Senin, 22 April 2013

Dominasi Negara dan Kapitalisme


Oleh: Mh Nurul Huda
AKHIR-akhir ini perdebatan soal wacana civil society begitu menghangat, terkait dengan upaya pribumisasi dan formulasinya dalam konteks keindonesiaan. Polemik ini berkisar pada relasi civil society terhadap negara. Namun, kini, kehadiran kekuatan kapitalisme global mesti dipertimbangkan sebagai tantangan baru penguatan civil society ke depan.
Kajian civil society muncul dan makin marak seiring dengan semangat kebebasan setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Pencarian genealogi konsep civil society ini mengerucut pada dua kutub yang masing-masing direpresentasikan oleh kelompok modernis dan kalangan tradisional. Diskursus ini mencuat, tatkala kelompok modernis menerjemahkan civil society dengan "masyarakat madani", sementara kalangan tradisionalis mempertahankannya atau menerjemahkannya secara literer dengan "masyarakat sipil".
Bagi kalangan tradisionalis "dipimpin" AS Hikam dan Ahmad Baso, pemakaian translasi yang berbeda ini terkait dengan wawasan pengetahuan dan ideologi yang dianut masing-masing menyangkut konsepsi masyarakat ideal yang dicita-citakan. Bahkan, Ahmad Baso dalam bukunya yang secara khusus "menggugat" pemaknaan "masyarakat madani" (Civil Society Versus Masyarakat Madani, Pustaka Hidayah, 1999) mensinyalir ada kepentingan ideologis tersembunyi di balik pemaknaan tersebut.
Kalangan tradisionalis beranggapan, mempertahankan penerjemahan civil society sebagai "masyarakat sipil" memiliki relevansi erat dengan perjuangan demokratisasi di Tanah Air. Dengan mempertahankan karakter civil society dalam konteks budaya Barat, yaitu sebagai counter-balancing terhadap negara, masyarakat sipil memerankan dirinya sebagai alat kontrol negara, bahkan perlawanan bagi kecenderungan otoritarianisme baru negara dalam proses transisi.
Bagi kalangan tradisional tidak penting mengislamisasi translasi bahasa, tapi yang terpenting adalah kontekstualisasi gagasan itu dalam upaya redemokratisasi. Masyarakat sipil diperhadapkan dengan negara karena negara dianggap bukanlah institusi "baik hati" di mana aktor-aktornya dengan tanpa pamrih memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi, diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan mapan sebagai alat penekan dan kontrol terhadap seluruh kebijakan negara, kalau perlu opposite terhadap negara.
Sedangkan kalangan modernis memakai istilah "masyarakat madani" dalam pengertian masyarakat yang bersifat komplemen atau suplemen terhadap negara. Pemaknaan ini terutama dirujukkan pada konsep dan formulasi masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, yang digambarkan sebagai prototype ideal masyarakat demokratis, egaliter, adil, dan berkeadaban.
Piagam Madinah dianggap sebagai konstitusi awal yang mendahului Declaration of Human Rights PBB tahun 1948. Singkatnya, pada zaman itulah civil society, dalam pandangan kelompok ini, memperoleh pembenarannya, legitimasi historisnya dalam masyarakat Muslim.
Polemik makin tajam, tatkala dipertanyakan apakah masyarakat Madinah benar-benar mencerminkan masyarakat yang demokratis, setara, dan tersedia public sphere sebagaimana masyarakat demokratis abad modern sekarang. Kalangan tradisionalis menganggap konsepsi kalangan modernis ini ahistoris, yang seolah mau memberi garansi profil negara yang "baik hati" itu.
Negara dan kapitalisme global
Gugatan kalangan tradisionalis terhadap posisi negara dalam konteks dominasi kekuatan neoliberalisme dewasa ini akan semakin menusuk tajam, tatkala fungsi dan peran negara makin memudar dan tergantikan oleh kekuatan kapitalisme global di mana rezim pasar yang dikendalikan oleh kekuatan modal transnational corporations (TNCs) telah menembus, bahkan menghilangkan batas-batas sebuah negara.
Ideologi neoliberal menolak intervensi negara dan mengharamkan proteksionisme negara, demi perdagangan bebas yang akan menggerakkan persaingan dan mengembangkan pemanfaatan sumber-sumber, tenaga kerja, dan modal secara efisien. Dengan akar filosofis tersebut, ada kecenderungan kuat bahwa peran negara benar-benar tersubordinasi kepentingan modal.
Mengenai dampak dominasi kekuatan neoliberal ini dipertegas oleh I Wibowo dalam tulisannya Globalisasi, Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi (Kompas, April 2002). Mengutip hipotesa Nooreena Hertz, ia mengatakan bahwa globalisasi ekonomi akan berakibat pada terjadiya the death of democracy.
Kematian demokrasi ini disebabkan oleh karena semakin ditelantarkannya rakyat oleh para pemimpin yang dipilihnya, yang ternyata lebih sibuk melayani para kapitalis. Dengan dalih memuaskan konstituennya, para pemimpin negara malah menggadaikan kepentingan rakyat demi mengundang investasi ke dalam negeri.
Padahal, mereka paham, para investor tersebut hanya akan memilih negara yang menyediakan syarat-syarat yang paling gampang dan menguntungkan kepentingan bisnis mereka, seperti: lalu lintas mata uang yang bebas, pajak yang rendah, buruh yang terkontrol, dan sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa negara menjadi ruang, sebuah alat guna membangun simbiosis antara pelaku bisnis (kapitalis) dengan elite dan birokrat negara dengan mengabaikan nasib rakyat, bahkan menindas hak-hak rakyat.
Fakta ini secara kasat mata terjadi pada rezim Soeharto, dan masih berlangsung hingga sekarang. Belum hilang dalam ingatan kita, silang pendapat dan ketegangan antara sejumlah menteri bidang perekonomian kabinet Megawati Soekarnoputri menyangkut privatisasi aset BUMN, pencabutan subsidi BBM, dan diiringi munculnya pola-pola represif pemerintah terhadap massa buruh dan protes mahasiswa, serta berbagai produk kebijakan pemerintah yang jelas mengartikulasikan sedemikian kuat dominasi kepentingan para pemilik modal dan elite negara atas kepentingan rakyat.
Pandangan serupa dilontarkan Robert W McChesney (2000) dalam bukunya, Rich Media Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Time, bahwa kekuatan neoliberalisme melalui perangkat kemajuan teknologi informasi yang dikendalikan "kekaisaran ekonomi global" menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Yaitu proses depolitisasi masyarakat sipil melalui penciptaan pola hidup konsumtif dan kecenderungan hypercommercialism media massa.
Dua tantangan sekaligus
Hadirnya kepentingan rezim kapitalisme global dalam negara pada akhirnya akan memperhadapkan civil society pada dua hambatan besar sekaligus dalam sejarahnya.
Pertama, tantangan yang berasal dari negara, yaitu pola-pola represif kontra demokratik negara.
Kedua, berasal dari kekuatan pasar yang dikendalikan oleh struktur kapitalisme global.
Melemahnya peran negara di hadapan rezim kapitalisme global berarti menguatnya negara di hadapan masyarakat sipil. Asumsi ini dibangun berdasar kenyataan bahwa kolaborasi kepentingan elite negara dan para kapitalis telah "memaksa" negara-dengan dalih demi stabilitas-menciptakan seperangkat alat represif guna meredam protes dan gerakan kritis rakyat. Pemerintah berusaha menciptakan aturan-aturan baru untuk mempersempit ruang publik, membatasi gerak kebebasan warga melalui sikap represif tanpa kompromi demi melindungi kepentingan investasi perusahaan-perusahaan transnasional.
Sebagai kekuatan yang "mentransendensi" negara, kekuatan kapitalisme global berdiri menghunjamkan dua kakinya pada dua dataran sekaligus. Di samping pada negara, kekuatan ini tampil dalam wujudnya yang manis melalui slogan-slogan populis, seperti: memberantas kemiskinan, mengurangi kesenjangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menyokong demokratisasi, dan sebagainya. Padahal ia tak jauh beda dengan neo-kolonialisme baru yang berwajah anggun nan menawan, namun bak penyakit typus yang siap menjangkiti ke mana ia hinggap.
Kehadiran perusahaan TNCs dalam banyak level nyata-nyata telah menggusur produk-produk lokal, mematikan kreativitas dan kearifan lokal, merusak budaya lokal, eksploitasi ekonomi, dan dengan demikian mengurangi kemandirian warga.
Globalisasi praktis telah memihak pemilik modal besar untuk memonopoli ruang publik dan "memaksa" masyarakat patuh pada universalisme baru budaya konsumen.
Kekuatan kolaboratif
Tak disangkal, kehadiran pesaing atau lawan baru bagi civil society, yaitu kapitalisme global, membuat perjuangan penguatan masyarakat sipil makin berat. Artinya civil society tidak hanya berhadapan dengan sosok negara beserta perangkat aparatur ideologis dan represifnya; tapi negara di situ yang telah menjelma sebagai kekuatan kolaboratif dengan kapitalisme global, atau kekuatan neoliberalisme sendiri.
Jika demikian halnya, bayangan mengenai negara sebagai institusi yang "baik hati", yang mau melindungi kepentingan hakiki warga negara serta menjamin kemandirian dan kebebasan mereka, tampaknya sekadar ilusi dan impian kosong belaka. Alih-alih memperkuat masyarakat sipil, negara seperti diutarakan Ralp Miliband (1963), Nico Poulantzas (1978), dan juga Antonio Gramsci, justru menjadi alat kepentingan kaum borjuis kapitalis untuk menghegemoni dan menindas masyarakat.
Dengan demikian semakin relevanlah kesimpulan kritis kelompok tradisionalis di awal tulisan ini, bahwa civil society secara ideal harus diperhadapkan vis a vis negara. Bahkan, itu pun tidak cukup, tantangan baru itu hadir dalam wujudnya yang sopan namun lebih ganas: kapitalisme global.
Mh Nurul Huda, Mahasiswa STF Driyarkara, kini aktif pada Forum Studi 164 Jakarta

Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 16 Jul 02

Tidak ada komentar:

Posting Komentar