Rabu, 31 Desember 2014

Rabu, 19 November 2014

PENGHAMBAT PERAN DAN FUNGSI PEREMPUAN DALAM DUNIA POLITIK

Makalah ini menganalisis tentang beberapa tokoh wanita yang gagal dan banyak mendapatkan hambatan yang rumit dalam menduduki karir di dunia politik. Masalah ini belum menjadi perhatian yang serius bagi pemerintahan kita. Atas alasan inilah artikel ini di tulis untuk mengekplorasi persoalan di setiap gagalnya kaum perempuan dalam menduduki karir di dunia politik. Sebagian berpandangan bahwa setiap manusia berhak menduduki dan menggeluti dunia politik tanpa membedakan gender. Partisipasi politik perempuan tidak saja di lakukan dengan memberikan suara, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah politik maupun kancah di legislatif. Namun kondisinya sekarang sangat tidak memungkinkan karena perempuan yang yang ingin terjun ke dunia politik banyak mendapat hambatan dan tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Terlebih ketika media massa tidak menunjukan dukungan melalui teknik peliputan dan framing atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik. Dalam Al-Quran juga di tuliskan dalam hadist yang tidak boleh membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bila prinsip-prinsip tersebut dapat dan bisa di operasionalkan dalam mengelola urusan politik, maka persoalan tersebut dapat di selesaikan dengan baik dan layak
politik gender, pemerintahan, perspektif Islam

Tulisan ini mengangkat topik tentang penghambat peran dan fungsi perempuan dalam dunia politik. Dalam dunia politik memang banyak memerlukan manusia yang cerdas dan memiliki wawasan luas tidak terkecuali kaum perempuan. Tetapi kenyataannya tidak, aktor-aktor politik pada era sekarang masih banyak di kuasai oleh kaum laki-laki, banyak kaum perempuan yang terhambat jika ingin terjun ke dunia politik ataupun menjadi seorang pemimpin lembaga politik. Bahkan para kaum perempuan sudah banyak menempuh jalan hanya demi ingin terjun ke dunia politik. Bisa kita bayangkan berapa banyak kaum perempuan yang sudah mencalonkan dirinya yang ingin terjun ke dunia politik tetapi mereka seolah-olah di hambat-hambati dan tidak jarang mereka pun gagal.
Di indonesia sendiri, persoalan seperti ini selalu mencuat. Masalah ini sudah muncul sejak jaman era orde lama. Dimana kaum perempuan selalu kalah banyak dalam menduduki bangku di dunia politik. Banyak yang beranggapan jika kaum perempuan tidak cocok jika turun ke dunia politik. Kemampuan komunikasi politik yang dimiliki kaum perempuan masih jauh dari yang di harapkan. Banyak pemimpin dari kaum perempuan mengalami media abuse yang artinya selalu di rendahkan oleh media dengan membeda-bedakan jenis gender. Selain komunikasi yang kurang, kaum perempuan memang sering di isukan tidak mempunyai cara berkomunikasi yang handal. Selain itu semua, banyak juga argumen yang mengatakan bahwa perempuan “haram” jika menjadi pemimpin, itu karena peran tradisional perempuan di kawasan indonesia masih mengedepankan di ranah publik dari pada di bidang politik.
Dari hasil uraian di atas, selanjutnya saya akan menghadirkan biografi singkat beberapa kaum wanita yang gagal dalam dunia politik. Dan sebelum di tutup dengan kesimpulan, tulisan ini akan memaparkan sejumlah analisis yang ada.

Kondisi perempuan dalam dunia politik
            Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang di masyarakat, perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi sulit bagi perempuan untuk mengonsolidasikan posisi dan kedudukannya dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan berpartisipasi aktif di institusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang gerak, sekaligus suara perempuan yang terwakili. Kondisi inilah yang tidak menguntungkan bagi perempuan, tidak saja bagi eksistensi dan keterlibatan perempuan di arena politik negara, tetapi juga tidak optimalnya artikulasi politik dan kepentingan perempuan.
            Usaha untuk memperjuangkan jumlah perempuan duduk di lembaga parlemen dan pemerintah, dilakukan agar keterwakilan jumlah dan suara perempuan seimbang dalam lembaga negara ini. Namun, hasil yang diperoleh hanya sebatas kuantitas atau numerik keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kuantitas ini belum memadai dibandingkan dengan kualitas suara dan peran-peran strategis perempuan sebagai kebijakan di domain politik.
            Kondisi ini dipicu oleh kurangnya suara perempuan yang terlibat dalam dunia politik untuk bersuara, atau dengan kata lain perempuan mempunyai kemampuan komunikasi politik yang kurang. Dominannya pernyataan politik yang diberikan oleh para aktor politik dan politisi laki-laki di media massa, semakin menyurutkan eksistensi perempuan. Jumlah perempuan yang terlibat politik dari tahun ke tahun bisa di lihat pada data seperti ini :
TAHUN
JUMLAH PEREMPUAN
PERSENTASE
1992-1997
63
12,3 %
1997-1999
57
11,5 %
1999-2004
45
9 %

Berdasarkan pada fenomena inilah, maka ada kebutuhan untuk menambah jumlah perempuan di kursi parlemen agar suara perempuan bisa terwakili.
            Setelah pemilu 2004 lalu, muncul wacana tentang kuota perempuan 30 persen. Sampai pada akhirnya UU pemilu telah menetapkan kuota 30 persen perempuan harus di lakukan pada pemilu 2009. Namun apa yang terjadi, hampir semua partai politik tidak siap dengan para kader dan calon yang disiapkan untuk mengisi kuota ini. Akibatnya yang terjadi “saling comot” orang keluarga sendiri, putrinya, artis perempuan dan sosok-sosok lainya yang muncul menjadi kader dadakan. Jika ini terjadi maka kualitas suara perempuan agak masih di pertanyakan. Sejak pemilu 2004, dukungan untuk mengisi 30 persen kuota parlemen diundangkan.  Maka porsi kursi perempuan di parlemen diharapkan menjadi lebih banyak. Perkembangannya, rata-rata kuota ini terpenuhi tidak hanya di pusat tetapi di daerah-daerah juga. Namun kemampuan komunikasi politik yang dimiliki oleh perempuan yang menjadi anggota parlemen masih jauh dari yang di harapkan. Kekuatan lobi-lobi perempuan di parlemen masih jauh kalah dari kekuatan dan dominasi laki-laki dalam berbagai forum pengambilan keputusan di lembaga parlemen ini.
            Kondisi di atas mengalami pergeseran pada era pemilihan umum 2010. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Pemilihan para kepala daerah selama 2010, misalnya menunjukan peningkatan jumlah perempuan yang maju dan berhasil memenangkannya. Keberhasilan itu terjadi di banyak daerah misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatra. Namun itu hanya sebagian saja, sebagian besar dari perempuan yang mencalonkan maju ke dunia politik baik itu mencalonkan sebagai angggota parlemen maupun sebagai pemimpin daerah masih banyak yang gagal dan banyak ganjalan serta hambatan.

Budaya politik bagi perempuan
Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum memberikan diskursus yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan di ranah domestik lebih mengedepankan di bandingkan kedudukan dan posisi perempuan di ranah politik. Opini publik terhadap eksistensi perempuan dalam politik kurang mendukung. Opini mayoritas publik dengan keterlibatan perempuan dalam politik belum sampai pada tingkat mayoritas numerik. Perilaku memilih atau voting behavior perempuan juga tidak memberikan dukungan kepada perempuan-perempuan yang ada. Kuatnya nilai patriaki dengan kepercayaan “laki-laki adalah imam” begitu kuat, sehingga pada saat memilih pun, perempuan sendiri enggan memilih kaumnya[1].
Tambahan lagi, banyak studi yang menunjukan bahwa perempuan dalam area politik sering kali harus berjuang untuk menerima liputan media dan legitimasi publik dan media. Media massa di anggap sering menggambarkan politisi perempuan mempunyai masalah atau dikaitkan dengan isu-isu domestik berkaitan dengan perilaku anak dan suaminya. Namun, media tidak melakukan hal seperti ini terhadap politisi laki-laki. Menurut bistrom, media massa di anggap sering mempertanyakan politisi perempuan dengan pertanyaan berbeda yang media tanyakan kepada politisi laki-laki. Media juga dianggap telah mendeskripsikan politisi perempuan dengan berbagai cara dan kata-kata yang menekankan pada peran tradisional perempuan di rumah, persoalan penampilan mereka di publik, dan perilaku politisi perempuan di masyarakat, misalnya model rambutnya, gaunnya, atau kebiasaan menghabiskan uang miliaran untuk belanja online dan sebagainya.
Seperti yang terjadi di Amerika, ketika media lebih menonjolkan masalah model rambut Hillary Clinton yang akan maju menjadi senator politik daripada gerakan-gerakan politiknya. Calon gubernur, Texas Ann Richard dan anggota senat Amerika Lynn Yeakel yang di tonjolkan tentang isu koleksi pakaiannya, berat badannya dan penampilan fisik lainnya selama kampanye politik mereka di Amerika. Kandidat politisi dan pemimpin perempuan mengalami media abuse dengan cara di deskripsikan dan di rendahkan oleh media dengan menggunakan “gender-specific terms”. Contohnya liputan The Chicago Tribune pada kampanye kandidat perempuan Carol Moseley-Braun, Koran ini mendeskripsikan Braun dengan kata-kata “The mother with a cheerleader’s smile” yang artinya dia adalah sosok ibu dengan senyum yang mengembangkan seperti para cherrleader[2].
Perempuan yang maju di ranah politik juga sering dijadikan subjek perbedaan gender negative atau “negative gender distinctions”. Jenis kelamin perempuan sering dijadikan alasan atau hambatan untuk masuk dalam dunia politik[3]. Sebaliknya, para kandidat politikus laki-laki dideskripsikan dalam istilah “gender-neutral term” atau terminologi gender yang lebih netral.  Meskipun politisi laki-laki juga melakukan counter terhadap gambaran image mereka, tetapi secara umum kadidat laki-laki lebih memiliki kebebasan dalam berpakaian dan bertingkah laku karena publik telah telah terkondisikan atau terbiasa untuk menerima laki-laki sebagai pemimpin.

Komunikasi politik perempuan
Sering kali perempuan yang akan menjadi calon legislatif tidak mempunyai kemampuan komunikasi politik yang handal. Terkesan malu-malu dan tidak meyakinkan publik pemilihnya bahwa ia layak untuk di pilih. Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap. Dalam banyak kasus, perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu mengomunikasikan identitas dirinya sebagai perempuan tetapi juga mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya. Pesan perempuan (women’s message) dan perempuan adalah pesan (women Amerika Serikat a message) perlu untuk di perjelas dan dipahami. Seringkali meskipun perempuan mempunyai ruang dan posisi yang menguntungkan di parlemen, baik sebagai ketua fraksi atau DPRD sendiri, perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan, kebutuhan perempuan dan porsi pembagian persoalan kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan. Ketika perempuan mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap kelompok perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain, belum mampu secara maksimal di kedepankan, di bandingkan persoalan atau masalah yang di hadapi umum yang lebih memihak kepentingan dominan laki-laki. Perempuan sendiri masih enggan bersahabat dengan media. Perempuan harus berani tampil dan menunjukan dirinya di media massa. Tidak banyak perempuan yang sadar perlunya memasarkan citra diri di media massa. Banyak pernyataan politik penting yang dikutip dan dijadikan diskursus publik di lontarkan oleh laki-laki. Anggota legislatif, pengamat politik, menteri dan pembuat kebijakan perempuan, termasuk para bupati dan wali kota perempuan, sangat sedikit tampil di media massa dan dijadikan rujukan media dibandingkan dengan sosok laki-laki. Sehingga keterwakilan perempuan didunia politik pun menjadi bisu[4].
Para perempuan calon legislatif, maupun yang sudah menjadi anggota, sekaligus para kepala pemerintahan daerah, masih kurang mampu dan bisa memanfaatkan peran khalayak politik mereka yang perempuan. Selama ini khalayak perempuan hanya menjadi penontonan/spectator politik, sehingga keterlibatan aktif suara mereka tidak mampu diraih. Keterlibatan perempuan dalam hal jumlah atau kuantitas saja yang di perjuangkan. Tetapi, isu-isu serius perempuan seperti kesejahteraan perempuan, jaminan kesehatan, kehidupan perempuan, pekerja perempuan, dan masih banyak hal kurang digunakan sebagai amunisi retorika politik untuk dibawa ke ranah publik yang lebih besar bagi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan di tanah air.

Gambaran politisi perempuan dalam media
            Seperti yang di jelaskan pada bagian atas, berbagai studi yang di lakukan di Amerika dan di Indonesia sendiri, menunjukan bahwa persoalan gender dan komunikasi politik adalah persoalan serius. Masih banyak liputan media massa yang tidak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan politik. sehingga pada akhirnya gambaran ini akan bias mempengaruhi opini publik yang beredar di masyarakat. Erika falk (2008) melakukan studi tentang gender dan liputan media di Amerika, ketika senator Amerika Serikat Hillary Clinton mencalonkan diri menjadi presiden dari Partai Demokrat bersaing dengan Obama pada bulan Januari 2007, Falk melakukan studi analisis isi terhadap isi media massa terutama Koran-koran di Amerika terkait dengan pencalonan kedua kandidat ini.
Falk melihat ada tidaknya perbedaan media mengupas dua calon yang berbeda jenis kelaminnya atau istilah “battle fpr sexes”. Falk mengkaji liputan media tentang pengumuman candidacy Obama dan Hillary ini di enam surat kabar yang beredar di Amerika Serikat. Oleh karena mayoritas publik tidak bias bertemu langsung dengan kandidat, maka gambaran di media tentang kandidat pada permulaan kampanye menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui respon pemilih. Dalam kesimpulan penelitiannya, Falk menemukan bahwa meskipun memimpin dalam poling saat itu, Hillary Clinton memperoleh liputan yang lebih sedikit di bandingkan Obama [5].
Hillary juga lebih sering memiliki julukan yang rendah atau menjatuhkan, serta di panggil dengan nama pertamanya. Hal yang berbeda dilakukan kepada Obama yang lebih banyak di kutip, di beritakan, dan posisi-posisi kebijakannya yang di kutip media. Menurut Falk juga, pers tidak hanya penting untuk mengkonstruksi ide khalayak tentang kandidat, tetapi juga penting telah membentuk pemahaman budaya khalayak tentang gender dan perempuan. Falk berpendapat bahwa liputan berita tentang kandidat politisi perempuan yang stereotype, yakni yang menggambarkan bahwa perempuan lemah, tidak bisa mengambil keputusan, mempunyai masalah dengan keluarga dan lain sebagainya adalah hambatan bagi kandidat perempuan. Gambaran stereotype gender politisi perempuan seperti inilah yang akan mempengaruhi kuat-lemahnya kemungkinan perempuan terpilih menjadi pemimpin politik di wilayahnya.
            Kondisi seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Krisnha sen pernah menulis tentang tekanan-tekanan publik dan media terhadap pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia. Isu yang banyak diangkat oleh media ketika itu adalah isu-isu yang berkaitan dengan “haram” seorang pemimpin perempuan di Indonesia. Pemberitaan media massa yang lebih cenderung mendukung suara dominan yang menentang kepemimpinan politik perempuan di Indonesia. Upaya menggulingkan Megawati dari kandidat presiden perempuan ketika itu cukup kuat, yang pada akhirnya media massa berhasil membentuk agenda publik untuk memusuhi perempuan mejadi pemimpin di Indonesia.
            Apa yang tertulis di atas adalah sebagian dari hasil studi tentang gambaran politisi perempuan di media massa yang dilakukan di berbagai belahan dunia. Kesimpulan dari berbagai kasus studi yang dihasilkan menggaris bawahi bahwa meskipun perempuan sudah memulai banyak yang maju menjadi politisi, baik di parlemen, senat maupun kepala pemerintahan pusat dan daerah, tetapi media massa masih tetap saja memberitakan liputan yang kurang mengenakkan bagi perempuan. Hasil liputan media tentu saja memengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat terhadap perempuan yang akan maju, pada gilirannya akan memengaruhi jumlah dukungan yang diperoleh perempuan untuk terpilih dan sukses dalam proses kandidasinya.

Berikut ini beberapa biografi perempuan yang gagal dalam menduduki dunia politik
      1.      Novita Wijayanti : Calon Bupati Cilacap Periode 2012-2017
Novita, 33 tahun, wanita ini merupakan wanita karier, dirinya cukup eksis di kancah politik khususnya di Kota Cilacap sendiri. Wanita ini merupakan wanita kelahiran Kota Cilacap. Wanita yang sudah berumah tangga dan mempunyai 1 orang anak ini sekarang menjabat sebagai anggota DPR propinsi Jawa Tengah. Tahun lalu di bulan November beliau mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Cilacap. Awal novita terjun ke dunia politik tidak lain karena dorongan dari sang ayah yaitu bapak Toufik. Ayahnya memang sudah lama berkecimpung di dunia politik sejak lama dan sekarang ayah dari Novita sendiri saat ini menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Cilacap. Novita di usung oleh partai PDIP untuk menjadi calon Bupati Cilacap. Dalam awal kampanyenya sebagai calon bupati, novita mendapat respon yang positif dari masyarakat. Namun sayangnya saat pemilu berlangsung dia masih kalah dan gagal dari saingannya yaitu Tato Pambudi yang bukan lain adalah Bupati Cilacap yang mencalonkan kembali dirinya sebagai bupati untuk periode selanjutnya. Dalam pencalonan awalnya Novita begitu mendapat respon yang positif dari masyarakat Kota Cilacap namun, akhir-akhir dalam pencalonannya novita banyak di benci dan tidak di segani. Dalam kampanyenya novita di duga banyak menggunakan “ money politic “ untuk mendapatkan tanggapan bagi masyarakat Cilacap. Selain itu novita juga diduga tidak bisa menjalankan cara berpolitik yang benar. Dalam kampanyenya, novita banyak menyewa preman suruhan. Novita juga dianggap terlalu muda untuk maju sebagai bupati nantinya, novita dianggap masih harus belajar dan berkomunikasi politik yang baik. Dengan begitu maka novita di anggap masih harus belajar agar menjadi pintar dalam berkomunikasi khususnya dalam komunikasi politik.
Kemudian gagalnya novita juga banyak isu yang terdengar jika rumah tangga novita dengan suaminya kurang harmonis, maka dari itu banyak masyarakat yang enggan jika pemimpin Kota Cilacap nantinya adalah wanita yang gagal dirumah tangganya karena akan berpengaruh juga pada sosok kepemimpinannya. Selain karena faktor itu semua, rasa ketakutan masyarakat pun meningkat jika sosok novita berhasil menjadi bupati selanjutnya, karena warga menyadari jika sosok ayahanda dari novita adalah sosok pemimpin yang selalu premanisme, dan warga takut jika cara politik tersebut akan turun ke anaknya yaitu novita.

      2.      Fatimah : Calon Bupati Cilacap Periode 2008-2012
Sosok ibu ini memang jarang di dengar dalam dunia politik. Namanya begitu tenar mendadak di kala beliau mencalonkan sebagai kandidat salah satu calon Bupati Cilacap periode 2008-2012. Umur Bu Fatimah saat itu 40 tahun. Sebelum terjun kedunia politik, ibu Fatimah adalah seorang pengusaha yang sukses sedangkan suaminya adalah seorang kontraktor terkenal. Bu Fatimah adalah salah satu orang terkaya di Kota Cilacap saat itu, bermodalkan dengan kekayaannya dan ilmu politik yang ala kadarnya bu Fatimah beranjak dari bangku pengusaha terjun ke dunia politik. Bu Fatimah memiliki kepribadian yang baik, lemah lembut serta orang yang sabar. Fatimah dalam pencalonannya menjadi Bupati Cilacap yang  diusung oleh partai Golkar ini awalnya medapat respon yang lumayan positif, terutama oleh masyarakat yang berada di daerah terpencil di Cilacap. Karena awal kampanyenya Fatimah lebih terfokuskan ke masyarakat yang terpencil di plosok-polosok. Dengan mengusung moto “ Bupatine Wadon Bae “ yang artinya bupatinya perempuan saja, dalam kampanyenya bu fatimah berharap bisa mengalahkan saingannya, tetapi tetap saja gagal dari saingannya yaitu Probo Yulastoro. Probo Yulastoro saat itu adalah Bupati Cilacap yang kembali mencalonkan dirinya di pemilu tahun 2008 dan terpilih kembali menjadi bupati.
Terpilihnya Probo Yulastoro kembali menjadi Bupati Cilacap tidak lain karena suksesnya Probo Yulastoro dalam membangun kota Industri itu dengan banyak mendatangkan para investor dari luar kota dan luar negeri. Dalam kasus pemilu ini Bu Fatimah di duga gagal karena kurangnya mendalami ilmu politik sebagaimana orang politik yang harus tau betul politik. Bu Fatimah  juga kurang tenar yang mengakibatkan orang-orang belum tau siapa dan bagaimana sosok Fatimah. Beliau juga tidak dapat menarik perhatian yang lebih kepada sebagian masyarakat Cilacap, sebaliknya masyarakat Cilacap juga tidak bisa di bodohi begitu saja karena menurut mereka Bu Fatimah tidak memilik cara komunikasi politik yang bagus karena basiknya yang merupakan seorang pengusaha.

      2.      Megawati Soekarno Putri: Calon Presiden Indonesia Periode 2004-2009
Sosok perempuan yang sering di sapa dengan nama Bu Mega ini adalah mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-5. Beliau adalah istri dari taufik kemas yang tidak lain adalah ketua MPR Republik Indonesia saat ini. Megawati merupakan anak dari presiden pertama Plokamator Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Dari sejak muda Megawati memang sudah bekecimpung dalam dunia politik. Ini tidak heran karena beliau mengikuti jejak sang ayah. Megawati sempat menjadi presiden ke-5 Republik Indonesia, tetapi bukan lewat pemilu namun sebagai presiden pengganti setelah menggantikan Gus Dur. Dalam masa kepemimpinanya, megawati dianggap gagal karena tidak begitu berpengaruh terhadapat perubahan Republik Indonesia. Megawati saat itu hanya menjabat sebagai presiden sekitar kurang lebih 2 tahun saja. Setelah masa jabatannya habis, dalam periode selanjutnya megawati kembali mencalonkan sebagai presiden Republik Indonesia yang di usung oleh partai PDIP. Dalam pemilu tahun tersebut megawati banyak mendapat saingan karena banyak para tokoh politik yang mencalonkan menjadi presiden, saingannya yang salah satunya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang menjadi presiden Republik Indonesia sampai saat ini.  Kala itu Susilo Bambang Yudhoyono mendapat sambutan dan respon yang sangat positif dari berbagai masyarakat Indonesia. Dan akhirnya megawati kalah dalam pemilu tahun itu. Dalam kegagalan ini megawati di duga kalah karena megawati menjadi sosok yang terlalu egois terhadap sesuatu keputusan. Selain itu megawati merupakan sosok yang kurang berwibawa dalam menjalankan kerja di partai PDIP. Itu telihat mana kala megawati sering menyindir partai demokrat dan sistem kampanye Susilo Bambang Yudhoyono saat itu. Megawati yang saat itu adalah ketua umum Partai PDIP pusat sangat menjunjung tinggi azas nasionalisme. Dan menginginkan sekali PDIP sebagai titik pusat azas masyarakat Indonesia karena mega menganggap PDIP mempunyai azas yang sejalan dengan Negara Republik Indonesia.

      3.      Siti Khomariah : Calon Bupati Pekalongan Periode 2012-2017
Wanita yang sering di sapa khomariah ini dulunya adalah Bupati Pekalongan. Umurnya kini 35 tahun, wanita ini dikenal dengan sosok yang a’lim dan sangat menjunjung tinggi agama Islam. Khomariah berhasil menjadi bupati pekalongan saat itu karena di usung oleh partai PKB. Dalam massa kepemimpinannya menjadi bupati saat itu masyarakat banyak yang merasa kurang puas atas kebijakan-kebijakannya dalam mengeluarkan aturan. Banyak yang menyesali atas berhasilnya khomariah menjadi Bupati Pekalongan saat itu, umurnya yang dulu masih terlalu muda membuat masyarakat kurang puas memiliki sosok pemimpin yang muda dan apalagi sosoknya adalah perempuan. Saat jabatannya habis, siti khomariah mendaftar lagi pada pemilu periode selanjutnya, namun saat pemilu terjadi Siti Khomariah gagal. Ini terjadi karena masyarakat Pekalongan kurang puas atas kepemimpinannya pada masa periode kemarin. Masyarakat juga menghimbau agar Khomariah untuk lebih mengerti dasar politik dan kepemimpinan. Dalam masa kepemimpinanya Khomariah Pekalongan menjadi kota yang sepi akan semua fasilitas, hal tersebut sangat di rasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Selain itu masyarakat pekalongan juga lebih menginginkan pemimpin sosok laki-laki. Karena sosok laki-lakilah yang  mempunyai sifat tanggung jawab yang lebih di banding perempuan. Di samping itu dalam masa kepemimpinanya sosok khomariah juga di anggap kurang tegas dalam mengambil semua keputusan.

            Partisipasi politik perempuan tidak saja di lakukan dengan memberikan suara, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah politik. selama ini jumlah keterlibatan perempuan di dunia politik memang menunjukan proges yang menggemberikan. Tetapi, kondisinya tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Terlebih ketika media massa tidak menunjukan dukungannya melalui teknik liputan atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik.


Referensi
Henry Subiakto,Rachmah Ida.2012.Komunikasi Politik, Media,& Demokrasi. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
Terry, & Kaid, Linda.2004. Gender and Cadidate Communication. New York: Routledge
Suaedy, Ahmad.2007. Politisasi Agama. Jakarta: The Wahid Institute



[1] Henry Subiakto,dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik,Media,&Demokrasi (Jakarta:”KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2012”) 159.
[2] Terry,dan Linda Kaid, Gender and Candidate Commination (New York:”Routledge,2004") 163.
[3] Terry,dan Linda Kaid, Gender and Candidate Commination (New York:”Routledge,2004") 169.
[4] Ahmad Suaedy, Politisasi Agama, ( Jakarta:”The wahid Institute,2007”) 253.
[5] Henry Subiakto,dan Rachmah Ida, 2012, “ Komunikasi Politik,Media&Demokrasi”, Jakarta: Kencana Prenada Group,   hal.162

Politik Hukum Nasional

            Kata“politik hukum nasional” sering sekali menimbulkan kebingungan, disebabkan kesan yang timbul dari adanya perkataan politik didepan hukum tersebut.Undang-undang sebagai bagian yang membentuk hukum,kerap di persoalkan, apakah dia merupakan produk hukum atau produk politik. Politik sendiri, seringdipahamisebagai proses pembentukan kekuasaan di masyarakat yang mengambil bentuk dalam proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.Politik juga dikatakan sebagai satu seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupuninkonstitusional. Beberapa aliran hukum menurutnya menganggap hukum otonomi dari entitas bukan hukum sudah merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realitas hukum.Politik hukum muncul sebagai suatu disiplin hukum alternatif di tengah kebuntuan metodologis dalam memahami kompleksitas hubungan antara hukum dan entitas bukan hukum terutama dalam kaitan studi ini adalah politik.Istilah dan kajian politik hukum baik dari sisi teoritis dan praktis telah dikenal cukup lama di Indonesia

            `Latar belakang politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan dimana mengarahkan untuk mengakan keadilan yang dilakukan oleh pihak terkait.Kita bisa menamakan ini sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum yang lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.Kebijakan merupakan suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politikdalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut Politik hukum menentukan hukum yang sesungguhnya. Politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya menjadi sesuai dengansociale werkelijkheid (kenyataan sosial).Pada prinsipnya politik hukum berarti kebijaksanaan negara mengenai hukum yang ada saat ini. Adanya kesamaan makna politik hukum dalam kedua dimensi pandangan tersebut terletak pada menegakkan perhatian terhadap hukum yang dicita-citakan/didambakan dan hukum yang ada pada saat ini kebijakan disini berperan sangat penting dalam mengambl sebuah peraturan yang berfungsi menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara .Keadaan politik hukum tiap negara berbeda antara satu dengan yang lainnyaini tergantung keadaan suatu negara tersebut,kita sudah ketahui negara ada yang masih dibawah, sedang berkembang, dan negara maju. Ini tentu berimplikasi pada arah kebijakan negara berbeda Tentunya politik hukum negara maju,berkembang, kalangan bawah tidak bisa di samakan karena kondisi negara yang berbeda.Politik hukum tentu saja memiliki arti penting, karena setiap hukum yang dibuat, setiap hukum yang diterapkan di masyarakat, agar sesuai dengan kondisi di masyarakat itu sendiri harus diatur dengan hukum yang tepat. Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat.Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para warga masyarakat. Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa  dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalm seluruh jenis peraturan perundang - undangan negara.Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu, bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum dari negara tertentu.

            Pengambilan kebijakan di negara maju tentu lebih diatas daripada negara yang sedang berkembang Ini dikarenakan keadaan dari masing-masing negara yang meliputi permasalahan yang di hadapi, sampai pada keadaan masyarakat.Begitu pula Indonesia yang merupakan negara sedang berkembang, tentu tidak bisa disamakan keadaan politik hukumnya dengan negara maju Indonesia masih perlu mengembangkan sebuah tatanan dalam merumuskan politik hukumnya setelah perumusan atau pemilihan mana kebijakan atau hukum yang dihapus atau tidak, perlu dilakukan mekanisme kerja yang jelas, yang terpenting keseriusan dalam membangun politik hukum di Indonesia serta mentaati aturan yang berlaku dan tentunya dengan penegakan hukum yang telah diatur. banyak kendala yang ditemui dalam pelaksanaan politik hukum di Indonesia mulai dari pejabat yang ada dibidangnya sampai pada masyarakat itu sendiri. keadaan politik hukum di Indonesia Seperti kita ketahui negara bisa kita kelompokan menjadi tiga bagian yaitu negara kurang maju, sedang berkembang dan negara maju Indonesia sebagai negara kita bisa kelompokan ke dalam negara yang sedang berkembang. Terkait dengan politik hukum Indonesia tidak bisa kita samakan dengan politik hukum yang ada di negara maju seperti Amerika serikat.Secara umum di Indonesia mengalami beberapa dinamika perkembangan politik hukum dimulai dari awal kemerdekaan sampai dengan sekarang, yang mana tiap tahap perkembangan ada kelemahan dan keunggulannya.Pada masa awal kemerdekaan mengalami beberapa perdebatan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan merupakan bagin yang tidak dapat dipisahkan dari politik hukum suatu negara, karena ini akan menentukan kemana arah politik hukum indonesia.Ini menandakan arah kebijakan pada saat itu masih mengarah pada parlementer dan juga presidensial, dan berangsur-angsur menjadi parlementer politik hukum pada masa itu dilihat dari sisi politik cenderung mengalami pemerintahan yang sangat goyah sering berganti kabinet, ini menandakan pembuatan hukum pun tidak bisa dilaksanakan secara maksimals sistem pemerintahan parlementer sebenarnya tidaklah cocok bagi Indonesia sehingga mengahambat terbangunnya politik hukum yang diinginkan guna mencapai tujuan negara.Konfigurasi politik pada masa demokrasi terpimpin sebenarnya bertolak belakang dengan yang terjadi pada era sebelumnya. Misalkan DPR belum mampu mencapai target pembuatan undang-undang yang telah di targetkan, tapi menurut kami sudah lebih baik dari sebelumnya.
             Masa sekarang memang yang terjadi para anggota DPR cenderung aktif dalam pemilihan umum.Tetapi dalam bertugas mereka juga masih melakukan pelanggaran hukum.Seperti korupsi yang masih merajalela yang menandakan sikap pelaksana politik hukum masih sangat kurang Demikian keadaan politik hukum di Indonesia Dimana dari masa orde lama dan orde baru bisa kita katakan konfigurasi politik mengarah ke hal-hal yang otoriter. Namun di masa sekarang sebenarnya bertujuan menciptakan konfigurasi politik hukum yang responsive, walaupun semuanya tidak ada yang murni karena kenadalanya begitu banyak Dan perlu mencabut produk hukum yang lama dengan produk hukum yang baru, jika diketahui melanggar norma atau kaedah Pancasila, sebagai ciri atau karakteristik sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Negara .Faktor Dominan yang Menentukan Politik Hukum di Indonesia Faktor dominan yang menentukan politik hukum di Indonesia kami kelompokan menjadi variabel yaitu: Cara Pimpinan Eksekutif Memperoleh Kekuasaan Kebanyakan pimpinan eksekutif pada Negara- Negara sedang berkembang memperoleh kekuasaannya pertama kali melalui suatu revolusi rakyat atau perebutan kekuasaan oleh militer atau sipil.Banyak juga di antaranya yang tidak melegitimasikan kekuasaanya melalui pemilu tetapi melalui janji – janji demokrasi dan memberantas korupsi dari penguasa lama. Dilihat dari cara penguasa Negara – Negara sedang berkembang menduduki jabatanya maka dapat disebutkan bahwa politik hukum pada Negara – Negara berkembang umumnya ditentukan sepihak oleh penguasa eksekutif dan di abdikan untuk kepentingan penguasa tersebut.Di sini, fungsi hukum itu semata – mata untuk ketertiban umum, dan ada kalanya sejalan dengan itu untuk merubah nilai dalam masyarakat sesuai penguasa tersebut.Sedang fungsi lainya untuk tegaknya keadilan dan kepastian hukum agak jauh dari jangkauannya tetapi kemajuan akibat pembangunan sendiri yang mulai mencerdaskan dan menaikan taraf hidup rakyatnya yang menimbulkan tuntutan – tuntutan baru dari rakyat untuk demokrasi. Pada Negara – Negara sedang berkembang, pemilu rupanya sudah menjadi mode sebagai legitimasi yang diakui secara universal.hanya beberapa Negara berkembang saja yang belum melaksanakan pemilu karena trdisi dan juga karena baru saja merebut kekuasaan dari penguasa lama seperti beberapa Negara berkembang.Masa jabatan Pimpinan Eksekutif Sebuah hal yang manusiawi bahwasannya setiap penguasa cenderung untuk mempertahankan kekuasaanya bahkan kalau mungkin meningkaykan kekuasaanya itu Pada Negara berkembang apabila seorang presiden natau perdana menteri yang harus megundurkan diri karena tekanan dari partainya sendiri atau kalah dalam pemilih ataupun suatu skandal yang memalukan.Kehilangan kekuasaan berarti kehilangan segalanya Karena itu kecenderungan mempertahankan pada Negara berkembang sangatlah kuat banyak usaha atau tindakan yang dilakukan penguasa untuk mempertahankan kekuasaanya.Misalnya, pemilu yang dicurigai curang atau dibarengi kekerasan atau intimidasi, penekanan pada kelompok – kelompok penentangnya atau oposisi. atau mengurangi kebebasan pers, memberlakukan hokum tertentu yang membatasi hak rakyat atau memperbesar kekuasaan penguasa dan yang paling umum dilakukan oleh penguasa pada Negara berkembang yaitu dengan cara melemahkan atau memperkacil kekuasaan dari badan legislative dan eksekutifnya.Sejalan dengan kecendrungan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya seperti diuraikan diatas, maka muncul pula kecendrungan mengangkat pembantu – pembantunya berdasarkan despostis dan nepotisme.

Politik  masa orde baru
            pada masa orde baru dimana sarat dengan nepotismePengangkatan berdasarkan kedua hal tersebut sangat membantu penguasa untuk memuluskan penguasa melanggengkan kekuasaannya sehingga tecipta status pada era sekarang yang dimana kita ketahui presiden berhak menentukan siapa-siapa yang menjadi menteri Justru yang terjadi presiden tidak menjalankan haknya yaitu hak preogratif secara mutlak/murni tetapi presiden mesti menentukan pembantunya mempertimbangkan mitra koalisinya Jadi tidak mutlak presiden yang menentukan pengangkatan para pembantunya.
Politik hukum Negara sedang berkembang yang kedua, yang sesuai dengan namanya sedang berkembang yang berarti sedang membangun maka politik hukumnya tergantung pada hubungannya dengan Negara – Negara maju yang bertindak sebagai penanam modal di negaranya itu yang disebut faktor external.Semua Negara berkembang mempunyai tekad untuk memajukan negaranya mengejar ketinggalan dari Negara – Negara berkembang lainnya yang lebih maju atai Negara-negara maju lainnya.Sehingga daya dan potensi yang ada di negaranya diarahkan dan di kerahkan Masing-masing Negara berkembang tersebut mencanangkan konsep pembangunan ekonomi negaranya untuk memacu pertumbuhan dan modernisasi tersebut berbagai model pembangunan di ketengahkan oleh ahli-ahli Negara maju bagi pembangunan suatu Negara berkembang.Kendala Pelaksanaan Politik Hukum di Indonesia Pelaksanaan politik hukum di Indonesia sebenarnya memiliki banyak kendala mengingat Indonesia masih tergolong negara yang sedang berkembang. Hal ini terkait dengan pelaksanaannya di lapangan menyangkut proses pembuatan kebijakan atau hukum berikut kami kelompokan kendalanya yaitu:
            A. Lemahnya penegakan hukum bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini.Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri Nah lemahnya penegakan hukum di Indonesia ini berimplikasi pada permasalahan pelaksanaan politik hukum, dimana politik hukum sebenarnya bertujuan untuk mencapai tujuan negara. Penegakan hukum yang lemah akan membuat tersendatnya tujuan negara karena hukum tidak lagi di hormati masyarakat. Apalagi diskriminasi dalam hukum jelas akan membuat masyarakat akan merasakan dampak negatifnya.
             B. Sikap Buruk Orang-orang yang berkecimpung di dunia Politik Pejabat-pejabat politik yang bersikap buruk akan menghambat pelaksanaan politik hukum. Misalkan anggota legeslatif yang akan membuat undang-undang bila mereka tidak mempunyai keseriusan maka undang-undang yang di hasilkan terkadang menuai pro dan kontra.Bahkan kita sering disuguhi tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh mereka selaku pejabat negara.Misalkan mereka melakukan korupsi Jadi bisa kita simpulkan bahwa pejabat yang memiliki peran dalam merumuskan peraturan kurang melaksanakan tugasnya dengan baik dan tentu menjadi sebuah kendala.Hal ini tentu menjadi kendala dalam pelaksanaan politik hukum di Indonesia.
             C. Keadaan Masyarakat Sebuah fakta yang memang tidak bisa kita bantah, bahwa keadaab masyarakat bisa menghambat terlaksananya politik hukum.Misalkan kemiskinan akan berakibat pada pendidikan masyarakat yang kurang. Masyarakat bisa jadi tidak tau peraturan ataupun tidak mengerti akan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena pendidikan yang kurang. Pendidikan yang kurang hanya membuat masyarakat menjadi kurang tau tentang peraturanSelain itu kemiskinan terkadang membuat masyarakat cenderung melanggar hukum seperti merampok demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari ni menandakan factor kemiskinan membuat pelaksanaan politik hukum di Indonesia menjadi sedikit menemui kendala.Usaha Pembangunan politik Hukum Di Indonesia Usaha pembangunan politik hukum sebenarnya sudah gencar dilakukan di tengah kendala yang di hadapi Politik hukum ini terkait dengan pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan negara. Kendala yang di temui terkait pembangunan politik hukum memang sedikit agak kompleks Kendala hanyalah membuat pembangunan politik hukum atau perumusan kebijakan menjadi sedikit menemui kendala Usaha wajib dilakukan demi berjalannya pengambilan garis kebijakan yang akan dirumuskan. Sebenarnya untuk menghasilkan kebijakan yang dapat membuat tercapainya tujuan Negara  Politik hukum identik dengan peraturan yang di buat tentu oleh lembaga yang berwenang membuat undang-undang. Kendala yang hadapi sesuai apa yang telah kami jelaskan bahwa pembuat kebijakan cenderung lemah, cenderung terkesan tidak melakukan tugasnya dengan baik. Ini dapat dilihat dari jumlah undang-unadang yang di bahas oleh pejabat khusunya DPR yang tidak bisa memenuhi target yang diharapkan.

Membangun politik hukum di Indonesia

 Ada beberapa usaha yang mungkin bisa dilakukan guna membangun politik hukum di Indonesia:
            1.Keseriusan dari pembuat kebijakan pembuat kebijakan semestinya memiliki keseriusan dalam merumuskan kebijakan. Kita ketahui perumusan kebijakan itu berguna untuk mencapai masyarakat yang sejahtera, sesuai apa yang menjadi tujuan negara. Fakta yang terjadi melihat apa yang dilakukan pejabat yang bertugas membuat kebijakan sering melakukan pelanggaran, seperti korupsi yang dilakukan anggota DPR.Ini menandakan ketidakseriusan pejabat dalam merumuskan kebijakan, bahkan mereka yang membuat peraturan, yang tau hukum melanggar hukum itu sendiri Kedepannya untuk membangun politih hukum yang elegan perlu sekali para perumus kebijakan serius dan taat hukum.
            2. Penegakan hukum secara maksimal hukum itu merupakan sebuah peraturan, bagaimanapun peraturan tersebut bila tidak dilakukan secara maksimal akan sangat percuma. politik hukum yang dibangun semestinya dilaksanakan tidak hanya oleh perumus kebijakan tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. fakta yang terjadi justru menunjukan penegakan hukum saat sekarang masih kurang. kita lihat orang kaya di tahan justru fasilitas tahanannya sangat bagus seperti rumah mewah dan untuk orang miskin sangat jauh berbeda fasilitasnya.penegakan hukum semestinya harus dilaksanakan dengan baik tanpa harus memilih mana kalangan atas atau kalangan bawah. hukum harus menjadi panglima dalam upaya pembangunan politik hukum atau perumusan kebijakan untuk rakyat Indonesia, bukan untuk segelintir kelompok atau golongan.
           
            3. Menentukan arah pembangunan politik hukum harus memperhatikan dimensi waktu Biasanya orang merencanakan sesuatu untuk jangka pendek (yaitu satu tahun ke depan) atau jangka menengah (yaitu lima tahun ke depan). Akan tetapi bagi pembangunan Hukum 5 tahun ke depan saja sudah tidak memadai, oleh karena penyusunan peraturan Undang-undang bisa makan waktu lebih lama dari itu. Sehingga, apabila kita hanya menyusun rancangan Undang-undang dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan hukum 5 tahun ke depan, tapi ternyata RUU itu belum juga dibahas oleh DPR, maka (R)UU yang bersangkutan sebenarnya sudah harus direvisi sebelum dia menjadi UU Atau sudah harus direvisi, sekalipun baru saja menjadi Undang-undang. Itulah sebabnya mengapa Rencana Pembangunan Politik Hukum Nasional mestinya terutama direncanakan untuk 10 sampai 15 (lima belas) tahun ke depan. Selain itu dalam pembangunan politik hukum yang perlu di perhatikan adalah bagaimana keadaan yang sudah lewat untuk menjadi pembelajaran selanjutnya, kemudian masa sekarang untuk melakukan langkah-langkah dalam pembangunan politik hukum, dan untuk masa depan menyusun rencana pembangunan politik hukum agar lebih baik. Ini perlu diperhatikan demi pembangunan hukum Karena masa lalu kita gunakan sebagai bahan evaluasi guna mencari tau apa yang menjadi kelemahan kita, dan dapat sebagai bahan untuk bagaimana kedepannya berbuat yang terbaik demi terwujudnya politik hukum yang diinginkan.
            Politik hukum adalah Legal Policy yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup: pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan; juga bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dengan kata lain, politik hukum mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan di bangun dan ditegakkan.
            Pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya hal-hal berikut:
(1) Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai  orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum; (2) sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya; (3) perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum; (4) isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; (5) pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative, review, dan sebagainya.
             Dalam definisi yang beragam, dikatakan juga bahwa politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaa kebijakan public politik hukum merupakan terjemahan dari istilah rechtspolitiek. politiek mengandung arti beleid (policy) atau kebijakan. Oleh karena itu politik hukum sering diartikan sebagai pilihan konsep dan asas sebagai garis besar rencana yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan diciptakan. Politik hukum adalah legal policy atau kebijakan tentang arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, yang dapat mengambil bentuk sebagai pembuatan hukum baru dan sebagai pengganti hukum yang lama.
Dalam kerangka pembicaraan kita tentang politik hukum sebagai arah dalam pembangunan hukum untuk mencapai tujuan negara yang telah ditentukan, persoalannya adalah memahami dasar dan tujuan negara yang dibentuk tersebut, yang terjadi melalui kepakatan atau consensus nasional oleh para pendiri negara. Dasar dan tujuan negara demikian, akan ditemukan dalam konstitusi, sebagai satu kesepakatan umum (general consensus). Disamping meletakkan tujuan dan dasar negara yang dibentuk, maka suatu konstitusi biasanya dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu:
(a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara.
(b) mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain,
(c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warganegara.

            politik hukum nasional bisa disimpulkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena, politik hukum nasional di Indonesia menjalankan fungsinya sebagai pengatur displin hukum dan displin sosial, menciptakan hukum yang mampu meningkatkan profesionalisme kemakmuran rakyat sebagaimana kita lihat yang lemah mempunyai keinginan kuat untuk mendukung adanya hukum, sedangkan bagi  kuat hukum sebagai kendala terhadap keinginan mereka untuk memaksakan suatu penyeselasaikan konflik berkepentingan bagi keuntungan mereka dengan demikian adanya tata tertib hukum sebenarnya merupakan kepentingan obyektif dapat dikatakan dari semua pihak  dimana ada masyarakat disana ada politik hukum. 
Tujuan saya membangun keinginan masyarakat di bidang politik hukum nasional diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya meningkatkan kordinasi hukum nasionalinstasi terkait dalam masyarakat dalam perancanaan hukum menciptakaan hukum yang bersih,berkeadilan hukum dalam memproses peradilan yang tepat .membangun hukum disini harus mencakup semua kalangan yang mengantur tata kehidupan masyrakat, baik perdata, pidana, acara dan sebagainya dan menwujudkan menciptakaan cita-cita bangsa Indonesia dalam menegakan politik hukum nasional dan kebijakan              pembangunan hukum di Indonesia,yaitu: dan dapat kita uraikan di muka dapat di simpulkan bahwa politik merupakan policy atau kebijakan Negara di bidang hukum yang sedand dan akan berlaku dalam sesuatu Negara. Dengan adanya politik hukum.negara dapat menentukan jenis- jenis atau macan – macam hukum ,bentuk hukum ,materi dan sumber hukum yang di berlakukaan dalam seseuatu Negara pada saat ini  dan yang akan datang .
1.         Berdasarkan landasan sumber tertib hukum yang terkandung dalam pandangan hidup, kesadaran bernegara, tujuan negara, cita-cita moral yang luhur sebagaimana yang tercantum dalam makna Pancasila dan UUD 45.
2.         Mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum.
Kebijakan ini ditempuh dengan :
a. Pembaharuan dan unifikasi hukum
b. Menertibkan lembaga-lembaga hukum
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum
3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina aparat pemerintah ke arah keadilan serta perlindungan HAM
Kesimpulan Adapun yang dapat disimpulkan dalam artikel ini yaitu:
 1. Keadaan politik hukum Indonesia dibedakan menjadi empat masa, yaitu awal kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi sampai sekarang. 2. Karakter hukum di Indonesia pada sekarang sebenarnya bertujuan untuk menciptakan karakter hukum yang responsive bukan yang konservatif. 3. Factor dominan yang menentukan politik hukum yaitu cara eksekutif memproleh kekuasaan, cara eksekutif mengangkat para pembantunya dan masa jabatannya. 4. Kendala pelaksanaan politik hukum di Indonesia yaitu penegakan hukum yang lemah, sikap para perumus kebijakan, dan keadaan masyarakat. 5. Yang bisa di ushakan dalam pembangunan politik hukum Indonesia yaitu, keseriusan para perumus kebijakan, belajar dari waktu dan penegakan hukum yang lebih di tingkatkan. Sebaiknyalah kita memahami mengenai pelaksanaan politik hukum di Indonesia karena politik hukum dalam pelaksanaanya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemimpin tapi juga kita semua selaku rakyat Indonesia Jika kalau politik hukum dilihat sebagai proses pilihan keputusan untuk membentuk kebijakan dalam mencapai tujuan negara yang telah ditentukan, maka jelas pilihan kebijakan demikian akan dipengaruhi oleh berbagai konteks yang meliputi nya seperti kekuasaan politik, legitimasi, sistem ketatanegaraan, ekonomi, sosial dan budaya.Hal itu berarti bahwa politik hukum negara selalu memperhatikan realitas yang ada, termasuk realitas politik internasional dan nilai-nilai yang dianut dalam pergaulan bangsa-bangsa. Politik hukum sebagai satu proses pembaruan dan pembuatan hukum selalu memiliki sifat kritis terhadap dimensi hukum, karena harus senantiasa melakukan penyesuaian dengan tujuan yang ingin dicapai masyarakat, sebagaimana telah diputuskan. Karenanya politik hukum selalu dinamis, dimana hukum bukan merupakan lembaga yang otonom, melainkan kait berkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat.


Referensi:

(Said, U. (2009). Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Setara Prees.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi
BUDIARDJO, M. (2009). Dasar Dasar Ilmu Politik. jakarta: gramedia pustaka utama.
Said, U. (2009). Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Setara Prees.


AGLOMERASI INDUSTRI DAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DI INDONESIA

Perkembangan Industri dan Pengaruh Kebijakan Publik 
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Serang, Banten

Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, tuntutan akan reformasi sistem kebijakan pemerintah Indonesia terus mendapatkan dukungan yang begitu besar dari rakyat Indonesia. Terlebih, saat itu rezim Orde Baru  yang otoritarian telah berada di titik kritisnya dalam memimpin pemerintahan di Indonesia, dikarenakan berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan politik negeri yang semrawut tidak mampu diatasi dengan baik. Tulisan ini, akan mengkaji permasalahan pasca reformasi yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi serta upaya pembangunan ekonomi daerah melalui aglomerasi industri. Mengaitkan dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 sebagai landasan yuridis otonomi daerah, ternyata pelaksanaan desentralisasi di negeri ini belum mampu dimaksimalkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Akhirnya, kebijakan yang pincang terus menggayuti keadaan pemerintahan di era reformasi ini.
Aglomerasi Industri, Otonomi Daerah, Kebijakan Publik, dan Corporate Social Responsibility

Sejak abad ke-20, perkembangan industri di seluruh dunia mulai menunjukkan pertumbuhan yang begitu pesatnya. Abad ke-18 sebagai awal mula perkembangan ini telah menjadikan sinar terang bagi kehidupan sosial ekonomi manusia, di mana Revolusi Industri yang terjadi di Inggris menandai mulai berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1796 merupakan awal yang menentukan perkembangan industri modern. Modernisasi kehidupan mendapat arah baru ketika pada tahun 1796 Ia memperkenalkan mesin uapnya yang menggunakan kondensor. Mesin uap yang ditemukan itu terus menerus disempurnakan menjadi alat yang sangat ampuh dan sempurna daripada alat yang digerakkan oleh tenaga manusia maupun hewan.[1]
Perkembangan tersebut sesuai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang terus menerus menjadikan teknologi semakin canggih dan memudahkan manusia dalam segala aktivitas termasuk perindustrian suatu negara. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia pun juga merasakan manfaat dari berkembangya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang industri. Industri yang sedang berkembang di Indonesia ini merupakan salah satu dari serangkaian alat perekonomian yang dijadikan sebagai tumpuan kemajuan bangsa. Berkembangnya modernisasi ternyata telah merubah berbagai aspek di segala kehidupan, mungkin lebih tepatnya lagi jika dikatakan sebagai era gobalisasi. Seperti yang dikatakan oleh Bhagwati (2004) dalam bukunya In defense of Globalization mendefinisikan globalisasi sebagai proses dalam masyarakat global yang terintegrasi dalam lingkup ekonomi, sosial, budaya dikarenakan adanya komunikasi dan perdagangan.[2] Melalui globalisasi, tuntutan akan majunya segala bidang termasuk dengan modernisasi bidang perekonomian, merupakan pilihan terbaik untuk menuju posisi negara maju yang sering ditandakan dengan industri yang canggih serta berkembang dengan baik. Tak heran, jika saat ini pemerintah Indonesia terus mengupayakan Industri sebagai wadah perekonomian bangsa meskipun pada hakikatnya negeri ini merupakan negara agraris dan maritim yang seharusnya lebih mampu untuk menjadikan kedua bidang tersebut sebagai tumpuan ekonomi yang bersifat kerakyatan di dalam negeri.
Banyak berbagai daerah yang kini mulai mengembangkan eksistensinya dalam bidang perindustrian. Dimulai dari wilayah Pantai Utara Jawa yang sudah menunjukkan eksistensinya lebih dulu pada bidang industri sejak zaman Orde Baru. Kemudian mulai diikuti banyak daerah yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya baik di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun daerah Timur Indonesia. Selain karena otonomi daerah yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat, kebutuhan untuk memajukan perekonomian daerah juga menjadi alasan mengapa industri terus berkembang. Jika dilihat keberadaan industri tersebut, miris sekali kondisi sarana dan prasarana dari industri yang ada. Terkadang suatu kawasan industri yang dibangun ini, mengalami masalah kekurangan sumber daya untuk menopang perindustrian, akibatnya industri tidak mampu berjalan dengan sebaik mungkin. Kebanyakan industri yang gagal dibangun tersebut dikarenakan faktor akan kurangnya  sumber daya, akses menuju pasar, maupun akses administrasi yang efektif dan efisien.
Oleh karena itu, mungkin inilah yang menjadi faktor mengapa pemerintah melakukan restrukturasi terhadap format pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar lebih memfokuskan jenis industri yang akan dibangun dalam suatu daerah dengan tetap memikirkan sumber daya lokal yang ada. Pasalnya, ketika pembangunan industri tidak terarah dan tidak sesuai dengan format pembangunan nasional yang telah ditetapkan, akibatnya industri yang dibangun pada sembarang tempat tidak mampu berjalan dengan baik karena masalah sulitnya menemukan faktor pendukung berjalannya industri di suatu daerah yang sesuai dengan tujuan dan standar kualitas perindustrian.
Daerah-daerah yang menjadi fokus pembangunan industri tersebut biasa disebut sebagai daerah aglomerasi industri. Aglomerasi adalah gabungan kumpulan dua atau lebih pusat kegiatan, tempat pengelompokkan berbagai macam kegiatan dalam satu lokasi atau kawasan tertentu. Menurut Keppres RI No. 41/1996, kawasan tempat pemusatan kegiatan industri dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha. Demikian aglomerasi industri yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah yaitu untuk memusatkan berbagai kegiatan industri dalam satu kawasan dapat terwujud. Tujuan pemerintah untuk memaksimalkan potensi industri pun dapat terjaga kualitasnya dan sesuai dengan mutu pengembangan industri yang terbaik.
Pasca rezim Orde Baru yaitu era reformasi saat ini, pengembangan industri di berbagai daerah semakin massive tingkat pertumbuhannya. Apalagi ditambah dengan kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan pemerintah pusat di era ini sebagai bentuk pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi lokal daerah setempat.  Dengan demikian, pemerintah daerah bukan lagi berpangku tangan dengan pemerintah pusat, yang mana yang pada rezim orde baru dirasa tidak adil karena pembangunan yang ada hanya berfokus pada kota-kota sebagai pusat pemerintahan. Akibatnya, perkembangan daerah-daerah di Indonesia terbengakalai dan rendah akan kualitas kesejahteraannya. Hal ini tidak lain disebabkan karena kurangnya kepedulian pemerintah pada waktu itu.
Kini, masyarakat boleh berbangga terhadap program otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat menopang dan meningkatkan kesejahteraan daerah melalui pengembangan sarana dan prasarana. Berbagai macam industri pun mulai dikembangkan, mulai dari industri mikro seperti industri kreatif masyarakat hingga industri makro seperti perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik yang dibangun, semuanya ditujukan untuk mengembangkan potensi daerah agar menjadi lebih baik.
Namun, ada permasalahan yang harus dilirik dan diatasi segera terkait perkembangan industri makro seperti pembangunan pabrik-pabrik ini. Ternyata terjadi sebuah ketimpangan sosial dalam penentuan kebijakan terhadap rancangan aglomerasi industri yang dijalankan oleh pemerintah. Alasannya, kebijakan ini telah berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan aglomerasi. Sebagai contoh Kabupaten Serang, Provinsi Banten sebagai daerah yang menjadi salah satu pusat industri, seharusnya mampu lebih sejahtera kondisi masyarakatnya dibalik pembangunan areal pabrik-pabrik. Pasalnya, keberadaan pabrik di wilayah ini yang jumlahnya sekitar 227 perusahaan[3] sudah pasti akan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Apalagi pihak perusahaan pun telah mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk menggunakan lahan di sekitar wilayah pemukiman.
Menurut pandangan The Bussiness Roundtable[4], keberadaan perusahaan sangat bergantung kepada dukungan masyarakat secara luas. Perusahaan juga memperoleh berbagai keistimewaan perlakuan (privileges) seperti kewajiban terbatas (limited liabilities), umur kegiatan usaha tidak terbatas (indefinite life), dan perlakuan pajak khusus. Oleh sebab itu, perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat secara luas sebagai salah satu bagian dari konstituen, karena masyarakat dan para konstituen telah memungkinkan perusahaan memperoleh berbagai perlakuan istimewa tersebut.[5]
 Demikian, dengan adanya pembangunan lokasi perusahaan yang berupa pabrik, baik pihak pemerintah Kabupaten Serang maupun pihak perusahaan mampu berkomitmen untuk saling bekerjasama dan saling memberikan manfaat dalam satu kesatuan pengembangan industri. Sedangkan permasalahan kini, usaha tersebut kurang bisa diindahkan baik oleh pemerintah setempat maupun pihak perusahaan. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar areal pabrik tersebut, ternyata tidak mendapatkan manfaat sepenuhnya dari proses industrialisasi yang ada. Hasil dari proses kerja pabrik malahan hanya mengakibatkan limbah di sekitar pemukiman masyarakat, dan menyebabkan gangguan terhadap kesehatan serta kehidupan sosial masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perusahaan yang ingin memberikan keuntungan sosial bagi masyarakat sekitar lokasi perusahaan.[6]
Atas asumsi tersebut, penulisan ini secara lebih detail ingin membahas (1) bagaimana kebijakan otonomi daerah mampu melayani masyarakat dengan baik, (2) membahas akan manfaat dan dampak dari berkembangnya kawasan aglomerasi industri dan (3) menjelaskan bagaimana hubungan dua aspek antara kebijakan pemerintah daerah dengan adanya pusat industri di kawasan pemukiman untuk memberikan keuntungan sosial (social advantages) dan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar.
Reformasi Kebijakan Melalui Otonomi Daerah  
Mohammad Ma’ruf  pernah mengemukakan pendapatnya saat masih menjadi Menteri Dalam Negeri tahun 2006 mengenai kualitas pelayanan publik oleh aparatur birokrasi. Beliau mengatakan bahwa salah satu indikator dalam membangun kepemerintahan yang lebih baik (good governance) adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik, untuk itu perlu terus menerus didorong upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi, terutama pada setiap unit pelayanan.[7] Jika menelaah perkataan Ma’ruf, hal ini mengindikasikan bahwa penciptaan kondisi kepemerintahan yang lebih baik perlu adanya kerjasama dari tingkatan birokrasi yang paling atas hingga yang paling bawah. Selain itu, elaborasi kerjasama antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat harus seimbang melalui prinsip-prinsip (good governance) yang ada (Lihat Figur 1 Bentuk Hubungan dalam Good Governance). Prinsip-prinsip tersebut antara lain : pengawasan, akuntabilitas, daya tanggap, professionalisme, efisiensi dan efektifitas, transparansi, kesetaraan, wawasan ke depan, partisipasi dan penegakkan hukum. Kesepuluh prinsip yang ditawarkan dalam konsep good governance ini sudah seharusnya dijadikan sebagai acuan untuk membentuk reformasi birokrasi saat ini.
            Figur 1. Bentuk Hubungan dalam Good Governance

Pasalnya, kini perkembangan dinamika sosial masyarakat Indonesia semakin kompleks permasalahannya. Baik itu dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik tingkat keruwetan masalahnya semakin besar hingga terlihat begitu krusialnya. Mungkin ini merupakan akibat dari kesalahan masa lalu, yaitu pada era rezim Orde Baru yang terkenal dengan kekuasaan otoritariannya, di mana birokrasi begitu mudahnya dipermainkan oleh para elit negeri ini. Sebab, pada era rezim Orde Baru pemerintahan itu sarat akan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang ada di kalangan para birokrat. Segala kebijakan yang diterapkan pada rezim ini, hanya sebagai usaha untuk memperkaya kelompok elit di tingkat pusat. Rakyat pun hanya menerima penderitaan karena kurangnya keadilan dari pemerintah yang meskipun terus melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur. Malahan pembangunan tersebut tidak dianggap sebagai sebuah keadilan, karena masalahnya sistem pembangunan sentralistik yang dibangun tidak menghendaki kemandirian pembangunan daerah sehingga kebutuhan daerah juga terbengkalai. Akhirnya, hal ini berimbas terhadap ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah sendiri.
Setelah beberapa tahun pasca tumbangnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia terus berusaha untuk memperbaiki sistem pemerintahnya agar tercipta pemerintahan yang bersih, jujur dan adil. Hal ini diupayakan agar permasalahan yang selama ini merongrong wajah bangsa perihal buruknya kinerja dan skandal para birokrat di pemerintahan Orde Baru, tidak terulang kembali pada Orde Reformasi[8] ini. Reformasi kebijakan merupakan usaha yang tepat untuk mengatasi kondisi serta berbagai masalah dalam tubuh pemerintahan. Reformasi yang sejak awal tahun 1990 ini disuarakan akhirnya mampu dicapai dengan dalih agar sifat pemerintahan yang sentralistik dapat mentransformasikan dirinya agar lebih terbuka dan demokratis terhadap segala usaha pembangunan daerah.
Pada era reformasi, dalam menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih perlu usaha keras untuk merombak segala refleksi buruk dari adat birokrasi pada era rezim Orde Baru. Buruknya sistem pemerintahan sebelumnya, mengharuskan negara mengubah sistem pemerintahan melalui reformasi kebijakan. Salah satu usaha penting yang dilakukan adalah dengan mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Awal Januari 2001, Indonesia melalui UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang desentralististis, yang memberikan kewenangan besar kepada kabupaten/kota serta propinsi untuk mengelola kepentingan dan kebutuhan mereka. Desentralisasi ternyata tidak hanya menimbulkan manfaat tetapi juga beberapa mudharat sehingga pemerintah kembali merevisi sistem pemerintahan yang desentralistis tersebut pada Oktober 2004 melalui UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.[9]
Perubahan dan penetapan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik merupakan dambaan setiap negara. Bahkan hingga masyarakat kecil pun sangat mempercayai sistem ini sebagai arah acuan pembangunan yang tepat. Selain mendapatkan kebebasan untuk mengurus pemerintahan daerahnya, dengan ini kedaulatan daerah sebagai penopang kedaulatan negara juga terwujud. Karena melalui sistem desentralistik, pemerintah daerah tidak lagi mendapatkan tekanan atau otoritas kekuasaan yang berlebihan dari pemerintah pusat. Jika pada sistem sentralistik, wewenang pembuatan keputusan berbagai kebijakan publik berada di tangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sebaliknya, pada sistem desentralistik sebagian kewenangan pengelolaan urusan kebijakan publik dilimpahkan kepada pemerintah di tingkat propinsi, kota/kabupaten daerah. Dengan adanya sistem yang desentralistis, daerah bisa lebih mengontrol dan membangun kebutuhan daerahnya di segala bidang seperti sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Sebelumnya, ada hal yang perlu dipahami terkait pengartian tentang definisi desentralisasi. Banyak beragam definisi yang dipahami oleh beberapa orang terkait kata ‘desentralisasi’. Rondinelli dan Cheema (1983) memahami decentralization secara luas, yaitu perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah. Menurut mereka ada empat bentuk desentraliasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi atau debirokratisasi. Dekonsentrasi merupakan pengalihan kewenangan (dan tanggungjawab) administrasi dalam suatu departemen. Dalam hal ini tidak ada transfer yang nyata karena bawahan menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggungjawab kepada atasannya. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan dikontrol tidak secara langsung oleh pemerintah pusat.[10]
Sementara devolusi ialah pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintah di tingkat lokal oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat melakukan kontrol seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu. Inilah yang kiranya dalam praktik kita sekarang ini dimaknai sebagai desentralisasi dari satu sisi atau otonomisasi di sisi yang lain. Terakhir, privatisasi atau debirokratisasi adalah pelepasan tanggungjawab kepada organisasi-organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan-perusahaan tertentu.[11]
Sedangkan Bryant (1987) berpendapat bahwa terdapat dua bentuk desentralisasi, yaitu desentralisasi yang bersifat politik (kurang lebih sama dengan devolusi) dan yang bersifat administratif (kurang lebih sama dengan dekonsentrasi). Desentraliasi politik yaitu wewenang membuat peraturan dan melakukan fungsi kontrol tertentu terhadap sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah yang berada pada daerah otonom. Sedangkan desentralisasi administratif adalah pendelegasian wewenang pelaksanaan kepada pejabat tingkat lokal yang berkedudukan sebagai wilayah administratif. Pejabat tersebut bekerja sesuai dengan rencana dan sumber pembiayaan yang sudah ditentukan[12].
Dari berbagai pendapat atau definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa desentralisasi merupakan sebuah otoritas atau kewenangan untuk menentukan nasib sendiri dan mengelola sumber daya yang dimiliki guna mencapai tujuan bersama. Pemahaman tentang desentralisasi pun terkadang bersifat subjektif, karena hal ini bergantung terhadap perkembangan interpretasi masyarakat dalam memahami desentralisasi itu sendiri. Meskipun terkadang makna desentraliasi tersebut diartikan secara distortif, hal tersebut tidak jauh dari kondisi dan pengalaman masyarakat dalam urusan berpolitik dan pembangunan sosial maupun ekonomi selama ini.[13]
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa kita perlu sekali mengubah sistem sentralistis menjadi sistem desentralistis? Ada beberapa alasan yang menjadi dasar perlunya pemerintah pusat mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah provinsi dan kota/kabupaten, di antaranya yaitu:
a.       Dari segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. Dengan demikian, ada kesetetaraan dalam partisipasi politik serta merupakan media pendidikan politik untuk belajar berdemokrasi secara nyata.
b.      Dari segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas publik, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik yang good governance.
c.       Dari segi kultural, desentralisasi dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan atau kontekstualitas suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk, kebudayaan atau pun latar belakang sejarahnya.
d.      Dari segi pembangunan, desentralisasi dapat melancarkan proses formulasi dan implementasi program pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga. Ketika pemerintah propinsi atau kabupaten mempunyai kewenangan untuk merumuskan sekaligus mengimplementasikan kebijakan pembangunan di daerahnya, maka kebijakan tersebut akan lebih efektif dibandingkan jika wewenang ini dipegang oleh pemerintah pusat. Mengingat kedudukannya yang berada di daerah, maka pemerintah daerah seharusnya lebih peka terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat setempat.
e.       Dilihat dari kepentingan pemerintah pusat sendiri, desentralisasi dapat mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-programnya.
f.        Desentralisasi dapat meningkatkan persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada warga.[14]
Mendalami akan pentingnya desentralisasi, reformasi kebijakan melalui otonomi daerah seolah menjadi juru kunci bagi proses demokratisasi di Indonesia. Menjadikan negara yang demokratis, adil, terbuka, dinamis dan kosmopolit adalah harapan yang besar sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 dikumandangkan di seluruh penjuru negeri ini. Pemerintah pun tidak tinggal diam, kian waktu berjalan restrukturasi sistem kebijakan negeri terus diperbaiki demi menyongsong Indonesia yang lebih sejahtera. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa reformasi yang dilakukan akan diupayakan untuk menstabilkan setiap bidang kehidupan layaknya sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum. Tidak salah, sejak dikeluarkannya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004, yang sebelumnya merupakan revisi dari UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, berbagai daerah di Indonesia mulai mengibarkan sayap kedaulatannya untuk mengatur nasib daerahnya sendiri. Sebagai contohnya, Provinsi Banten sejak tahun 2000 memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat menjadi daerah otonom yang mandiri. Lalu, usaha ini mulai diikuti oleh berbagai daerah pula seperti Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya pada tingkatan provinsi melainkan tingkatan kota/kabupaten daerah, yang pada kesempatan selanjutnya juga turut serta dalam membangun daerah otonomi baru. Hal ini diupayakan demi melancarkan proses demokratisasi di era reformasi dengan mengacu kepada UU otonomi daerah tersebut.
Reformasi memang sudah berjalan selama satu dekade ini, tetapi masih ada berbagai permasalahan yang menyangkut pelaksanaan otonomi daerah. Namun demikian, yang riil politik desentralisasi selama era pasca-Soeharto telah secara fundamental mengubah konfigurasi politik lokal di Indonesia.[15] Adakalanya, permasalahan terhadap desentralisasi muncul terkait reformasi kebijakan atau sistem yang ada tidak dituruti oleh perubahan budaya birokrasi di negeri ini. Akhirnya, terjadi suatu ketimpangan dalam proses penentuan kebijakan otonomi di berbagai daerah. Cerminan buruk patologi sosial seperti  KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan hal yang masih melekat dalam tubuh birokrasi dan sulit untuk dihilangkan dari praktek kepemerintahan hingga sekarang. Beberapa yang bisa dijadikan contoh kasus antara lain yaitu kasus Pro-Kontra atas mekanisme pemilihan Gubernur untuk Yogyakarta sebagai daerah istimewa terkait RUU Keistimewaan DIY, yang baru saja diselesaikan oleh DPR pada UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY atau UU Keistimewaan.[16]
Kasus lainnya yaitu soal pengembangan daerah pemekaran yang dianggap mubazir. Adanya wacana moratorium pemekaran daerah perlu diterapkan di Indonesia menjadi beigtu hangat dibicarakan oleh masyarakat akhir-akhir ini. Pemekaran daerah merupakan konsekuensi logis dari semangat otonomi daerah dinilai sudah memabukkan dan tidak tertahankan. Terakhir tercatat lebih dari 150 daerah yang baru mekar. Hal ini menjadi dilematis ketika pemerintah membuka hasil evaluasi bahwa sebagian besar daerah baru dinyatakan gagal untuk dinilai mampu berdiri sebagai daerah otonom baru dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik dan pelayanan publik. Memang terlihat semakin kompleks permasalahannya ketika kita menjadikan otonomi daerah dengan menempatkan kabupaten sebagai basis otonomi yang berakibat pada pelimpahan pegawai negeri sipil pusat ke daerah, sementara sebagian besar pemerintah daerah belum siap melaksanakan otonomi.[17] Kelemahannya terutama terletak pada sumber daya manusia, rendahnya kecakapan dalam menanggapi persoalan masyarakat serta wawasan pemerintahan yang sempit.[18]
Hal yang sama mungkin juga bisa dibilang menimpa birokrasi pemerintahan di Kabupaten Serang, soal menetapkan kebijakan tentang pembangunan industri di sekitar pemukiman masyarakat. Pasalnya terjadi sebuah ketimpangan bagi masyarakat sekitar kawasan industri yang kurang mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang dibuat pemerintah maupun pihak perusahaan. Pemerintah daerah yang memiliki otoritas dalam penentu kebijakan, sejatinya harus mampu memberikan angin segar kepada masyarakat dalam meraih kesejahteraan. Ditambah lagi dengan program otonomi daerah yang harus dimaksimalkan proses dan pelaksanaanya di kehidupan bernegara.
Menanggapi segala macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, disadari atau tidak pelaksanaan reformasi kebijakan melalui otonomi daerah di Indonesia belum maksimal untuk dilaksanakan pada level pemerintah lokal. Era globalisasi yang menyentuh Indonesia pun, perlu disesuaikan melalui pemikiran-pemikiran dan aktivitas-aktivitas yang strategis. Reformasi sistem pemerintahan harus dibentuk sedemikian rupa agar arah tujuan reformasi dapat tercapai seperti efficiency, efectiveness, responsiveness concern in their admininstrative systems.[19]
Oleh sebab itu, jika hendak melakukan reformasi birokrasi Rayanto (2009) menyarankan agar melakukan (1) penataan kelembagaan dan ketatalaksanaan melalui jalur regulasi, (2) peningkatan kapasitas SDM, (3) pengawasan yang ketat terhadap kinerja aparatur, dan (4) peningkatan kualitas pelayanan publik. Keempat poin tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara desentralisasi administrasi negara, restrukturasi sistem kebijakan yang ada serta mengubah budaya organisasi birokrasi sesuai dengan kinerja swasta agar tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Demikian permasalahan yang mengikat Indonesia selama ini perihal kinerja birokrasi yang buruk dapat segera teratasi, asalkan ada komitmen yang kuat terhadap reformasi kebijakan saat ini.

Era Otonomi Daerah dan Usaha Pengembangan Aglomerasi Industri
Era reformasi yang sudah berjalan selama lebih dari satu dekade ini merupakan usaha yang tidak sia-sia untuk mendemokratisasi Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi sistem kepemerintahan. Otonomi daerah pun menjadi sebuah pilihan yang matang untuk melaksanakan perubahan tersebut. Hingga kini, pelaksanaan otonomi daerah masih belum mampu diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Masih ada kendala yang menyelimuti proses berjalannya otonomi ini, baik dari sisi sistem dan kebijakan yang ada maupun sumber daya yang kurang mendukung berjalannya pemerintahan daerah. Malahan kesalahan pelaksanaan sering terjadi akibat tindakan yang “asal-asalan” dalam pembuatan berbagai peraturan dan kebijakan publik sehingga menimbulkan Trial and Error yang sering terjadi di Indonesia. Kita boleh memaklumi keadaan bangsa kita saat ini, sejauh Indonesia masih muda sekali umurnya dibanding negara-negara besar yang maju seperti Amerika serikat, Jepang, maupun Inggris dalam kehidupan beragam negara di dunia. Begitu pun reformasi, umurnya yang masih muda atau bisa dikatakan baru “seumur jagung” ini pastinya masih perlu banyak perubahan sistem agar dapat sesuai dengan cita-cita dan tujuan bernegara Republik Indonesia.[20]
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa proses otonomi daerah untuk mengubah sistem sentralistis menjadi sistem desentralistis memiliki banyak makna pengertian dan arahan dalam menginterpretasikannya melalui arahan kebijakan reformasi. Jelasnya, desentralisasi ini bagi kebanyakan orang memaknainya sebagai kekuasaan daerah untuk mengurus dirinya sendiri tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah pusat. Setiap daerah diberi kewenangan dan keleluasan untuk membangun kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang disepakati oleh segenap warga setempat tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar bernegara yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Memaknai otonomi daerah dari segi ekonomi, banyak jenis usaha dan kebijakan yang dilakukan oleh setiap kepala daerah di Indonesia. Hal itu pun juga tidak terlepas dari bantuan pemerintah pusat sebagai lembaga tertinggi negara untuk mengawasi beragam kebijakan daerah-daerah di Indonesia. Provinsi Banten yang sejak tahun 2000 menjadi daerah otonomi baru, merasa bahwa reformasi kebijakan di daerah otonomi perlu dilakukan segera. Khususnya dalam bidang ekonomi, provinsi ini terus mengupayakan beragam unit perekonomian baik dari segi pertanian, pariwisata, usaha mikro serta usaha makro untuk menumbuhkembangkan kualitas ekonomi daerah.
Bicara soal usaha makro, pemerintah Banten lebih cenderung pada arah pengembangan industri pabrik-pabrik di daerah kabupaten/kota sekitar wilayah provinsi ini. Kepercayaan bahwa negara maju adalah negara yang industrinya berkembang pesat menjadi mindset tersendiri bagi kebanyakan orang di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Banten sepertinya juga setuju dengan pandangan ini. Terlebih sejak sebelum era reformasi bergulir, beberapa daerah di Provinsi Banten telah menjadi kawasan industri tersendiri. Di antaranya seperti di daerah Tangerang, Serang dan Cilegon menjadi ladang industri yang begitu besar. Selanjutnya, daerah-daerah tersebut semakin pesat pertumbuhan ekonomi dan masyarakatnya dalam kehidupan sosial. Hubungan industri dan masyarakat yang tercipta di kawasan industri pun telah memunculkan berbagai komunitas yang pada hakikatnya memiliki hubungan timbal-balik dengan industri. Secara fundamental, industri mempengaruhi lembaga, organisasi dan kelompok dalam komunitas keluarga, kelas-kelas sosial, lingkungan sosial, kelompok rekreasional dan ragam tokoh agama. Dengan cara inilah industri dan komunitas saling mempengaruhi.[21]
Dibalik hubungan timbal balik antara industri dan komunitas setempat termasuk pemerintah daerah. Ada satu hal yang menjadikan industri begitu vital bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan kawasan industri di suatu daerah akan membuat proses pertumbuhan ekonomi, sosial dan politik daerah tersebut semakin meningkat. Ini disebabkan dengan adanya usaha-usaha yang sengaja dilakukan oleh industri untuk mempengaruhi masyarakat, atau oleh masyarakat untuk mempengaruhi industri. Baik manajemen maupun buruh berusaha menyelesaikan suatu perselisihan dalam komunitas, misalnya dengan mempengaruhi pendapat umum atau dengan para politikus dan perundang-undangan. Demikian juga pada zaman sekarang, negara terus-menerus mengendalikan industri; mengendalikan organisasi internnya, hubungan antar buruh dan manajemen serta syarat-syarat penjualan produk industri tersebut.
 Hubungan antara pihak manajemen suatu industri dengan komunitas (dalam hal ini masyarakat dan pemerintah setempat) terkadang tidak seharmonis yang kita kira. Sebagaimana akan dilihat nantinya, industri tidak mengintegrasi secara sempurna kepada masyarakat. Dalam beberapa hal, kurang baiknya integrasi ini telah menimbulkan konflik di mana masing-masing pihak berusaha menguasai pihak lain demi keuntungannya sendiri.[22] Sebagai bukti, yaitu kasus permasalahan dari adanya kawasan industri di areal pemukiman warga di Kabupaten Serang, Banten. Eksistensi kawasan industri di wilayah ini sudah menjadi tulang punggung pendapatan daerah yang begitu besar. Selain mampu menopang perekonomian di Serang, industri juga mampu menyerap berbagai komunitas masyarakat yang pengangguran untuk bekerja di lahan-lahan industri tersebut.
Masalah yang terjadi di sini bukan sekadar pembicaraan seputar gaji buruh atau sebagainya. Melainkan lebih ke dalam manfaat yang diberikan pihak perusahaan pabrik-pabrik dari adanya pemusatan kawasan industri (aglomerasi industri) di wilayah pemukiman warga. Alasannya karena keberadaan pusat industri di Serang tidak sepenuhnya mampu menjalankan fungsi dan tujuan dari industri yang sesuai amanat dari undang-undang Perseroan Terbatas yaitu UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Seperti yang dijelaskan dan disampaikan bahwa setiap industri yang bersifat makro seperti Perseroan Terbatas (jenis pabrik-pabrik biasanya) dalam melaksanakan proses kerja industri juga harus memperhatikan manfaatnya bagi lingkungan sekitar. Namun, yang terjadi di Serang adalah bahwa pemusatan kawasan industri malah menyebabkan dampak bagi lingkungan sekitar, baik itu bagi masyarakat maupun lingkungan alam. Berbagai masalah tersebut antara lain kasus pencemaran limbah industri di sekitar sungai-sungai di Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang serta munculnya lingkungan pemukiman yang kumuh (slum area) menyelimuti kawasan industri ini.
Padahal, pihak perusahaan pun sering mendapatkan teguran dari warga akan masalah ini. Tetapi pada akhirnya tidak ada tanggapan yang berarti dari manajemen pabrik tersebut. Pemerintah pun juga seolah-olah tidak tahu-menahu seputar persoalan ini dan hanya sekadar memberikan pengarahan yang kurang intens terhadap pihak perusahaan dan masyarakat. Akibatnya, persoalan ini terbengkalai karena tidak adanya niatan baik untuk membenahi kasus yang menimpa pemukiman warga di kawasan industri.
Banjir di desa Selikur Kecamatan Kragilan yang kembali terjadi beberapa hari yang lalu merupakan bukti dari lemahnya manajemen industri di daerah Serang, Banten. Dalam pemaparannya, Angga Hermawan seorang warga dari Desa Selikur mengatakan bahwa banjir sudah sering terjadi hampir setiap tahun dikala hujan mengguyur. Hal ini disebabkan oleh saluran air yang tersumbat di areal sekitar pemukiman warga serta akibat dari pendangkalan sungai karena limbah pabrik yang ada di sekitar areal industri dibuang begitu saja melalui sungai Ciujung ini.[23] Akibatnya, hampir setiap tahun banjir terus melanda daerah sekitar kawasan industri ini meskipun kondisinya tidak begitu parah.
Bukan hanya itu, di desa lainnya pun turut mengalami hal yang serupa. Sebagai contohnya Desa Undar-andir yang masih satu kecamatan dengan Desa Selikur, desa tersebut juga mengalami kebanjiran setiap musim hujan. Hal yang memperparah adalah kondisi ini ternyata berimbas kepada Jalan Tol  Jakarta-Merak Km. 58 di dekat desa Undar-andir yang harus terputus akibat banjir yang menggenangi lahan tol di sekitarnya. Dampak dari terputusnya jalan tol yaitu arus kendaraan baik dari arah Jakarta maupun Merak harus terganggu bahkan tidak bisa melewati jalanan itu sendiri. Pada akhirnya, persoalan ini juga imbasnya kepada berbagai aktivitas masyarakat termasuk industri. Seperti yang dikemukakan oleh Sapto Rahardjo[24] seorang karyawan swasta yang bekerja di daerah Tangerang, beliau menjelaskan bahwa sudah  dua hari hujan deras mengguyur Serang, sehingga daerah yang biasa terkena langganan banjir harus mengalami kebanjiran lagi. Bukan hanya memutus jalan, banjir juga memutus akses beberapa karyawan yang bekerja di daerah Tangerang, dan harus merelakan untuk tidak pergi bekerja karena jalan yang terputus.
Sudah sekian lama persoalan di Kabupaten Serang ini terjadi. Dampaknya sering menimpa masyarakat daerah sekitar yang selalu merasakan bencana banjir dikala musim penghujan datang. Bukan hanya banjir, limbah industri yang dibuang di sekitar pemukiman warga juga mempengaruhi kualitas lingkungan setempat. Akan tetapi, jika permasalahan ini hanya dibiarkan saja tanpa tindakan yang lebih lanjut, bagaimanakah kondisi masyarakat serta kelestarian alam sekitarnya ke depannya? Padahal komitmen pemerintah dan industri yaitu untuk menciptakan lingkungan yang lebih teratur dan dinamis sesuai kemajuan zaman. Dan bagaimanakah seharusnya peran perusahaan dan pemerintah sebagai dua lembaga yang memiliki hubungan otoritas dalam pengaturan kebijakan? Apakah harus berdiam diri saja tanpa melakukan tindakan yang intensif?
Perusahaan dan pemerintah sebagai dua lembaga yang paling dominan dalam faktor penentu kebijakan di era otonomi daerah dan aglomerasi industri, justru terlihat seperti mencari “kambing hitam” sendiri terkait berbagai persoalan yang timbul di kawasan pemukiman dan industri. Hubungan antara industri dengan pemerintah memang sudah berjalan sedemikian rupa panjangnya jika dilihat dari sisi historisnya. Industri yang telah membentuk suatu komunitas tersendiri tidak dapat kita tolak keberadaannya, melainkan harus didukung melalui bekerja sama yang efektif dari masyarakat dalam melaksanakan pembangunan.
Perubahan-perubahan dalam industri dan masyarakat terhadap peradaban industri merupakan suatu hal yang tidak dapat dicegah. Melainkan perubahan yang direncanakan untuk membentuk tata kelola kehidupan yang lebih canggih ini, harus mampu menyesuaikan dengan tuntutan di zaman globalisasi yang menuntut masyarakat agar lebih maju. Semakin berkembangya masyarakat di era industrialiasi, semakin besar pula tuntutan hidup dan tata kelola pemerintahan yang baik, dan seharusnya juga dapat diciptakan di kawasan aglomerasi industri yang ada.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa good governance merupakan kunci dari pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi ini. Sekaligus sebagai usaha memajukkan kemakmuran bangsa, industri juga turut ikut berperan dalam penentuan masa depan bangsa. Melalui pertumbuhannya yang begitu pesat, diprediksikan Indonesia di masa yang akan datang akan menjadi salah satu dari kekuatan ekonomi dunia. Demikianlah, harus ada persiapan yang matang dalam menentukan berbagai kebijakan otonomi.

Good Governance dalam Menciptakan Kesejahteraan Masyarakat Serang, Banten
            Terdapat hubungan yang seimbang antara good governance, aglomerasi industri dan corporate social responsibility dalam pengembangan masyarakat. Era industrialiasi yang sedang berkembang pesat merupakan serangkaian sistem yang saling terhubung untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Otonomi daerah yang telah dicanangkan sejak awal tahun 2000, menaruh banyak pengharapan bagi rakyat seluruh di penjuru Nusantara. Runtuhnya sistem pemerintahan yang otoriter seolah-olah menjadi mimpi buruk yang tidak ingin terulang kembali pada pemerintahan selanjutnya.
Dengan ini, reformasi kebijakan yang berlandaskan prinsip good governance diharapkan mampu menjadi sistem arahan yang tepat dalam mengatasi berbagi persoalan di era globalisasi yang semakin kompleks. Istilah good governance pun semakin tersebar di kebanyakan orang melalui interpretasi yang berbeda-beda terhadap makna terminologi ini. Terminologinya juga tidak dapat diartikan secara independen ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga masih tetap dipertahankan sesuai bentuk asli kata-katanya. Satu titik yang menjadi inti makna dari good governance adalah suksesi pelaksanaan demokratisasi di Indonesia melalui nilai-nilai yang besifat kebebasan, kesamaan, dan keadilan.
Serang sebagai salah satu daerah otonomi provinsi, juga terus melakukan upaya untuk melaksanakan pemerintahan yang good governance. Adanya pusat kawasan industri di Kabupaten Serang, menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam mewujudkan otonomi daerah yang berkualitas dan mampu mensejahterakan masyarakat setempat. Selain itu, permasalahan yang sebelumnya sudah dijelaskan perihal aglomerasi industri dan kebijakan publik terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Serang perlu dibahas dan ditemukan solusinya secara berkelanjutan. Pada sesi ini, akan dipaparkan tulisan mengenai rencana strategis yang akan memberikan ruang bagi industri untuk membangun komunitas masyarakat menjadi lebih baik melalui prinsip-prinsip good governance dan corporate social responsibility (CSR).
Menilik kembali lemahnya manajemen publik di Kabupaten Serang yang pada bab sebelumnya dijelaskan. Untuk memulai mengatasi berbagai persoalan yang timpang di kawasan industri Kabupaten Serang, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan melalui prinsip-prinsip corporate social responsibility yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan maupun  industri. Mengingat pula pentingnya sebuah manajemen perusahaan berdasarkan tanggung jawab sosial untuk diterapkan dalam masyarakat sekitar industri, ide perancangan CSR ini menjadi topik yang hangat dibicarakan di abad 20-an ke atas. Selain idenya yang menarik terkait konsep memanusiakan manusia dalam bidang industri, CSR ternyata telah membantu beragam problem baik intern maupun ekstern industri dari masyarakat tersebut.
1.         Perkembangan Konsep CSR di Era Tahun 1990an sampai Saat Ini
Pada tahun 1987, The World Comission on Environment and development yang lebih dikenal dengan The Bruntland Comission mengeluarkan laporan yang dipublikasikan oleh Oxford University Press berjudul “Our Common Future”. Salah satu poin penting dalam laporan tersebut adalah diperkenalkannya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development), yang didefinisikan oleh The Bruntland Comission sebagai berikut[25].
            “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generetions to meet their own needs
Konsep sustainability development sendiri, mengandung dua ide utama di dalamnya, antara lain:
(a)      Untuk melindungi lingkungan, dibutuhkan pembangunan ekonomi. Kemiskinan yang terjadi di berbagai negara berkembang telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hal ini terjadi karena buruknya sikap masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang ada dengan asal-asalan karena lemahnya pengetahuan yang disebabkan oleh faktor kemiskinan. Oleh karena itu, melindungi lingkungan hidup agar tercipta pelestariannya di masa yang akan datang merupakan keputusan yang tepat untuk diambil.
(b)      Bukan hanya itu, pembangunan ekonomi pun harus memperhatikan keberlanjutan, yakni dengan melindungi sumber daya yang dimiliki bumi bagi generasi mendatang. Tidak diperbolehkan dalam melakukan pengembangan ekonomi dengan merusak hutan, lahan pertanian, air dan udara sebagai pendukung kelestarian sumber daya.
The Bruntland Comission dibentuk untuk menanggapi keprihatinan yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Hal ini tidak lain juga disebabkan dari sektor industri di berbagai negara maju di dunia seperti Amerika Serikat.
Menanggapai pendapat dari The Bruntland Comission, dapat dijelaskan bahwa kasus kebanjiran di sekitar kawasan industri di Kabupaten Serang Banten yang lebih tepatnya di Kecamatan Kragilan ini, telah mengindikasikan bahwa keberadaan industri di sekitar pemukiman warga di sana belum memenuhi kriteria prinsip-prinsip perusahaan yang sesuai dengan CSR. Oleh karena itu, bencana alam seperti banjir bisa terjadi melihat kondisi kawasan pusat industri di Kabupaten Serang yang kumuh (slum area).

      2.      Good Corporate Governance dan Keterkaitannya dengan CSR
Istilah “Corporate governance” (tata kelola perusahaan) merupakan tindakan kolektif yang hendak dilakukan dalam mencapai tujuan tertentu. Ini lebih menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku perusahaan dalam menjalin kerjasama dengan berbagai komunitas pendukung berjalannya industri atau perusahaan tertentu. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) mengemukakan corporate governance sebagai berikut.
            “Corporate Governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, para pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya”.[26]
Beragam alasan yang mendorong pentingya isu Good Corporate Governance, disebabkan oleh beberapa faktor seperti munculnya gelombang privatisasi, Merger dan pengambilalihan perusahaan (takeovers), deregulasi dan integrasi pasar modal, serta krisis ekonomi merupakan poin penting dalam menjawab permasalahan ini. Sehingga problema yang terjadi akan cepat diselesaikan dengan segera mungkin melalui prinsip-prinsip yang tepat.
Implementasi program CSR oleh perusahaan pada hakikatnya bersifat orientasi dari dalam ke luar. CSR yang bersifat voluntary ini mengharuskan setiap perusahaan (termasuk industri) sebelum melaksanakan kebijakan CSR, perusahaan harus bisa terlebih dahulu untuk membenahi kepatuhan perusahaan terhadap hukum. Perusahaan juga harus menjalankan bisnisnya sebaik mungkin sesuai dengan good corporate governance, sehingga penjaminan terhadap peraihan laba yang besar akan terwujud (economic responsibility).
Implementasi CSR juga merupakan salah satu prinsip pelaksanaan GCG, sehingga perusahaan yang melaksanakan GCG sudah terlebih dahulu melaksanakan CSR. Seperti yang dijelaskan dalam Pedoman Umun Good Corporate Governance Indonesia bahwa “Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan”, sehingga pada akhirnya akan ada pengakuan sebagai pelaksana good corporate governance. Di Indonesia, pelaksananaan corporate social responsibility (CSR) berkaitan dengan pelaksanaan CSR untuk kategori (discretionary responsibility), yang dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda.
Pertama, pelaksanaan CSR memang praktik bisnis secara sukarela (discretonary bussiness practice) artinya pelaksanaan CSR lebih banyak berasal dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang dituntut untuk dilakukan perusahaan oleh perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Kedua, pelaksanaan CSR bukan lagi merupakan discretionary bussiness practice, melainkan pelaksanaannya sudah diatur oleh undang-undang (besifat mandatory). Sebagai contoh, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagian laba yang diperoleh perusahaan untuk menunjang kegiatan sosial seperti pemberian modal bergulir untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Demikian halnya bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan sumber daya alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74.
Selain dilihat dari dasar hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara konseptual masih harus dipilah antara pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan besar (korporasi) atau pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah (small-medium enterprise-SME). Sebab, sering terjadi kekeliruan bahwa CSR indentik dengan perusahaan besar, yang pada kenyataannya juga dibutuhkan bagi pelaksanaan perusahaan kecul dan menengah. Oleh karena itu, perlu dicermati pelaksanaan CSR dalam konteks good governance secara menyeluruh dengan terus memperhatikan faktor-faktor lainnya. (Lihat Figur 2 menggambarkan kategori pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia)
Figur 2. Kategori Pelaksanaan CSR di Indonesia
  
            Dari perbincangan di atas, dapat disimpulkan bahwa reformasi kebijakan di era desentralisasi ini merupakan cerminan yang harus kita buat dalam menyambut demokrasi di Indonesia. Perubahan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik pasca bergulirnya reformasi di tahun 1998 dijadikan sebagai titik loncatan pembangunan bangsa ke depannya, di mana pada era sebelum reformasi negara ini begitu “damainya” dengan pemerintahan yang otoriter, sehingga rakyat di negeri ini pun cenderung menutup diri dan pasif dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
            Otonomi daerah yang berkembang saat ini, memberikan keleluasan tersendiri bagi daerah-daerah di Indonesia. Praktek demokrasi lokal yang dilaksanakan di bawah UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, menjadi landasan berpijak dalam upaya reformasi kebijakan pemerintahan negara. Rezim Orde Baru yang hanya menjadikan pemerintah daerah sebagai “babu” kepentingan pemerintah pusat, tidak akan kita temukan lagi di era desentralisasi ini. Pembangunan di daerah yang semula terbengkalai, akan dijamin oleh pemerintah agar tidak mengalami hal yang serupa di kemudian hari. Pemerintah pun berusaha menerapkan kepemerintahan yang good governance, untuk mengatasi berbagai problem pemerintahan seperti buruknya citra birokrasi di era sebelumnya. Pengharapan yang besar dipanjatkan oleh rakyat di berbagai daerah di Indonesia pada kepemerintahan yang demokratis ini. Melalui kebijakan desentralisasi serta otonomi daerah, harapannya pelayanan publik terhadap pembangunan di daerah dapat terwujud sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
            Pengembangan industri beserta kawasannya di berbagai daerah di Indonesia merupakan fokus tersendiri dari usaha pemerintah dalam menjalankan kepemerintahan di era otonomi ini. Prinsip-prinsip good governance yang dijadikan landasan pada proses kepemerintahan, akan diupayakan sekuat-kuatnya mengingat kebutuhan akan birokrasi kepemerintahan yang baik di era globalisasi ini. Lebih tepatnya jika dalam pengembangan kawasan Industri, perlu adanya prinsip-prinsip corporate social responsibility atau sustainability development agar tercipta suatu komunitas industri yang sehat, ramah lingkungan, mandiri dan kreatif. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen bersama untuk mewujudkan reformasi kebijakan publik di Indonesia, melihat banyak sisi positif dari program otonomi daerah yang dijalankan. Demikian pemerintahan yang good governance dan menjunjung tinggi keberlanjutan pembangunan akan dapat terwujud di masa depan melalui beragam upaya kebijakan yang progresif.


Referensi:

Buku
Badrika, I Wayan. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum Untuk SMU Kelas 2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
Bhagwati, Jagdish and Joanne J. Mayers, In Defense of Globalization. (2004). http://www.carnegiecouncil.org/resources/transcripts/5046.html/_res/id%3Dsa_File1/In_Defense_of_Globalization.pdf’ (28 November 2012)
Brothers, Edwards. Michigan and Ann Arbor. The Chicago Manual of Style 16th       Edition.           USA: The University of Chicago Press, Ltd, London. 2010.
Bryant, Coralie dan Louise G. White. Managing Development in the Third World. Colorado: Westview Press, 1982.
Perdana Wiratraman, R. Herlambang. Does Post-Soeharto Indonesian Law System Guarantee Freedom of The Press? dalam buku“Breaking The Silence”. Southeast Asia Human Rights Studies Network 2011, Edited by Azmi Sharom, Sriprapha Patcharamesree, and Yanuar Sumarlan (Bangkok: SEAHRN Copyright, 2011).
Rondinelli, Dennis. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Edited by  G. Shabbir Cheema. Beverly Hills: Sage Publications, 1983.
Solihin, Ismail. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Baron dan P. David. Bussiness and Its Environment, Edisi ke-5. Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Education Inc, 2006.
Utomo, Warsito. Dinamika administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan MAP UGM, 2003.
V. Schneider, Eugene. Translated by Drs. J. L. Ginting. Industrial Sociology. New Delhi: Tata Mcgraw – Hill Publishing Company Ltd, 1986.
Wibawa, Samodra. “Good Governance dan Otonomi Daerah” dalam Buku “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”, diedit oleh Agus Dwiyanto hal. 44-49 (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008).
Jurnal, Koran dan Majalah
Hadi, Kusno. Reformasi Birokrasi dan Kebijakan Pelayanan Publik Berkualitas di Kabupaten Pemekaran. Swara Politika Jurnal Politik dan Pembangunan 11, no. 4 Oktober 2010: 317.
Harian Kompas, 26 Maret 2005: hal.3.
Muhammad Ma’ruf, “Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”, Majalah Media Praja Vol. 1, No. 06, (2006).
Website dan Artikel Online
Bruntland Comission (http://en.wikipedia.org/wiki/Bruntland_Comission). Diakses tanggal 6 Januari 2013
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (http://en.wikipedia.org/wiki/OECD). Diakses tanggal 6 Januari 2013.
Website resmi Pemerintah Kabupaten Serang , Pengembangan Industri, http://serangkab.go.id/profil_kabupaten/sosial_ekonomi/pengembangan_industri  Diakses (8 November 2012)



[1] I Wayan Badrika, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum Untuk SMU Kelas 2. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003, hal. 11.
[2] Jagdish Bhagwati, Joanne J. Mayers, In Defense of Globalization. (2004). http://www.carnegiecouncil.org/resources/transcripts/5046.html/_res/id%3Dsa_File1/In_Defense_of_Globalization.pdf’ (28 November 2012)
[3] Data dari Website resmi Pemerintah Kabupaten Serang , Pengembangan Industri, http://serangkab.go.id/profil_kabupaten/sosial_ekonomi/pengembangan_industri  Diakses (8 November 2012)
[4] The Bussiness Roundtable didirikan pada tahun 1972 dan beranggotakan CEO dari 15 perusahaan besar di Amerika, yang secara keseluruhan mempekerjakan kurang lebih 10 juta karyawan. Pada tahun 1981, salah satu gugus tugas dalam The Bussiness Roundtable mengeluarkan “Statement on Corporate Responsibility”. Pernyataan tersebut menyebutkan pentingya perusahaan melayani seluruh konstituen perusahaan yang terdiri atas: (a) pelanggan, (b) karyawan, (c) para penyedia dana (financiers), (d) pemasok, (e) masyarakat setempat (communities), (f) masyarakat secara luas (society at large), (g) pemegang saham (stakeholders). Pemaparan ini dikutip dari bukunya Baron dan P. David, Bussiness and Its Environment, Edisi ke-5, Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Education Inc, 2006, hal. 665.
[5] Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility. Jakarta: Salemba Empat, 2008, hal 8.
[7] Muhammad Ma’ruf, “Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik”, Majalah Media Praja Vol. 1, No. 06, (2006).
[8] Orde Reformasi, secara sah dimulai sejak lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Dalam pelaksanaannya, rezim ini intinya ingin menunut sistem demokrasi di negeri ini yang menganggap bahwa rezim otoriter Orde Baru tidak layak lagi untuk dipatuhi, sesuai dengan fakta tentang berbagai keburukkan birokrasi pemerintah yang dilakukan oleh Rezim Soeharto.
[9] Samodra Wibawa, “Good Governance dan Otonomi Daerah” dalam Buku “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”, diedit oleh Agus Dwiyanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), hal. 44.
[10] Dennis Rondinelli dan G. Shabbir Cheema (ed), Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications, 1983.
[11] Ibid
[12] Coralie Bryant dan Louise G. White, Managing Development in the Third World. Colorado: Westview Press, 1982.
[13] Pada masa era Presiden Soeharto, rakyat Indonesia cenderung dibungkam. Sehingga dalam proses berpolitik pun masyarakat cenderung pasif, karena rezim otoriter yang ada mengharuskan seluruh rakyat Indonesia tunduk patuh terhadap segala kebijakan pemerintah. Baik itu dalam segi sosial, ekonomi, politik, budaya maupun hukum. Buktinya, yaitu kasus Petrus (penembak misterius) dan pelanggaran HAM merupakan bukti penyelewengan di era rezim Orde Baru. Pada saat itu, bagi siapa pun yang melanggar ketentuan pemerintah atau pun melawan segala kebijakannya, pasti akan ditindak tegas oleh pemerintahan Soeharto melalui militernya seperti kasus Petrus. Petrus merupakan sebutan kala masa rezim Soeharto bagi siapa pun yang melawan kebijakan presiden, akan ditemukkan tewas entah dibunuh oleh siapa? Maka tidak heran jika sering ada sindiran saat itu bagi seseorang yang berani melawan pemerintah “Pagi bicara, Sore tiada”.
[14] Samodra Wibawa, “Good Governance dan Otonomi Daerah” dalam Buku “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”, diedit oleh Agus Dwiyanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2008), hal. 48-49.
[15] R. Herlambang Perdana Wiratraman, Does Post-Soeharto Indonesian Law System Guarantee Freedom of The Press? dalam buku“Breaking The Silence”, Southeast Asia Human Rights Studies Network 2011, Ed. Azmi Sharom, Sriprapha Patcharamesree, Yanuar Sumarlan (Bangkok: SEAHRN Copyright, 2011), hal. 103.
[16] Permasalahan ini muncul setelah era reformasi bergulir, yang menginginkan di era demokrasi sistem pemerintahan setiap daerah harus disamakan. Bagi yang pro-pemilihan, alasannya karena dalam demokrasi sudah seharusnya mekanisme pemilihan kepala daerah harus berdasarkan peraturan UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis oleh rakyat bukan secara turun temurun. Bagi yang pro-penetapan, mengaitkan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah terbentuk entitas wilayahnya sebagai daerah istimewa, sebenarnya sudah memposisikan diri sejak tahun 1945 melalui UUD 1945 Pasal 18B ayat 1, bahwa DIY akan dijadikan sebagai daerah istimewa yang memiliki kekhususan pemerintahannya sendiri. Bagitu sama halnya dengan Nanggroe Aceh Darussalam dengan sistem pemerintahan syariahnya. Mendefinisikan makna demokrasi bagi rakyat DIY, sebenarnya dengan menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai kepala dan wakil kepala daerah sudah merupakan demokrasi tersendiri bagi rakyat DIY.
[17] Kusno Hadi, Reformasi Birokrasi dan Kebijakan Pelayanan Publik Berkualitas di Kabupaten Pemekaran, Swara Politika Jurnal Politik dan Pembangunan 11, no. 4 Oktober 2010: 317.
[18] Dikutip dari Harian Kompas, 26 Maret 2005: hal.3.
[19] Warsito Utomo, Dinamika administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan MAP UGM, 2003, hal. 59.
[20] Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia yaitu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
[21] Eugene V. Schneider, Drs. J. L. Ginting, trans. Industrial Sociology. New Delhi: Tata Mcgraw – Hill Publishing Company Ltd, 1986, hal. 429.
[22] Ibid
[23] Angga Hermawan, dalam komentarnya di jejaring media sosial Facebook, 7 Januari 2013. Dalam faktanya Desa Selikur di Kecamatan Kragilan ini merupakan daerah yang berada dipinggir sungai Ciujung. Selain itu wilayahnya juga dekat dengan kawasan industri pabrik yaitu PT. Indah Kiat Pulp & Paper Serang.
[24] Sapto Rahardjo, dalam sambungan telepon, 10 Januari 2013. Beliau adalah seorang karyawan swasta yang bekerja di daerah Tangerang yang juga mengalami dampak akibat banjir yang melanda sekitar desa Undar-andir yang dekat dengan Jalan Tol Jakarta-Merak Km. 58.
[25] Bruntland Comission (http://en.wikipedia.org/wiki/Bruntland_Comission). Diakses tanggal 6 Januari 2013.
[26] Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (http://en.wikipedia.org/wiki/OECD). Diakses tanggal 6 Januari 2013.