Senin, 22 April 2013

Dominasi Faham Kekuasaan Jawa dalam Budaya Politik Indonesia


SEJAK proklamasi tahun 1945, Indonesia muncul sebagai negara kebangsaan yang ditata dengan sistem modern. Sebagai negara modern, birokrasinya difungsikan sebagai instrumen teknis administratif sedang pembagian kekuasaan menganut asas Trias Politika; eksekutif, yudikatif dan legislatif.
Dalam perkembangannya, dinamika budaya politik yang muncul tidak hanya dipengaruhi oleh watak dasar tata nilai modern saja. Juga sistem tata nilai dari tradisi yang ada di Indonesia. Pada akhirnya walaupun secara kelembagaan ditata secara modern, budaya politik di Indonesia lebih merupakan manifestasi dari sistem tata nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat.
Secara makro ada dua karakteristik pokok ajaran kekuasaan Jawa. Pertama, kekuasaan bersifat memusat [sentralistik], tidak memancar, tidak berkurang maupun bertambah, terkonsentrasi pada satu pihak dan berkencenderungan menghisap kekuasaan yang lain. Karenanya tidak menghendaki adanya kekuasaan lain yang otonom dan lepas dari kontrol pusat kekuasaan.
Kedua, kekuasaan berasal dari alam adikodrati atau alam ialahiah, bukannya berasal dari rakyat sebagaimana teori kedaulatan rakyat. Maka kekuasaan tidak memerlukan keabsahan dan justifikasi dari rakyat.
Karakteristik di atas sangat mempengaruhi perilaku elite politik yang ada di Indonesia. Karakteristik pertama bahwa kekuasaan itu sentralistik, bisa kita lihat pada masa Presiden Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan hal-hal lain yang serba terpimpin. Pada waktu itu hampir tidak ada kekuatan lain di luar Presiden Soekarno.
Orba di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto juga tidak banyak berbeda dengan Orde Lama yang diperbaharuinya. Pada masa ini, faham kekuasaan Jawa justru semakin dihidupkan. Kekuasaan menjadi sangat sentralistik dan secara kelembagaan terpusat pada eksekutif yang notabene di bawah kendali presiden.
Sebagai imbas, kekuasaan-kekuasaan di luar eksekutif menjadi terkebiri [dihisap] dan kemudian mengalami kooptasi habis-habisan sehingga justru menjadi kekuatan yang mendukung eksekutif. Misalnya kekuatan ormas PWI, MUI, KORPRI, KNPI dan sebagainya. Lebih tragis ketika hal yang sama terjadi pula pada lembaga yudikatif maupun legislatif yang hanya berfungsi sebagai legitimasi terhadap eksekutif.
Eksekutif akhirnya berkembang tidak sekadar sebagai instrumen teknis yang bersifat administratif tetapi telah melebarkan peran sebagai mesin politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Kondisi seperti ini semakin parah ketika oposisi dianggap tabu dan tidak sesuai dengan budaya bangsa. Partai-partai yang ada pun tidak mempunyai kekuatan yang berarti untuk mengontrol birokrasi. Keberadannya dibutuhkan oleh pemegang kekuasaan sekadar pertanda, seolah-olah demokrasi itu ada. Tiadanya kontrol yang efektif seperti ini merupakan prakondisi tumbuh suburnya arogansi dan penyelewengan kekuasaan.
Budaya politik di atas seakan mendapat angin segar dari karakteristik kedua, bahwa kekuasaan merupakan wahyu atau pemberian yang berasal dari alam adikodrati sehingga tidak membutuhkan legitimasi rakyat. Faham ini menyebabkan tiadanya ikatan moral dalam diri pemegang kekuasaan untuk mempertanggungjawabkan segala kebijakan, keputusan dan tindakannya terhadap rakyat.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa faham kekuasaan Jawa yang dimanifestasikan para elite kedalam budaya politik di atas punya kontribusi cukup besar bagi terhambatnya proses demokratisasi, merebaknya KKN, arogansi kekuasaan dan orientasi pembangunan yang kurang memperhatikan kepentingan rakyat banyak.
Kini, ketika Jenderal Soeharto telah mengundurkan diri dari kekuasaannya dan seluruh lapisan masyarakat menuntut reformasi, bangsa Indonesia perlu merefleksikan kembali budaya politik yang dipengaruhi oleh faham kekuasaan Jawa yang berkembang dan terbukti telah melibatkan hal-hal yang buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar