Senin, 22 April 2013

Perempuan Dalam Politik


PENDAHULUAN

Latar belakang

                        Kita semua tahu bahwa Tuhan menciptakan di dunia ini berpasang-pasangan. Ada siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, dimana semuanya itu merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Meskipun diantara itu semua ada perbedaan, namun perbedaan itu mestilah dijadikan sebuah motivasi kerjasama satu sama lain menuju arah yang lebih baik agar tidak terjadi perbedaan yang menyebabkan konflik atau ketidakadilan. Contoh salah satu ketidakadilan sosial yang saat ini banyak digugat masyarakat (perempuan) adalah ketidakadilan gender (gender inequalities), akibat perbedaan gender (gender differences). Perbedaan gender tidak secara otomatis melahirkan ketidakadilan gender. Namun dalam banyak kasus, perbedaan gender banyak melahirkan ketidakadilan gender (terutama kepada perempuan) akibat sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Sebenarnya gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan melalui proses sosialisasi dalam masyarakat.
Perempuan mempunyai kebebasan untuk berpendidikan tinggi, bahkan menjadi pemimpin sekalipun. Dalam politik, perempuan sering dibicarakan tetapi tidak ada wujud, sama seperti halnya ”ada suara tak ada rupa” atau bahkan sebaliknya. Ironis memang dari jumlah perempuan Indonesia yang lebih banyak daripada laki-laki, dari sisi permasalahan ”segunung” masalah perempuan yang tak terpecahkan dan tak tersentuh. Diskriminasi yang tidak hanya di publik tapi dimana-mana perempuan didiskriminasi, belum lagi angka kekerasan yang semakin hari tidak ada titik terang untuk berkurang, semakin bertambah itu pasti. Namun mengapa dalam pemerintahan baik eksekutif dan legislatif komposisi perempuan hanya sedikit ?. Hal demikian disebabkan karena   kualitas perempuan yang masih rendah, politik masih dianggap bukan bidangnya kaum perempuan. Kemudian menjadi sebuah pertanyaan tersendiri apakah kualitas dan kapabilitas anggota legislative laki-laki telah memadai untuk menyelesaikan persoalan perempuan yang kompleks?. Dunia politik seolah-olah disetting sedemikian rupa oleh laki-laki dengan mengedepankan ”rasionalitas”, sehingga perempuan tidak dapat berpartisipasi kedalam dunia yang ”rasional” itu. Konsep politik dipolitisir, politik dianggap sebagai sesuatu hal yang kotor. Perempuan dianggap tidak layak untuk masuk kedalam dunia politk karena alasan tersebut. Dunia politik terpolarisasi kedalam dunia laki-laki. Tapi  tidak seperti demikian adanya, politik bukan milik laki-laki saja,  perempuan pun berhak terjun ke dalam dunia politik. Perempuan dan laki-laki memiliki kepentingan yang sebagian berbeda sehingga laki-laki tidak bisa mewakili perempuan. Salah satu upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen adalah dengan affirmative action.
Tindakan Afirmatif (affirmative action) adalah langkah strategis untuk mengupayakan kemajuan dalam kesetaraan dan kesempatan yang lebih substantif dan bukan formalitas bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti perempuan atau kelompok minoritas kesukuan yang belum terwakili di posisi-posisi menentukan dalam masyarakat (SUSAN D. CLAYTON dan FAYE CROSBY). Salah satu bentuk tindakan afirmatif adalah PENETAPAN KUOTA PEREMPUAN ³ 30 persen di parlemen (angka 30 persen merupakan critical mass untuk dapat mempengaruhi suatu keputusan). Hal ini tertuang dalam UU No. 2 dan 10 tahun 2008  tentang Pemilu dan Partai Politik yang mengamanatkan perlunya kuota 30 persen bagi caleg perempuan.
Rumusan Masalah
1.      Mengapa peran dari perempuan diperlukan dalam dunia politik ?
2.      Kenapa affirmative action 30% keterwakilan perempuan sulit tercapai ?
3.      Bagaimana cara mewujudkan keterwakilan 30% perempuan ?


PEMBAHASAN

Mengapa peran dari perempuan dibutuhkan dalam dunia politik

            Seperti yang telah disinggung tadi di dalam dunia politik membutuhkan seorang perempuan. Banyak yang mengatakan bahwa perempuan hanya identik dengan pekerjaan rumah atau sektor domestik saja, meskipun ia berpendidikan tinggi yang ujung-ujung-nya juga kembali ke sektor domestik lagi. Pemikiran yang seperti itulah yang keliru, sebenarnya peran dari perempuan tidak hanya dalam sektor domestik saja, perempuan pun bisa dan harus mengembangkan bakat dan minatnya yang sesuai dengan potensi dirinya sendiri. Mengapa demikian, dalam islam pun telah dijelaskan bahwa baik perempuan maupun laki-laki tuntutlah ilmu setinggi mungkin dan barang siapa yang menyebarkan amal baik maka akan mendapatkan pahala. Jelas dari keterangan tersebut perempuan bisa berpendidikan tinggi dan harus bisa mengamalkan  dari apa yang telah ia pelajarinya.
Dewasa ini banyak perempuan yang berpotensi di bidang politik bahkan menjadi seorang pemimpin dan hal ini bukanlah merupakan sebuah persoalan. Dalam Islampun dijelaskan baik laki-laki maupun perempuan sebagian diantara mereka adalah pemimpin sebagian yang lain dan wajib menyebarkan ajaran kebaikan. Dari keterangan itu jelas bahwa perempuan diperbolehkan menjadi seorang pemimpin jika memang ada potensi yang kuat dalam dirinya.
Di Indonesia keterwakilan perempuan dalam ruang public masih sangat rendah dan hingga sekarang belum terdapat partai politik yang memang secara konkrit membela kepentingan kaum perempuan. Selain itu antara laki-laki dan perempuan mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain, sehingga laki-laki tidak bisa mewakili kepentingan daripada perempuan. Dengan  adanya perempuan masuk diranah politik, perempuan dapat menentukan kebijakan untuk mengcover kepentingannya. Seperti masalah tentang kekerasan dalam rumah tangga, masalah seperti ini untuk kaum perempuan bisa diperjuangkan karena ada yang mewakili mereka dan kaum perempuan bisa lebih diperhatikan kembali. Hal itulah yang menjadi motivasi perempuan untuk terjun atau masuk ke dunia politik disamping memang adanya potensi, skill dan kemampuan dalam dirinya untuk terjun ke dunia politik.
                        Dengan masuknya kaum perempuan ke ranah politik dan duduk dalam posisi sebagai pengambil keputusan (decision maker), maka aspirasi dan kepentingan perempuan dapat disalurkan, dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan diyakini mampu membawa pada perubahan sistem yang lebih berkeadilan dan bersih dari korupsi serta bebas diskriminasi. Dengan begitu akan terwujudnya good governance atau pemerintahan yang baik seperti yang diharapkan oleh kita semua. Dari pembuatan makalah ini, dapat dikerucutkan tentang beberapa faktor penting dan elementer tentang pentingnya perempuan ikut serta dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
1.                  Faktor perundang-undangan yang ada di Indonesia
Di negara ini, telah diatur sedemikian rupa tentang keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Undang-undang No 10 /2008 tentang pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( pemilu legislative ) serta UU nomor  2 tahun 2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandate kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi kaum perempuan dalam politik , terutama di lembaga perwakilan rakyat. Pasal 8 butir “ d ” UU nomor 10 tahun 2008, misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagai satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, pasal 53 UU Pemilu Legislaif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon juga paling sedikit 30% keterwaklilan perempuan. Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU nomor 10 tahun 2008 juga menyebutkan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota mengumumkan presentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap parpol pada media massa cetak, harian dan elektronik nasional. Sementara pada Pasal 2 ayat 3 UU Partai politik disebutkan bahwa pendirian dan pembentukan parpol menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Lebih jauh, pada pasal 20 tentang kepengurusan partai politik disebutkan juga tentang penyusunannya yang memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30%. Ketetapan kuota 30% sediri sudah ditetapkan pertama kali pada pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktifis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu dalam pemilu 1999, pemilu pertama diera reformasi hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Dengan demikian meskipun telah ada peraturan perundangan yang memandatkan kuota 30% dalam parlemen tidak serta merta menjamin peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik.

2.                              Rasa kepekaan yang lebih dari kaum laki-laki
Di dalam tubuh yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati telah diciptakan rasa peka atau rasa tanggap yang telah melekat di dalam diri manusia secara individu. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama telah dibekali perasaan tersebut. Namun, disinilah terlihat secara jelas adanya perbedaan yang mencolok antara kaum hawa dan kaum adam bahwa kaum hawa memiliki kepekaan yang lebih tajam dibandingkan dengan kaum adam.
Dalam kehidupan sehari hari kita sering melihat contoh kasus menandakan bahwa kaum perempuan memiliki kepekaan tinggi, misalnya : “seorang ibu yang terlihat sedang cemas dan gelisah memikirkan anaknya yang sedang berjauhan dengannya, sang ibu yang terus memikirkanya merasakan ada hawa atau pertanda yang tidak enak mengenai anaknya. Tanpa disengaja dan secara tiba-tiba sang anak yang sedang jauh disana mengalami musibah atau kejadian-kejadian yang menyusahkan dirinya”. Dari contoh tersebut merupakan hal kecil yang menegaskan bahwa kaum ibu mempunyai rasa tanggap yang amat tinggi dan bahkan banyak yang mengatakan bahwa kaum ibu memiliki indera ke emam yang bisa melihat kejadian dimasa akan datang.
Mungkin dari hal yang kecil inilah mengapa keterlibatan perempuan dalam perpolitikan nasional sangat dibutuhkan. Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri, bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam bidang politik yang amat penting. Beberapa diantaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu–isu kebijakan publik, terutama terkait dengan bidang perempuan dan anak, bidang lingkungan, bidang moral dan etika dan keuangan. Terbukti dengan terpilihnya menteri dalam bidang tersebut yang dijabat oleh kaum perempuan.

Affirmative action 30% ketrewakilan perempuan sulit untuk dipenuhi

            Jika dilihat dari segi kuantitasnya, jumlah perempuan menunjukkan perbandingan angka yang sangat signifikan daripada laki-laki. Perempuan cenderung memiliki kuantitas yang lebih besar dari pada kuantitas laki-laki. Namun hal ini tidak serta merta membuat kiprah perempuan dalam dunia politik sebanding dengan kuantitasnya yang besar dari pada laki-laki tersebut.
      Dalam dunia politik gagasan affirmative action 30% keterwakilan perempuan telah muncul sejak pemilihan umum 2004. Pada saat pemilu 2004 keterwakilan perempuan diparlemen hanya sekitar 11,6% dari 550 kursi, sedangkan pada pemilu legislatif 2009 kemarin keterwakilan perempuan diparlemen menunjukkan angka 13.9 % dari 560 kursi yang ada di parlemen. Hal ini secara eksplisit merupakan sebuah indicator bahwa masih sangat sulit dalam mewujudkan keterwakilan perempuan dalam bidang politik. Ada beberapa hal yang menyebabkan keterwakilan perempuan sulit untuk dipenuhi :
1.         Budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia
Jika dilihat secara garis besarnya, budaya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kuat akan budaya patrilienalnya. Hal demikian memiliki arti bahwa masyarakat Indonesia cenderung menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Contoh dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, dari segi kehidupan keluarga laki-laki merupakan tokoh sentral dalam setiap penentuan kebijakan untuk kepentingan keluarganya. Disisi lain dalam proses pambagian harta waris, sebagian masayarakat Indonesia menempatkan laki-laki pada proporsi yang lebih besar daripada perempuan. Berdasarkan hal-hal yang demikian menunjukkan sebuah indikator bahwa benar masyarakat Indonesia cenderung bersifat patriarki. Kondisi ini mengakibatkan peran dari perempuan menjadi dipandang sebelah mata oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Publik menganggap bahwa perempuan tidak memiliki kapabilitas dalam bidang politik, perempuan akan lebih cocok dalam hal managerial rumah tangga (domestik). Jika sekarang masyarakat diajukan satu calon anggota legislatif laki-laki dan satu calon anggota legislative perempuan, maka masyarakat akan lebih cenderung memilih calon anggota legislatif laki-laki. Hal ini karena budaya patriarki yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat.

2.         Kelemahan partai politik dalam melakukan rekruitmen politik
            Salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan gender (pasal 11 ayat 1 UU No.10 tahun 2008). Hal ini sangat jelas bahwa partai politik dalam melakukan rekruitmennya harus memperhatikan  aspek kesetaraan dan gender, partai politik harus memberikan prorporsi yang adil bagi semua penduduk Indonesia tanpa melihat perbedaan antara laki-laki maupun perempuan. Namun dalam kennyataanya, kondisi yang ada cukup memperhatinkan. Partai politik dalam melakukan rekruitmen kadernya utamanya kader perempuan kurang memperhatikan aspek kualitas. Partai politik kadang hanya memperhatikan keunggulan dalam hal financial dan popularitas, sebagai contoh dalam pemilu 2009 ini banyak partai politik yang merekrut artis. Mungkin partai poitik cenderung berorientasi pada kekuasaan, bukan pada aspek kapabilitas dalam memperjuangkan kepentingan publik. Hal demikian menimbulkan persepsi yang negatif dari masyarakat, karena selama ini anggota legislatif perempuan yang ada belum mampu menghasilkan prestasi-prestasi yang berorientasi pada kepentingan publik khusunya yang mampu mengcover isu-isu perempuan dan perlindungan anak. Dengan demikian perempuan menjadi semakin kurang mendapat kepercayaan dari khalayak umum.

3.         Undang-undang yang tidak jelas
               Undang-undang pemilu yang ada sekarang dianggap oleh berbagai pengamat politik, sebagai undang undang yang ambigu. Dalam undang-undang ini tersurat bahwa pemerintah mendorong peningkatan peran dari perempuan dalam bidang politik khususnya. Hal ini dapat dilihat dari indicator adanya affirmative action kuota 30% perempuan. Namun disisi lain undang-undang ini mengandung ketidak jelasan, undang-undang ini hanya sebatas mengatur kepengurusan dalam patrai politik dan keikutsertaan perempuan dalam pemilihan umum. Undang-undang ini tidak mengatur atau memberikan jaminan bahwa 30% kursi yang ada dalam parlemen adalah diperuntukkan bagi perempuan. Keadaan semakin tidak memungkinkan dengan adanya yudisial review yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 214 UU No.10 tahun 2008. Hasilnya proses penetapan calon terpilih pada pemilu legislative 2009 ini berbeda dengan pemilu pada tahun 2004. Pada pemilu tahun 2009 ini proses penetapan calon terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak anggota legislatif, bukan didasarkan pada nomer urut. Secara tidak langsung hal ini membawa konsekuensi, bahwa semua caleg perempuan harus mampu berkompetisi dengan caleg laki-laki baik itu yang berasal dari internal maupun eksternal partai. Adanya keputusan ini membuat peluang (chance) dari caleg perempuan untuk memenangkan kompetisi akan semakin kecil. Penyebab utamanya yaitu caleg perempuan merupakan fenomena yang baru dalam dunia politik masyarakat dibandingkan dengan calon anggota legislatif laki-laki yang sudah lama berada dan menangani persoalan dalam bidang politik. Disamping itu, pergerakan/mobiitas perempuan cenderung lebih sempit dibandingkan dengan caleg laki-laki. Jadi harus ada Undang-undang yang jelas, bukan hanya mengatur kepengurusan partai politik dan keikutsertaan perempuan dalam pemilu, namun lebih dari itu harus mampu menjamin bahwa ada ruang 30% tersendiri dalam parlemen untuk calon anggota legislatif perempuan terpilih.

Upaya mewujudkan 30% keterwakilan perempuan

Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam bidang politik telah banyak dilakukan, beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota akan keterwakilan perempuan sebesar 30%. UU No.2 tahun 2008 tentang partai politik pada pasal 20 menjelaskan bahwa kepengurusan partai politik harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% yang kemudian diatur dalam AD ART masing-masing partai politik. UU No.10 tahun 2008 tentang pemilu legislatif juga banyak menyebutkan bahwa partai politik dalam pencalonan kadernya untuk mengikuti pemilihan umum legislatif harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Bahkan hal tersebut ditekankan dalam beberapa pasal yang antara lain disebutkan dalam pasal 8 ayat 1d, pasal 15, pasal 57, dan pasal 66 ayat 2. Upaya-upaya ini merupakan sebuah indikator bahwa pemerintah mulai memperhatikan masalah gender, semua warga negara mempunyai hak yang sama tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Walaupun peraturan telah dibakukan, namun bukan berarti 30% keterwakilan perempuan dapat tercapai dengan mudah. Masyarakat Indonesia yang cenderung patrilineal, mengakibatkan persepsi terhadap perempuan menjadi rendah. Masyarakat lebih mempunyai pandangan jika perempuan kurang memiliki kapabilitas dalam bidang politik, hukum, dan sebagainya. Persepsi masyarakat cenderung menganggap bahwa perempuan adalah spesialis urusan dalam rumah tangga. Disi lain, faktor agama juga menjadi salah satu pengaruh keterwakilan akan sulit dicapai. Sebagian agama berpandangan jika perempuan kurang layak sebagai seorang pemimpin.
Keterwakilan 30% perempuan telah ada sejak pemilu 2004, pada saat itu keterwakilan perempuan hanya 11,6% dari 550 kursi dan pada pemilu 2009 ini keterwakilan perempuan meningkat menjadi 13,09% dari 560 kursi yang ada diparlemen. Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat sulit untuk mewujudkan 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen. Selain penyebab diatas, undang-undang yang mengatur bukan mengatur tentang tata cara perolehan 30% dalam pemilu. Undang-undang yang ada hanya sebatas mengatur tentang keikutsertaan perempuan dalam pengurusan partai politik dan sebagai peserta dalam pemilu. Hal ini ditambah dengan keputusan mahkamah konstitusi terhadap yudisial review pasal 214 UU No.10 tahun 2008 tentang penetapan calon terpilih. Pemilu 2009 penentuan terhadap calon terpilih ditentukan berdasarkan atas perolehan suara terbanyak bukan atas nomer urut. Oleh karena itu caleg perempuan akan semakin sulit untuk berkompetisi dengan caleg laki-laki. Caleg perempuan harus pandai dalam melihat peluang, karena walaupun satu partai tetap harus tetap berusaha sendiri. Kompetisi sebagai hal yang mutlak harus dijalankan.
Mengingat sangat sulit untuk mewujudkan 30% keterwakilan perempuan, maka ada berberapa usaha yang dapat dilakukan anntara lain :
1.                  Zipper System
Zipper system adalah tekhnik selang-seling dalam menetapkan calon anggota legislatif terpilih artinya sekurang-kurangnya dari tiga caleg terpilh terdapat dua caleg laki-laki dan satu caleg perempuan dalam satu daerah pilihan (dapil). Dengan tekhnik ini, bukan tidak mungkin 30% keterwakilan perempuan dapat terpenuhi. Di Negara swedia dengan menerapkan zipper system, keterwakilan perempuan dalam parlemen mencapai 36,9%. Dalam penggunaan sistem ini proses perhitungan harus dilakukan secara terpisah antara caleg laki-laki dan perempuan. Sebenarnya cara ini efektif untuk mangakplikasikan affirmative action 30% keterwakilan perempuan, karena pasti hal itu akan dapat dicapai. Partai politik pasti akan memenuhi syarat keterwakilan perempuan dalam kepengurusannya.
2.                  Rekruitmen partai politik
Partai politik dalam proses kaderisasinya harus benar-benar memperhatikan aspek kualitas dari kader-kadernya. Hal itu disebabkan karena kader-kader ini yang akan ditawarkan kepada masyarakat, oleh karena itu agar tercipta persepsi yang baik terhadap kinerja dan kepemimpinan perempuan maka kualitas calon anggota legislatif pun harus memadai.
3.                  Pentingnya strategi
Caleg perempuan harus mampu berkompetisi dengan caleg laki-laki untuk memperoleh suara terbanyak, maka dari itu perlu disusun suatu strategi. Salah satu hambatan terbesar bagi perempuan adalah mengajak Pemilih mau memilih caleg perempuan dalam Pemilu. Sehubungan untuk mendapatkan suara dalam pemilu 2009, maka perempuan perlu memperhatikan langkah-langkah berikut :
a.       Pastikan anda telah terdaftar sebagai caleg untuk tingkat DPR-RI, DPRD Prov. Atau DPRD Kab/Kota
b.      Pastikan anda terdaftar pada Daerah Pemilihan (Dapil ) yang memungkinkan anda mendapat suara
c.       Ikut aktif di setiap kegiatan yang diselengarakan oleh DPD dan DPC di zona pemilihan
d.      Kaji jumlah, karakter dan masalah masyarakat Pemilih di Dapil anda, Setiap Dapil memiliki daftar nama Pemilih, anda perlu mendapatkan daftar nama ini.
e.       Fokuskan pendekatan kepada Pemilih yang mau memilih anda dan Parpol anda.
f.        Bangun kelompok- kelompok pendukung di Dapil anda dan bangun komunikasi intensif dengan mereka.
g.       Informasikan secara tepat tentang partai anda dan diri anda sebagai caleg. Jelaskan pengaruh yang dimiliki Pemilu atas kehidupan sehari-hari mereka.
h.       Jagalah agar Pemilih tetap merasa tertarik dengan partai anda dan anda sebagai caleg.
Menurut pendapat seorang politisi berpengalaman, “satu-satunya cara untuk mengajak orang untuk memilih adalah dengan memberikan solusi atas masalah-masalah yang mempengaruhi mereka secara langsung”. Hal ini berarti, jika anda dapat menarik para pemilih dengan isu-isu lokal atau pribadi maka pemilih akan merasa tertarik untuk memilih anda dan Partai anda.
Setelah anda mampu menggalang massa, maka langkah-langkah berikut yang harus dilakukan adalah:
v     Menghadiri pertemuan-pertemuan berbagai kelompok masyarakat di Dapil anda
v     Melaksanakan program padat karya di Dapil anda
v     Siaran Pers bagi surat kabar lokal dan nasional
v     mengirim e-mail bagi orang-orang tertentu
v     menelpon Pemilih untuk mengingatkan mereka tentang waktu dan tempat pemilu
v     Mengirimkan selebaran-selebaran kampanye
v     menyampaikan pesan anda dari pintu ke pintu
Sebelum hal di atas anda lakukan, anda perlu menganalisa kekuatan-kekuatan anda dan memperhitungkan kompetitor anda. Sekarang ini, inti kehidupan itu adalah kompetisi. Kompetisi memerlukan usaha keras dan usaha cerdas. Kompetisi bukan merusak harmoni, tetapi menjangkau kehidupan yang lebih baik.
4.      Sosialisasi Gender
Dalam hal ini perlu diangkat isu-isu tentang gender, bahwa selama ini posisi kaum perempuan selalu berada dibawah laki-laki. Dengan adanya isu-isu tentang gender hal ini bisa membangkitkan semangat kaum perempuan untuk bersatu memperjuangkan keterwakilannya dalam bidang politik maupun dalam bidang- bidang lain.
 
PENUTUP
 
Kesimpulan

a.       Keterlibatan perempuan dalam bidang politik sangat dibutuhkan karena perempuan memiliki rasa peka terhadap kondisi-kondisi yang ada disekitarnya, seperti dalam hal mengatasi isu-isu kebijakan public terutama dalam bidang perempuan dan anak, bidang lingkungan, bidang moral dan etika, serta keuangan.
b.      Affirmative action 30% keterwakilan peremuan sulit untuk dipenuhi karena budaya masyarakat Indonesia yang cenderung patriarki, rekruitmen partai politik yang kurang memperhatikan aspek kualitas dari kadernya, dan adanya perundang-undangan yang tidak secara jelas menjamin keterwakilan perempuan dalam parlemen.
c.       Cara yang dapat dilakukan agar keterwakilan perempuan dapat terpenuhi antara lain melalui tekhnik zipper system yaitu dengan menempatkan satu caleg terpilih dalam tiga caleg terpilih artinya ada satu perempuan dan dua laki-laki, melalui rekruitmen politik yang berorientasi pada kuaitas dan strategi pemenangan pemilu yang baik.

Saran

a.       Seyogyanya harus ada undang-undang yang jelas memberikan ruang kepada calon anggota legislative di dalam parlemen, sehingga keterwakilan perempuan dalam bidang politik dapat terimplementasikan.
b.      Kaum perempuan harusnya dapat melebarkan sayapnya kebidang politik praktis, karena pada dasarnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang sama sebagai warga negara Indonesia.
c.       Partisipasi dari berbagai pihak baik pemerintah, partai politik, ataupun individu untuk menghapus budaya patriarki di Indonesia.
 

DAFTAR PUSTAKA


Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: P.T Gramedia
Ahmed, Liya. 2000. Wanita dan gender. Jakarta: Obor

Sumber-sumber Lain :
Undang-undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD

6 komentar: