Kamis, 16 Mei 2013

Kerusuhan - Konflik SANGGAU LEDO


            Kerusuhan sanggau ledo merupakan salah satu konflik berdarah yang pernah terjadi di Indonesia sekitar akhir tahun 1996 dan awal tahun 1997. Konflik tersebut terjadi antara dua kelompok suku kebudayaan yang tinggal di Kalimantan barat yaitu kelompok suku pendatang Madura dan kelompok suku asli Dayak.  Sebuah sumber tidak resmi menyebutkan bahwa korban jiwa pada kasus kerusuhan tersebut mencapai 1.720 jiwa sedangkan Pemda Kalimantan Barat menyebut angka 400 orang.
            Awal mula kerusuhan terjadi pada awal-awal bulan September 1996. Bermula dari sebuah pertunjukan musik dangdut yang sedang digelar di Kecamatan Ledo yaitu 20km dari Kecamatan Sanggau Ledo. Tindakan iseng seorang pemuda suku Madura menjadi pemicu konflik tersebut terjadi. Bahari (ada sumber lain menyebut barri’i) dan kawan-kawannya iseng bermaksud untuk mengajak beberapa orang gadis suku Dayak dari kecamatan yang sama untuk menonton pertunjukan musik dangdut.  Bahari dan kawan-kawannya mencoba memaksa gadis-gadis tersebut dengan menarik-narik  tangan mereka untuk menaiki kendaraan umum yang sudah harus segera bertolak menuju Kecamatan Ledo. Ketika peristiwa tarik-menarik itu terjadi, datanglah seorang pemuda suku Dayak bernama Yakundus Pangau dan beberapa orang kawannya menyaksikan kejadian tersebut mencoba untuk mencegah tindakan Bahari. Kebetulan seorang gadis yang diganggu tersebut adalah kemenakan Yakundus Pangau. Kejadian itu diwarnai dengan adu mulut antara kedua kelompok pemuda tersebut yang kemudian akhirnya menjadi perkelahian. Kekalahan terjadi di pihak Bahari dan kawan-kawannya.
            Pada tanggal 29 desember 1996, seusai pertunjukan musik dangdut di kecamatan yang sama, Yakundus Pangau dan seorang kawannya bernama Akim Epegius dicegat oleh Bahari dan kawan-kawannya. Saat Yakundus Pangau sedang berbicara dengan Bahari, tiba-tiba Ia dan Akim roboh bersimbah darah karena ditusuk pisau oleh Bahari dan kawan-kawannya. Yakundus dan Ekim kemudian dilarikan ke rumah sakit oleh warga sekitar dan peristiwa tersebut dilaporkan ke kantor polsek Kecamatan Ledo.
            Pada tanggal 30 desember 1996, Keluarga Yakundus dan sejumlah pemuda dari Kecamatan Sanggau Ledo mendatangi kantor polsek Kecamatan Ledo untuk menanyakan apakah Bahari dan kawan-kawannya sudah ditangkap. Merasa tidak puas dengan jawaban polsek, Keluarga Yakundus memberikan tenggang waktu hingga jam 12.00 siang ini untuk menahan Bahari dan kawan-kawannya. Kemudian pada pukul 12.00 siang, sekitar 300 orang dari Kecamatan Sanggau Ledo mendatangi kantor polsek untuk memperoleh kepastian apakah Bahari telah ditahan. Namun ternyata Bahari dan kawan-kawannya tidak ditemukan di kantor polsek, kemudian mereka meminta polisi untuk berunding dengan tokoh-tokoh Masyarakat Dayak dan Masyarakat Madura untuk menemukan penyelesaian. Namun polisi, tidak memenuhi tuntutan mereka dengan alasan kepolisianlah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun Masyarakat Kecamatan Sanggau Ledo tidak berhenti begitu saja, akhirnya mereka pergi ke Dusun Merabu tempat Orang-Orang Madura tinggal yang ternyata dusun tersebut telah kosong. Orang-orang Dayak mengira mereka telah mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan. Mereka menjadi sangat emosional apalagi ketika mereka mendengar berita Yakundus Pangau dan Akim Epegius meninggal dunia. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran masyarakat Madura terhadap apa yang disebut sebagai Perjanjian Salamantan. Perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa perdamaian antara Masyarakat Suku Madura dan Suku Dayak menyusul konflik berdarah yang terjadi di Kecamatan Salamantan tahun 1979 hanya dapat dijamin dengan dipenuhinya janji Masyarakat Madura untuk tidak pernah lagi melakukan pembunuhan atas Orang Dayak.  Maka terjadilah pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah Orang Madura.
            Itulah awal dari kerusuhan berdarah antara Masyarakat Suku Madura dan Suku Dayak akhir tahun 1996 dan awal tahun 1997 yang lalu yang lebih dikenal dengan Kasus Kerusuhan Sanggau Ledo. Konflik itu terjadi ketika, Propinsi Kalimantan Barat sedang mengalami pembangunan perekonomian hingga berhasil menyejajarkan dengan propinsi lain yang sudah berkembang.
            Faktor-faktor yang menyebabkan konflik kerusuhan terjadi tak hanya satu faktor saja yang menyebabkannya. adanya perekonomian yang kurang merata, suku yang beragam dan agama turut serta dapat mengembangkan konflik yang semula hanya kecil. Pemerintahan yang saat itu lebih difokuskan pada satu lembaga atau satu daerah (sentralisasi) menyebabkan keseimbangan baik dalam bidang pendapatan, maupun kesejahteraan masyarakatnya kurang merata. Perkembangan pembangunan jaringan dan komunikasi di Kalimantan Barat hanya berpusat pada kawasan sempit sepanjang pantai barat Propinsi Kalimantan Barat yaitu daerah Kotamadya Pontianak, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sambas. Sehingga daerah pedalaman di Kalimantan Barat seolah-olah kurang diperhatikan dan dipentingkan. ”Bidang-bidang basah” dalam perekonomian seperti perdagangan dikuasai oleh etnis pendatang seperti Tionghoa dan Madura, membuat suku asli Dayak terpinggirkan. Pada bidang politik pun dikuasai oleh orang-orang luar atau orang-orang kepercayaan pemerintah sentral di Jakarta. Sehingga tak memberikan peluang kepada mereka Putra Asli, sedangkan mereka Orang Dayak hanya menggantungkan hidup mereka pada siklus perputaran pertanian ladang berpindah. Hutan yang sebagai penghidupan mereka sehari-hari dan sebagai lahan utama untuk melakukan pertanian ladang pun mulai dikuasai para pendatang dari luar Kalimantan Barat. Akibatnya Orang-Orang Suku Dayak semakin teralienasi dari peradabannya sendiri.
            Selain itu adanya stereotype antar kedua suku, juga memperjelas mengapa kasus kerusuhan terus terjadi setelah pengalaman konflik yang sama sebelumnya. Penelitian Huub De Jonge (1995: 7), (op.cit. : 33), menyatakan bahwa Orang Madura merupakan kelompok ketiga terbesar di Indonesia yang memiliki stereotype negatif paling banyak di mata suku-suku lain di Indonesia. Stereotype tersebut biasanya mengarah pada tingkah laku mereka yang dianggap kasar, keras, berani, kuat dan suka membunuh dengan cluritnya. Sebaliknya, Orang Madura juga memiliki pandangan tersendiri mengenai Orang Dayak. Menurut mereka Orang Dayak memiliki tingkah laku yang cenderung pemalas, suka mabuk, pendengki, pengiri, dan senang melakukan pengeroyokan dengan membawa kelompok suku mereka. Persoalan stereotype antar etnis itu tak lebih merupakan sebagai ilusi kolektif dan konstruksi sosial yang dibangun atas dasar pengalaman keseharian yang mereka alami. Padahal hal tersebut belum tentu kebenarannya melainkan hanya sebagai pandangan suatu suku terhadap suku lain. Anggapan yang telah ada tersebut sangat sulit dihapuskan, yang terkadang ujung-ujungnya menyebabkan konflik. Banyaknya faktor yang membuat Orang-Orang Dayak tersingkirkan menyebabkan mudahnya merasa emosional dan tersinggung apalagi menyangkut hal-hal privasi kesukuan mereka yang menyebabkan konflik yang semakin parah yaitu konflik kerusuhan Sanggau Ledo.

3 komentar: