Minggu, 28 April 2013

PERENCANAAN PANGAN DAN GIZI


MONOGRAFI DESA KERSOWORNO
1. Kondisi Geografis
a. Ketinggian tanah dari permukaan laut : 4-7 dpl
b. Banyaknya curah hujan : 175 cm3/L
c. Topografi (dataran rendah, tinggi, pantai): pantai
d. Suhu udara rata-rata : 32°C
2. Orbitasi (jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan)
a. Jarak dari pusat kecamatan : 1 km
b. Jarak dari pusat kota administratif : 1 km
c. Jarak dari ibukota kabupaten : 17 km
d. Jarak dari ibukota administrasi : 180 km
e. Jarak dari ibukota negara : 250 km
3. Pertanahan
1. Status
a. Sertifikat Hak Milik : 211 buah
b. Sertifikat Hak Guna Usaha : 3 buah
c. Sertifikat Hak Guna Bangunan : 5 buah
d. Sertifikat Hak Pakai : 12 buah
2. Peruntukan
a. Jalan : 200 Ha
b. Sawah dan ladang : 700 Ha (Beras dan jagung)
c. Bangunan Umum : 329 Ha
d. Empang : 100 Ha
e. Pemukiman / perumahan : 60 Ha
f. Jalur Hijau : 10 Ha
g. Pekuburan : 1 Ha
h. Lain-lain : 15 Ha
4. Kependudukan
1. Jumlah penduduk menurut
   a. Jenis Kelamin: 1). Laki-laki     : 3.953 orang
   2). Perempuan : 4.278 orang
   Jumlah         : 8.231 orang
   b. Kepala Keluarga : 2.024 orang
2. Jumlah penduduk menurut usia:
a. Kelompok Pendidikan
1). 00 – 03 tahun : 99 orang
2). 04 – 06 tahun : 125 orang
3). 07 – 12 tahun : 1.402 orang
4). 13 – 15 tahun : 573 orang
5). 16 – 18 tahun : 704 orang
6). 19 – keatas : 301 orang
5. Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian
a. Pegawai Negeri Sipil : 425 orang
b. ABRI : 165 orang
c. Swasta : - orang
d. Wiraswasta/pedagang : 509 orang
e. Tani : 1.076 orang
f. Pertukangan : 250 orang
g. Buruh tani : 771 orang
h. Pensiunan : 319 orang
i. Jasa : 319 orang
6. Pembinaan RT /RW
1. Jumlah RT/RW :  a. Jumlah RT : 19 unit
b. Jumlah RW : 4 unit
2. Jumlah Pengurus RT dan RW tertatar: 23 orang
7. Keuangan dan sumber-sumber pendapatan desa tahun
1. Keuangan
a. Sisa anggaran tahun lalu : Rp.
b. Anggaran Pendapatan : Rp. 322.000
c. Belanja Desa : Rp. 322.000
d. Pembiayaan Desa : Rp.
2. Sumber Pendapatan Asli Desa
a. Tanah Kas Desa : Rp. 61.001.000
b. Pasar Desa : Rp. –
c. Pungutan Desa : Rp. –
d. Swadaya Masyarakat : Rp. 21.000.000
e. Hasil Gotong-royong : Rp. –
f. Lain-lain : Rp. –
   Jumlah : Rp. 81.001.000
3. Bantuan Pemerintah
a. Pemerintah Pusat : Rp. –
b. Provinsi : Rp. –
c. Kabupaten : Rp. 102.000.000
    Jumlah : Rp. 102.000.000
8. Pengairan
1. Waduk/cekdam : 2 Jumlah
2. Saluran irigasi : 1
3. Gorong-gorong : 6 buah
4. Pompa air : 5 buah
5. Pembagian air : 3 buah
6. Kincir air : 2 unit
9. Peternakan
1. Ayam kampung : 230 ekor
2. Ayam ras : 15.000 ekor
3. Kambing : 19 ekor
4. Sapi biasa : 2 ekor
5.Budidaya ikan : 15000 ekor
Pangan serealia dan kecukupan ketersediaan pangan pokok
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok dilihat dengan  mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo dkk, 1985:45). Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda,
(a)    Di daerah  kersoworno dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup atau tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.
(b)   Jenis makanan pokok jagung digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah yang hanya dapat dipanen satu kali dalam tahun.
Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.
Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur dengan beras sebagai makanan pokok:
·        Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup
·        Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·        Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.
dengan jagung sebagai makanan pokok:
·        Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup
·        Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup
·        Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup
Stabilitas ketersediaan
Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas cutting point (240 hari untuk beras dan 360 hari untuk jagung) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut.
Dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam  rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk memperpanjang ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999; Romdiati, 1999).
Penggunaan frekuensi makan sebanyak 3 kali atau lebih sebagai indikator kecukupan makan didasarkan pada kondisi nyata di desa-desa (berdasarkan penelitian PPK-LIPI), dimana rumah tangga yang memiliki persediaan makanan pokok ‘cukup’ pada umumnya makan sebanyak 3 kali per hari. Jika mayoritas rumah tangga di satu desa, misalnya, hanya makan dua kali per hari, kondisi ini semata-mata merupakan suatu strategi rumah tangga agar persediaan makanan pokok mereka tidak segera habis, karena dengan frekuensi makan tiga kali sehari, kebanyakan rumah tangga tidak bisa bertahan untuk tetap memiliki persediaan makanan pokok hingga panen berikutnya.
Lebih lanjut, kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan (3 kali per hari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan) sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1 : Penetapan indikator stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga

Kecukupan ketersediaan pangan
Frekuensi makan anggota rumah tangga
> 3 kali
2 kali
1 kali
> 240 hari
> 360 hari
Stabil
Kurang stabil
Tidak stabil
1 -239 hari
1 – 364 hari
Kurang stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak ada persediaan
Tidak stabil
Tidak stabil
Tidak stabil
Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan
Indikator aksesibilitas atau keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan, yang diukur dari pemilikan lahan serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukur berdasarkan pemilikan lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori:
·        Akses langsung (direct access), jika rumah tangga memiliki lahan sawah atau ladang
·        Akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah atau ladang.
Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokkan dalam 2 (dua) kateori yaitu: (1) produksi sendiri dan (2) membeli. Indikator aksesibilitas atau keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan dikelompokkan dalam kategoti seperti pada tabel berikut:
Tabel 2 : Penetapan indikator aksesibilitas/keterjangkauan pangan di tingkat rumah tangga

Pemilikan sawah/ladang
Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan
Punya
Akses langsung
Akses tidak langsung
Tidak punya
Akses tidak langsung
Dari pengukuran indikator aksesibilitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersedian pangan yang merupaan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan dan aksesibilitas terhadap pangan. Indikator stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukkan suatu rumah tangga apakah:
·        Mempunyai persediaan pangan cukup
·        Konsumsi rumah tanga normal dan
·        Mempunyai akses langsung tarhadappangan
Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.: Penetapan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga

Akses terhadap pangan
Stailitas ketersediaan pangan rumah tangga
Stabil;
Kurang stabil
Tidak stabil
Akses langsung
Kontinyu
Kurang kontinyu
Tidakkontinyu
Akses tidak langsung
Kurang kontinyu
Tidak kontinyu
Tidak kontinyu

Kualitas atau keamanan pangan
Kualitas atau keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda-beda., sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari ‘ada’ atau ‘tidak’nya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan/atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga. Karena itu, ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk-pauk) sehari-hari yang mengandung protein hewani dan/atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:
1.      Rumah tangga dengan kualitas pangan baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja.
2.      Rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein nabati saja.
3.      Rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk-pauk berupa protein baik hewani maupun nabati.
Ukuran kualitas pangan ini tidak mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan yang mendasari adalah karena kandungan energi dan karbohidrat antara beras, dan jagung sebagai makanan pokok di desa kersoworno tidak berbeda secara signifikan.  Jumlah  ikan adalah paling banyak dikonsumsi, diikuti daging dan telur, sedangkan jumlah yang paling sedikit dikonsumsi adalah susu. Rata-rata daging yang dikonsumsi telah melebihi standar konsumsi, namun sebagian besar masih di bawah standar konsumsi, sedangkan susu dan ikan yang dikonsumsi sebagian besar masih di bawah standar konsumsi. Rata-rata kecukupan konsumsi jumlah daging adalah status normal, namun sebagian besar status kekurangan. Kecukupan konsumsi jumlah telur sebagian besar status kelebihan, sedangkan kecukupan konsumsi jumlah susu dan ikan sebagian besar status kekurangan. Ini menyimpulkan bahwa : (1) Konsumsi pangan hewani sebagian besar masih belum beragam sesuai dengan Pola Pangan Harapan; (2) Kecukupan konsumsi pangan hewani sebagian besar juga belum mencukupi standar kecukupan konsumsi pangan hewani; (3) Kondisi sosial-budaya dan ekonomi serta ketersediaan pangan hewani di tingkat rumah tangga berpengaruh positif terhadap keanekaragaman konsumsi pangan hewani; dan (4) Semakin beragam konsumsi pangan hewani pada keluarga, semakin tinggi kualitas sumberdaya manusia keluarga. Pola Pangan harapan yang berasal dari pangan Hewani masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan. Masih rendahnya produksi pangan hewani disebabkan oleh beberapa faktor spesifik.
Solusi
Untuk meningkatkan kualitas ketersediaan pangan di desa maka perlu dilakukan peningkatan nilai Pola Pangan harapan  (PPH) Ketersediaan terutama dari Ketersediaan pangan hewani. Maka dalam rangka peningkatan Pola Pangan harapan  (PPH) perlu dilakukan upaya- upaya yaitu melalui Tata kelola kepemerintahan yang baik atau good governance yang dilakukan oleh ketiga unsur : Pemerintah, swasta dan masyarakat meliputi:






Down Arrow Callout: Peningkatan penguasaan teknologi tepat guna


Down Arrow Callout: Peningkatan akses nelayan atau pembudidaya  atau petani terhadap permodalan;


Down Arrow Callout: Menambah tenaga penyuluh;



Subsidi pemerintah untuk menekan harga sarana produksi.

 
 


















Indeks ketahanan pangan
Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, keberlanjutan dan kualita atau  keamanan pangan) Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas ketersediaan pangan. Selanjutnya kombinasi antara stabilitas ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinyuitas ketersediaan pangan. Indeks ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinyuitas ketersediaan pangan dengan kualitas /keamanan pangan. Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4 : Indeks ketahanan pangan rumah tangga

Kontinyuitas ketersediaan pangan
Kulaitas/keamanan pangan: Konsumsi protein hewani dan/atau nabati
Protein hewani dan nabati/protein hewani saja
Protein nabati saja
Tidak ada konsumsi protein hewani, dan nabati
Kontinyu
Tahan
Kurang tahan
Tidak tahan
Kurang kontinyu
Kurang tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak kontinyu
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak tahan


DAFTAR PUSTAKA

FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 November 1996. Rome, Italy: Food and Agriculture Organisation of the United Nations.
Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2000 Tentang Ketahanan Pangan. Jakarta: Sekretaris Negara RI.
Raharto, Aswatini, 1999. “Kehidupan Nelayan Miskin di Masa Krisis” dalam Tim Peneliti PPT-LIPI: Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kehidupan Keluarga Kelompok Rentan: Beberapa Kasus Jakarta: PPT-LIPI bekerjasama dengan Departeman Sosial Republik Indonesia.
Raharto, Aswatini dan Haning Romdiati. 2000. “Identifikasi Rumah Tangga Miskin”, dalam Seta, Ananto Kusuma et.al (editor), Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, hal: 259-284. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
PPK-LIPI. 2004. Ketahanan Pangan, Kemiskinan dan Demografi Rumah Tangga. Seri Penelitian PPK-LIPI No. 56/2004. Jakarta: Puslit kependudukan _ LIPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar