya dalam Program Swasembada Pangan tahun 1985. Sikapnya yang selalu ditunjukan kepada publik saat itu ia adalah orang yang tenang. Namun dibalik ketenangannya itu ia memiliki gaya kepemimpinan yang otoriter dan refresif.
            Berbagai tanggapan tentangnya mulai bermunculan terutama ketika ia telah lengser dari tahta kepemimpinan orde baru-nya. Tak hanya tanggapan ataupun komentar biasa yang diberikan masyarakat tentangnya, banyak celaan, makian dan kritikan tentang kepemimpinan soeharto yang dinilai mengekang kebebasan masyarakatnya. Permasalahan ini menarik untuk dibahas lebih dalam melalui pendekatan analisis dramaturgis kehidupan soeharto.  

2.      Perumusan Masalah

            Bertolak dari Latar Belakang di atas maka perumusan masalah yang diangkat yaitu: ”bagaimanakah analisis dramaturgis sosok soeharto dalam kehidupannya?”

 
PEMBAHASAN



Dunia ini panggung sandiwara...
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap insan punya satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara....
(Lagu dari ”Panggung Sandiwara” Ahmad Albar)

            Sepenggal lagu tersebut adalah gambaran dari  apa yang difikirkan oleh Erving Goffman bahwa kehidupan yang dijalankan individu seperti dalam panggung sandiwara. Individu oleh Goffman disebut sebagai aktor yang memainkan peran kehidupan. Bukan kepura-puraan aktor ketika menjalani perannya dalam kehidupan, namun lebih kepada bagaimana aktor mempertunjukkan dirinya di atas panggung kehidupan. Pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang serupa dengan yang ditampilkan di atas panggung-lah yang dimaksudkan Goffman sebagai fokus perhatian karyanya.
            Goffman menjelaskan dalam pertunjukan drama terdapat unsur-unsur yang harus ada dan diperhatikan ketika drama tersebut akan dimainkan oleh aktor. Unsur-unsur tersebut yaitu panggung depan (Front stage), belakang panggung (back stage), aktor (pemain), penonton (audien), dan perlengkapan pemain.
            Front stage merupakan wilayah pertunjukan penonton untuk mendefinisikan secara umum situasi yang dipertontonkan oleh aktor. Dalam front stage terdapat setting yaitu penataan panggung dan personal front yaitu perlengkapan aktor yang diidentikan oleh penonton dan harus dikenakan oleh aktor. Aktor berarti membangun penampilan khasnya sehingga penonton akan melihat peran yang ditunjukan aktor. Selain itu terdapat pula unsur appearance (penampilan) serta manner yaitu peran yang diharapkan dimainkan oleh aktor. Karakter yang dimilliki front stage biasanya  sulit diubah-ubah karena lebih cenderung menunjuk kepada ciri fisik yang dimiliki oleh aktor walau terkadang hal tersebut dapat dimanipulasi oleh aktor.
            Back stage merupakan wilayah pertunjukan yang banyak menyimpan fakta yang tidak mungkin dipertontonkan di front stage. Selain itu dalam dramaturgis terdapat pula wilayah pertunjukan dimana penonton kesulitan untuk memahami situasi yang disebut outside. Beberapa konsep yang dimiliki dramaturgis yaitu impression management yaitu bagaimana aktor mengelola kesan dalam menjalankan perannya, mistifikasi atau upaya aktor untuk membangun jarak dengan orang lain serta stigma atau cap yang muncul akibat peran yang dijalankan oleh aktor.
            Seperti halnya kehidupan aktor, kehidupan soeharto dapat ditelaah lebih dalam melalui pendekatan analisis dramaturgis bagaimana kehidupan sosialnya. Soeharto adalah aktor yang memainkan peran utama sebagai presiden. Masa pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun adalah panggung depannya atau dapat dikatakan sebagai panggung utama yang ia jalankan dalam kehidupannya. Pemerintahan ditata sedemikian rupa oleh soeharto sebagai kebutuhannya untuk menjalankan peran sebagai presiden. Orde baru adalah sebutan pemerintahan yang dijalankan soeharto. Orde baru menggantikan orde lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru diciptakan oleh soeharto sebagai ”koreksi total” atas penyimpangan orde lama Soekarno menurutnya (www.wikipedia.com).  
            Dalam menjalankan tugas kepresidenannya, Soeharto sering terlihat menggunakan baju safari dan pecinya saat diadakan sidang kabinet dalam negeri ataupun acara-acara pemerintahan yang bersifat urusan dalam negeri. Terkadang ia menggunakan jas resmi saat berkunjung ke luar negeri untuk urusan diplomasi dan kepentingan negara lainnya. Tak hanya itu, pernah ia menampilkan kepada publik dengan pakaian khas Indonesia yaitu batik ketika menjamu tamu wisata mancanegaranya. Penampilan yang menjadi ciri khasnya dan diidentikan kepada publik adalah peci yang selalu ia gunakan dalam acara-acara resminya.  
            Seorang presiden harus memiliki kharisma dan menunjukan kewibawaannya sebagai pemimpin negara. Hal tersebut jelas sekali terlihat dan selalu ditunjukan kepada publik oleh soeharto. Ia tampilkan dirinya sebagai orang yang tenang namun dibalik ketenangannya tersebut ia seorang yang tegas, otoriter dan represif. Karakter tersebut tidak ia ubah-ubah dan selalu ia tunjukan saat memimpin orde baru selama 32 tahun lamanya.
                        Tak selamanya ia menunjukan dirinya sebagai seorang presiden yang tegas, otoriter dan represif. Ada wilayah yang khalayak luas tidak tahu dan tidak ia pertontonkan seperti halnya saat menjalani perannya sebagai presiden. Dalam Goffman wilayah ini disebut sebagai back stage atau panggung belakang. Bukan berarti pertunjukan yang di jalankan dalam panggung depan telah selesai, melainkan bagaimana aktor menjalankan kehidupannya atau perannya yang lain selain menjadi presiden.  Soeharto selain menjadi presiden ia juga menjalani perannya sebagai seorang suami sekaligus seorang bapak dalam keluarganya. Istrinya bernama Tien Soeharto. Soeharto juga sebagai seorang bapak dari keenam anaknya yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto (Sigit), Bambang Trihatmodjo (Bambang),Siti Hediati Hariyadi (Titiek),Hutomo Mandala Putra (Tommy) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) (www.Wikipedia.com).
                        Di luar situasi kepresidenannya, publik pernah menyorotinya dalam acara santai. Ia terkadang menjalani hobinya seperti memancing dan bermain golf dengan menggunakan kaos dan celana pendeknya serta terkadang ia menggunakan topi. Tamu-tamu kenegaraan umumnya akan beranggapan berbeda, ketika melihat ia tak menggunakan jas ataupun pakaian resmi lainnya seperti saat ia menjadi presiden.
            Saat ia menjadi presiden, ia selalu berusaha membangun atau mengelola kesan sebagai seorang pemimpin negara yang tegas, otoriter dan refresif meskipun ia bersikap tenang di depan khalayak luas. Keotoriterian dan sikap refresifnya dijadikan sebagai penopang kekuasaan orde baru. Menurut Pratikno (dalam: Budi Winarno, 2007: 35) terdapat empat tindakan-tindakan otoriter sebagai penopang Orde Baru Soeharto pada masa Orde Baru. Pertama penindasan politik seperti penyempitan partai-partai politik hanya menjadi tiga saja yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan  (PPP) dan Golongan Karya (GOLKAR). Namun dalam hal ini Golkar tidak ingin disebut sebagai partai politik melainkan hanya sebagai sebuah golongan yang berbasis kepada masyarakat saja. Golkar seolah-seolah menjadi partai penguasa di Indonesia yang mengebiri dua partai lainnya.
            Kedua, pemberdayaan sumber daya alam  melalui ekspor minyak dan hasil alam lainnya sebagai sumber ekonomi untuk warga negaranya baik kaum elit ataupun masyarakat luas. Ketiga, perencanaan wacana-wacana untuk kemajuan Indonesia seperti wacana tentang demokrasi Pancasila, tanggungjawab sosial bagi warga negaranya serta Hak Asasi Manusia (HAM) dan yang keempat yaitu sikap korporatisme negara bagi masyarakat terhadap organisasi masyarakat. Namun dalam kenyataannya sumber-sumber organisasi massa terpenting dikuasai oleh kaki tangan Soeharto pada masa itu yaitu ABRI. Keempat sikap itu Ia ciptakan untuk mengelola kesannya ketika menjalani perannya sebagai presiden saat itu.
            Tak hanya itu, Soeharto juga menjadikan ABRI sebagai “anak emas” dan juga dijadikan sebagai kekuatan untuk berkuasa. Melalui ABRI, warga ataupun partai-partai oposisi yang tidak sepaham dengan soeharto, ia “tertibkan” dengan cara yang lebih cenderung memakai kekerasan. Kebebasan warga negaranya pada era saaat itu sangat dibatasi. Selain itu bukan hanya warga Negara pribumi saja yang dikebiri, namun warga Tionghoa yang ada di Indonesia, kebeebasan yang mereka miliki juga sangat terbatas. Bahkan saat itu Soeharto melarang tulisan-tulisan maupun karya-karya yang berbau Cina muncul di Indonesia dengan maksud menumpas isu komunis dari Cina.
            Seiring dengan bagaimana ia mengelola kesan, ia juga berupaya membangun jarak sosial dengan publik dengan membatasi kontak dalam pemerintahannya. Menurut Deddy Mulyana (2001: 119), selama tiga dekade, ia tidak bersedia diwawancarai oleh wartawan media cetak ataupun media elektronik. Hal itu ia lakukan sebagai upayanya membangun jarak dengan masyarakat.
            Semua tindakan yang ia ciptakan ketika ia menjadi presiden menimbulkan stigma tentang dirinya. “Pen-cap-an” label sebagai presiden yang otoriter dan refresif muncul akibat dari cara ia menjalani pemerintahan Orde Baru. Memang tiddak semua masyarakat beranggapan tindakan otoriter yang Soeharto jalankan salah, di satu sisi era orde baru dianggap era yang damai tanpa rasa takut tentang maraknya pencurian, pembunuhan, ataupun pemerkosaan sekalipun dengan catatan warga harus epaham dengannya. Namun disisi lain, orde baru adalah awal berkembangnya korupsi,kolusi dan nepotisme serta membuat amburadulnya sistem pemerintahan.

PENUTUP

KESIMPULAN

            Kehidupan dalam drama atau teatrikal sama halnya dengan kehidupan sosial yang dijalankan oleh manusia. Dalam teorinya tentang sosiologi dramaturgis erving goffman menjelaskan kehidupan aktor secara detail. Mulai dari peran utama yang aktor tunjukan kepada publik hingga  atribut yang ia kenakan ketika ia menampilkan dirinya sampai bagaimana ia menjalankan perannya. Soeharto merupakan seorang aktor yang menjalankan peran sebagai pemimpin Negara saat orde baru. Kehidupan yang dijalankan oleh seorang tokoh besar seperti soeharto dapat dijelaskan melalui analisis dramaturgis.
            Soeharto memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang tegas, otoriter dan refresif. Hal tersebut ia lakukan sebagai pengelolaan kesan untuk mengatur warga negaranya agar patuh kepadanya. Dalam filosofis jawa, Soeharto layaknya seorang “bapak” yang perintah-perintahnya harus dituruti oleh anaknya ketika mengatur warga negaranya. Stigma otoriter, refresif dan tegas muncul karena tindakannya mempin pemerintahan orde baru selama 32 tahun.
            Stigma yang telah terlanjur tercap kepadanya sulit untuk dihilangkan walau kini ia sudah tidak menjadi presiden lagi. Semenjak soeharto lengser berbagai anggapan tentangnya lebih berani dikeluarkan oleh masyarakat dibandingkan ketika ia masih menjabat sebagai presiden. Namun tak dapat dipungkiri juga, ketika ia menjadi presiden, Indonesia pernah merasakan stabilitas nasional walau setelah ia lengser terjadi kekacauan di segala bidang pemerintahan di Indonesia.  


DAFTAR PUSTAKA


     Buku:

Mulyana, Deddy. 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda Karya, Bandung.

Nurhadi. 2008, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Cetakan Pertama Kreasi Wacana.Yogyakarta (diterjemahkan dari: Sosiological Theory, karya dan Douglas J. Goodman, 2004).

Winarno, Budi. 2007, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, Cetakan Pertama.                                        Media Pressindo , Yogyakarta.

Situs:

www.wikipedia.com, “Tentang Sejarah Orde Baru Indonesia” dan “Presiden                                       Soeharto”, diakses pada tanggal 16 juni 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar