Jumat, 07 Juni 2013

Sistem Pemasyarakatan terhadap Anak


1. Tujuan Pemasyarakatan terhadap Anak
Apa yang dewasa ini disebut sebagai Lembaga Pemasyrakatan sebenarnya ialah suatu lembaga yang dahulunya di kenal sebagai rumah penjara yakni tempat dimana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana mereka.
Gagasan ini bermula dari Saharjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, sebutan rumah penjara itu sejak bulan April 1964 telah dirubah menjadi lembaga pemasyarakatan. Pemberian sebutan yang baru kepada rumah penjara sebagai lembaga pemasyarakatan itu dapat diduga erat hubungannya dengan gagasan beliau untuk menjadikan lembaga pemasyarakatan itu bukan saja tempat untuk semata-mata memidana orang tetapi juga untuk membina atau mendidik orang-orang agar mereka setelah menjalankan pidana mereka, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan diluar lembaga pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.
Dalam pidatonya beliau antara lain telah mengemukakan rumusan tentang tujuan dari pidana penjara yakni disamping menimbulkan rasa derita dari terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar terpidana bertaubat, mendidik ia menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna atau dengan kata lain, tujuan dari pidana penjara itu adalah pemasyarakatan. Walaupun sudah ada gagasan untuk menjadikan  tujuan dari pidana penjara sesuai pemasyarakatan, dan walaupun sebutan dari rumah-rumah penjara itu telah diganti dengan sebutan lembaga-lembaga pemasyarakatan, akan tetapi dalam praktek gagasan tersebut tidak didukung suatu konsepsi yang jelas dan sarana-sarana yang memadai bahkan peraturan-peraturan yang dewasa ini dipergunakan sebagai pedoman untuk melakukan pemasyarakatan itu, masih tetap peraturan-peraturan yang dahulu kala telah dipakai orang sebagai pedoman untuk melaksanakan hukuman-hukuman dalam penjara. Walaupun orang belum mampu membuat peraturan yang baru untuk menggantikan Ordonansi tanggal 10 Desember 1917, Staatblad 1917 Nomor 708 yang juga dikenal dengan sebutan Gesticehnt reglement, yaitu peraturan yang hingga kini masih dipakai sebagai dasar untuk melakukan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan di Indonesia, tetapi orang patut memberikan penghargaan kepada usaha Direktorat Jendral Pemasyarakatan Republik Indonesia yang telah berusaha menyesuaikan perlakuan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan di Indonesia dengan tujuan pemasyarakatan.(Lamintang, 1991:180 )
Sebagaimana telah diketahui Sistem Kepenjaraan adalah sistem perlakuan terhadap hukum (narapidana), dimana sistem ini adalah merupakan tujuan pidana penjara. Bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh pengadilan telah dijatuhi hukuman (pidana), maka oleh pengadilan orang dijatuhi hukuman sampai habis masa pidananya. Di tempat ini orang yang bersalah tersebut diperlakukan  sedemikian rupa dengan mempergunakan sistem perlakuan tertentu (berupa penyiksaan dan hukuman badan lainnya) dengan harapan agar si terhukum betul-betul merasa bertaubat dan jera sehingga kemudian tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menyebabkan ia masuk penjara. Dengan sistem perlakuan sebagaimana yang digambarkan di atas tidak lain adalah merupakan tujuan dari pidana penjara yang pelaksanaanya dilakukan pada suatu tempat yang berupa bangunan yang khusus dirancang untuk kemudian diberi nama dengan “bangunan penjara” (tempat orang-orang menjalani hukuman karena bersalah melakukan tindak pidana).
Diberikannya sanksi yang tegas dalam hukuman pidana ini membedakan dari lapangan hukum yang lainnya. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam hukum. Hal ini mengapa hukum pidana harus di anggap sebagai “Ultimum remedium” Yakni sebagai obat terakhir apabila sanksi atau upaya cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi, kalau ada jalan lain janganlah menggunakan hukum pidana. Dengan masih berlakunya gestichen reglement ini, maka para ilmuwan dan praktisi selalu berusaha mengadakan pembaharuan di bidang hukum yang selaras dengan jiwa dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya pada upacara penganugerahan Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum tanggal 5 Juli 1963, Saharjo menetapkan  “Pohon Beringin” sebagai lambang untuk Departeman Kehakiman dengan makna “Pengayoman” dalam pidatonya beliau mengatakan :
“Dibawah pohon beringin yang telah kami tetapkan untuk menjadi penyuluh bagi para petugas dalam memperlakukan para narapidana,maka tujuan dari pidana penjara kami rumuskan disamping menimbulkan rasa derita napi karena kehilangan kemerdekaan bergerak, kami akan membimbing para narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia dapat menjadi seorang anggota masyarakat sosial Indonesia yang berguna”. 

“Dengan singkat tujuan pidana adalah pemasyarakatan. Dari kata-kata itu jelas bahwa tidak hanya masyarakat saja yang diayomi terhadap kemungkinan terulangnya perbuatan jahat oleh narapidana, melainkan juga memberikan pengayoman kepada orang yang telah sesat melanggar hukum (tidak di siksa) dengan memberi bekal hidup agar menjadi warga negara yang berguna bagi masyarakat”. (Saharjo, 1963)

Pemasyarakatan yang berarti memasyarakatkan kembali terpidana sehingga menjadi warga yang baik dan berguna ("healty reentry into the community") pada hakekatnya adalah resosialisasi. (Romli Atmasasmita, 1982:44)
Dalam proses resosialisasi ini yang menjadi inti persoalannya adalah merubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat bebas pada umumnya. (Romli Atmasasmita, 1982:50)
Tujuan pemasyarakatan menurut Andi Hamzah yaitu :
a. Memasukkan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga negara yang baik jika berdasarkan kemanusiaan.
b. Melindungi masyarakat dari kambuhnya kejahatan bekas narapidana yang mengulangi perbuatannya setelah mereka kembali ke masyarakat. (Andi Hamzah, 1986:45)
Tujuan pemasyarakatan juga diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dalam pasal 2 yang rumusannya :
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Oleh karena itu pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti  warga binaan pemasyarakat itu penting dilaksanakan karena apabila seorang narapidana dianggap belum berkelakuan baik maka akibatnya tidak adanya kepastian akan waktu bebasnya seseorang narapidana. Maka sarana-sarana yang diberikan dalam rangka upaya pembinaan tidak akan ada gunanya.
2. Tata Cara Pembinaan Anak di Lembaga Pemasyarakatan anak
Dengan adanya pembinaan diharapkan narapidana setelah keluar nanti tidak akan mengulangi perbuatannya lagi dan dapat menjadi masyarakat yang taat hukum. Pembinaan ini akan menjadi tidak berdaya guna apabila tidak di dukung oleh peran serta masyarakat, masyarakat diharapkan bisa menerima kembali para eks narapidana ke dalam lingkungan masyarakat.
Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan tentunya harus memperhatikan prinsip-prinsip pada bimbingan atau pembinaan yaitu pengayoman, bimbingan, perawatan, perlindungan hak asasi manusia, pendidikan dan pengarahan terhadap narapidana. Dan sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : (Dwidja Priayatno, 1996:103).
a.      Pengayoman; adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.
b.      Persamaan perlakuan dan pelayanan; adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.
c.      Pendidikan; adalah bahwa penyelengaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan menuaikan ibadah.
d.      Penghormatan harkat dan martabat manusia; adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
e.      Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; adalah Warga Binaan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak-hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau kreasi.
f.        Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu; adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS,  tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluaraga seperti program cuti mengunjungi keluarga. (Dwidja Priayatno, 1996:103).
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Penjelasan umum undang-undang tersebut merupakan landasan filosofis tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia yaitu bahwa :
a.      Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem pembinaan sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dikenal dan dinamakan pemasyarakatan.
b.      Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15 KUHP), dan pranata khusus penentuan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45,46 dan 47 KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari azas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak-anakyang bersalah.
c.      Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai lembaga "rumah tahanan", secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan napi anak telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut sebagai rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi lembaga pemasyarakatan, hal ini berdsasarkan kepada Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor : J.H.G.8/506 tanggal 17 Juni 1964. (Dwidja Priayatno, 1996:103)
Begitu juga anak yang bersalah pembinaanya ditempatkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan khusus Anak dan dipisahkan berdasarkan kepada status mereka masing-masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil. Perbedaan status tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka. (Hery Winarno 2008:17). Sistem pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar