Senin, 22 April 2013

JERATAN UTANG LUAR NEGERI MENGHADANG YUDHOYONO


Oleh: Sutia Budi *


Permasalahan utang luar negeri (ULN) merupakan masalah serius bangsa Indonesia. Bahkan ketegangan sosial-politik sejak beberapa tahun terakhir, sangat terkait dengan persoalan ini.  Penguasa pembuat dosa di masa lalu seakan lepas tangan dengan mewariskan “utang najis” itu kepada rakyat. Perlu waktu puluhan tahun untuk menyelesaikan utang tersebut, dan itu pun jika pemerintah  tidak menciptakan utang baru.
ULN adalah derita rakyat. Pembayaran utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan, dan memakan  lebih dari separuh penerimaan pajak dari rakyat. Rakyatlah pada kenyataanya yang menanggung beban utang tersebut.  Sementara, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan selalu jauh lebih kecil dibanding pembayaran bunga utang dalam negeri.
Harapan rakyat tentunya dengan pergantian tampuk kepemimpinan nasional akan memberikan harapan perubahan langkah, khususnya terkait masalah ULN. Sayangnya, Program 100 Hari Pemerintahan Yudhoyono seakan “bungkam” terhadap masalah ini.

JERATAN UTANG
Rachbini (2002) mengemukakan bahwa negara-negara Amerika Latin, yang dianggap sebagai model kelompok negara yang terjebak utang (“debt trap”), hanya mempunyai rasio utang terhadap PDB antara 30-40 persen. Angka ini sudah dianggap gawat dan pemerintah di negara-negara ini sudah merasa perlu melakukan langkah-langkah politik terhadap anggarannya.  Indikator utang Indonesia pasca krisis lebih buruk dari kelompok negara Amerika Latin tersebut. Negeri ini memiliki sudah rasio utang terhadap PDB sampai 130 persen. Utang luar negeri ini dilakukan dengan mengaitkan dimensi utang yang sudah menjadi jebakan (debt trap”) dalam kaitannya dengan anggaran publik dan ekonomi rakyat yang lebih luas. Utang yang besar telah menjadi beban anggaran, yang pada gilirannya menjadi beban publik, termasuk di dalamnya adalah ekonomi rakyat.
Saat ini tingkat utang luar negeri sekitar US$ 67 milyar, atau kurang lebih Rp 600 trilyun. Kemampuan pemerintah membayar cicilan utang luar negeri antara Rp 15-20 triliun per tahun. Dengan asumsi bahwa pemerintah tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru, diperlukan 30-40 tahun lagi agar seluruh utang tersebut lunas (Wibowo, 2003).

PEMBANGUNAN TANPA UTANG
Bagi bangsa Indonesia, pernyataan kemerdekaan 1945 adalah suatu ''Manifesto Politik''. Dari situ kita bertekad ''berdaulat di dalam kehidupan politik, berdikari di dalam kehidupan ekonomi dan berkepribadian di dalam kehidupan budaya''. Namun, dalam perjalanan sejarah nasional kita, tekad politik sering mengendor atau bahkan dikorbankan (Swasono & Sritua Arief, 1999).
Jumlah utang luar negeri Indonesia tetap terus bertambah dari tahun ke tahun. Indonesia saat ini mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan utang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan utang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi utang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga utang luar negeri secara substansial dibiayai oleh utang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga utang luar negeri lebih besar dari nilai utang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Situasi Fisher Paradox dapat ditunjukkan misalnya dengan membandingkan nilai kumulatif pertambahan utang luar negeri sektor Pemerintah (jangka menengah dan panjang).
Kewaspadaan terhadap utang luar negeri sangat diperlukan seperti yang dikemukakan oleh Krauss (1983) tentang ''Development Without Aid''. Pinjaman luar negeri meningkatkan intervensi-intervensi negara-negara donor maupun negara-negara penerima bantuan, yang merusak prinsip-prinsip ekonomi, dengan mengabaikan keunggulan-keunggulan komparatif di negara-negara penerima bantuan.
Maksud dari pembangunan ekonomi tanpa utang adalah pembangunan yang berprinsip kemandirian nasional, tidak harus diartikan secara harfiah utang yang sama sekali nol. Pembangunan tanpa utang lebih merupakan proses perubahan substansial untuk melepaskan keterjebakan utang, dari dependensi menuju self-sufficiency dan independensi.

QUO VADIS YUDHOYONO
Bagaimana dengan pemerintahan baru?. Nampaknya, pemerintahan Yudhoyono kebingungan tatkala digiring untuk berbicara masalah ULN. Tingkat ULN pemerintah Indonesia memang sudah pada tingkat yang sulit dikelola. Lantas cukupkan strategi penjadwalan ulang? Jelas tidak. Penjadwalan ulang hanya memindahkan persoalan ke waktu yang lebih lama. Tapi bebannya tetap saja sama. Sebagai misal, Jepang setuju menjadwal ulang utang senilai US$­­ 2.8 milyar, hingga setidaknya tahun 2016. Padahal, selama 2016-2018 terdapat beban utang dalam negeri sekitar Rp 140 triliun/tahun. Jelas ini membuat beban hutang APBN tahun tersebut akan membengkak. Oleh sebab itu, diperlukan strategi lain yang lebih radikal agar manajemen ULN dapat lebih optimal.
Persoalan mendasar yang perlu dijawab adalah, apakah upaya yang harus ditempuh agar manajemen utang luar negeri pemerintah bisa lebih optimal? Optimal di sini dilihat dari tiga tolok ukur utama. Pertama adalah dari sisi tingkat utang. Tolok ukurnya, apakah tingkat utang sudah dikurangi sedemikian rupa, sehingga utang luar negeri Indonesia menjadi lebih terkendali (sustainable)?. Kedua, dari sisi distribusi manfaat dan biaya ekonomi APBN. Maksudnya, apakah tingkat utang dan term pembayarannya sudah diupayakan sedemikian rupa sehingga beban pembayaran utang (debt service) tidak menimbulkan ketimpangan distribusi sosial dalam APBN?. Ketiga, dari sisi efektifitas pemanfaatan utang. Artinya, apakah utang luar negeri memang benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan sektor-sektor yang mempunyai multiplier output, pendapatan dan kesempatan kerja yang terbesar? Dan, apakah kebocoran utang sudah ditekan semaksimal mungkin?
Selama ini pemerintah memakai manajemen utang klasik dalam menangani masalah utang, tolok ukurnya adalah debt ratio. Konsepnya, jika debt ratio terlalu tinggi, maka utang lama dijadwal ulang. Tapi untuk menutup defisit fiskal, dibuat utang baru lewat forum CGI. Kesalahan pandangan tersebut adalah tidak memperhatikan efek distribusi sosialnya. Kondisi demikian diperburuk oleh kekacauan para pendukungnya yang menafikan alternatif lain. Sikap fanatik terhadap manajemen utang klasik membutakan mereka terhadap langkah alternatif. Padahal, langkah tersebut pernah diterapkan di negara lain dan di dalam kasus utang swasta.
Dengan beban pembayaran utang luar negeri Pemerintah Indonesia yang demikian tinggi, maka penjadwalan ulang tidak akan menyelesaikan persoalan. Kenyataan ini menunjukkan perlunya solusi yang radikal dan baru dalam menyelesaikan persoalan beban utang luar negeri. Pengurangan jumlah utang (debt stock) merupakan pilihan satu-satunya.  Penghapusan jumlah utang atau debt cancellation, sebagaimana yang didesakkan oleh kelompok organisasi masyarakat sipil di sejumlah negara, patut ditempuh Pemerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui pengadilan internasional (arbitrase internasional) dan proses politik di tingkat internasional bersama dengan negara-negara berkembang lainnya. Adanya “utang haram” (odious debt) pada setiap utang yang kini dibebankan kepada rakyat merupakan dasar hukum dan moral dari tuntutan ini. Utang yang dikorupsi dan merusak yang dibuat oleh rezim otoriter terdahulu dilakukan dengan sepengetahuan kreditor internasional. Kreditor internasional juga harus bertanggung jawab atas utang-utang tersebut dengan cara penghapusan utang.  Pilihan ini harus ditempuh pemerintah dan bukan membebankan kepada rakyat Indonesia seluruhnya.
Langkahnya, pemerintahan Yudhoyono harus berani untuk menekan lembaga donor seperti IMF yang mempunyai andil menyengsarakan negeri ini. Bukan sekedar meminta maaf, tetapi “wajib” membantu Indonesia dalam melakukan negosiasi kepada negara donor (Jepang, misalnya) agar memperoleh keringanan pembayaran ULN.
Akhirul Kalam, jeratan utang telah menghancurkan-leburkan negeri ini dan menjadikan rakyat semakin miskin.  Utang luar negeri menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi Indonesia, baik melalui tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN maupun tekanan atas cadangan devisa. Jika bangsa ini mau berubah, maka memunculkan kreatifitas alternatif dengan berbagai strategi brilian-radikal adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaan kemudian, apakah pemerintahan Yudhoyono berani mengambil langkah tersebut? Mungkin itulah yang ditunggu. Wallahu a’lam [ ]

 

 

Penulis adalah Peneliti Lembaga Penelitian Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat STIE Ahmad Dahlan Jakarta. Lahir di Desa Sarimukti – Karangnunggal – Tasikmalaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar