Jumat, 07 Juni 2013

Sanksi Hukum Pidana Bagi Anak


1. Jenis-jenis Pidana dan Tindakan bagi anak
Pada waktu Wetboek van strafrecht terbentuk pada tahun 1881, didalamnya orang dapat menjumpai Pasal 38 dan Pasal 39 yang mencerminkan pendapat dari penyusunnya, seolah-olah anak-anak itu tidak dapat di tuntut menurut hukum pidana, apabila mereka itu sebelum mencapai usia sepuluh tahun telah melakukan sesuatu tindak pidana.
Apabila mereka yang telah melakukan suatu tindak pidana dan tindak pidana itu menurut Wetboek van strafrecht ternyata merupakan suatu kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, maka hakim perdata dapat memerintahkan agar pelakunya dimasukkan ke dalam apa yang disebut rijksopvoedingsgesticht atau ke dalam suatu lembaga pendidikan kerajaan. (Lamintang, 1986:156)
Apabila pelaku dari kejahatan tersebut ternyata merupakan seorang anak yang telah berusia sepuluh tahun atau lebih akan tetapi belum mencapai usia enam belas tahun, maka hakim pidana harus menyelidiki apakah dalam melakukan kejahatan itu, pelakunya  dapat membuat suatu oordeel des onderscheids atau tidak, artinya apakah pelakunya dapat membuat suatu penilaian mengenai perbuatannya, yaitu apakah perbuatannya itu dapat dibenarkan atau tidak.
Apabila pelakunya tidak dapat membuat suatu oordeel des onderscheids seperti dimaksudkan di atas, maka bagi pelakunya itu tidak dapat dijatuhkan suatu pidana akan tetapi jika tindak pidana yang telah ia lakukan itu ternyata merupakan suatu tindak pidana yang berat maka hakim pidana dapat memerintahkan agar pelakunya dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan kerajaan.
  Apabila pelakunya ternyata dapat membuat suatu oordeel des onderscheids, maka bagi pelakunya itu dapat dijatuhkan pidana-pidana seperti yang dapat dijatuhkan bagi orang-orang dewasa, dengan catatan bahwa pidana terberat yang telah diancamkan bagi orang-orang dewasa itu harus dikurangi dengan sepertiganya, dan pidana penjara selama seumur hidup bagi orang-orang dewasa itu diganti dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. (Lamintang, 1986:156)
Hal ini membawa perubahan antara lain dalam memeriksa perkara anak sudah tidak lagi didasarkan pada  oordeel des onderscheids, tetapi lebih mementingkan kepada masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada pelaku tindak pidana, di iringi dengan dibentuknya sejumlah pidana dan tindakan-tindakan yang lebih tepat bagi anak-anak pelaku tindak pidana di bawah umur. Dalam menangani perkara pidana yang pelakunya anak-anak, maka hakim harus sadar yang penting baginya bukanlah apakah anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak, melainkan tindakan yang bagaimanakah yang harus diambil untuk mendidik anak itu.
Demikianlah pemikiran-pemikiran yang terdapat di negeri Belanda dalam menanggulangi dan melindungi kepentingan anak dihubungkan dengan penanganan perkara pidana yang pelakunya anak dan pemuda. Lebih lanjut pengadilan Belanda dilengkapi pula dengan Kinder Stafrecht dan dibentuknya hakim anak (kinder rechter) dengan Undang-undang 5 Juli 1921 yang berlaku 1 November 1922. Dengan demikian negeri Belanda sudah mempunyai pengalaman dalam peradilan anak selama lebih dari setengah abad.
Namun ternyata hukum Belanda tersebut tidak seluruhnya dimuat dan diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahannya. KUHP yang berlaku di Indonesia hanya memuat sebagian saja, antara lain dapat kita lihat dalam pasal 45,46,47 KUHP dan pasal-pasal lain yaitu Pasal 39 ayat (3), Pasal 40 serta Pasal 72 ayat (2) KUHP yang ditujukan guna melindungi kepentingan anak.  (Wagiati Soetodjo, 2006:2-3).
Sedangkan sejarah terbentuknya pidana anak serta perkembangannya di Indonesia, kurang lebih sejak tahun 1954 di Indonesia terutama di Jakarta, sudah terbentuk hakim khusus yang mengadili anak-anak dengan dibantu oleh pegawai prayuwana, tetapi penahanan pada umumnya masih disatukan dengan orang dewasa. Tahun 1957 perhatian pemerintah tentang kenakalan remaja semakin membaik, terbukti dengan dikirimkannya bebrapa ahli dari berbagai departemen ke luar negeri untuk mempelajari hal-hal yang menyangkut Juvenile Deliquency, terutama sejak penyelidikannya sampai cara penyelesaiannya di muka pengadilan. Adapun departemen yang dimaksud adalah kejaksaan, kepolisian dan kehakiman. Sekembalinya dari luar negeri maka dibentuklah agreement secara lisan antara ketiga instansi diatas untuk mengadakan perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana. (Wagiati Soetodjo, 2006:3).
Pembedaan ancaman pidana bagi anak ditentukan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hal ini disebapkan kondisi fisik dan psikologis seseorang anak berbeda dengan kondisi orang dewasa. Dalam KUHP diatur dalam Pasal 45 KUHP akan tetapi pasal ini sudah tidak berlaku lagi dengan adanya Pasal 67 Undang-Undang Pengadilan Anak yang isinya menyatakan bahwa Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (2), tersebut dapat dijatuhi pidana dan tindakan. Pidana dan tindakan tersebut tertuang dalam Pasal 22 yaitu :
“ Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhi pidana dan tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini ”.
Dalam Pasal 23 disebutkan :
(1)     Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal adalah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2)     Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak nakal adalah :
a.    Pidana penjara;
b.    Pidana kurungan
c.    Pidana denda; atau
d.    Pidana pengawasan
(3)     Selain pidana pokok sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 terhadap Anak Nakal juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
(4)     Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pamerintah.

Dalam Pasal 24 dijelaskan sebagai berikut :

(1)     Tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap Anak Nakal adalah:
a.  Mengembalikan kepada orang tua,wali atau orang tua asuh;
b.  Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan , pembinaan, latihan kerja atau;
c.  Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
(2)     Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.

Dalam realitanya hakim ketika menjatuhkan hukuman terhadap Anak Nakal mempertimbangkan dua aspek yaitu pertimbangan sosiologis berdasarkan faktor intern yang ada dalam diri anak dan faktor ekstern yang melekat pada perbuatan yang dilakukan anak. Faktor intern yang ada dalam diri anak seperti kondisi fisik dan psikis, faktor keluarga serta lingkungan. Sedangkan faktor ekstern yang melekat pada perbuatan yang dilakukan oleh anak berupa seberapa besar kerugian yang diderita pihak korban karena perbuatan anak, sifat dari pidananya apakah tergolong berat atau tidak, secara criminal record dari si anak apakah anak tersebut telah berkali-kali melakukan pidana. (Muladi, 1985:80)
Pertimbangan yang bersifat sosial tersebut menjadi sangat relevan bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Menurut Muladi tujuan pemidanaan tersebut adalah :
a.      Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus), salah satu tujuan utama pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana adalah mencegah atau menghalangi pelaku tindak pidana tersebut dan juga orang-orang lain yang mempunyai maksud sama dan karenanya mencegah kejahatan lebih lanjut. Pencegahan ini mempunyai aspek ganda, yakni yang individual dan yang bersifat umum. Dikatakan ada pencegahan individual atau pencegahan khusus, bilamana seorang penjahat dapat dicegah melakukan suatu kejahatan dikemudian hari apabila ia sudah mengalami dan sudah meyakini bahwa kejahatan itu membawa penderitaan baginya, disini dianggap mempunyai daya untuk mendidik  dan memperbaiki. Dikatakan ada pencegahan umum bila penjatuhan pidana  yang dilakukan oleh pengadilan dimaksudkan agar orang lain tercegah  untuk melakukan kejahatan.
b.      Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat, perlindungan masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang bersifat luas, karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini di gambarkan sebagai kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana.
c.      Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam hal mengandung beberapa pengertian, bahwa pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam perseorangan atau balas dendam yang tidak resmi (privat revenge or an official retalation). Pengertian kedua berkaitan dengan pernyataan Durkheim yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk memelihara atau mempertahankan kepaduan masyarakat yang utuh.
d.      Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau pengimbangan.Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini maka menghindari atau mencegah orang main hakim sendiri tetapi merupakan fungsi yang penting sekali dalam penerapan hukum pidana, yakni memenuhi keinginan akan pembalasan. Hanya saja penderitaan yang dikaitkan oleh pidana harus dibatasi dalam batasan-batasan yang paling sempit dan pidana harus menyumbangkan pada penyesuaian kembali terpidana pada kehidupan sehari-hari dan disamping itu beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa, bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi general apapun. (Muladi, 1985:80-86)
Lebih khusus tentang tujuan pemidanaan bagi anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Jadi hakim dalam menjatuhkan putusan pada peradilan anak harus berdasarkan pada tujuan peradilan anak yaitu kesejahteraan anak dalam menjatuhkan putusan hakim harus dilakukan dengan pertimbangan :
a.    Penghormatan terhadap kedudukan hukum si anak (respect the legal status of juvenile);
b.    Memajukan kesejahteraan anak (promote the wellbeing of the juvenile);
c.    Menghindari hal-hal yang merugikan atau membahayakan kepentingan anak (avoid harm to her or him). (Romli Atmasasmita, 1992:117)
Pertimbangan-pertimbangan sosiologis di atas harus menjadi pegangan hakim karena tujuan dari pidana terhadap anak lebih mengutamakan menjaga kepentingan anak sehingga harus menghindari penjatuhan pidana yang akan menimbulkan lebelling (pelekatan indentitas) sebagai penjahat terpidana, karena anak sebagai pelaku kejahatan harus dilihat sebagai individual yang belum seluruhnya sempurna baik dari segi kegiatan fisik maupun kegiatan non fisik.
Kaitannya dengan pertimbangan-pertimbangan di atas maka putusan pidana yang dijatuhkan dalam peradilan anak, hakim dapat menjatuhkan salah satu putusan di bawah ini :
a.  Dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
b.  Menyerahkan pada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, pelatihan kerja atau;
c.  Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (Hery Winarno, 2008:33)
2. Pidana Penjara Bagi Anak
Sejarah pidana penjara dimulai dengan lahirnya faham rationalisme yang menumbuhkan dunia seni dan ilmu pengetahuan yang bebas dari tekanan, faham Humanisme yang menempatkan manusia pada kedudukannya hidup bebas menurut kodratnya, dan faham Reformisme yang membangkitkan kehidupan manusia dari belengu yang mementingkan keakhiratan belaka, kegiatan tersebut dapat berpengaruh terhadap perkembangan pidana dan pemidanaan.
Gelombang yang meluas dari gerakan rasionalisme, humanisme dan reformisme tersebut membuka jalan bagi pemikiran baru tentang eksistensi pidana penjara dan pelaksanaannya untuk semakin menjadi rasional dan manusiawi, sehingga sudah barang tentu pengenaan pidana meninggalkan sifat-sifatnya yang berlandaskan naluri atau nafsu belaka seperti pada zaman terdahulu.
Pertumbuhan pidana penjara yang bersifat rasional dan manusiawi itu mengalami proses yang memakan waktu hampir tiga ratus tahun, dihitung sejak mengembusnya angin kebangkitan baru disekitar abad ke-15 sampai berhasilnya gerakan pembaharuan pidana penjara oleh pejuang-pejuang kepenjaraan inggris, Amerika dan negara-negara Eropa dalam abad ke16-18.
Sehubungan dengan pembaharuan pidana dan pertumbuhan pidana penjara yang dipengaruhi oleh beberapa aliran filsafat seperti tersebut di atas, maka selama beberapa ratus tahun ini pertumbuhan pidana dan pidana penjara mengalami pembaharuan yang mengandung nilai-nilai filsafati sebagaimana tersirat dalam cabang atau aliran filsafat.
Dengan demikian pembaharuan pidana penjara dan pelaksanaanya tidak hanya didasarkan landasan teori-teori dan konsep-konsep dari hukum pidana serta penologi yang menjadi fokus penelitian hukum ini, akan tetapi dapat diteliti lebih lanjut mengenai dasar-dasar filsafatnya.
Dasar tiga dimensi teori pidana dan pemidanaan secara terpadu dari pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, kiranya dapat diungkapkan nilai-nilai filsafati melalui hasil perenungan dari cabang atau aliran filsafat yang dirumuskan secara integratif, setiap dimensi teori pidana dari pemidanaan tersebut dapat dipahami melalui pendekatan filsafati, misalnya ajaran hukum pidana klasik yang dipelopori oleh Beccaria dipengaruhi oleh dasar filsafat yang menganut faham hedonisme yang berprinsip kesenangan menghindari kesusahan, oleh karena itu perbuatan manusia adalah kehendak yang bebas.
Kepustakaan penologi mencatat sejarah pertumbuhan pidana penjara dimulai dari berbagai peristiwa diantaranya :
a.  Ketika gereja membentuk pengadilan tersendiri lepas dari pengadilan negara dengan cara menetapkan tindakan pengurungan di dalam gereja (menastic prison) yang terjadi pada abad ke 16
b.  Perang agama yang mengakibatkan emigran dari Inggris dibawah pimpinan William Pen menetapkan peraturan pidana berupa membatasi kebebasan bergerak seseorang selama pelariannya ke benua Amerika Utara 1676;
c.  Pendidikan paksa yang dikembangkan oleh pemerintah Inggris memperlakukan narapidana golongan wanita untuk dipekerjakan sebagai pemintal (spinhuis) tahun 1596 dan golongan laki-laki untuk dipekerjakan sebagai pembuat cat (rasphuis) tahun 1957. (Bambang Poernomo, 1986:122-124)
Di Amsterdam, Belanda pada tahun 1956 didirikan "rumah penertib" (tuchthuis)yang disebut spinuis bagi terpidana wanita dan juga rasphuis bagi terpidana laki-laki. (Sudarto, 1981:90)
Pada saat bentuk pidana penjara mulai dalam masa peralihan ternyata pelaksanaan pidana penjara masih dipengaruhi oleh praktek perlakuan terhadap pidana badan dan nafsu membalas yang sudah lama membekas dalam budaya hukum masyarakat, sehingga memakan waktu yang lama untuk merubah jalan pikiran yang membedakan antara bentuk pidana penjara dan pidana badan. Peninggalan cara berpikir masa lalu itu masih nampak bekas-bekasnya dari sikap masyarakat dan sebagian penegak hukum pada masa sekarang.
Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pencabutan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak (psikis) dalam berbuat sesuatu selama waktu tertentu yang diakibatkan oleh putusan hakim. Pengertian ini pada zaman Hindia Belanda belum dapat dipisahkan dengan tindakan terhadap unsur fisik sehingga praktek pelaksanaan pidana penjara masih belum dapat berjalan sesuai dengan pengertian dari cita-cita pembaharuan.
Di samping sebab kurang pemahaman dari pengertian pidana penjara, juga masih ada sebab lainnya terutama mengenai keadan-keadan di bidang sarana peraturan atau buku pedoman pelaksanaan pidana penjara (manual) yang kurang lancar, sikap para petugas yang belum berorientasi pada pembaharuan pelaksanaan pidana penjara dan perhatian dari pemerintah dalam pengadaan fasilitas untuk menunjang pembaharuan pidana masih di bawah ukuran kebutuhan minimal.
Selain di lihat dari sejarahnya pidana penjara bagi anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 26 yang rumusannya :
(1)     Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dan maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(2)     Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3)     Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagai mana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) huruf b.
(4)     Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Dalam pemberian pidana penjara  bagi anak hakim berpedoman pada ketentuan pasal diatas.

3 komentar:

  1. Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat, sila kan bisa langsung di copy namun bila tidak bisa mohon maaf untuk copy sudah banyak mulai di larang sepertinya, jadi bila berkenan bisa saya kirim via email saja.

      Hapus