Kamis, 16 Mei 2013

Konflik TIMOR TIMUR


            Timor Timur pada tahun 1999 lalu telah resmi keluar dari Indonesia, namun Timor Timur tetap dianggap pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia. Selama menjadi bagian RI, Timor Timur tidak lepas dari macam konflik seperti daerah-daerah lain di Indonesia. Peristiwa kekerasan kolektif di Timor Timur sudah mulai terjadi semenjak akhir tahun 1991 hingga awal tahun 1997.
Kronologi konflik kekerasan di Timor Timur:
Tanggal 12 November 1991, terjadi peristiwa yang dikenal dengan Santa Cruz yaitu penembakan yang dilakukan oleh ABRI terhadap ribuan penduduk sipil yang akan ke pemakaman umum Santa Cruz di Dili bertujuan untuk mengunjungi makam seorang pemuda yang bernama Sebastio Gomes yang wafat tertembak oleh pasukan ABRI yang menyerbu Gereja Katolik Motael dimana sejumlah pemuda anti integrasi berlindung. Ratusan penduduk sipil mati dalam kejadian ini.
November 1994, pembunuhan seorang pedagang Timor Timur oleh pedagang pendatang dari Sulawesi menyulut kemarahan penduduk asli sehingga mengakibatkan pembakaran Pasar Comoro dan penduduk asli menuntut balas terhadap kematian pedagang asli Timor Timur.
Tanggal 12 Januari 1995, tindakan kekerasan oleh ABRI terhadap enam orang penduduk sipil dalam operasi militer di Kabupaten Liquisa, Timor Timur.
Tanggal 2 September 1995, isu tentang pelecahan terhadap agama katolik oleh sipir Lembaga Permasyarakatan Maliana, Sanusi Abubakar. Hal tersebut mengakibatkan pemberontakan dan pengrusakan rumah Sanusi Abubakar oleh para narapidana Lembaga Permasyarakatan tersebut yang terjadi pada tanggal 4 Sepetember 1995.
Tanggal 4 Sepetember 1995, isu kawin campur antara seorang pemudi yang beragama Roma Katolik dan seorang pemuda yang beragama Protestan. Gereja Katolik menolak memberikan Sakramen Perkawinan, namun pasangan itu memperoleh restu dari Gereja Protestan. Akibatnya sebuah Gereja Protestan Sidang Jemaat Allah di desa Aflacai dibakar dan Gereja Hosana di kampong Naedala dirusak.
Tanggal 5 September 1995, isu pelecahan agama katolik oleh Sanusi Abubakar telah menyebar ke berbagai sekolah di Dili menyebabkan aksi demonstrasi oleh para pelajar dan mahasiswa di Dili yang disertai pula oleh tindakan kekerasan.
Tanggal 21 Februari 1997, tersebarnya berita penghinaan terhadap seorang pastor pimpinan umat Katolik di Pantemakassar Ibukota Kabupaten Ambeno, Timor Timur. Massa bergerak di jalanan sambil membakar pasar dan rumaha-rumah. Lebih dari 3000 jiwa yag kebanyakan adalah pendatang dan non-Katolik terpaksa harus diungsikan. Sebuah pasar dan 52 rumah di desa Costa hangus dibakar massa, sedang korban manusia 10 orang luka-luka dan 1 orang tewas.
            Umumnya konflik kekerasan yang terjadi di Timor Timur lebih mengarah pada kondisi ekonomi, politik, sosial dan isu SARA yang berkembang antar warga disana. Semenjak pemerintah menetapkan propinsi Timor Timur adalah propinsi terbuka, menyebabkan banyaknya suku lain non-Timor Timur untuk mengadu nasib mereka di propinsi tersebut.  Suku-suku mayoritas yang datang ke propinsi itu adalah suku Makasar, Bugis, dan Buton. Ketiga suku tersebut memiliki kemampuan yang lebih dalam berusaha dan keberanian mereka untuk masuk ke daerah pedalaman di wilayah Timor Timur membuat mereka berhasil dan mampu mendominasi bahkan pada sektor perdagangan. Selain itu suku Makasar terkenal sebagai da’i agama yang gigih sehingga ragam agama di propinsi tersebut bertambah. Dalam kondisi demikian, penduduk asli akan merasa semakin dikuasai oleh para pendatang baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Masyarakat penduduk asli Timor Timur pun akan merasa goyah terhadap identitas diri masyarakat dan budayanya akibat datangnya suku-suku non-Timor Timur. Hal tersebut pun akan menyertakan pula pengaruh agama dan budaya baru di Timor Timur yang awalanya di Propinsi tersebut hanya mengenal agama Katolik sebagai agama mayoritas di Timor Timur. Dominasi pendatang baru di Timor Timur dianggap sebagai biang keladi terjadinya konflik kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar