Senin, 22 April 2013

Menakar Implementasi Fungsi Pendidikan Politik Parpol

Seyogianya kiprah partai politik di Indonesia bisa menampilkan diri sebagai agen pencerahan. Sebab partai politik mengemban peran dan fungsinya yang kalau saja dijalankan secara konsisten akan membawa perubahan pada peningkatan kesadaran politik masyarakat.
Salah satu fungsi partai politik adalah melakukan pendidikan politik. Alhasilnya, fungsi pendidikan politik parpol belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kesadaran politik masyarakat. Justru partai politik menuai kritik. Karena parpol cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan atau kepentingan para elit parpol ketimbang kepentingan untuk memajukan masyarakat, bangsa dan negara. Ironisnya, pendidikan politik yang kerap dikumandang para elit parpol hanya sebuah slogan tak bermakna. Kondisi ini menuntut setiap partai politik untuk mengoreksi sejauhmana orientasi dan implementasi visi dan misi parpol secara konsisten dan terus-menerus.
Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit menilai fungsi pendidikan politik parpol saat ini sangat buruk. Dia berpendapat kualitas implementasi peran dan fungsi parpol seharusnya dimulai dari proses rekruitmen dan kaderisasi pengurus parpol. “Proses rekruitmen dan kaderisasi parpol harus dijalankan secara baik. Sehingga pengurus parpol bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi parpol di antaranya fungsi pendidikan politik,” ungkap Sukardi Rinakit ketika ditemui Jurnal Nasional di kantor CSIS, Jakarta, kemarin.
Dia meminta agar elite dan pimpinan partai politik melakukan perbaikan-perbaikan terutama dalam melakukan proses rekruitmen dan kaderisasi di tingkat parpol. Sukardi menegaskan perlunya mengatur pelaksanaan pendidikan politik partai politik dalam revisi UU No 31 tahun 2002 tentang partai Politik. Tujuannya, agar implementasi fungsi pendidikan parpol dapat dijalankan secara terukur dan bertanggung jawab oleh setiap partai politik.
Wakil Ketua Badan Hukum dan Advokasi DPP PDI Perjuangan, T. Gayus Lumbuun berpandangan proses pendidikan politik dari partai politik mengikuti perkembangan dan dinamika masyarakat. “Karenanya Partai politik harus dinamis. Partai politik tidak boleh statis,” ujarnya di Nusantara I Kompleks Parlamen, Jakarta.
Revisi Undang-Undang Partai Politik diharapkan bisa menjawab perkembangan dinamika masyarakat yang semakin maju. Pengaturan implementasi fungsi partai politik dalam revisi UU parpol tidak harus diatur secara detail. Sesungguhnya pendidikan politik menjadi kewajiban parpol yang diatur dalam kebijakan masing-masing parpol.
Dia berharap pengaturan implementasi fungsi dan peran parpol tidak mengarah pada upaya deparpolisasi sehingga dapat menghambat demokrasi. Menurutnya, peningkatan peran dan fungsi parpol mensyaratkan adanya dukungan dari publik termasuk pemerintah misalnya dukungan dari aspek pendanaan.
Salah satu perdebatan yang berkembang terkait revisi UU Parpol, kata Gayus Lumbuun adalah perdebatan mengenai kepemilikan badan usaha dari partai politik. “Dengan adanya badan usaha maka parpol bisa membiayai kegiatan partai politik,” ungkap anggota DPR dari Fraksi (Jawa Timur V) ini. Dia menambahkan parpol bisa saja memiliki badan usaha asalkan bisa dipertanggungjawabkan secara transparan.
Ketika ditanya efektifitas pelaksanaan fungsi pendidikan politik parpol selama ini, Gayus menerangkan masyarakat sebenarnya sudah semakin kritis. Tugas parpol adalah merumuskan kebijakan agar kebijakan bisa menjawabi persoalan masyarakat. Dijelaskan secara teoritis sistem kepartaian di Indonesia menganut sistem campuran. Namun ke depan perlu dipikirkan agar pengaturan makin diperketat melalui penetapan electoral threshold (ET).
Hal senada juga dungkapkan Ketua Departemen Bidang Organisasi dan Kaderisasi DPP Partai Demokrat, Jhoni Allen Marbun. Jhoni menegaskan tidak perlu mengatur pelaksanaan fungsi pendidikan dalam Undang-Undang Partai Politik. “Pelaksanaan fungsi pendidikan politik diserahkan pada masing-masing parpol,” ungkap anggota Komisi VI DPR.
Pendidikan politik masyarakat diorientasikan agar terjadi peningkatan kesadaran politik masyarakat. Dia mengingatkan agar parpol bisa saja mengkritisi kebijakan pemerintah asalkan didasarkan pada fakta dan data dan disertai dengan usulan solusi-solusi guna melakukan perbaikan-perbaikan. “Ini penting diperhatikan,” tandasnya.
Sementara Koordinator Jalan Lurus, Sulastomo menilai partai politik seharusnya memiliki cita-cita untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat. “Kenyataannya parpol memiliki kecenderungan hanya memperjuangkan kepentingan parpol saja ketimbang kepentingan umum dan kemajuan masyarakat,” tandasnya (ward) Pendidikan dalam hal ini juga meliputi pendidikan politik kepada masyarakat umum. Penulis menyadari bahwa masyarakat terlanjur antipati terhadap hal-hal yang berbau politik yang disebabkan karena pengalaman yang tidak manis di masa lalu. Tetapi pendidikan politik ini merupakan hal yang penting.
 Setiap masyarakat dapat menyalurkan aspirasi kepada partai-partai politik dan badan legislatif (DPR). Tetapi lagi-lagi hal itu masih dalam tataran idealnya. Karena harus diakui, para politikus yang menjabat entah di Partai Politik atau badan pemerintahan lainnya ternyata belum mengerti benar tentang hal-hal yang berhubungan dengan politik. Mereka terlalu sibuk dengan rekening masing-masing sehingga kepentingan rakyat masih harus menunggu untuk mendapat perhatian mereka. Seandainya mereka mengerti dan sadar dengan jabatan yang sedang mereka emban maka tiap saat mereka akan selalu berpikir tentang cara yang efektif untuk mengangkat masyarakat Indonesia ini dari kemiskinan dan penyakit lainnya. Yang terjadi malah sebaliknya, mereka terlalu nyaman untuk duduk di kursi mereka.
Oleh karena itulah, Penulis berpikir bahwa sudah saatnya para PEMUDA untuk bangkit dan membangun negeri sendiri. Dimulai dengan memperoleh pendidikan yang mumpuni sebagai bekal untuk masa depan. Bekal utama yaitu pendidikan moral. Penulis sangat percaya bahwa meskipun para politikus dan para pejabat pemerintahan (seperti yang ditulis sebelumnya) mereka belum mengerti benar tentang politik tetapi paling tidak mereka tidak “putih” benar tentang politik, yang menjadi satu kekurangan mendasar dan sulit untuk dimaafkan adalah karena mereka tidak terlihat layaknya manusia yang mendapatkan pendidikan moral secara maksimal!
Pendidikan moral diperlukan agar kelak ketika seseorang duduk di pemerintahan atau menjabat apapun, ia tidak lupa dengan sumpah yang telah diucapkannya sebelum menjabat. Penulis pun percaya bahwa masa depan Indonesia masih bisa diubah dan dapat menjadi lebih baik lagi,,,jauh lebih lagi dengan satu syarat mutlak, para Pemuda Indonesia harus mendapat dan wajib menerima pendidikan yang berkualitas, selain itu para Pemuda pun harus sadar bahwa masa depan Indonesia bukan berada di tangan angkatan 45,50,60 melainkan berada di tangan kita saat ini. Semoga sejalan dengan waktu kesadaran tersebut dapat terbangun, bukan lagi dalam tataran mimpi idealis belaka.

Pendidikan politik didapat melalui
Pendidikan dan Kaderisasi Politik Pada prinsipnya, pemilu tahun depan mempunyai nilai sebagai bagian dari pendidikan politik ke arah demokratisasi. Pendidikan politik tidak cukup melalui pengenalan pemikiran-pemikiran dan teori politik, yang menyangkut makna kehidupan politik, dasar-dasar moral dan tujuan politik, sistem politik, dsb, yang dapat ditempuh melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah dalam pelajaran tata negara atau kewargaan (civics). Pendidikan politik juga dapat ditempuh melalui partisipasi dalam proses atau kehidupan politik secara nyata. Dalam pengertian itu, pemilu tahun depan merupakan bentuk praktik partisipasi nyata dalam proses berdemokrasi. Tetapi apakah orang akan menggunakan atau sebaiknya menggunakan hak pilihnya atau tidak - menjadi bagian dari "golput" - tidak menjadi fokus perhatian tulisan di bawah.

Pendidikan politik gagal
Akhirnya, apa yang bisa kita katakan dari munculnya kerusuhan dan anarki massa di Tuban yang amat merugikan tersebut? Itulah gambaran gagalnya pendidikan politik. Tersumbatnya saluran-saluran politik di tubuh partai-partai politik di Indonesia--terutama PKB dan PDI--bisa terlihat dari munculnya perpecahan di kalangan elite politiknya serta elit dengan massa partainya. Akibatnya, partai yang seharusnya mampu mendidik massanya untuk bisa berpartisipasi dalam dunia politik secara dewasa dan bertanggungjawab, kehilangan waktu dan momentum untuk melakukan pendidikan politik kepada konstituennya. Perebutan kekuasaan di kalangan elite politik yang seru dan terkadang anarkis, justru menjadi pelajaran negatif bagi konstituen Munculnya anarki dan kerusuhan di Tuban merupakan contoh betapa sesungguhnya partai-partai politik telah gagal memberikan pendidikan politik kepada konstituennya. Dari kasus Tuban ini para elite politik baik di daerah maupun pusat perlu berpikir ulang bagaimana membenahi organisasinya dan memberikan pendidikan politik yang baik kepada konstituennya.

Pengertian pendidikan politik
Pendidikan politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada individu. Ia meliputi keyakinan konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik, serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, ia bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif  di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang terus berlanjut sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali dalam sebuah masyarakat yang bebas.
Dengan demikian pendidikan politik memiliki tiga tujua : membentuk kepribadian politik, kesadara politik, dan parsisipasi politik. Pembentukan kepribadian politik dilakukan melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya. Untuk menumbuhkan kesadaran politik ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran instruktif. Adapun partisispasi politik, ia terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu – secara sukarela—dalam kehidupan politik masyarakatnya.
Pendidikan politik dalam masyarakat manapun mempunyai institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling mendasar adalah keluarga, sekolah, partai-partai politik dan berbagai macam media penerangan. Pendidikan politik juga memiliki dasar dasar ideologis, sosisal dan politik . bertolak dari situlah tujuan-tujuannya dirumuskan.
Gambaran pendidikan politik Indonesia pada pemilu 1997        
Pendidikan Pemilu terhadap para pemilih yang pertama-tama ditekankan tentunya
adalah soal hak. Bahwa para pemilih mempunyai hak untuk memilih apa saja,
termasuk tidak memilih tanda gambar yang ada, termasuk memilih semua gambar
yang ada, dan termasuk pula tidak pergi ke tempat pemilihan suara. Dalam
situasi negara totaliter seperti Indonesia, dengan sistim diktatur partainya
(single majority adalah identik dengan diktatur partai), masing-masing
alternatif mempunyai risikonya sendiri-sendiri, besar dan kecil.
Risiko yang terbesar, dalam konteks pendidikan politik, tentu saja nasib dan
masa depan bangsa dan negara, yang tentu saja menyangkut para individunya
rakyatnya, lambat atau cepat. Tidak saja nasib rakyat di bawah rezim totaliter
yang membangkang terhadap dan dimusuhi oleh rezim, tetapi termasuk pula nasib
seluruh rakyat sebagai akibat kerusakan sosial, ekonomi, politik dan budaya,
dan hancurnya nilai-nilai moral dari kehidupan bernegara secara keseluruhan,
serta nasib seluruh bangsa sebagai akibat ketertinggalannya dari bangsa dan
negara lain (khususnya negara-negara tetangga) yang menerapkan sistim
demokratis.
Oleh sebab itu, pendidikan politik bagi para pemilih adalah pula meyakinkan
rakyat tentang bahaya totaliterisme. Bahwa totaliterisme telah ditolak di semua
bangsa dan negara; bahwa pembangunan kesejahteraan manusia dan kemanusiaan
secara riil dan berjangka panjang hanya bisa dicapai melalui praktek
penyelenggaraan negara yang demokratis; dan bahwa totaliterisme membahyakan
kehidupan dan perdamaian dunia.

http://www.komunitasdemokrasi.or.id/printerfriendly.php?id=91_0_8_0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar