Senin, 22 April 2013

Pola Komunikasi Politik yang Ideal di Indonesia


Oleh
M Jamiluddin Ritonga

Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasi politik pada umumnya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat). Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top down.
Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.
Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi konflik, kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola.
Pesan-pesan politik semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa. Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan eufemisme. Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya, namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear).
Pesan-pesan politik sebagaimana mengemuka pada Orde Lama dan Orde Baru itu dinilai oleh pengamat politik masih banyak ditemukan pada Era Reformasi. Era Reformasi dengan sistem politik terbuka padahal meminta pendekatan komunikasi politik yang berbeda. Benarkan demikian? Tulisan singkat ini coba menyoroti hal itu.
Sejak Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, sistem politik tertutup diganti dengan sistem politik terbuka. Perubahan sistem politik ini idealnya mengubah pendekatan komunikasi politik dari satu arah menjadi banyak arah. Pada suatu saat menggunakan pendekatan top down, pada saat lain menerapkan pendekatan bottom up, dan pada kesempatan lain memperagakan paradigma horizontal.
Pendekatan mana yang digunakan tergantung siapa yang menyampaikan pesan politik dan kepada siapa pesan itu ditujukan. Muatan pesan juga menentukan paradigma komunikasi mana yang digunakan.
Penerapan pendekatan itu tidak lagi menganggap penerima pesan politik sebagai sosok pasif yang “menelan” begitu saja pesan politik yang diterimanya. Pada Era Reformasi dengan sistem politik terbuka, penerima pesan politik dianggap aktif dan selektif.
Pihak penerima mencerna dan menafsirkan pesan politik yang diterimanya sebagai proses sosial yang berkesinambungan. Untuk mewujudkan hal itu, pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat interaksional dan transaksional.
Dalam kaitan itu, Muhammad Budiyatna (Guru Besar Komunikasi dari Universitas Indonesia) dalam seminar di LIPI pada 22 November 2000 menyarankan, penerapan pola interaksional bersifat transisi, dan selanjutnya diarahkan ke pola transaksional, yang banyak dianut negara maju. Namun menurut Budiyatna, penerapan pola transaksional sangat tergantung pada sikap pemerintah. Pemerintah harus action, slowly but sure akan tuntutan keadilan rakyat di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial.
Penerapan pola interaksional yang dimaksudkan hanya bersifat transisi, nyatanya hingga sekarang belum maksimal dilaksanakan. Karena itu, penerapan pola komunikasi transaksional kiranya masih jauh dari harapan. Bangsa ini padahal sudah menerapkan sistem politik terbuka sejak Soeharto lengser.
Celakanya, pola komunikasi interaksional yang berlangsung masih terbatas diantara sesama elite. Hiruk-pikuk komunikasi politik di media massa masih didominasi para elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Jadi, transaksi pesan politik yang berlangsung pada dasarnya dari elite untuk elite. Sementara itu, rakyat hanya menjadi penonton yang pasif sebagaimana layaknya menyaksikan lakon dan dialog para aktor teater.
Kadangkala penonton tertawa terbahak-bahak manakala menyaksikan banyolan lakon dan dialog para aktor teater. Namun kerap pula penonton merasa muak atau bersedih di kala para aktor melakonkan perilaku asusila atau orang yang teraniaya.
Dalam komunikasi politik yang diperagakan para elite tersebut juga menjadikan rakyat hanya sebagai objek. Para elite politik yang menjadi subjek melakonkan beragam topeng. Ketika menggunakan topeng malaikat, pesan-pesan politik yang disampaikan para elite itu penuh dengan muatan moral dan religius.

Sebatas Ganti Jubah
Meskipun para elite banyak memperagakan pendekatan komunikasi politik horizontal yang bersifat interaksional, namun pesan politik yang mereka sampaikan bukan untuk menyalurkan kepentingan rakyat. Sesama elite melakukan interaksi melalui pesan-pesan politik lebih dominan untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Kalaupun para elite mengemas pesan politiknya mengacu pada kepentingan rakyat, hal itu semata karena isu tersebut menguntungkan sang elite. Di sini sang elite hanya mendompleng isu tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomis atau politis atau kedua-keduanya. Ungkapan “injak kaki muncrat” kiranya berlaku di sini.
Di Era Reformasi, inisiatif komunikasi politik antara elite legislatif, elite eksekutif, dan elite yudikatif relatif seimbang. Namun muatan pesan politik yang disampaikan pada umumnya untuk mewujudkan kepentingan elite itu sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat.
Jadi, meskipun sistem politik di negeri ini berubah dari sistem tertutup ke sistem terbuka, namun pendekatan komunikasi politik yang diperagakan cenderung tidak berubah.

Pola Transaksional
Untuk mengisi reformasi, para elite seyogiyanya memperbanyak pendekatan komunikasi politik bottom up yang bersifat transaksional. Melalui pendekatan ini para elite mentransaksikan pesan-pesan politik berdasarkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan sang elite. Dengan begitu, pesan-pesan politik yang disenandungkan elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui media massa benar-benar aspiratif suara rakyat.
Kalau hal ini dapat diwujudkan, pendapat umum yang mengemuka di media massa betul-betul riil, bukan semua. Pendapat umum yang riil inilah yang layak dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Semua itu dapat diwujudkan bila para elite dalam setiap bersikap dan bertindak tetap dalam koridor demokrasi. Pesan-pesan politik yang disampaikan para elite semata dari rakyat untuk rakyat. Dengan begitu, setiap elite akan merasa “berdosa” bila dalam memperagakan komunikasi politik tidak memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kiranya hal itu tidak sekadar untuk direnungkan, tetapi seyogiyanya segera diwujudkan. Disini akan terlihat, mana elite yang reformis dan mana elite yang hanya berganti jubah. Semoga di negeri ini lebih banyak elite yang reformis daripada yang sekedar berganti jubah.

Penulis adalah Dosen Metode Penelitian Komunikasi di Universitas Paramadina dan Universitas Indonusa Esa Unggul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar