Kamis, 16 Mei 2013

Gangguan Tidur Insomnia


Harapan itu masih ada – ayo berjuang tanpa henti

A. Tidur
Tidur merupakan bagian hidup manusia yang memiliki porsi banyak, rata-rata hampir seperempat hingga sepertiga waktu dalam sehari digunakan untuk tidur. Tidur merupakan sebuah kebutuhan bukan hanya untuk mengistirahatkan tubuh. Tidur juga diperlukan oleh manusia untuk pembentukan sel-sel tubuh yang baru, memperbaiki sel-sel tubuh yang rusak (natural healing mechanism), memberi waktu organ tubuh untuk istirahat, juga untuk menjaga kestabilan metabolisme dan biokimiawi tubuh. Disamping itu tidur bagi manusia dapat mengendalikan irama kehidupan sehari-hari. Salah satu fungsi tidur yang paling utama adalah untuk memungkinkan sistem syaraf pulih setelah digunakan selama satu hari. Dalam The World Book Encyclopedia, dikatakan tidur memulihkan energi kepada tubuh, khususnya kepada otak dan sistem syaraf (Mass, 2002) Beberapa penelitian yang ditulis di situs www.indomedia.com. menyebutkan bahwa orang Indonesia tidur rata-rata pukul 22.00 dan bangun pukul 05.00 keesokan harinya. Penelitian terhadap kelompok anak-anak muda di Denpasar menunjukkan 30-40% aktivitas mereka untuk tidur. Sedang penelitian yang dilakukan oleh Liu et.al (2000) di Jepang disebutkan 29% responden tidur kurang dari 6 jam, 23% merasa kekurangan dalam jam tidur 6% menggunakan obat tidur, 21 % kemungkinan mengalami insomnia dan 15 % mengalami rasa ngantuk yang teramat sangat disiang harinya.
Pada dasarnya setiap orang pernah mengalami gangguan tidur atau insomnia. Sebuah survey yang dilakukan oleh National Institut of Health di Amerika menyebutkan bahwa pada tahun 1970, total penduduk Amerika yang mengalami insomnia 17% dari populasi, pada orang tua presentasi penderita insomnia lebih tinggi, perbandingannya yaitu 1 diantara 4 orang tua berumur 60 tahun mengalami gangguan tidur. Survey epidemilogi yang dilakukan oleh Melinger (Morin, 1992. Lacks, 1992) menunjukkan bahwa 35% dari populasi diindikasikan mengalami insomnia selama satu tahun terakhir dan 10% mengalami gangguan insomnia 6 bulan terakhir. Dari survey tersebut juga disimpulkan bahwa wanita dewasa dari sosial ekonomi rendah lebih banyak mengalami gangguan tidur, hal ini disebabkan banyaknya beban pikiran yang harus ditanggung oleh para wanita tersebut.
Tidur merupakan kebutuhan manusia yang teratur dan berulang untuk menghilangkan kelelahan jasmani dan kelelahan mental (Panteri, 1993). Manusia memakai sepertiga waktunya untuk tidur. Tidur merupakan perilaku normal ketika individu kehilangan kontak dengan lingkungannya untuk sementara. Pada waktu tidur individu menutup matanya, pupil mengecil, otot melemas, denyut jantung melemah, tekanan darah menurun dan metabolisme tubuh melambat (Kedja, 1990).
Bila tidur kurang lelap atau mengalami gangguan tidur, maka kita akan merasa letih, lemah, dan lesu. Kehilangan jam tidur meskipun sedikit, mempunyai akibat yang sangat mempengaruhi bagi semangat, kemampuan konsentrasi, kinerja, produktivitas, ketrampilan komunikasi, dan kesehatan secara umum, termasuk sistem gastrointestinal, fungsi kardiofaskuler, dan sistem kekebalan tubuh. Orang yang tidak tidur kehilangan energi dan lekas marah, orang yang dua hari tidak tidur akan sulit berkonsentrasi untuk waktu yang lama. Banyak kesalahan akan dibuat, terutama dalam tugas-tugas rutin, dan kadang ia tidak mampu memusatkan perhatian. Orang yang tidak tidur lebih dari tiga hari akan sulit berpikir, melihat, dan mendengar dengan jelas. Beberapa orang akan mengalami periode halusinasi, yaitu mereka melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Hasil tes memperlihatkan setelah seseorang tidak tidur selama empat hari, ia hanya dapat melakukan sedikit tugas rutin. Tugas-tugas yang menuntut perhatian atau bahkan kegesitan mental yang minimum sekalipun, akan menjadi sulit ditangani. Setelah empat setengah hari ada gejala mengigau dan dunia di sekelilingnya menjadi sangat aneh di matanya.
B. Gangguan Tidur Insomnia
Tidur adalah fungsi biologis yang sangat dibutuhkan oleh fisik kita. Sebagian dari kita membutuhkan 7 jam atau lebih untuk tidur dimalam hari agar kita dapat berfungsi dengan baik.
Pada keadaan normal, dari pemeriksaan kegiatan otak melalui elektro-ensefalografi (EEG), sepanjang masa tidur terjadi fase-fase yang silih berganti antara tidur sinkronik dan tidur asinkronik. Pergantian ini kira-kira setiap dua jam sekali. Fase tidur sinkronik ditandai dengan tidur nyenyak, dengan tubuh dalam keadaan tenang. Fase tidur asinkronik ditandai dengan kegelisahan dan reaksi-reaksi jasmaniah lainnya, seperti gerakan-gerakan bola mata yang merupakan fase mimpi. Orang normal yang tidurnya terganggu pada fase tidur asinkronik akan merasa tidak nyaman, jengkel, dan bersikap murung setelah bangun tidur.
Masalah tidur yang disebabkan oleh stress pribadi yang signifikan, pekerjaan, atau peran lain diklasifikasikan dalam system DSM sebagai gangguan tidur (sleep disorder) atau yang biasa disebut sebagai insomnia.
Insomnia berasal dari kata in artinya tidak dan somnus yang berarti tidur, jadi insomnia berarti tidak tidur atau gangguan tidur. Orang yang bersangkutan mungkin tidak dapat tidur, sulit untuk tidur, atau mudah terbangun tapi kemudian tidak dapat tidur lagi. Hal in terjadi bukan karena kesibukan seseorang sehingga tidak ada kesempatan tidur, tetapi akibat dari gangguan jiwa terutama gangguan depresi, kelelahan, dan gejala kecemasan yang memuncak. Kesulitan tidur ini bisa menyangkut lamanya waktu tidur (kuantitas) atau kelelapan (kualitas) tidur. Penderita insomnia sering mengeluh tidak bisa tidur, kurang lama tidur, tidur dengan mimpi yang menakutkan, dan merasa kesehatannya terganggu. Orang yang menderita insomnia tidak akan bisa tidur pulas walaupun diberikan banyak kesempatan untuk tidur. Di dalam DSM pengelompokan gangguan tidur dibagi kedalam dua kategori utama:dissomnia dan parasomnia.
Dissomnia
Dissomnia adalah gangguan tidur yang memilki karakteristik terganggunya jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang berhubungan dengan pernapasan dan gangguan irama tidur sirkadia.
Parasomnia
Parasomnia adalah gangguan tidur yang muncul pada ambang batas antara saat terjaga dan tidur. Diantara berbagai bentuk parasomnia yang lebih umum adalah gangguan mimpi buruk, gangguan terror tidur, dan gangguan berjalan sambil tidur.
Penderita insomnia mengalami gangguan dalam masa peralihan dan kualitas dari fase-fase tidur, terutama pada fase asinkronik. Dari penelitian didapatkan bahwa apa yang dirasakan penderita sebagai terjaga di malam hari adalah sebuah fase dari mimpi yang dialaminya saat tidur. Terkadang tidur dengan waktu singkat lebih berkualitas dibandingkan tidur dengan waktu lama.
Insomnia dikelompokkan dalam tiga tipe. Tipe pertama adalah sulit tidur (sleep onset insomnia) yaitu penderita yang tidak dapat atau sulit tidur selama1 sampai 3 jam pertama. Namun, karena kelelahan akhirnya tertidur juga. Tipe ini biasanya dialami penderita usia muda yang sedang mengalami kecemasan. Tipe kedua, selalu terbangun ditengah malam (sleep maintenance insomnia) yaitu dapat tidur dengan mudah dan nyenyak, namun setelah 2 sampai 3 jam tidur terbangun. Kejadian ini bisa berlangsung berulang kali. Tipe ketiga, selalu mudah terbangun ditengah malam (early awakening insomnia) yaitu penderita dapat tidur dengan mudah dan nyenyak, namun pada pagi buta dia terbangun dan tidak dapat tidur lagi. Ini biasa dialami orang yang sedang mengalami depresi. Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus (lebih dari sepuluh hari) mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun di tengah malam dan tidak dapat tidur kembali. Seringkali penderita terbangun lebih cepat dari yang diinginkannya dan tidak dapat kembali tidur.
Setiap tahunnya 1 dari tiga orang dewasa di Amerika mengalami insomnia kronis (Gillin, 1991). Insomnia kronis yang bertahan selama sebulan atau lebih biasanya adalah tanda adanya masalah fisik atau gangguan psikologis seperti mengalami depresi. Jika penyebab gangguan tidur dapat ditangani dengan baik maka ada kemungkinan untuk memperbaiki pola tidur menjadi normal kembali. Insomnia yang tidak disebabkan oleh masalah fisik atau gangguan psikologis , atau oleh efek obat atau penggunaan obat atau pengobatan, dikelompokkan dalam gangguan tidur yang disebut insomnia primer.
Insomnia primer mengakibatkan rasa lelah disiang hari , menimbulkan stress, atau kesulitan untuk mnjalankan peran sosialnya, belajar, pekerjaan, atau peran lainnya dengan baik. Maka dari itu insomnia biasanya muncul bersamaan dengan masalah psikologis, terutama neurosis (kecemasan) dan depresi, insomnia primer ini merupakan gangguan tidur yang dipandang insomnia paling umum diderita.
C. Faktor Penyebab Insomnia
Factor psikologis memainkan peran terpenting dalam insomnia primer. Orang-orang yang mengalami insomnia primer biasanya sering membawa masalah mereka seperti kecemasan dan kekhawatiran ke tempat tidur, hal ini menyebabkan meningkatnya kesadaran tubuh untuk mencegah proses tidur secara alami. Kemudian ini akan menambah rasa khawatir mereka karena mereka merasa kekurangan waktu tidurnya, dan akhirnya ini akan menambah kesulitan mereka untuk tidur. Tidur tidak bisa dipaksakan, memaksakan diri untuk tidur sama saja dengan membuat tubuh kita tidak rileks , padahal untuk memulai tidur yang berkualitas seseorang harus membuat diri baik fisik maupun psikisnya rileks serta membiarkan rasa kantuk muncul secara alami.
Insomnia bisa disebabkan oleh berbagai factor, diantaranya adanya pengaruh hormonal, obat-obatan, dan kejiwaan, bisa juga karena factor luar misalnya tekanan batin, suasana kamar tidur yang tidak nyaman, ribut atau suasana sekitar tidak tenang, serta perubahan waktu karena harus kerja malam. Kesukaan seseorang untuk mengkonsumsi kopi dan teh yang mengandung zat perangsang susunan syaraf pusat, tembakau yang mengandung nikotin, obat penurun berat badan yang mengandung amfetamin, adalah contoh bahan-bahan yang mempengaruhi kesulitan tidur. Banyak ahli menyatakan bahwa gangguan tidur tidak berhubungan langsung dengan penurunan hormone, namun kondisi psikologis dan meningkatnya kecemasan, gelisah, serta emosi yang sering tidak terkontrol akibat menurunnya hormone esterogen misalnya pada saat masa menstruasi, bisa menjadi salah satu penyebab meningkatnya resiko gangguan tidur (insomnia). Morin (Espie, 2002) menyebutkan bahwa penyebab utama gangguan tidur (insomnia) adalah adanya permasalahan emosional, kognitif, dan fisiologis. Ketiganya berperan terhadap terjadinya disfungsi kognitif , kebiasaan yang tidak sehat, dan factor penyebab insomnia.
D. Penanganan Gangguan Tidur
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah gangguan tidur. Disini kita membagi dua pendekatan untuk menyelesaikan penanganan gangguan tidur yaitu pendekatan biologis dan pendekatan psikis.
1. Pendekatan Biologis.
Dalam biologis, obat-obatan anti kecemasan sering digunakan untuk mengatasi insomnia, obat yang secara luas digunakan misalnya benzodiazepine (contoh: valium, Librium, dan Antivan) dan Zolpidem (merk dagang ambiven), namun sebenarnya penggunaaan obat0obat tersebut dapat menghasilkan ketergantungan kimiawi jika digunakan dalam waktu yang lama.
Ketika digunakan dalam jangka waktu singkat, obat-obatan seperti diatas biasanya efektif mempercepat proses tidur, meningkatkan waktu tidur total, dan mengurangi keadaan terjaga di malam hari. Proses kerja obat-obatan tersebut adalah dengan dengan mengurangi tingkat keterjagaan saat malam hari dan membangkitkan parasaan tenang.
Beberapa masalah dihubungkan dengan penggunaan obat untuk menyelesaikan gangguan tidur, obat-obatan tersebut dapat menyebabkan perasaan menggantung pada keesokan harinya dan berlanjut dengan rasa mengantuk yang sangat pada siang harinya serta penurunan produktivitas kerja. Pada penggunaan yang sudah terlalu berlebih akan menyebabkan ketergantungan, yang dapat memunculkan simtom putus zat setelah terjadi penghentian konsumsi obat termasuk agitasi, menggigit, mual, sakit kepala, dan pada kasus yang paling parah terjadi delusi dan halusinasi.
Mengandalkan obat tidur tidak dapat mengatasi penyebab yang mendasari masalah. Jika obat-obatan tersebut ditujukan untuk mengatasi gangguan tidur, maka obat tersebut hanya oleh digunakan dalam waktu yang singkat, (palinglama beberapa minggu saja)dan pada dosis yang sangat rendah. Tujuan penggunaan biasanya hanya untuk membantu klinisi untuk menemukan cara yang efektif dalam mengatasi sumber stress dan kecemasan yang menyebabkan insomnia.
Pendekatan biologis yang lain yang bisa dilakukan adalah dengan pelatihan relaksasi religius, Pelatihan relakasi religius cukup efektif untuk memperpendek waktu dari mulai merebahkan hingga tertidur dan mudah memasuki tidur. Hal ini membuktikan bahwa relaksasi religius yang dilakukan dapat membuat lebih relaks sehingga keadaan kesulitan ketika mengawali tidur dapat diatasi dengan treatmen ini. Penggunaan kaset relaksasi religius cukup membantu subjek dalam mengawali tidur. Pada umumnya subjek melaporkan bahwa dengan mengikuti kaset relaksasi dirinya lebih mudah untuk tertidur, ada beberapa hal yang menyebabkan mereka mudah tertidur antara lain instruksi diucapkan dengan pelan dan mudah diikuti.
Pelatihan relaksasi dapat memunculkan keadaan tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat semakin lambat akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat dan tertidur. Hal ini sesuai dengan pendapat Panteri (1993) yang menggambarkan neurofisiologi tidur sebagai berikut: Pada saat berbaring dalam keadaan masih terjaga seseorang berada pada gelombang otak beta, hal ini terjadi ketika subjek mulai merebahkan diri tidur dan mengikuti instruksi relaksasi religius yaitu pada tahap pengendoran otot dari atas yaitu kepala hingga jari jari kaki. Selanjutnya dalam keadaan yang lelah dan siap tidur mulai untuk memejamkan mata, pada saat ini gelombang otak yang muncul mulai melambat frekwensinya, meninggi tegangannya dan menjadi lebih teratur. Pada tahap ini subjek mulai merasakan relaks dan mengikuti secara pasif keadaan relaks tersebut hingga muncul rasa kantuk.
2. Pendekatan Psikologis
Secara kseluruhan pendekatan dengan penanganan kognitif –behavioral telah menghasilkan menfaat yang penting dalam menangani insomnia kronis, seperti yang diukur baik dalam pengurangan sejumlah besar waktu yang dibutuhkan untuk dapat tertidur dan jumlah terjaga pada malam hari, maupun dalam peningkatan kualitas tidur.
Teknik kognitif-behavioral menekankan pada jangka pendek berfokus pada penurunan langsung kondisi fisiologis yang timbul dan memodifikasi kebiasaan yang maladaptive.
Salah satu teknik yang dipakai kognitif-behavioral adalah control stimulus yaitu dengan melibatkan perubahan stimulus lingkungan yang diasosiasikan yang diasosiasikan dengan tidur. Dibawah kondisi formal, kita belajar untuk mengasosiasikan stimulus yang menghubungkan berbaring di tempat tidur dengan tidur, sehingga pemaparan terhadap stimulus terhadap stimulus ini dapat meningkatkan rasa kantuk. Teknik ini bertujuan untuk memperkuat hubungan antara tempat tidur dan tidur dengan sebisa mungkin membatasi aktifitas ditempat tidur hanya untuk tidur.
Biasanya seseorang mengalami insomnia disebabkan oleh kecemasan dan stress yang dialami orang tersebut. Kecemasan, stress, atau depresi inilah yang harus diselesaikan jika ingin masalah gangguan tidur teratasi.
Kecemasan dan stress dapat diatasi dengan menggunakan cara tersenyum dan tertawa, cara ini berdasarkan Facial Feedback Hypotesis. Biasanya keadaan emosi seseorang direfleksikan melalui ekspresi wajah. Keadaan emosional yang bahagia tampak pada wajah bahagia, dan keadaan emosional yang sedih tampak pada wajah sedih.
Ekspresi senyum mengakibatkan masalah yang dialami tidak berlarut-larut, hidup menjadi lebih ringan, seakan-akan tidak ada beban atau pikiran yang mengganggu (Nida, 1997). Darwin (Hodginson, 1991) adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa gerakan otot zygomatis major (otot yang dapat menarik sudut bibir ke atas sampai tulang pipi) merupakan pusat ekspresi pengalamna emosi positif. Otot tersebut menurut Waynbaum akan menyebabkan aliran darah ke otak meningkat, sehingga semua organ tubuh dan jaringan tubuh menerima oksigen dan hal ini menyebabkan perasaan gembira. Ketika perasaan gembira telah datang maka secara otomatis perasaan cemas dan stress akan berkurang. Hal ini juga berhubungan dengan insomnia, yaitu ketika stress berkurang atau hilang maka kemungkinan seseorang mengalami insomnia akan semakin kecil, atau jika seseorang sudah mengalami insomnia, maka pola tidurnya akan kembali normal.
E. Kesimpulan
Insomnia adalah masalah gangguan tidur berupa kesulitan untuk tidur yang biasanya disebabkan oleh kecemasan dan stress yang dialami oleh seseorang. Selain itu banyak factor yang mempengaruhi terjadinya insomnia diantaranya pengaruh hormonal, obat-obatan, dan kejiwaan, bisa juga karena factor luar misalnya tekanan batin, suasana kamar tidur yang tidak nyaman, ribut atau suasana sekitar tidak tenang, serta perubahan waktu karena harus kerja malam. Kesukaan seseorang untuk mengkonsumsi kopi dan teh yang mengandung zat perangsang susunan syaraf pusat, tembakau yang mengandung nikotin, obat penurun berat badan yang mengandung amfetamin, adalah contoh bahan-bahan yang mempengaruhi kesulitan tidur.
Kemudian beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani masalah gangguan tidur ini dibagi menjadi dua pendekatan. Pertama adalah dengan pendekatan biologis, adalah dengan mengkonsumsi obat-obatan anti kecemasan, namun penggunaan obat-obatan tersebut hanya pada jangka waktu yang singkat dan dengan dosis yang sangat rendah, karena jika dikonsumsi dengan jangka waktu lama dan dosis yang relative tinggi akan mengakibatkan ketergantungan. Cara lain yaitu dengan pelatihan relaksasi religius dengan memberikan instruksi diucapkan dengan pelan dan mudah diikuti. Pelatihan relaksasi dapat memunculkan keadaan tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat semakin lambat akhirnya membuat seseorang dapat beristirahat dan tertidur.
Kemudian pendekatan psikologis dilakukan dengan cara kognitif-behavioral yaitu dengan melibatkan perubahan stimulus lingkungan yang diasosiasikan yang diasosiasikan dengan tidur. Pendekatan psikologis lain yaitu dengan cara menurunkan kecemasan dan stress melalui tersenyum dan tertawa disaat merasa sedih, hal ini didasarkan pada Facial Feedback Hypothesis, yaitu perubahan wajah merupakan penyebab munculnya emosi.
Daftar Pustaka
Hasanat, Ul Nida. 1997. Anda Sedang Bersedih? Cobalah Tersenyum atau Tertawa…(Suatu Bukti dari Facial Feedback Hypotesis). Jurnal Psikologi, bulletin Psikologi, Tahun V, Nomor 2, 0854-7108.
Nevid, Jeffrey. S. dkk. 2003. Psikologi Abnormal, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Purwanto, Setiyo. 2007. Jurnal Psikologi: Pengaruh Religius Untuk Mengurangi Gangguan Insomnia. Surakarta: Fakultas Muhammadiyah Surakarta.
Zulaeka, Siti. 2007. Jurnal Psikologi: Gangguan Tidur Insomnia. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas muhammadiyah Surakarta.

2 komentar: