Jumat, 07 November 2014

DEATH POETS SOCIETY

Dead Poets Society adalah film Amerika yang diproduksi tahun 1989. Film  yang ditulis oleh Thom Schulman ini mengisahkan seorang guru yang bernama Mr.Keating, sebagai staf pengajar pada sebuah sekolah swasta menengah atas elite khusus laki-laki pada tahun 1950 bernama Akademi Welton. Sekolah ini merupakan sekolahan yang terkenal ketat dan selalu berpatok kepada empat landasan dasar utama yaitu tradisi, kehormatan, disiplin, dan jaminan mutu. Film ini, pada awalnya menceritakan kisah kehidupan murid-murid Akademi Welton yang berjumlah tujuh orang yaitu Neil Perry, Todd Anderson, Knox Overstreet, Charlie Dalton, Richard Cameron, Steven Meeks dan Gerard Pitts yang merasa tidak nyaman dengan peraturan sekolahnya tersebut, hal tersebut terlihat dari perlakuan mereka yang menjadikan empat landasan utama dalam sekolahnya menjadi humor, horor, kemorosotan, dan kotoran. Kemudian John Keating atau Mr.Keating datang sebagai guru baru pindahan dari sekolah Chester yang sangat terkenal di Landon sekaligus ia adalah alumni dari sekolah tersebut yang mengajar sastra inggris. Teknik pengajaran yang dilakukan Mr.Keating berbeda dengan guru lain yang selalu bersikap otoriter, menakutkan, menuntut untuk terus menghafal dan tegas dalam mengajar .
Tidak seperti Mr.Keating, ia mendidik murid-muridnya melalui sastra khususnya puisi dengan memberi kebebasan dalam berkarya tanpa membatasinya dan bahkan ketika mengajar ia menyuruh mereka untuk merobek halaman buku panduan dari seorang pengarang DrJ. Evan Pritchard, Ph.D. tentang cara memahami puisi yang baik. Tak jarang pula Mr.Keating mengajak murid-muridnya belajar diluar kelas, sehingga dari sikap Mr.Keating yang selalu menciptakan suasana yang nyaman dalam belajar membuat murid-muridnya terinspirasi dan sangat suka dengan Mr.Keating terutama Neil dan teman-temannya yang sejak awal merasa terkekang berada di sekolah yang terkenal di Amerika tersebut. Hingga suatu saat Neil dan teman-temannya menemukan sebuah buku tua yang berisi catatan dari guru favorit mereka yaitu Mr. Keating yang didalamnya menceritakan tentang kisah dirinya bersama teman-temannya dulu sewaktu masih sekolah yang tergabung dalam sebuah klub yang bernama “Dead Poets Society”. Kegiatan klub tersebut adalah membuat dan membaca puisi tetapi bukan didalam sekolah, melainkan di sebuah gua yang letakknya tidak begitu jauh dari sekolah. Catatan dari Mr.Keating tersebut menginspirasi Neil dan teman-temannya, hingga suatu saat mereka berdiskusi untuk pergi ke gua yang dikisahkan dalam buku tersebut. Tindakan yang mereka lakukan tersebut, sesuai dengan apa yang diajarkan Mr.Keating terutama tentang istilah latin yaitu Carpe Diem (petiklah hari) yang dalam bahasa inggris Seize The Day yang berarti buatlah hidupmu lebih berarti. Hal itulah yang membuat Neil dan teman-temannya nekat kabur dari sekolahan di malam hari untuk pergi menemukan gua tersebut. Setelah mereka menemukannya, pada saat itu pula Neil, Todd, Knox, Gerard, Cameron, Charlie, dan Meeks mulai berkonsekuensi untuk meneruskan dan mengulang kembali sejarah klub Dead Poets Society dari catatan Mr.Keating. Bermula dari situ, kepribadian mereka menjadi berubah dan semakin hari keberaniannya terus bertambah. Mulai dari Knox Overstreet yang awalnya ia adalah seorang laki-laki yang pemalu kemudian karena terinsipirasi oleh pesan-pesan Mr.Keating kini ia berani mengutarakan isi hatinya kepada seorang gadis yang bernama Cris. Selain Knox, yang juga sikapnya berubah begitu mencolok adalah Neil. Neil Perry pada mulanya ia seorang murid terbaik Akademi Walton yang terkenal karena prestasinya yang selalu mendapatkan nilai A. Akan tetapi, bukan karena keinginannya sendiri ia masuk ke sekolah tersebut melainkan kemauan ayahnya yang begitu besar untuk menjadikan Neil seorang dokter sehingga membuat tindakannya selalu otoriter terhadap Neil termasuk melarangnya berakting yang sebenarya itu menjadi hobi dan cita-cita Neil.
Hingga suatu hari, Neil nekat mendaftar sebuah pergelaran drama yang bernama Henelly Hall dan mendapatkan peran utama. Pergelaran pun dimulai, pada saat itu pula tanpa sepengetahun Neil, ayahnya datang menyaksikan. Banyak pujian yang dilontarkan penonton dan teman-temannya termasuk Mr.Keating terhadap aktingnya yang sangat bagus. Tapi tidak untuk ayahnya, justru saat itu juga Neil ditarik pergi dan dibawa pulang kerumah. Dirumah Neil bertengkar dengan ayahnya yang melarangnya berakting dan hanya membolehkannya menjadi seorang dokter. Neil pun akhirnya mengalah dan menuruti kemaunnya ayahnya, akan tetapi setelah orang tuanya tidur di malam yang sama ia melakukan bunuh diri dengan cara menembak dirinya dengan pistol milik ayahnya. Konflik pun menjadi sangat kompleks, ketika setelah Neil meninggal ayahnya menuntut pihak sekolahan untuk menyelidiki kematian anaknya. Dan Mr.Keating dijadikan sebagai kambing hitam atas kematian Neil dengan tuduhan bahwa karena Neil sangat terinspirasi dengannya sehingga membuat Neil berbohong dan berani terhadap ayahnya. Walaupun sebenarnya, sebelum Neil pergi untuk mengikuti pergelaran drama tersebut, ia sempat menemui Mr.Keating tentang kegalauannya untuk pergi atau tidak tepat semalam sebelum pertunjukkan itu dimulai. Dan pada waktu itu Neil berkata kepada Mr.Keating tentang ayahya bahwa “Ia merencanakan hidupku tapi tak pernah menanyakan apa yang aku inginkan” dan intinya yang menyebabkan kematian Neil adalah ayahnya sendiri bukan Mr.Keating. Konflik pun terus bertambah, ketika pada saat yang sama klub “Dead Poets Society” yang dibuat Neil dan teman-temannya terungkap oleh sekolahan dan enam anggota yang tersisa mulai Meeks hingga Knox terus diselidiki. Mereka pun diberikan pilihan, antara mereka yang keluar atau Mr. Keating yang dikeluarkan. Jika menandatangi surat perjanjian yang telah dibuat antara pihak sekolahan dengan murid hal tersebut berarti setuju Mr.Keating dikeluarkan, dan jika tidak menandatangani maka merekalah yang keluar.
Penyeledikan itu dilakukan dengan cara menghadirkan orang tua masing-masing tanpa sepengetahuan Todd, Knox, Dalton, Cameron, Meeks dan Pitts sebelumnya, sehingga hal tersebut membuat mereka terpaksa menandatangi pernyataan yang akhirnya pihak sekolah mengeluarkan Mr.Keating. Sebelum kepergiannya, Mr.Keating datang ke kelas dimana mereka tengah mengikuti pelajaran sastra yang biasannya diajarkan olehnya kini diajarkan oleh guru lain,  untuk mengambil sebuah barang pribadi yang tertinggal didalam sebuah ruangan yang letaknya berada didalam kelas mereka. Pada saat Mr.Keating datang hati Todd dan teman-temannya pun merasa sangat bersalah. Dengan berani kemudian Todd memanggil Mr.Keating ditengah pelajaran dan naik diatas meja dan memanggilnya “O,Captain, my Captain” sebuah panggilan khusus dari mereka kepada Mr.Keating yang diambil dari sebuah puisi karangan Walt Whitman tentang Mr. Abraham Lincoln, yang kemudian sikap Todd tersebut membuat teman-temannya turut berdiri diatas meja tanpa menghiraukan guru yang menyuruhnya turun, sambil menitihkan air mata Mr.Keating pun mengatakan “terimakasih anak-anak” kemudian pergi.
Dari cerita film diatas, dapat diambil sebuah pesan moral yang terkandung tentang sindiran serta sebuah kritik terhadap pemikiran-pemikiran orthodox atau pemikiran kaum kolot pada masa itu. Hal tersebut sangat terlihat dari sikap dan perilaku guru-guru Akademi Walton terkecuali Mr.Keating yang sangat mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan begitu memelihara kualitas sekolahannya agar murid-murid yang lulus dari sekolah tersebut dapat masuk ke dalam sebuah perguruan tinggi yang favorit. Carpe Diem, Seize the Day adalah jargon bagi Neil dan teman-temannya yang kemudian membuat mereka berani melanggar berbagai peraturan sekolah maupun orang tuanya. Melalui ajaran yang diberikan Mr.Keating tersebutlah Neil, Todd, Knox, Dalton, Cameron, Meeks, dan Pitts menjadi paham akan makna pelajaran yang diberikan guru favorit mereka melalui berbagai puisi hingga catatan mengenai “The Poets Society” yang semakin membuat mereka bisa menikmati kehidupan, cinta, dan apa yang mereka inginkan tanpa ada kekangan dari orang tua serta peraturan sekolah yang begitu ketat.
Terlepas dari itu, film yang telah memenangkan piala Oscar serta menjadi film wajib yang harus diputar di kelas Inggris sekolah menengah di Amerika Utara tersebut mengingatkan kita pada sistem pendidikan yang ada di Indonesia yang juga belum dikatakan baik. Artinya, mayoritas sekolah-sekolah yang ada di Indonesia saat ini hanya memberikan pengajaran secara otoriter kepada murid-muridnya yang seolah-olah ilmu yang diajarkan sesuai dengan peraturan kurikulum tersebut dapat menjadi bekal bagi masa depan kelak setelah mereka lulus. Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam, hal tersebut tentulah dapat dikatakan tidak manusiawi karena sekolah seakan secara berjamaah mencetak tenaga kerja yang siap pakai untuk bersaing dalam dunia kerja yang dizaman serba modern ini menuntut kualitas serta spesifikasi masing-masing individu. Disisi lain, hakikat dari lembaga pendidikan itu sendiri kurang dapat ditanamkan melalui proses belajar dan transformasi nilai serta moral yang seharusnya. Banyak siswa yang tidak dihargai karena bakat atau potensi mereka yang tidak sama antara murid satu dengan yang lain, akan tetapi justru kenyataanya sekolah hanya memprioritaskan prestasi belajar yang berbentuk nilai dengan sebuah angka yang tertera pada rapor hasil belajar atau ijazah mereka saja yang semua itu berlaku pada mayoritas lembaga pendidikan negeri hingga swasta.
Selain itu, pesan yang sangat terlihat melalui kisah film tersebut adalah adanya kritik yang diberikan kepada orang tua terutama dalam cara mendidik anak. Terlihat pada kisah Neil Perry yang diceritakan bahwa ia adalah seorang murid yang cerdas, akan tetapi tindakan orang tuanya yang begitu otoriter untuk melarangnya berakting dan hanya diperbolehkan menjadi dokter, akhirnya membuat Neil bunuh diri. Padahal, seyogyanya sebagai orang tua sebaiknya tidaklah begitu mengekang apa yang menjadi cita-cita seorang anak. Orang tua, hendaknya dapat menempatkan diri kepada anak melalui hubungan yang lebih dekat sehingga dimata anak orang tua menjadi sosok seorang teman, sahabat, yang mampu menjadi pendengar bagi anaknya sehingga antara apa yang menjadi keinginan anak dan orang tuanya dapat dikomunikasikan dengan baik. Selama ini, seorang anak dirasa sudah terlalu lelah berfikir soal pelajaran ataupun tugas sekolah, sudah seharusnya rumah menjadi tempat mereka untuk mendapatkan perhatian dengan suasana yang nyaman serta hubungan antara anggota keluarga yang harmonis.
Sebaliknya, jika orang tua hanya menjadi seorang penuntut karena obsesinya yang terlalu tinggi maka hal tersebut akan mempengaruhi jiwa psikologis sang anak karena tekanan dari orang tua yang dapat menimbulkan stress hingga tindakan bunuh diri seperti yang dilakukan Neil. Pada dasarnya, jika dilihat dari sudut pandang sosiologi tindakan bunuh diri atau Suicide yang dilakukan oleh Neil dalam kisah film diatas, maka kondisi tersebut dikarenakan integrasi sosial diantara orang yang berada di lingkungan sekitarnya cenderung melemah seperti yang dikemukakan oleh tokoh sosiologi Emile Durkheim. Dari kedua sudut pandang tersebut dapat diambil dua kesimpulan, yang pertama bahwa orang tua baik dizaman dulu maupun sekarang masih banyak yang tidak memperhatikan bakat dan cita-cita dari sang anak, walaupun semua orang tua selalu menginginkan dan memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi toh belum tentu hal tersebut mampu membuat sang anak bahagia. Kedua, lembaga pendidikan sekolahan secara mayoritas hanya mementingkan kualitas dan eksistensi sekolahannya, murid-murid tidak banyak dipedulikan dan justru menjadi obyek bagi sekolah. Hal tersebut terlihat dari peraturan hingga tindakan guru yang lebih banyak bersikap otoriter khususnya dalam proses belajar mengajar.
Dari film Dead Poets Society tersebut tidak hanya meninggalkan pesan dari sudut pandang sistem pendidikan dan orang tua yang otoriter saja, tetapi kisah film tersebut juga memberikan pelajaran kepada penonton kaitannya dengan kaijan sosiologi sastra adalah bahwa melalui berbagai karya sastra seseorang mendapatkan inspirasi dari apa yang ia baca. Bahkan pikiran orang akan menjadi terbuka, mulai dari munculnya keberanian untuk menyatakan cinta, menjadi diri sendiri, yang intinya mampu melakukan pemberontakan terhadap keadaan sosial yang ada. Seperti yang telah diceritakan tentang kisah Neil dan teman-temannya dalam film tersebut. Apa yang mereka baca mampu memberikan inspirasi baru dalam hidup. Selain itu  kepekaan sosial juga dapat tumbuh dan terbangun melalu karya sastra. Emosi, empati, perasaan yang diungkapkan dengan berimajinasi dan dibentuk dalam sebuah karya sastra mampu meluluhkan hati seseorang yang sebelumnya tidak peduli terhadapnya, seperti yang dilakukan oleh Knox Overstreet. Ia menyukai gadis yang telah dimiliki oleh laki-laki lain, tetapi berkat kata Carpe Diem yang telah menjadi jargon bersama ke enamnya temannya tersebut, ia memberanikan diri menyatakan perasaannya kepada Cris, yang hasilnya Cris memberikan kesempatan kepada Knox.
Menariknya lagi, dari kisah film tersebut adalah tentang karya sastra yang digunakan berbentuk puisi, dan isi dari puisi tersebut merupakan bentuk perlawanan pada zaman itu. Seperti kutipan syair puisi berjudul “To The Virgins to Make Much of The Time” yang ada dalam film tersebut :“Gather ye rosebuds while ye may” (kumpulkan sekuntum mawar selagi kau bisa) yang dalam bahasa latin berarti Carpe Diem (petikklah hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok), “Old Time is still a-flying” (lamanya waktu yang masih terbang), “And  this same flower that smiles today, tomorrow will be dying”(Dan ini adalah bunga yang sama yang tersenyum hari ini, besok akan menjadi layu). Pesan yang disampaikan dalam puisi seperti yang ada dalam film tersebut bahwa kita sebagai manusia ibarat makanan bagi cacing-cacing, percaya atau tidak semua orang pasti akan berhenti bernafas dan mati. Sehingga selagi kita bisa untuk berjuang dan berubah maka harus dilakukan. Oleh karena itu, Mr.Keating menjadi motivator bagi Neil dan temaan-temannya hingga mereka melakukan perubahan yang tidak disangka sebelumnya.
Berbicara mengenai puisi sebagai sebuah media yang digunakan dalam film tersebut sebagai sebuah bentuk pemberontakan dan protes terhadap keadaan yang ada, maka hal tersebut juga relevan dengan apa yang ada di Indonesia. Karya sastra di Indonesia khususnya puisi menjadi alat untuk menggambarkan keadaan sosial, ekonomi, bahkan politik yang buruk. Beberapa puisi yang terkenal dengan isi perlawanannya adalah milik sastrawan WS Rendra dan Wiji Thukul. Keduanya merupakan pemilik puisi-puisi yang sebagian besar isi dari karyanya adalah bentuk kritik sosial yang begitu tajam bagi pemerintah, institusi agama bahkan sesama sastrawan lainnya. Entah apapun bentuk karya sastra itu, pada dasarnya karya sastra dibentuk serta dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu bagi pembuat maupun penikmatnya. Salah satu yang diharapkan setelah memahami dan menikmati karya sastra adalah adanya semangat, kesadaran, kepekaan, dan timbulnya motivasi dalam hidup pembacannya. Seperti yang telah digambarkan dalam kisah film yang berjudul “Dead Poets Society” tersebut.

Gambaran Neil dan teman- temannya yang dulu hanya sekedar pasrah dengan keadaan yang ada, dengan berbagai macam peraturan serta kekangan dari orang tua. Setelah hadirnya Mr.Keating mereka dapat berubah dan berani melakukan perlawanan. Uniknya bahwa keberanian mereka muncul dari motivasi yang diberikan oleh Mr.Keating yang hanya melalui sebuah kata dari kutipan puisi yang dibacakan oleh Gerard Pitts yaitu Carpe Diem (petikklah hari). Hal ini, tentunya cukup memperkuat asumsi yang telah dibahas diatas, bahwa yang namanya karya sastra dapat merubah perilaku seseorang bahkan keadaan sosial yang ada. Maka inilah urgensinya mengapa karya sastra menjadi sebuah bahan pelajaran maupun ilmu pengetahuan yang penting bagi manusia. Walaupun karya sastra ibaratnya hanyalah berbentuk sebuah tulisan saja, akan tetapi dengan belajar menikmati dan memahami karya sastra itu, pembaca dapat mendapatkan berbagai manfaat termasuk juga dengan membaca karya sastra mampu membuka cakrawala dunia yang dapat merubah dunia. 


Source : by KIF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar