Selasa, 23 April 2013

FILSAFAT HUKUM


1.    SEJARAH FILSAFAT HUKUM

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).
          Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike). Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos. Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
          Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif  atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal. Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.   
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat. Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan hukum alam.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan 
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis). Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.

Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.


2.    FUNGSI FILSAFAT HUKUM

Filsafat hukum memfokuskan pada segi filosofisnya hukum yang berorientasi pada masalah-masalah fungsi dari filsafat hukum itu sendiri yaitu melakukan penertiban hukum, penyelesaian pertikaian, pertahankan dan memelihara tata tertib, mengadakan perubahan, pengaturan tata tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum abstrak dan konkrit.
Pemikiran filsafat hukum berdampak positif sebab melakukan analisis yang tidak dangkal tetapi mendalam dari setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat atau perkembangan ilmu hukum itu sendiri secara teoritis, cakrawalanya berkembang luas dan komprehensive. Pemanfaatan penggabungan ilmu hukum dengan filsafat hukum adalah politik hukum, sebab politik hukum lebih praktis, fungsional dengan cara menguraikan pemikiran teleologiskonstruktif yang dilakukan di dalam hubungannya dengan pembentukan hukum dan penemuan hukum yang merupakan kaidah abstrak yang berlaku umum, sedangkan penemuan hukum merupakan penentuan kaidah konkrit yang berlaku secara khusus.
Filsafat hukum dalam fungsi ontologis yakni mencari dan menciptakan landasan-landasan hakiki yang mempersatukan secara struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri di atasnya. Pokok yang dicari oleh manusia sepanjang waktu semenjak eksistensinya sebagai makhluk berpikir hingga kini mungkin sampai akhir zaman ialah kebenaran hakiki yang akan menjadi dasar dan kebahagiaan lahir dan batin yang baik, indah,dan adil bagi dan dalam kemah kehadiran manusia dimaya pada.
Beberapa fungsi filsafat hukum G. Del Vecchio  membagi fungsi dari filsafat hukum menjadi tiga yaitu :
1.      Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum yang fundamental.
2.      Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang lestari.
3.      Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee), di mana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.
Dalam paham yang luas mengenai makna dan fungsi dari filsafat hukum, yang merangkum pengertian-cita hukum, tujuan dan berlakunya hukum (begriff-zweek-dan geltung des rechts) maka sebagian dari konsekuensinya adalah suatu anggapan bahwa teori hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat hukum.
Namun ditambahkan satu menurut Prof. Soejono Koesoemo Sisworo, yaitu :
1.      Fungsi transendental logis yaitu menyusun pengertian hukum yang fundamental.
2.      Fungsi fenomenologis yaitu meneliti sejarah universal dari hukum sebagi bentuk pengejahwantahan dari cita hukum yang lestari.
3.      Fungsi de-ontologis yaitu meneliti cita hukum (rechts idee), di mana hukum itu keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran idiil yang umum bagi keadilan atau kedzoliman hukum positif.
4.      Fungsi Ontologis yaitu Mencari dan menciptakan landasan -landasan hakiki yang mempersatukan secara struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang berdiri diatasnya.
Di samping itu, dengan mempelajari filsafat hukum dan sejarah hukum bagi ilmu hukum, dapat berfungsi sebagai berikut:
·         Fungsi edukatif
Memberikan kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya. Mempelajari sejarah di bidang hukum maka orang akan senantiasa berdialog dengan regulasi masa kini dan masa lampau. Dengan mempelajarinya sejarah dalam hukum akan ditemukan hubungan antara peraturan hukum di masa lampau  dengan sekarang. Nilai-nilai penting yang berguna bagi kehidupan dapat diperoleh. Nilai tersebut dapat berupa ide atau konsep kreatif sebagai sumber motivasi bagi pemecahan masalah yang akan direalisasikan. Setiap masalah yang pernah dihadapi di masa lalu apabila dikaji dan dipahami dengan baik maka makna edukatif dari sejarah akan terlihat. Dalam kemasakinianlah masa lampau itu baru merupakan “masa lampau yang penuh arti” (the meaningfull past) bukan “masa lampau yang mati” (the dead past).
·         Fungsi inspiratif
Mempelajari sejarah di bidang hukum memberikan konsep kreatif yang berguna bagi pemecahan masalah masa kini serta untuk memperoleh inspirasi dan semangat bagi mewujudkan identitas sebagai suatu bangsa, semangat nasionalisme maupun dalam upaya menumbuhkan harga diri bangsa.
·         Fungsi instruktif
Jika dikaitkan dengan bidang hukum dan dalam penentuan masalah hukum banyak yang didasarkan pada kebiasaan masa lalu. Artinya penyelesaian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dipakai sebagai rujukan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Ini biasanya dipakai dalam menyelesaikan sengketa internasional.


3.    KARAKTERISTIK FILSAFAT

Sebagaimana berpikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum juga memiliki beberapa sifat atau karakteristik khusus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara berpikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah sebabnya dalam filsafat hukum pun dikenal pula berbagai aliran pemikiran tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum, pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya. Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah, seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya, dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri, bahwa semua ilmu yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru. Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat hukum. Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu. Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara bijaksana dalam menghadapi suatu masalah konkret. Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat manusia yang memiliki hakikat dapat mengambil jarak (distansi) tidak hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat, termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap berbagai krisis permasalahan


4.    JUDUL LAIN TENTANG FILSAFAT (ISTILAH)

Filsafat Hukum adalah cabang dari filsafat yang mempelajari hukum yang benar, atau dapat juga kita katakan Filsafat Hukum adalah merupakan pembahasan secara filosofis tentang hukum, yang sering juga diistilahkan lain dengan Jurisprudence, adalah ilmu yang mempelajari  hukum secara filosofis, yang objeknya dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Filsafat hukum juga dikenal dalam beberapa istilah asing, yaitu: “wijsbegeerte van het recht”, “rechtsphilosophie”, “philosophie du droit”, “philosophy of law”, “legal philosophy”, “legal theory”, “jurisprudence”, “theory of justice”.

Istilah Filsafat Hukum (dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007)
Belanda à menggunakan istilah wijsbegeerte van het recht, rechphilosophie
Prancis à Philosophie do Droit
Jerman à Philosophie des Rechts
Inggris à Philosophie oh Law, Legal Philosophy
Istilah lainnya: Legal Theory (Fredmann), Theory of Justice (John Rawls), a text book of jurisprudence (Paton), dll

Pengertian Filsafat Hukum Menurut beberapa Ahli (dalam Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2007).

Purnadi Purvacaraka dan Soerjono Soekanto à Filsafat Hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai misalnya: penyerasian antara ketertiban dengan ketenteraman antara kebendaan dengan keakhlakan dan antara kelanggengan konservatisme dengan pembaharuan.

Soedjono Dirdjosisworo à Filsafat Hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan yang dianut orang atau masyarakat atau negara tentang hakikat ciri-ciri serta landasan berlakunya hukum.

Mahadi à Filsafat Hukum ialah falsafah tentang hukum yaitu falsafah tentang segala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis.

Soetikno à Filsafat Hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai.

E. Utrecht à Filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan - pertanyaan seperti: apakah hukum itu sebenarnya? (Persoalan adanya dan tujuan hukum ). Apakah sebabnya kita menaati hukum? ( persoalan berlakunya hukum). Apakah keadilan yang menjadi ukuran baik buruknya hukum itu? (persoalan keadilan hukum). Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai suatu ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai suatu gejala saja yaitu menerima hukum sebagai suatu "gegebenheit" belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata : "ethisch wardeoordeel"

Van Apeldoorn à Filsafat Hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan apakah hukum? Ia menghendaki agar kita berpikir masak-masak tentang tanggapan kita dan bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya kita tanggap tentang hukum.

Gustaf Radbruch à Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar.

Langemeyer à Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum.

Pengertian Jurisprudence
Jurisprudence berasal dari kata (Jurisprudens) Iuris dan Prudens (Bahasa Latin). Juris berasal dari kata Ius yang berarti adil, makna kata ini juga dapat diterjemahkan sebagai benar (kebenaran). Dalam bahasa Sanskrit (Sansekerta) kata ini memiliki padanan kata yaitu yoh yang berarti sehat (kesehatan). Mirip dengan bahasa Ibrani yod yang berarti sumber cahaya. Dalam bahasa Persia yaozdataiti yang berarti murni (telah dimurnikan).
Selain Ius kita mengenal Lex yang berarti peraturan perundang-undangan. Dalam bahasa Perancis kita menemukan Droit untuk Ius dan Loi untuk Lex. Dalam bahasa German ada Recht untuk Ius dan Gesetz untuk Lex.
Kata kedua berarti Prudens yang berarti kebijaksanaan. Prudens membuat kita arif dalam hidup. Mengacu pada makna kedua kata Jurisprudens adalah praksis hidup yang adil dan benar. Dalam Ilmu Hukum Indonesia, diterjemahkan sebagai disiplin hukum atau ajaran hukum.
Jurisprudence adalah filsafat yang mengarahkan seseorang untuk menjadi arif dalam praksis hidup, sehingga lekat kaitannya dengan Etika.
Teori Ilmu Hukum yang dikenal sebagai Jurisprudence perkembangan lebih lanjut dari Ajaran Hukum Umum, karena ada sifat praksisnya maka ia disebut sebagai teori. Menurut Theo Huijbers, Jurisprudence disebut filsafat hukum yang mengandung sifat-sifat praksis karena tujuan utamanya untuk menjawab tentang apa yang seharusnya dilakukan menurut hukum.
Hilaire McCoubrey & Nigel D White : “Jurisprudence is by  its nature a transnational subject, its concern relates in various ways to most  if not all legal systems. All States have system of law and , despite the variety of forms, the problems and questions  arising tend to be very similar in their general nature” (Textbook on Jurisprudence, 1996).

Pengertian Legal Theory
          Legal theory adalah suatu teori hukum yang memfokuskan kajiannya bahwa hukum yang dianggap eksis adalah apa yang ada di dalam undang-undang, sedangkan di luar undang-undang dapat dianggap bukan/bagian dari hukum. Istilah legal theory banyak lebih mengacu pada pandangan positivistik. Pada posisi demikian ini para praktisi hukum (jurist als medespeler) kurang atau tidak menyukai teori hukum (legal theory) karena dianggap sangat terbatas dan sempit sifatnya.
Menurut Hans Kelsen (dalam Satjipto Rahardjo : Hukum Dalam Jagat Ketertiban, 2006) :
1.    The aim of a theory of law, as of any science, is to reduce chaos and multiplicity to unity.
2.    Legal theory is science, not volition. It is knowledge of what the law is, not of what the law ought to be.
3.    The Law is a normative not a natural science.
4.    Legal theory as a theory of norms is not concerned with  the effectiveness of legal norms.
5.    A theory of law is formal, a theory of the way of ordering, changing content in a specific way.
6.    The relation  of legal theory to a particular system of positive law is that of possible to actual law.


Referensi Bacaan:
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Manulang. 2008. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Muchsin. 2006. Ikhtisar Filsafat Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Iblam.
McCoubrey, Hilaire and Nigel D White, 2008, Textbook On Jurisprudence Oxford : Oxford University Press dalam http://aafandia.wordpress.com/2009/05/23/latar-belakang-dan-pengertian-teori-hukum/.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Semarang: UKI Press dalam http://aafandia.wordpress.com/2009/05/23/latar-belakang-dan-pengertian-teori-hukum/.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan ke-X, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sisworo, Soejono Koesoemo, 1980. Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum dalam http://mengenalhukumindonesia.blogspot.com/
Sumarwani, Sri. Peran Hakim Agung Sebagai Agent Of Change Untuk Meningkatkan Kualitas Putusan Dalam Mewujudkan Law and Legal Reform, dalam http://mengenalhukumindonesia.blogspot.com/
http://orintononline.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar