Senin, 22 April 2013

GLOBALISASI, KAPITALISME DAN NEGARA KESEJAHTERAAN: MENGKAJI PERAN NEGARA DALAM PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI INDONESIA


Oleh: EDI SUHARTO, Phd
 
PENGANTAR  
Konstelasi dunia dan peradaban manusia dimana pembangunan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan beroperasi telah dan tengah berubah secara dramatis dewasa ini. Menurut Mayo (1998), perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh proses globalisasi: sebuah ekspresi yang sangat populer yang oleh Dominelly dan Hoogvelts (1996:46) disebut sebagai “pengintensifan jaringan-jaringan hubungan sosial dan ekonomi yang luar biasa.” Dalam kajian Taylor-Gooby (1994), Dominelly dan Hoogvelts (1996), serta Penna dan O-Brien (1996), perubahan sosial dan ekonomi tersebut juga sejalan dengan munculnya sejumlah terma yang ditandai dengan awalan “post”, seperti “post-industrialism”, “post-fordism”, “post-structuralism” dan “post-modernism”. Dua istilah pertama menunjuk pada perdebatan dalam wacana ekonomi-politik, sedangkan dua istilah terakhir lebih merujuk pada perdebatan dalam aras budaya. 
Meskipun konsep-konsep di atas memiliki perbedaan dalam makna dan kontekstualisasinya, secara garis besar kesemuanya memiliki kesamaan pandangan bahwa tatanan lama, yakni masyarakat industri modern sedang berada dalam masa perubahan atau transisi dalam skala global; dan bahwa perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi terutama oleh menguatnya sistem ekonomi-politik kapitalisme yang berporos pada ideologi neoliberalisme (Suharto, 1997; 2001b; 2001c; 2001d; Mishra, 1999; Singh, 2000; Mkandawire dan Rodriguez, 2000; Yang 2000; Moore, 2000). 
Kapitalisme yang mengedepankan demokrasi liberal, hak azasi manusia dan ekonomi pasar bebas, kini bukan saja telah merasuki hampir seluruh pendekatan pembangunan, melainkan pula ditengarai telah menjadi pandangan hidup universal seluruh bangsa manusia (Suharto, 2001c). Pendekatan lain dianggap telah menemui jalan buntu dan akhir sejarahnya (the end of history). Jargon yang terkenal adalah TINA (There Is No Alternative). Maksudnya, hanya melalui cara kapitaslime sajalah kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dapat dicapai. 

Sebagai contoh, ketika krisis ekonomi melanda berbagai negeri, hampir semua strategi pemulihan ekonomi berpijak pada paradigma kapitalisme. Banyak negara mengikuti resep-resep IMF dan Bank Dunia, dua lembaga internasional dan simbol hegemoni kapitalisme global. Liberalisasi kebijakan perdagangan, pembukaan pasar modal bagi investor asing, rekapitalisasi industri besar, dan pengurangan campur tangan negara dalam pembangunan ekonomi, dipercayai sebagai obat mujarab bagi pemulihan ekonomi. Keyakinan ini semakin disulut oleh gagasan Milton Friedman dan Fukuyama; bahwa kalau pembangunan ekonomi ingin maju, maka  peran negara harus diminimalisir dan kekuasaan bisnis harus diutamakan.   
Karena pembangunan kesejahteraan sosial kerap dipandang hanya sebagai beban pertumbuhan ekonomi dan simbol intervensi negara, maka berkembanglah suatu keyakinan nihilistis bahwa institusi-institusi kesejahteraan sosial secara intrinsik bersifat tidak ekonomis dan bahkan patologis, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Pertanyannya adalah: benarkah kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan sejarah? Tepatkah kalau suatu negara menerapkan sistem ekonomi kapitalis maka peran dan komitmen negara untuk menyangga keadilan dan kesejahteraan sosial mesti dikikis habis? Apakah peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial di AS dan Eropa Barat – yang sering dijadikan rujukan sistem ekonomi kapitalis – juga sudah dihilangkan sama sekali?  
KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KAPITALISME  
Keunggulan dan kemenangan kapitalisme memang sangat mengesankan. Lebih dari dua abad setelah terbitnya buku The Wealth of Nation karya mahaguru kapitalisme Adam Smith, sistem ekonomi kapitalistik berhasil mengalahkan semua pesaingnya dari ideologi lain. Pada akhir Perang Dunia II, hanya dua kawasan bumi yang tidak komunis, otoriter, merkantilistik atau sosialis, yakni Amerika Utara dan Swis. Kini selain kita menyaksikan negara-negara komunis rontok satu demi satu, hampir tak ada satupun negara yang saat ini bebas dari Coca-cola, McDonald, KFC dan Levis, lambang supremasi corporate capitalism yang menguasai sistem ekonomi abad 21.  
Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai permasalahan nasional maupun global. Sejarah juga menunjukkan bahwa kapitalisme bukanlah piranti paripurna yang tanpa masalah. Selain gagasan itu sering menyesatkan, terdapat banyak agenda pembangunan yang tidak mengalir jernih dalam arus sungai kapitalisme. Masalah seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalistik.   
Sinyalemen tersebut bukan tanpa bukti. Berdasarkan studinya di negara-negara berkembang, Haque dalam Restructuring Development Theories and Policies (1999) menunjukkan bahwa kapitalisme bukan saja telah gagal mengatasi krisis pembangunan, melainkan justru lebih memperburuk kondisi sosial-ekonomi di Dunia Ketiga. Menurutnya:   
Compared to the socioeconomic situation under the statist governments during the 1960s and 1970s, under the pro-market regimes of the 1980s and 1990s, the condition of poverty has worsened in many African and Latin American countries in terms of an increase in the number of people in poverty, and a decline in economic-growth rate, per capita income, and living standards (Haque, 1999:xi).

Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga malam guna menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara yang terlalu besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar. Karenanya, dalam situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu, kapitalisme mudah terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme yang melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo economicus) yang motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan fisik-materi. Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya, “manfaat” di sini kerap merosot maknanya menjadi sekadar “konsumerisme-materialisme” dan  “pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat terhadap si lemah”, “majikan terhadap buruh”, “penguasa terhadap yang terkuasai”. Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara solidaritas, effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.   
Menurut kaum utopiawan revolusioner, seperti Horkheimer, Marcuse, Adorno, dan Roszak, apabila skenario pembangunan seperti ini dibiarkan, maka wajah pembangunan akan diformat dan dikuasai oleh elit teknokrat dan elit konglomerat yang berkolaborasi mereduksi pembangunan yang tahap demi tahap diarahkan menuju teknokrasi totaliter dan “work-fare state” (bukan welfare state) yang mematikan kesejatian manusia, kebebasan, kebahagiaan, keselarasan, keharmonisan dan yang mengasingkan manusia dari semesta dan sesamanya (Suharto, 1997).   
Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara kapitalis pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang sebagai dua “sektor” yang berlainan dan berlawanan. Keduanya dijalankan secara serasi dan seimbang yang dibingkai oleh formulasi historis dan sosiologis yang bernama “negara kesejahteraan” (welfare state) (Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2001d). Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert Heilbroner (1976), negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Karena menurutnya, perlawanan terhadap kapitalisme di masa depan memang tidak dapat dan sudah seharusnya tidak diarahkan untuk membongkar total sistem ini, melainkan untuk mengubah sistem yang “unggul” ini agar lebih berwajah manusiawi (compassionate capitalism) dalam mengatasi akibat mekanisme pasar yang tidak sempurna.   
Karena ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of socioeconomic development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan pembangunan.  
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan keterlantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.   
NEGARA KESEJAHTERAAN  
Merujuk pada Spicker (1988:77) negara kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Menurut Marshall (1981) negara kesejahteraan merupakan bagian dari sebuah masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik demokratis. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini adalah Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru serta sebagian besar negara-negara Eropa Barat dan Utara. Negara-negara yang tidak dapat dikategorikan sebagai penganut negara kesejahteraan adalah negara-negara bekas Uni Soviet dan “Blok Timur”, karena mereka tidak termasuk negara-negara demokratis maupun kapitalis (Spicker, 1988:78).   
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme.  Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:  
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.  
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).  
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.   
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.  
Dari paparan di atas dapat dinyatakan bahwa sejatinya negara kesejahteraan adalah bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, penganggur agar terhindar dari gilasan mesin kapitalisme. Pertanyaanya adalah: atas dasar apa negara harus melindungi kelompok lemah, seperti orang miskin dan orang yang tidak (bisa) bekerja? Ada beberapa alasan mengapa negara diperlukan dalam mengatur dan melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 1999; 2000):  
Pertama, pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu piranti keadilan sosial yang kongkret, terencana dan terarah, serta manifestasi pembelaan terhadap masyarakat kelas bawah. Tidak semua warga negara memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib melindungi dan menjamin kelompok-kelompok rentan yang tercecer dalam balapan pembangunan.   
Seperti kita ketahui bersama, kekayaan dan sumberdaya yang ada di suatu negara bahkan seluruh bumi kita ini sangat terbatas. Dengan demikian, jika ada seseorang atau sekelompok orang hidupnya lebih makmur pada dasarnya hanya dimungkinkan jika kelompok lain bersedia atau terpaksa hidup tidak makmur. 

Apabila proses pembangunan dianalogikan dengan lomba memperebutkan kue tart, maka seseorang yang memperoleh potongan kue lebih besar pada dasarnya dimungkinkan karena yang lain mendapat bagian yang lebih kecil. Sekalipun setiap orang memiliki kesempatan sama, tidak ada jaminan bahwa setiap orang akan memperoleh potongan kue yang sama. Umpamakan saja kue itu di simpan di tengah lapangan dan setiap orang memiliki jarak sama untuk memperoleh kue itu. Tetapi tetap saja orang yang kuat akan melesat lebih cepat dan mendapat potongan kue yang lebih besar ketimbang kelompok sosial yang lemah lainnya.  
Dirumuskan secara tajam, realitasnya adalah: kemakmuran suatu kelompok sering dimungkinkan dan bibiayai oleh kelompok lainnya. Maka, selain negara wajib memberi kesempatan sama kepada setiap orang untuk berusaha, ia harus tetap memperhatikan keterbatasan kelompok lemah sebagai kompensasi dan wujud keadilan sosial.   
Kedua, semakin memudarnya solidaritas sosial dan ikatan kekeluargaan pada masyarakat modern membuat pelayanan sosial yang tadinya mampu disediakan lembaga keluarga dan keagamaan semakin melemah. Pembangunan kesejahteraan sosial seringkali tidak menghasilkan keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya, sehingga kurang menarik minat pihak swasta untuk berinvestasi di bidang ini. Dengan kebijakan yang didukung UU, negara memiliki legitimasi kuat melaksanakan investasi sosial berdasarkan "risk-sharing across populations" yang dananya dialokasikan dari hasil pajak dan sumber pembangunan lainnya.  
Meskipun secara ekonomi jangka pendek pembangunan kesejahteraan sosial adalah pendekatan yang tidak profitable, secara sosial politik makro jangka panjang ia dapat menjadi investasi sosial yang menguntungkan. Pembangunan kesejahteraan sosial dapat meredam kesenjangan dan kecemburuan sosial yang merupakan prasyarat dan rahasia tercapainya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan yang berkesinambungan, stabilitas politik dan kesejahteraan bersama.   
Ketiga, negara perlu memberikan pelayanan sosial (social services) kepada warganya sebagai bentuk tanggungjawab moral terhadap rakyat yang memilihnya. Salah satu wewenang yang diberikan publik kepada negara adalah memungut pajak dari rakyat. Karenanya, prinsip utama yang mendorong mengapa negara perlu memberikan jaminan sosial adalah bahwa semua bentuk perlindungan sosial di atas termasuk dalam kategori “hak-hak dasar warga negara” yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai wujud pertanggungjawaban moral terhadap konstituen yang telah memilihnya.   
Keempat, manusia cenderung berpandangan "myopic" (pendek) sehingga kurang tertarik mengikuti program-program sosial jangka panjang. Negara bersifat paternalistik (pelindung) yang mampu memberikan jaminan sosial secara luas dan merata guna menghadapi resiko-resiko masa depan yang tidak tentu, seperti sakit, kematian, pensiun, kecacatan, bencana alam, dsb. 
PEMBANGUNAN NASIONAL  
Pembangunan ekonomi nasional selama ini masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas. Indikator utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan.   
Meskipun beberapa tahun sebelum krisis ekonomi, Indonesia tercatat sebagai salah satu macan ekonomi Asia dengan pertumbuhan ekonomi lebih dari 7 persen per tahun,  angka pertumbuhan yang tinggi ini ternyata tidak diikuti oleh pemerataan. Studi  BPS (1997) menunjukkan 97,5 persen aset nasional dimiliki oleh 2,5 persen bisnis konglomerat. Sementara itu hanya 2,5 persen aset nasional yang dimiliki oleh kelompok ekonomi kecil yang jumlahnya mencapai 97,5 persen dari keseluruhan dunia usaha. 

Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat ini terlihat pula dari masih meluasnya masalah kemiskinan. Setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. International Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).   
Angka kemiskinan ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan ketimbang orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami pula ketelantaran psikologis, sosial dan politik.  
Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Namun, pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial.   
Orang miskin dan PMKS adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, terpelanting ke pinggir dalam proses pembangunan yang tidak adil.   
PENUTUP  
Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan dan muara dari agenda pembangunan ekonomi. Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan pasal mengenai keekonomian berada pada Bab XIV UUD 1945 yang berjudul ''Kesejahteraan Sosial''. Menurut Sri-Edi Swasono (2001), “Dengan menempatkan Pasal 33 1945 di bawah judul Bab ''Kesejahteraan Sosial'' itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan tes untuk keberhasilan pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan fisikal.”   
Namun demikian, dalam pembangunan kesejahteraan sosial, jelas Indonesia tidak menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial, baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.   
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas. 

Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.   
Bergulirnya otonomi daerah juga bukannya semakin memperkuat komitmen pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan masyarakat kelas bawah. Pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemda dalam mengelola pembangunan daerah belum diikuti dengan penguatan piranti kebijakan dan strategi pembangunan kesejahteraan sosial. Bahkan terdapat ironi di beberapa daerah dimana institusi-institusi kesejahteraan sosial yang sudah mapan, alih-alih dibina-kembangkan malahan dibumihanguskan begitu saja.  
Terkesan kuat, pengalihan pembangunan kesejahteraan sosial hanya dianggap sebagai  beban tambahan bagi anggaran pemerintah daerah. Tidak sedikit Pemda yang hanya mau menerima penguatan dan peralihan wewenang dalam pengelolaan dan peningkatan sumber-sumber “Pendapatan Asli Daerah” (PAD). Sedangkan peralihan tugas dan peran menangani “Permasalahan Sosial Asli Daerah” (PSAD) inginnya diserahkan kepada masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan keagamaan.   
Oleh karena itu, menurut hemat saya, dalam mengahadapi globalisasi dan menguatnya ide kapitalisme ini, visi, misi dan strategi pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia perlu direvitalisasi dan bukan di-deligitimasi. Sehingga bidang ini tidak menjadi sekadar kegiatan amal atau usaha sporadis setengah hati yang tidak terencana dan jauh dari prinsip dan wawasan keadilan sosial.   
Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh berbagai skim jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata terutama oleh masyarakat kelas bawah. 
Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang, sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata.   
Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat atau orang lanjut usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat.

REFERENSI  

BPS (1999), Penduduk Miskin: Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin,  No. 04/Th.II/9, July, Jakarta: BPS
Dominelly, L. dan A. Hoogvelts (1996), “Globalisation and The Technocratisation of Social Work”, Critical Social Policy, 47, 16(2), hal.45-62. 
Heilbroner, Robert L. (1976), Business Civilization in Decline, New York: WW Norton & Company
Marshall, T. H. (1981), The Right To Welfare, London: Heinemann
Mayo, M, (1998), “Community Work”, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates, London: McMillan.
Mishra, Ramesh (1999), Globalizationa and The Welfare State, Cheltenham: Edward Elgar 
Mkandawire, Thandika dan Virginia Rodriguez (2000), Globalization and Social Development after Copenhagen, Geneva: United Nations Research Institute for Social Development 
Moore, Mick (2000), “States, Social Policies and Globalisations: Arguing on the Right Terrain?” IDS Bulletin, 31(4), hal.21-31 
Penna, S. dan M. O-Brien (1996), “Postmodernism and Social Policy: A Small Step Forwards?, Journal of Social Policy, 25(1), hal.39-61.
Singh, Ajit (2000), Global Economic Trends and Social Development, Geneva: United Nations Research Institute for Social Development 
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS).
-------- (1999), “Tidak Bijaksana Membubarkan Depsos”, Pikiran Rakyat, 23 November
-------- (2000), “Mencermati Rencana Pengurangan Pegawai Negeri”, Pikiran Rakyat, 5 Februari
-------- (2001a), “Potensi Zakat Mal di Era Otda”, Pikiran Rakyat, 24 Februari
-------- (2001b), “Menyoal Pembangunan Kesejahteraan Sosial”, Media Indonesia, 1 Maret
-------- (2001c), “Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan”, Republika, 3 Agustus
-------- (2001d), “Depsos Perlu Dihidupkan Lagi”, Republika
Swasono, Sri-Edi (2001), “Mengapa Pasal 33 Digusur?”, Republika, 30 Mei
Taylor-Gooby, P. (1994), “Postmodernism and Sosial Work: A Great Leap Backwards?”, Journal of Social Policy, 23(3), hal.385-405.
Yang, Jae-Jin (2000), “The Rise of the Korean Welfare State Amid Economic Crisis, 1997-99: Implications for the Globalisation Debate”, Development Policy Review, 18, hal.235-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar