Senin, 22 April 2013

Menata Lembaga Negara


NEGARA ini sudah mengalami inflasi lembaga. Nomenklatur lembaga itu bermacam-macam. Komisi, mahkamah, dewan, majelis, unit, atau badan. Lembaga itu dibentuk berdasarkan konstitusi, undang-undang, dan keppres.
Sedikitnya ada 50 lembaga/komisi negara. Ironisnya, kehadiran lembaga-lembaga itu sama sekali tidak mengurangi problem kebangsaan. Tugas dan fungsi mereka malah cenderung tumpang-tindih. Konflik antarlembaga pun tak terhindarkan.
Satu yang pasti, keberadaan lembaga-lembaga negara itu sangat membebani keuangan negara. Triliunan rupiah uang negara yang bersumber dari utang dan pajak setiap bulan dipakai untuk menggaji anggota dan membiayai operasional lembaga-lembaga tersebut.
Standar gaji bulanan dan tunjangan pun berbeda-beda sesuai dengan selera. Sama-sama pejabat negara, angkanya bisa berbeda-beda. Misalnya, Presiden menerima gaji pokok plus tunjangan sebesar Rp62,7 juta. Take home pay Ketua DPR Rp30,9 juta, sedangkan untuk Ketua MPR, Ketua BPK, dan Ketua MA Rp20 juta.
Untuk komisi negara juga tidak sama. Ketua KPU dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) digaji Rp18 juta. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bergaji pokok Rp12,5 juta plus tunjangan Rp2 juta. Untuk Ketua KPK, take home pay sekitar Rp60 juta.
Tumpang-tindih tugas dan wewenang lembaga negara itulah yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluh. Keluhan Kepala Negara itu diungkapkan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Senin (18/12).
Harus diakui, keberadaan lembaga dan komisi negara itu tidak sekadar soal distribusi kekuasaan dan perubahan sistem sosial politik pascaamendemen UUD 1945. Tapi, sekaligus memperlihatkan tabiat bangsa yang hendak menyelesaikan persoalan secara ad hoc. Ada masalah, cara termudah adalah dengan membentuk lembaga baru. Sebagai contoh, ada flu burung, dibentuk Komnas Flu Burung. Padahal aparatur pertanian dan kesehatan ada dan hadir di setiap kabupaten.
Inflasi lembaga negara juga berkaitan dengan amendemen konstitusi yang kental diwarnai transaksi di antara kekuatan politik yang menghuni Senayan. Sudah waktunya mendesain ulang konstitusi untuk menjadi payung hukum lembaga-lembaga negara. Konstitusi harus mengatur secara jelas dan tegas kewenangan, status, mekanisme pengisian jabatan, sampai hubungan kelembagaan semua lembaga negara.
Konstitusi juga harus menjamin tidak ada lagi dominasi satu lembaga atas yang lainnya. Kesetaraan antarlembaga itu akan memastikan berlangsungnya mekanisme checks and balances.
Kelemahan mendasar dalam amendemen konstitusi ialah memindahkan pusat kekuasaan dari istana ke DPR sekalipun negara menganut sistem presidensial. Pergeseran dari kekuasaan yang executive heavy selama Orde Baru ke arah legislative heavy di era reformasi membawa serta ekses-ekses kewenangan. Salah satunya adalah inflasi kelembagaan tadi. Yang lainnya adalah lambannya pengambilan keputusan oleh Presiden karena terlalu banyak hal yang harus dimintakan persetujuan DPR.
Penataan ulang juga dilakukan terhadap komisi negara, terutama komisi yang tinggal papan nama, tapi masih menerima anggaran. Apalagi, terlalu banyak komisi yang hanya mampu memproduksi rekomendasi tanpa hasil.
Sudah tidak ada waktu lagi untuk mengeluhkan tumpang-tindih tugas dan wewenang lembaga dan komisi negara. Presiden harus mengambil langkah konkret untuk membenahinya. Minimal dimulai dengan membenahi lembaga yang dasar pembentukannya melalui keppres. Setelah itu baru membenahi lembaga yang dibentuk dengan undang-undang atau konstitusi.
Media Indonesia, Kamis, 21 Desember 2006
maksimalkan terlebih dahulu lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk menyelesaikan problema-problema kebangsaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga tersebut,sehingga tidak perlu membikin lembaga baru yang akhirnya membikin tumpang tindih kewenangan dan membikin bingung masyarakat.selain untuk memaksimalkan potensi yang telah ada juga untuk mengefisiensikan keuangan negara.Menata Lembaga Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar