Kamis, 16 Mei 2013

PERAN MAHASISWA DALAM MENGEMBAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI


A.     Pendahuluan

Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal mempunyai tiga missi yang diemban yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat atau lebih dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga missi yang diembankannya tersebut bukanlah missi yang ringan untuk direalisasikan. Missi pendidikan di Perguruan Tinggi merupakan proses berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya, agar dengan demikian proses alih generasi juga diikuti dengan proses alih ilmu pengetahuan dalam arti luas. Kemudian untuk menghindari stagnasi ilmu pengetahuan yang berorientasi pada tuntutan zaman, maka dalam proses berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan membutuhkan pengembangan konsep atau teori ke arah konsep atau teori yang lebih baik. Usaha pengembangan teori atau konsep dilaksanakan secara sistematis dan melalui prosedur ilmiah, kegiatan ini disebut penelitian.
Usaha pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan oleh perguruan tinggi harus senantiasa memiliki pijakan dan relevansi dengan kondisi masyarakat. Usaha memformulasikan peran Perguruan Tinggi dalam dinamika  masyarakat inilah yang lebih dikenal dengan nama pengabdian masyarakat.
Berdasarkan missi yang diembannya maka dapat dikatakan bahwa Perguruan Tinggi mempunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga kajian dan sebagai lembaga layanan. Sebagai lembaga kajian maka Perguruan Tinggi mengembangkan ilmu sebagai proses, sedangkan perannya sebagai lembaga layanan menghasilkan ilmu sebagai produk.
Dalam posisi sebagai lembaga kajian dan lembaga layanan maka Perguruan Tinggi berfungsi sebagai konseptor, dinamisator dan evaluator pembangunan masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Fungsi konseptor terwujud melalui produk ilmiah yang dihasilkannya. Melalui serangkaian tindakan imiah yang dilaksanakan, Perguruan Tinggi hendaknya mampu memprediksi kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan, tetapi pada saat itu juga memiliki kemampuan menyusun suatu teori atau konsep yang dibutuhkan pada masa kini.
Fungsi dinamisator secara langsung terlihat pada lulusan Perguruan Tinggi yang terdiri dari tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat berperan di dalam masyarakatnya. Sehingga tenaga-tenaga ahli tersebut dapat berperan sebagai dinamisator dalam laju pembangunan masyarakat. Banyaknya tenaga ahli lulusan Perguruan Tinggi yang terlibat dalam gerak pembangunan dimungkinkan timbulnya pemikiran-pemikiran baru, langkah-langkah inovatif  yang konsepsional dan lahirnya aspirasi-aspirasi baru.
Selanjutnya fungsi evaluator dilakukan bersama-sama oleh segenap warga sivitas akademika di dalam Perguruan Tinggi, melalui penelitian terhadap berbagai dampak pembangunan. Dengan pengertian yang lebih luas maka Perguruan Tinggi hendaknya mampu bertindak sebagai pelopor pembaharuan dan  modernisasi. Kemudian bersamaan dengan itu Perguruan Tinggi mampu pula bertindak sebagai agen perubahan sosial sekaligus sebagai pengawas sosial, sehingga dapat memberi warna terhadap arah laju perkembangan dan pembangunan masyarakat.

B.     Upaya Meningkatkan Peran Mahasiswa

Untuk mewujudkan peran Perguruan Tinggi seperti yang diungkapkan di muka maka dalam proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi perlu dikembangkan kultur kebebasan mimbar (academic freedom culture).
Pengembangan kultur kebebasan mimbar tersebut diupayakan untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa. Dalam kehidupan Perguruan Tinggi, pemanfaatan mimbar ilmiah dalam meningkatkan kepekaan mahasiswa adalah tidak terlepas dari karakter khas dan fungsi Perguruan Tinggi itu sendiri yaitu membentuk insan akademik intelektualis yang dapat mempertanggungjawabkan  kualitas keilmuannya dan membentuk insan akademis yang mengabdi (sensitif/ involve) terhadap masyarakat. Jadi ada dua manfaat yang mendasar dari mimbar ilmiah, pertama untuk meningkatkan kepekaan kualitas intelektual mahasiswa, dan kedua untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap masyarakat (lingkungannya).
Upaya mendasar agar aplikasi pemanfaatan mimbar ilmiah itu bisa terselenggara maka harus tercipta kultur kebebasan mimbar (academic freedom culture) yang didukung oleh semua komponen Perguruan Tinggi. Kultur kebebasan mimbar bisa terwujud jika didukung adanya kebebasan belajar (freedom to learn) dan kebebasan berkomunikasi (freedom to communication). Kedua kebebasan ini merupakan sisi dari kebebasan mimbar dan merupakan upaya yang tepat dalam meningkatkan kepekaan mahasiswa.

Freedom To Learn
Oleh karena implikasi Perguruan Tinggi tidak terlepas dari pengabdian masyarakat, maka kebebasan belajar (freedom to learn) harus diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada dinding-dinding kampus, akan tetapi juga kebebasan untuk mempelajari persoalan-persoalan yang ada di luar dinding-dinding kampus (masalah riil dalam masyarakat). Dan kebebasan untuk mempelajari masalah riil dalam masyarakat ini adalah fokus yang terlebih penting dalam mencetak mahasiswa yang betul-betul berurusan dengan masyarakatnya.
Adanya kebebasan belajar yang berimplikasi sosial (masyarakat), dilihat dari pengembangan intelektual adalah sangat menguntungkan. Hal ini dikarenakan ramuan ilmu yang dikonsumir oleh mahasiswa sebagian dari dunia luar yang kondisinya lain dengan apa yang ada dalam masyarakat Indonesia.  Sebagai konsekwensinya apabila konsep-konsep serta teori yang datang dari luar tersebut mau digunakan untuk memecahkan problem-problem kemasyarakatan Indonesia maka memerlukan modifikasi dan penyesuaian seperlunya.
Dengan demikian mahasiswa dalam pengembangan intelektualnya tidak bisa berpaling dari masalah kemasyarakatan. Dan apabila keterlibatan mahasiswa dalam memahami masalah kemasyarakatan tidak dikembangkan maka ilmu-ilmu yang diterima di bangku kuliah akan menjadi pisau analisa yang tumpul. Alasan ini ditunjang oleh GBHN bahwa usaha pembinaan  mahasiswa diarahkan agar berjiwa penuh pengabdian sera memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara, sehingga bermanfaat bagi usaha-usaha nasional dan pembangunan daerah.
Freedom To Communication
Setelah adanya kebebasan belajar (freedom to learn)  sebagai langkah awal dari cara mempelajari persoalan-persoalan yang ada di lingkungan kampus dan masyarakat, maka untuk lebih meningkatkan kepekaan mahasiswa dalam  memperluas cakrawalan pemikiran dan penalaran, menumbuhkan sikap dinamis, kritis, terbuka dan mempunyai kemampuan untuk memilih alternatif  terbaik diperlukan terciptanya cultur kebebasan berkomunikasi (freedom to communication).
Kebebasan berkomunikasi yang baik adalah adanya peluang mahasiswa untuk berpendapat, bertanya, berhak untuk melontarkan gagasan ilmiah secara obyektif serta kebebasan untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan publikasi hasil-hasil penelitian kepada seluruh komponen Perguruan Tinggi  dan terhadap lingkungan masyarakatnya.
Dalam rangka terwujudnya kebebasan berkomunikasi ini, maka perlu adanya  hubungan kerjasama antara mahasiswa dengan komponen-komponen di lingkungan Perguruan Tinggi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, diskusi, Pers, dan sebagainya. Sebab menciptakan kultur kebebasan mimbar ilmiah adalah merupakan tanggung jawab seluruh sivitas akademika Perguruan Tinggi.
Barangkali dengan pengertian freedom to learn dan freedom to communication  tersebut mimbar ilmiah benar-benar dapat bermanfaat dalam meningkatkan kepekaan mahasiswa untuk mewujudkan peran Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar