Jumat, 07 Juni 2013

Tinjauan Umum Tindak Pidana Anak


  1. Pengertian Anak
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberikan batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang berbunyi “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.
Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat kita ketemukan dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu anak adalah seseorang yang  belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

Sedangkan menurut pasal 1 angka (5)  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak adalah :
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

Sedangkan menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pengertian anak yaitu:
“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) Tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) Tahun dan belum pernah kawin”.

Jadi, jelaslah bahwa menurut Undang-Undang Pengadilan Anak, bagi seorang anak yang belum mencapai usia 8 (delapan) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Akan tetapi bila si anak tersebut melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia tetap dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak.
Berkaitan dengan permasalahan yang hendak diangkat oleh penulis, maka pengertian yang dipakai tentang anak adalah pengertian anak sesuai dengan apa yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hal tersebut dikaitkan karena dalam penelitian ini terfokus dalam permasalahan anak yang melakukan tindak pidana.
Selain pengertian tentang anak secara umum, seperti yang telah dijabarkan di atas maka dirasa perlu juga untuk sedikit menjabarkan tentang pengertian anak yang melakukan tindak pidana atau dalam hukum biasa disebut “Anak Nakal” (Juvenile Delinquency). Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos RI No. 23/HUK/1996) menyebutkan anak nakal adalah anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama, merugikan keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketenteraman dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat[1]. Psikolog Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari Juvenile Delinquency sebagai tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan berbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja, sedangkan Fuad Hasan merumuskan definisi Delinquency sebagai perilaku anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila mana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan[2].
Maud A. Merril mengenai Juvenile Delinquency mengemukakan pendapat yang kemudian dikutip oleh Romli Atmasasmita dalam buku yang berjudul Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja sebagai berikut:
“A child is classified as a deliquent when his anti social tendencies appear to be so grave that he become or ought to become the subject of offcial action”.[3]

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya menjelaskan tentang pengertian Anak Nakal sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 butir 2 sebagai berikut:
a.       Anak yang melakukan tindak pidana
Walaupun Undang-Undang Pengadilan Anak tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, akan tetapi dapat dipahami bahwa anak yang melakukan tindak pidana, perbuatan yang tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja melainkan juga melanggar diluar KUHP misalnya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya.
b.      Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak
Yang dimaksud perbuatan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut baik tertulis maupun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.

  1. Pengadilan Anak
Masalah dalam hal menangani perkara yang tersangka atau terdakwanya anak-anak, Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah membentuk peraturan tentang hal tersebut, yaitu dengan ada Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang disahkan pada tanggal 3 Januari 1997, dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 3 dan Tambahan Lembaran Negara RI No. 3668, undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1998.
Pengadilan anak sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah sebuah pengadilan yang diselenggarakan untuk menangani pidana khususnya bagi perkara anak-anak. Mengenai pengertian ini memang secara tegas dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak menyatakannya oleh karena dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya menyatakan bahwa pengadilan anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum.
Lebih lanjut, dalam undang-undang ini secara tidak langsung mengenai pengertian Pengadilan Anak, dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan sebagai berikut:
“ Sidang pengadilan anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini”
Berdasarkan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pengadilan anak berfungsi melaksanakan sidang pengadilan anak atau sidang anak, yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara anak nakal. Undang-undang No.3 Tahun 1997 sebagai suatu dasar acuan dalam perkara di mana anak-anak sebagai tersangka atau terdakwa, secara otomatis aturan-aturan yang ada dalam KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang mengatur hal yang sama dengan yang ada dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dianggap tidak berlaku.
Mengenai ketentuan-ketentuan dalam KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tidak berlaku lagi sebagai konsekuensi dengan berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
a.       Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
-       Pasal 45
-       Pasal 46
-       Pasal 47
b.      KUHAP
Mengenai hubungan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dengan KUHAP, bahwa penggunaan aturan-aturan atau mekanisme Undang-undang No. 3 Tahun 1997 didahulukan dalam mengadili perkara anak dan baru dipergunakan KUHAP jika ada hal tidak tercantum dalamUndang-undang No. 3 Tahun 1997.
Selain hal tentang hubungan antara Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan KUHAP, ada beberapa kekhususan lain yang dapat kita lihat dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 yaitu:
a.       Lamanya waktu penahanan untuk tiap tingkat pemeriksaan tidak sama dengan KUHAP (lihat Pasal 43 sampai dengan Pasal 50).
b.      Hak-hak tersangka/terdakwa anak dalam UU No.3 Tahun 1997 lebih dilengkapi dalam Pasal 45 ayat (4), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (3) selain hak-hak yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan 68 KUHAP (kecuali Pasal 64 KUHAP, tentang persidangan terbuka untuk umum).
c.       Adanya suatu syarat yaitu kewajiban memiliki minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak bagi penyidik (Pasal 41 ayat (2)), Penuntut (Pasal 53 ayat (1)), dan Hakim (Pasal 10 huruf (b)).
d.      Hakim dalam proses pemeriksaan sidang perkara anak nakal dilakukan dengan hakim tunggal (Pasal 11 ayat (1)), akan tetapi hal ini dikecualikan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara diatas lima tahun dan pembuktiannya sulit (Pasal 11 ayat (2).
e.       Persidangan dilakukan secara tertutup (Pasal 57 ayat (1)), hal ini mempertegas pemberlakuan Pasal 153 ayat (3) bagian ketiga KUHAP tentang Acara Pemeriksaan Biasa.
f.        Adanya Petugas Kemasyarakatan (Pasal 33).
g.       Sanksi hukum terhadap anak nakal berbeda dengan sanksi hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
h.       Penempatan bagi terpidana anak nakal terpisah dengan terpidana yang merupakan orang dewasa (Pasal 61 ayat (1)).
Secara pasti berbicara mengenai teknis prosedural yang ada dalam UU No. 3 Tahun 1997 mempunyai perbedaan yaitu baik dari proses awal, penyidikan, penyelidikan, pemeriksaan, penjatuhan pidana atau pemidanaan, dan saat pelaksaanaan sanksi terhadap tersangka/terdakwa anak hingga saat anak tersebut tealh menjalani sanksinya. KUHAP sebagai suatu aturan yang bersifat Lex Generali hanya melengkapi UU No.3 Tahun 1997 sebagai Lex Spesialis terhadap hal-hal yang tidak diatur didalamnya (Lex generali derogat lex spesialis).

  1. Tujuan Pidana Terhadap Anak
Tujuan pidana dari dahulu sampai sekarang telah berkembang ke arah yang lebih rasional, dari yang dulu hanya bertujuan untuk pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau yang telah menjadi korban kejahatan. Hingga kemudian mengalami pergeseran mengenai tujuan pidana, yakni adalah untuk kesejahtaraan masyarakat ataupun perbaikan narapidana tersebut.
Terhadap anak yang melakukan tindak pidana dapat di kenakan bentuk pidana seperti yang sudah di atur dalam Pasal 23 UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Berbagai bentuk pidana yang dapat di jatuhkan oleh hakim terhadap anak nakal selain bertujuan untuk memberi efek jera juga harus melindungi hak-hak anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child), hal ini di maksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. 
Tujuan pemidanaan yang berlaku saat ini adalah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan (deterrant), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat; perbaikan kepada para penjahat. Yang terakhir ini yang paling modern dan menjadi popular dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi menjadi alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.[4]


[1] Kepmensos RI No. 23/HUK/1996, diakses melalui www. suhadianto.blogspot.com, tanggal 20 Desember 2008
[2] www. h2dy.wordpress.com, diakses tanggal 20 Desember 2008
[3] Romli Atmasasmita, 1985, Problema Kenakalan Anak-Anak/Remaja, Bandung, Armico, hlm. 21
[4] Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradya Paramita, Jakarta, hlm. 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar