Kamis, 16 Mei 2013

Kebijakan Obat Murah Dan Peningkatan Derajat Kesehatan Masyarakat


Obat bukan semata-mata komoditi ekonomi tetapi sekaligus komoditi sosial. Dalam Kebijakan Obat Nasional (Konas) disebutkan antara lain bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial. Oleh karena itu pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat. Sedangkan pelaku usaha bertanggung jawab atas mutu obat, sementara itu masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar tentang obat.
Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat (drug availability) di seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan nyata dan pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang tidak mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.
Dengan adanya Program Obat Rakyat, Murah dan Berkualitas diharapkan dapat menunjang strategi utama Depkes yaitu semua desa menjadi Desa Siaga, dimana setiap desa memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan mencegah serta mengatasi masalah kesehatan, termasuk mampu menyediakan obat untuk pelayanan kesehatan dasar. Dalam Desa Siaga minimal terdapat satu Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) sebagai upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.
Sumber pengadaan obat Poskesdes berasal dari Pemerintah melalui Puskesmas maupun bantuan donatur Poskesdes. Namun sebagai UKBM diharapkan Poskesdes dapat menyediakan obat sendiri. Maka dengan adanya kebijakan obat murah diharapkan ketersediaan obat di setiap desa dapat tercapai, terutama obat-obatan esensial yang sering digunakan.
Untuk Indonesia yang rakyatnya kebanyakan hidup miskin dan mudah terserang penyakit, ketersediaan obat murah tentu saja menjadi harapan. Sayangnya, harapan itu tak kunjung datang, obat rakyat yang murah dan berkualitas yang pernah dijanjikan pemerintah hanya dianggap sebagai obat murahan yang tak berkualitas.
Menteri Kesehatan yang saat itu menjabat yaitu  Siti Fadilah Supari meluncurkan program obat murah untuk rakyat sedikit miskin yang diproduksi oleh Indofarma. Program tersebut telah menghadirkan harapan baru bagi rakyat yang sedang "panik" mengingat harga obat yang terus merangkak naik, dan tentunya sangat menyengsarakan rakyat kecil. Kita tentu paham, untuk memenuhi kebutuhan makan saja mereka sudah kepayahan, apalagi harus ditambah dengan kebutuhan obat yang harganya kian melangit.
Program obat murah itu menyangkut pengadaan 20 jenis obat generik tak berlogo hasil kerja sama pemerintah dengan PT Indofarma. Sepuluh obat serba seribu itu di antaranya adalah obat batuk dan flu, obat flu, batuk berdahak, asma, penurun panas anak, penurun panas, tambah darah, maag, sakit kepala, dan indo obat batuk cair. Dilihat dari jenis obat- obat tersebut dapat dimengerti bahwa obat-obat itu sangat dibutuhkan masyarakat, apalagi pada kondisi cuaca buruk.
Menurut Menteri Kesehatan, program itu juga bertujuan untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi tamatan apoteker yang masih menganggur serta mencegah terjadinya pemalsuan obat. Dengan murahnya harga obat, maka pemalsuan obat diharapkan dapat ditekan, dan penggunaan obat generik tak berlogo dalam jumlah besar itu tentunya akan membuka lowongan kerja baru bagi tamatan apoteker.
Ironisnya, belum juga rakyat miskin bernafas sedikit lega, ada berita tak sedap didengar. Obat itu sering tak sampai ke tangan konsumen karena langsung dibeli oleh para spekulan. Tapi, pemerintah berjanji akan menangani para spekulan obat yang tak bermoral itu, dan menjamin, obat murah itu akan dapat dengan mudah didapat di warung-warung pada 3-6 bulan setelah penetapan itu.
Kini telah hampir 3 tahun berlalu sejak penetapan tersebut dan yang terjadi adalah tren pasar obat generik ternyata justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2001 pasar obat generik mencapai 12 persen, tahun lalu tinggal 7,23 persen. Artinya program obat murah belum menunjukkan dampak yang berarti bagi rakyat miskin, bahkan boleh dikatakan tak mendapat respons yang cukup tinggi. Apalagi dengan banyaknya obat generik yang kini bermunculan timbul anggapan, bahwa itu bukan obat murah dalam arti obat berkualitas dengan harga murah, tapi itu adalah obat murahan yang rendah kualitas.
Boleh saja pada waktu peluncuran pertamanya, Menteri Kesehatan menjelaskan, "itu obat rakyat yang murah dan berkualitas, dan kualitasnya ada dalam pemantauan", jadi bukan obat murahan yang tidak berkualitas. Tapi pada realitasnya program tersebut belum mengena dihati rakyat miskin. Lantas apa yang salah dengan program obat murah tersebut sehingga tidak digemari oleh masyarakat, dan sayangnya juga obat generik tak berlogo itu juga tak dikenal para dokter pada umumnya dengan baik.

Realisasi Program
Niat baik pemerintah untuk menghadirkan obat murah sesungguhnya patut mendapat pujian. Itu adalah kebijakan yang cerdas dan berpihak pada masyarakat, dalam hal ini masyarakat miskin. Kita semua tahu, obat adalah kebutuhan yang amat penting, bahkan telah menjadi kebutuhan dasar setiap orang, karena tak seorangpun yang bebas dari serangan penyakit. Terlebih lagi ketika terjadi perubahan cuaca, atau pada kondisi cuaca buruk, karena itu, pastilah semua orang membutuhkan obat, dan penetapan obat murah tentu saja akan sangat membantu masyarakat.
Sangat disayangkan, promosi obat murah yang diluncurkan pemerintah itu, tidak segencar promosi obat yang harganya selangit. Bukan hanya masyarakat yang asing dengan obat murah itu, tetapi juga para dokter. Apalagi dengan banyaknya jenis obat generik yang kini beredar, kita tentu paham promosinya tentu saja membutuhkan biaya tinggi. Belum lagi banyaknya obat generik yang kini beredar (obat generik, obat generik tak berlogo, obat generik berlogo) justru membuat masyarakat cenderung meragukan khasiatnya.
Tren menurunnya obat generik itu mengindikasikan bahwa hingga kini program obat murah itu kurang dipercaya oleh dokter ataupun masyarakat Dalam diskusi bertajuk, "Obat Generik, Obat Murah atau Murahan", tanggal 27 Februari 2008  terlontar kesaksian bahwa dalam pengalaman penggunaannya, obat generik ternyata juga memiliki kualitas yang rendah, sehingga dokter pun enggan memberikannya pada pasien, belum lagi dengan adanya efek samping yang mengakibatkan efektivitas obat generik itu dipertanyakan. Lebih aneh lagi obat generik itu ternyata masih juga sulit di dapat di apotek, padahal jumlahnya mencapai ratusan dan sering membuat pusing dokter untuk mengingatnya.
Harus diakui, semua kejelekan yang ditempelkan pada obat murah itu memang belum merupakan hasil penyelidikan yang terpercaya, namun setidaknya itu mestinya menjadi pendorong untuk pemerintah mengevaluasi program obat murah tersebut. Kalau tidak berapa banyak uang yang harus terbuang percuma untuk membiayai program obat murah itu.
 Perlu Koordinasi
Kegagalan obat murah untuk dipercaya oleh masyarakat sebenarnya terkait minimnya koordinasi pemerintah dengan para dokter. Demikian juga dengan penjual obat, dalam hal ini pemilik apotek, yang merupakan media penting bagi promosi tersebut, jika memang pemerintah tak punya cukup uang untuk mempromosikan obat murah itu layaknya promosi obat bermerek.
Apabila koordinasi Departemen Kesehatan terjalin baik dengan para dokter, masyarakat tentu akan dapat menerima obat murah tersebut, karena yang merekomendasikannya adalah dokter yang bertanggung jawab merawatnya. Ini, tentunya akan memangkas biaya iklan yang sangat tinggi.
Kurangnya koordinasi itu juga terlihat, dengan tidak bersedianya dokter memberikan obat generik karena kuatir akan efek samping dari penggunaan obat tersebut. Padahal, jika ada koordinasi, pastilah ada umpan balik dari para dokter sebagai upaya penjagaan kualitas obat murah tersebut.
Koordinasi yang tidak baik juga tercipta antara departemen kesehatan dengan pemerintah kabupaten di daerah. Pemkab mengaku kesulitan untuk memantau peredaran obat murah tersebut. Hal itu terjadi, karena kebijakan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan surat edaran ke setiap daerah. Padahal Departemen Kesehatan RI sudah memproklamirkan peredaran obat serba murah, yakni seribu rupiah itu, sudah beredar sejak 2 bulan lalu. Salah satu daerah yang merasakan kesulitan dalam memantau peredaran obat murah adalah daerah sumenep, melalui Kepala Bidang Farmasi dan Promosi Dinas Kesehatan Sumenep, mengatakan, kesulitan yang dihadapi Pemkab maupun pihaknya dalam memantau peredaran obat murah itu, karena Depkes masih terkesan setengah hati dalam mensukseskan peredaran obat murah serba seribu tersebut. Menurutnya, obat murah yang dipasarkan Dinas Kesehatan Sumenep itu, kurang diminati oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat cenderung lebih suka berobat ke Puskesmas dengan menggunakan obat generik, dan kurangnya peminat obat murah itu, dimungkinkan juga kurang sosialisasi dari Dinas Kesehatan mengenai kegunaan maupun efek dari obat serba murah tersebut
Sangat disayangkan, jika program obat murah yang terdengar indah di telinga itu hanya indah di atas kertas, apalagi mengingat begitu berartinya obat bagi masyarakat miskin. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kesehatan sudah sepatutnya mengevaluasi program obat murah tersebut. Jika tidak, obat murah untuk rakyat hanya akan menjadi mimpi indah yang tak pernah menjadi kenyataan.

 Peningkatan Derajat Kesehatan
Sudah jelas bahwa tujuan utama dari kebijakan program obat murah dan berkualitas ini adalah peningkatan derajat kesehatan di Indonesia. Program ini menjadi tiang dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, sehingga mampu mewujudkan Indonesia 2020. Namun kenyataan dilapangan berbicara lain, karena ternyata program yang baik belum tentu dapat berhasil baik. Sejumlah faktor-faktor penghambat ditemui dilapangan dan mengagalkan keinginan dalam peningkatan derajat kesehatan di Indonesia
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa derajat kesehatan paling dipengaruhi oleh perilaku masyarakat sendiri. Dalam kebijakan obat murah ini, ketidakpercayaan masyarakat terhadap program ini merupakan faktor perilaku yang memegang peranan penting terhadap hambatan dalam kesuksesan program ini.
Perilaku masyarakat sendiri yang tidak mendukung program ini menjadi batu sandungan besar yang dihadapi program ini. Selain masalah kepercayaan, adanya distributor nakal yang ingin mengambil kesempatan juga merupakan salah satu perilaku masyarakat yang merugikan. 
Melalui teori blumm dapat dilihat bahwa dalam membuat suatu kebijakan sehingga mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat diperlukan pendekatan-pendekatan yang terhadap perilaku masyarakat sendiri. Suatu kebijakan yang baik memerlukan analasis tajam terhadap kondisi masyarakat itu sendiri agar program yang dihasilkan mampu tepat guna, tepat sasaran sehingga efektif dan efisien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar