Jumat, 07 November 2014

Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak

Review Buku, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak

Hingga kini, tulisan mengenai sejarah Banyumas hanyalah sekedar penerjemahan tentang bukti-bukti arkeologis, dimana sumber-sumbernya hanya dari karya sastra dan peninggalan dari para elit Banyumas di masa lalu.  Belum ada yang benar-benar mampu menyusun sejarah konvensional (sejarah sebagai ilmu) yang jelas dari daerah Banyumas ini. Kemudian, para ilmuwan-ilmuwan sejarah mulai melakukan penelusuran yang berdasarkan pada fakta dan data yang empiris dari wilayah Banyumas ini.
Wong Banyumas atau yang biasa disebut sebagai komunitas Jawa Banyumasan, dikenal berbeda dari komunitas Jawa lainya, seperti Jawa Sala, Jawa Yogya, Jawa Semarang dan Jawa Surabaya.  Komunitas Jawa Banyumasan mendiami wilayah barat daya Jawa Tengah, daerah yang biasa diebut dengan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen).  Penggambaran tersebut tidak berarti hanya untuk mereka yang tinggal di dalam lingkup Barlingmascakeb saja, namun juga untuk komunitas-komunitas Jawa Banyumasan lain yang tersebar ke seluruh nusantara, bahkan sampai ke penjuru dunia (Suriname dan Kaledonia).
Perbedaan utama dari Jawa Banyumasan dengan jawa-jawa yang lain adalah pada karakteristik bahasanya, dimana bahasa Banyumasan biasa disebut oleh jawa-jawa yang lain sebagai bahasa ngapak.  Istilah tersebut merujuk pada penggunaan bahasa orang Banyumasan yang membaca huruf vokal a dan o, dan huruf konsonan sangat mantap, sangat jelas dan tidak disamarkan, seperti jawa-jawa yang lainya.  Namun yang diajarkan di sekolah-sekolah formal adalah bahasa jawa baku, yang merupakan perkembangan terakhir dari bahasa jawa yang lahir pada abad ke 18.  Sedangkan bahasa ngapak adalah bahasa jawadwipa, yang konon adalah bahasa asli/murni masyarakat jawa.
Setelah melewati proses sejarah yang panjang, akhirnya terbentuklah bahasa jawa baku yang digunakan sebagai sarana ilmu pengetahuan, dimana di dalamnya terdapat delapan tingkat bahasa sesuai dengan jenis pembentukan susunan kalimat/kata dalam bahasa jawa baru.  Delapan tingkat tersebut adalah sebagai berikut : 1. BasaNgoko  Jawadwipa, 2. Basa Ngoko Andap, 3. Basa Madya, 4. Basa Krama, 5. Basa Krama Inggil, 6. Basa Krama Desa, 7. Basa kasar, 8. Basa kedhaton (Basa Bagongan).  Bahasa jawa logat Banyumasa dimasukan ke urutan pertama, Ngoko jawadwipa, atau yang sebelumnya disebut dengan Ngoko Lugu (sejati).
 Secara geografis, letak Banyumas berada di Jawa Tengah bagian barat.  Dalam segi administrasi, daerah Banyumas dibagi menjadi empat kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, kabupaten Banjarnegara, kabupaten Cilacap, dan kabupaten Purbalingga.  Di sebelah barat berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Barat, di sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, sebelah selatan berbatasan dengan samudra hindia, di sebelah tenggara berbatasan dengan kabupaten Kebumen, dan di sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Wonosobo.  Dahulu, daerah banyumas menjadi salah satu bagian dari kasunanan Surakarta, namun pasca perang Jawa (Perang Diponegoro 1825-1830), daerah ini menjadi dibawah kekuasan colonial Belanda.  Setelah itu, Belanda membagi Banyumas menjadi 2 kabupaten, yaitu Banyumas dan Ajibarang, dimana keduanya dipersiapkan untuk menjadi wilayah karesidenan bersama Purbalingga, Cilacap dan Banjarnegara.  Pada tahun 1883, Pusat pemerintahan kabupaten Ajibarang dipindahkan ke Purwokerto, sehingga berganti menjadi kabupaten Purwokerto, sehingga ketika terbentuk karesidenan Banyumas terdiri dari 5 kabupaten.  Pada akhir tahun 1935 kabupaten Purwokerto digabungkan bersama kabupaten Banyumas, hingga akhirnya status karesidenan Banyumas sendiri dihapuskan oleh pemerintah RI pada era orde baru.  Semenjak saat itu, 4 kabupaten bekas karesidenan Banyumas berada langsung dibawah pemerintahan gubernur Jawa Tengah. 
Salah satu menjadi dari Wong Banyumas Asli, adalah dalam penggunaan bahasanya, yaitu bahasa jawa banyumasa.  Yang khas dari bahasa jawa banyumasan, yang menjadi pembeda dari bahasa jawa lain, adalah pembacaan beberapa huruf konsonan seperi K dan R yang dibaca utuh, tidak disamarkan seperti bahasa jawa wetanan/bandhekan.  Selain itu juga adalah cablaka, yang menjadi ciri orang banyumasan, yaitu mengucapkan sesuatu secara langsung menuju ke poin yang ingin dia bicarakan, terkadang sikap inilah yang mudah menyakiti perasaan orang lain, karena diungkapkan secara langsung tanpa menggunakan kiasan dan sebagainya.  Bahasa Banyumas yang berasal dari dari bahasa jawa ngoko asli, sering dianggap sebagai guyonan atau lelucon bagi orang-orang bandhekan (sebutan orang Banyumas untuk orang-orang yang mengucapkan huruf A dengan O dalam sebuah kalimat) karena bagi mereka bahasanya terdengar lucu.  Hal tersebut menyebabkan para pemuda-pemuda Banyumasan masa kini yang bersekolah atau kuliah di Yogyakarta menjadi malu-malu untuk menuturkan bahasa ibunya sendiri.  Mereka lebih suka menggunakan bahasa Indonesia pada saat berinteraksi dengan orang-orang diluar Banyumasan, dan hanya menggunakan bahasa Banyumasan ketika berjumpa dengan teman-teman yang berasal dari daerah Banyumas.  Ada juga kisah tentang penumpang kereta api jurusan Purwokerto – Surabaya – Banyuwangi, jika perjalanan dari Surabaya atau banyuwangi, selama di perjalananya kereta nampak sepi-sepi saja, namun ketika kereta sudah mulai memasuki kawasan jawa tengah, maka mulai terdengar suara-suara dengan bahasa Banyumasan. 
Pada intinya, bahasa jawa bukanlah sesuatu yang terbentuk secara asal-asalan, ada tata cara dan proses selama proses pembentukanya.  Bagi orang asing yang tak mengerti akan pembentukanya, pasti akan menganggapnya sebagai suatu bahasa asal-asalan.  Padahal ada suatu aturan-aturan yang terdapat di dalam bahasa jawa, seperti aturan untuk berbicara dengan orang tua, teman sebaya ataupun untuk yang lebih muda, semua diatur secara terperinci.  Bisa dibandingkan dnegan bahasa-bahasa lain diseluruh dunia, tidak ada bahasa yang memiliki aturan-aturan serinci bahasa jawa.  Jika melihat fakta yang terjadi saat ini, penggunaan bahasa Jawa sudah mengalami penurunan, terutama untuk generasi muda, banyak diantara para generasi muda jawa yang malu-malu menggunakan bahasa jawa, karena dianggap kuno ataupun tidak gaul dan sebagainya.  Justru bahasa jawa, khususnya untuk jawa banyumasan, sering sengaja dipakai oleh para pelawak di televisi yang berlagak emnggunakan bahasa jawa banyumasan, padahal mereka bukanlah orang banyumas.  Bahasa yang terlontar dari mulut mereka terasa sangat kaku dan memang tujuanya adalah untuk membuat tertawa para penontonya.  Sungguh memprihatinkan memang, para generasi muda seharusnya mau menjaga dan melestarikan warisan budaya jawa ini, minimal dengan tidak malu-malu bertutur kata bahasa jawa dimanapun dia berada.



Source : by HDN

4 komentar:

  1. Keren Mas tulisannya.. Bolehkah sy ijin copy? atau gmn caranya supaya saya dapt jadikan tulisan ini sebagai referensi tulisan saya tentang Banyumas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Monggo Bu, dipersilakan dan semoga bermanfaat untuk keperluan akademis nya, mau copy boleh, atau cara yang lain jg boleh selama baik untuk semua nya, terima kasih.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Mohon maaf apabila "kepanjangen", terima kasih masukannya.

      Hapus