Jumat, 07 November 2014

Demokrasi Lokal, Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung

Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi, yang melakukan pilkada langsung dan otonomi daerah.  Indonesia yang melakukan transisi hingga 3 kali ini yaitu pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan Orde Baru dan yang terakhir yang sekarang digunakan adalah Pemerintahan Orde Reformasi.  Setiap pemerintahan menggunakan sistem yang berbeda-beda.  Otonomi daerah menjadi pilihan setelah pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang berpola pemerintahan yang sentralistik.  Dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung rakyat yang memilih siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya itu salah satu wujud dari demokrasi lokal.
Kata kunci : Demokrasi, otonomi daerah, pilkada langsung

Pendahuluan
          Secara garis besar dapat didefinisikan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana kebijakan, secara langsung atau tidak (langsung) amat ditentukan oleh suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki hak suara melalui wadah pemilihan (Linz and Stepan, 1996; Potter, 1997; Henders, 2004).  Demokrasi sebagai ‘kehendak rakyat dan kebaikan bersama’ seperti apa yang diungkap Schumpeter, harus dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, demokrasi sebagai kehendak rakyat.  Pengertian dari demokrasi sebagai kehendak rakyat sebenarnya hendak mengatakan dari mana sumber demokrasi itu berasal, atau lebih tepatnya, dari mana sumber kekuasaan itu berada.  Dalam demokrasi kekuasan berasal dari rakyat dalam kata lain rakyat adalah pemegang kekuasaan sebenarnya.  Kedua, dalam pemaknaan yang disampaikan oleh Schumpeter, demokrasi adalah sebagai kebaikan bersama (common good).
            Demokrasi didefinisikan sebagai karakteristik yang wajib ada di negara-negara demokrasi.  Pertama, pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan pada individu dan kelompok melalui cara menyusun pergantian pimpinan secara berkala.  Kedua, adanya sikap toleran terhadap pendapat yang berlawanan.  Ketiga, persamaan di hadapan hukum yang diimplementasikan dengan sikap tunduk pada aturan hukum tanpa membedakan kedudukan sosial, ekonomi, dan politik.  Keempat, adanya pemilihan yang bebas dan disertai dengan model perwakilan yang efektif.  Kelima, diberikannya kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik peserta pemilihan raya.  Keenam, adanya penghormatan terhadap hak-hak rakyat untuk menyatakan pandangannya betapapun tampak salah dan tidak popular.  Ketujuh, dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoriti dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara persuasi dan diskusi daripada cara-cara koersi dan represi.  Dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, rakyat ikut berpartisipasi didalamnya dan menentukan siapa yang akan jadi pemimpinnya.  Sebagaimana diketahui bahwa sebelum proses pilkada secara langsung, anggota DPRD memonopoli proses pilkada yang mengklaim sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Akan tetapi pada kenyataannya sekarang mereka yang menjadi anggota dewan yang terhormat menyalahgunakan kedaulatan rakyat tersebut. Dengan adanya pilkada langsung diharapkan dapat meminimalisir poltik oligarki tersebut.
Pertama, kilas balik demokrasi di Indonesia.  Kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara langsung, melainkan para anggota dewan yang memilih.  Padahal rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi karena Indonesia menganut sistem demokrasi, tetapi kenapa pemilihan presiden dan wakil presiden para wakil rakyat yang menentukan bukan rakyat yang menentukan.  Ketiga, pemilihan presiden dan wakil  presiden beserta pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung karena Indonesia menganut sistem demokrasi.  Pilkada yang dilaksanakan secara langsung merupakan wujud dari demokrasi lokal.  Dimana rakyat yang memilih dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya.  Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.  Ada Propinsi atau Kabupaten/Kota dengan mulusnya menyelenggarakan Pilkada, sementara ada pula yang menemui riak-riak dalam penyelenggaraannya. Paling memprihatinkan, pelaksanaan Pilkada di sebagian kecil daerah diwarnai praktek intimidasi bahkan menjurus aksi anarkisme, khususnya saat menyikapi hasil Pilkada. Banyak aspek muncul dari penyelenggaraan Pilkada yang merupakan manifestasi politik otonomi daerah. Demokratisasi lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia.  Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat.  Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.

Kilas Balik Demokrasi di Indonesia
            Jika membahas tentang demokrasi di Indonesia, kita tidak terlepas dari alur periodisasi sejarah politik di Indonesia.  Apa yang disebut sebagai periode pemerintahan masa revolusi kemerdekaan, pemerintahan parlementer (representative democracy), pemerintahan Demokrasi Terpimpin (guided democacy), dan pemerintahan Orde Baru (Pancasila Democracy). 
            Sejak berakhirnya Pemilihan Umum pada tahun 1995, Presiden Soekarno sudah menunjukan gejala ketidaksenangannya kepada partai-partai politik.  Presiden Soekarno juga mengungkapkan gagasan, bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong-royong dan kekeluargaan.  Soekarno kemudian juga mengusulkan, agar terbentuk pemerintahan yang bersifat gotong-royong, yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada.  Untuk mewujudkan gagasan tersebut, terbentuk kemudian apa yang disebut sebagai Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan.  Penentangan Konsepsi Presiden menyatakan, bahwa pembentukan Dewan Nasional merupakan pelanggaran yang sangat fundamental terhadap konstituante negara.  Pada saat yang sama, sejumlah faktor lain muncul hampir bersamaan.  Pertama, hubungan antara pemerintah Pusat dengan pemerintah Daerah semakin memburuk. Kedua, Dewan Konstituante ternyata mengalami jalan buntu untuk mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi nasional.  Agar dapat keluar dari persoalan politik yang sangat rumit tersebut, dan berhubung situasi keamanan nasional sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, dengan pertimbangan demi kepentingan negara, Soekarno kemudian pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.  Apa yang Soekarno lakukan disebut sebagai Demokrasi Terpimpin.[1]
            Pemberontakan G-30-S/PKI merupakan puncak dari pertarungan atau tarik tambang politik antara Soekarno, Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia.  Akibat dari usaha kudeta yang gagal dilakukan oleh PKI membawa akibat yang amat fatal bagi partai itu sendiri, yakni dengan tersisihnya partai tersebut dari perpolitikan Indonesia.  Demikian juga Soekarno yang sedikit-demi sedikit kekuasaannya dikurangi.  Bahkan Soekarno tersingkir dari politik nasional, sampai meninggal tahun 1971.  Akhirnya,  Angkatan Darat muncul sebagai kekuatan politik yang sangat menentukan dalam proses politik selanjutnya, dengan apa yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.  Ketika Jendral Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia melalui transisi yang singkat pada tahun 1965 sampai 1968 yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru.  Kekuasaaan Kepresidenan pada masa Orde Baru merupakan pusat dari seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia.  Rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan hampir tidak pernah terjadi. Kecuali yang terdapat pada jajaran yang lebih rendah[2], kalaupun ada perubahan, selama masa Orde Baru  hanya terjadi pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.  Demokrasi mempersyaratkan adanya kemungkinan rotasi kekuasaan.  Tetapi, hal itu hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru.  Menurut kaidah demokrasi yang umum berlaku, partai yang menang dalam suatu daerah diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif.  Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di Indonesia, karena proses rekruitmen tersebut diatur dengan mekanisme lain.  Pemilihan Umum. Pada saat pemilihan Orde Baru, Pemilihan Umum telah dilangsungkan sebanyak enam kali, dengan frekuensi yang teratur, yaitu setiap lima tahun sekali.  Pemilihan Umum pada masa Orde Baru masih jauh dari semangat demokrasi.  Pemilihan Umum di Indonesia sejak 1971 dibuat sedemikian rupa, agar Golkar memenangkan pemilihan dengan mayoritas muthlak.  Karena kompetisi antara Golkar dengan partai yang lainnya dibuat tidak seimbang, caranya.  Pertama, melalui seperangkat peraturan pemilihan yang ada, yang memungkinkan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dan Panitia Pemilihan Umum (PPU) memainkan peranan yang sangat dominan.  Kedua, mekanisme penyelenggaraannya, misalnya nominasi calon anggota wakil rakyat, pengaturan dan pelaksaan kampanye, pemberian dan perhitungan suara, dan lain sebagainya.[3]  Affan Gaffar berpendapat bahwa Pemilu bukan sarana untuk meningkatkan kehidupan demokrasi, melainkan merupakan sarana untuk memperoleh legitimasi guna mendapatkan mandat untuk memerintah selama masa berikutnya.  Basic human right.  Apakah warga masyarakat menikmati hak-hak dasarnya? Persoalan in juga masih merupakan hal yang sangat rumit.  Pertama, masalah kebebasan pers.  Kedua, menyangkut kebebasan menyatakan pendapat.  Dalam implementasi yang lebih spesifik dari basic human right di Indonesia, kita juga menyaksikan kenyataan-kenyataan yang sangat memprihatinkan, yaitu dengan diberlakukannya prinsip pencekalan terhadap sejumlah orang yang dianggap mempunyai posisi yang berbeda secara tegas dengan pemerintah.

Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung
            Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti keputusan sendiri.  Otonomi dapat diartikan sebagai kondisi atau cara untuk tidak dikontrol atau diatur oleh pihak lain atau kekuatan luar atau pemerintahan sendiri, yaitu untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri.  Prinsip dari otonomi daerah adalah pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri.  Ada beberapa alasan mengapa otonomi daerah menjadi pilihan, setelah orde lama dan orde baru pola pemerintahan sentralistik demikian kuatnya, diantaranya:
a.       Pemerintah sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai “sapi perahan” pemerintah pusat.
b.      Tradisi kekuasaan sentralistik melahirkan ketimpangan antara pambangunan di pusat dan di daerah.
c.       Pola sentralistik menyebabkan pemerintah pusat sewenang-wenang kepada daerah.
Pilkada langsung adalah merupakan model melembaga demokarsi lokal, sebagai agenda penting dan strategis dalam membangun pemerintahan daerah yang akuntabel dan demokratis.  Pemilihan kepala daerah secara langsung telah membuka ruang bagi masyarakat untuk memilih dan berkehendak siapa yang akan menjadi pemimpin di daerahnya kelak.  Pilkada langsung merupakan perwujudan nyata asas responsibilitas dan akuntabilitas penyelenggaraan kedaulatan rakyat.  Dengan demikian pilkada langsung dinilai lebih akuntabel dibandingkan para anggota DPRD yang memilih dan menentukan.  Pilkada langsung dapat diapandang sebagai salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah untuk mendorong terjadinya suatu tatanan yang seimbang dan sinergis antar seluruh pelaku pembangunan mulai dari unsur pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam kerjasama atau kemitraan dalam unsur-unsur masyarakat madani.  Desentralisasi terwujud karena otonomi daerah.  Di mana Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, setidaknya ada tiga tujuan pemberian otonomi kepada daerah :
-        meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat yang semakin baik
-        pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan
-        memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sementara Rondinelli dan Chema (1983) menyebut keuntungan otonomi diantaranya : mempermudah artikulasi dan implementasi kebijakan pembangunan, mengurangi dan menyederhanakan prosedur birokrasi, memperlancar pelaksanaan koordinasi kegiatan, meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan efisiensi pelayanan kepada masyarakatDiantara beragam alasan terbitnya UU No. 32 tahun 2004 dikarenakan otonomi daerah selama ini baru taraf memberdayakan sebagian kecil elit daerah, sebaliknya belum memberdayakan masyarakat keseluruhan. Otonomi daerah  masih mengedepankan politik dalam aras kekuasaan/kewenangan (power oriented) atau berkutat pada tingkat formulasi kebijakan, belum beranjak pada taraf implementasi/manajerial (customer oriented). Sehingga undang-undang baru ini kemudian mengakomodir beberapa hal termasuk ketentuan mengenai Pilkada langsung. Model pemilihan yang merupakan makna lain dari otonomi sebagai bentuk demokrasi di tingkat lokal.
            Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pilkada langsung dan otonomi daerah saling berkaitan satu sama lain.

Pilkada Langsung dan Demokrasi Lokal
Demokratisasi lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia.  Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat.  Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
Indonesia adalah salah dari negara yang menganut sistem demokrasi.  Dalam demokrasi perwakilan atau demokrasi partisipatoris, rakyat langsung ikut berpartisipasi dan menentukan pemimpinnya.  Sehubungan dengan itu maka pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud dari demokrasi partisipatoris atau demokrasi langsung.  Indonesia melaksanakan pemilihan presiden secara langsung pada Juni 2004.  Setelah berhasil menyelenggarakan pemilihan presiden langsung pada tahun 2004Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[4]. Sebelum diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak Juni 2005 Indonesia menganut system pemilihan Kepala Daerah secara langsung.  Pilkada merupakan suatu tahap pencapaian baru dalam perkembangan demokrasi di Indonesia.  Melalui pemilihan secara langsung, mulai dari presiden dan wakil presiden sampai dengan kepala dan wakil kepala daerah maka, sekurang-kurangnya secara prosedural, kedaulatan politik kini berada di tangan rakyat.  Pilkada merupakan institusi demokrasi lokal yang penting karena dengan Pilkada, Kepala Daerah yang akan memimpin daerah dalam mencapai tujuan desentralisasi akan terpilih melalui tangan-tangan masyarakat lokal secara langsung.  Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.
Pelaksanaan Pilkada langsung lahir merupakan koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada melalui perwakilan[5], sebagaimana pernah diamanatkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.  Lahirnya Undang-Undang baru No. 12 tahun 2008 ini merupakan perkembangan dari hasil dialektis dan masukan pelbagai elemen masyarakat[6].  Untuk mendukung pelaksanaan Pilkada di tingkat teknis, pemerintah pusat kemudian melembarkan lembaran negara, berupa: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perubahan Pertama atas PP Nomor 6 tahun 2005, serta (3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 6 tahun 2005
Pilkada langsung merupakan wujud dari demokrasi yang ada di Indonesia karena rakyat yang langsung memilih siapa yang akan menjadi pemimpin.  Supaya tidak terjebak dalam pemilihan kepala daerah secara langsung maka masyarakat harus menjadi pemilih (voter) bukan menjadi pendukung (supporter). Sebagai pemilih rakyat harus kritis terhadap calon-calon kepala daerah yang ada, bukan hanya pada waktu memilih saja tetapi juga setelah calon terpilih sebagai kepala daerah. Sebab bila para pemilih masih tetap bersikap sebagai pendukung, mereka cenderung tidak akn kritis dan akan mengikuti dan mengiyakan apak kata yang didukung. Apabila ini terjadi, maka pemilih kepala daerah secara langsung yang diharapkan akan memperkuat demokrasi secara subtantive masih menjadi tanda tanya.

Penutup
            Secara umum dapat didefinisikan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana kebijakan, secara langsung atau tidak (langsung) amat ditentukan oleh suara mayoritas warga masyarakat yang memiliki hak suara melalui wadah pemilihan (Linz and Stepan, 1996; Potter, 1997; Henders, 2004).  Demokrasi sebagai ‘kehendak rakyat dan kebaikan bersama’ seperti apa yang diungkap Schumpeter, harus dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, demokrasi sebagai kehendak rakyat.  Pengertian dari demokrasi sebagai kehendak rakyat sebenarnya hendak mengatakan dari mana sumber demokrasi itu berasal, atau lebih tepatnya, dari mana sumber kekuasaan itu berada.  Dalam demokrasi kekuasan berasal dari rakyat dalam kata lain rakyat adalah pemegang kekuasaan sebenarnya.  Kedua, dalam pemaknaan yang disampaikan oleh Schumpeter, demokrasi adalah sebagai kebaikan bersama (common good).
Pilkada yang dilaksanakan secara langsung merupakan wujud dari demokrasi lokal.  Dimana rakyat yang memilih dan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya.  Warga masyarakat di daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari warga masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang mereka juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka, yang hak tersebut dijamin dalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Oleh karena itu, masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka punya, diberikan hak untuk menentukan nasib daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih Kepala Daerah secara langsung.  Sejak pemerintahan Orde Lama sampai ke Orde Reformasi banyak mengalami perubahan atau transisi pada sistem pemerintahannya.  Pada masa Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, Indonesia mengalami persoalan politik yang sangat rumit tersebut, dan berhubung situasi keamanan nasional sudah sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional, dengan pertimbangan demi kepentingan negara, Soekarno kemudian pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden, yang membubarkan konstituante dan menyatakan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.  Apa yang Soekarno lakukan disebut sebagai Demokrasi Terpimpin.[7]  Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kondisi atau cara untuk tidak dikontrol atau diatur oleh pihak lain atau kekuatan luar atau pemerintahan sendiri, yaitu untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri.  Prinsip dari otonomi daerah adalah pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri.  Desentralisasi terwujud karena otonomi daerah.  Di mana Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, setidaknya ada tiga tujuan pemberian otonomi kepada daerah :
-        meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat yang semakin baik
-        pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan
-        memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Sementara Rondinelli dan Chema (1983) menyebut keuntungan otonomi diantaranya : mempermudah artikulasi dan implementasi kebijakan pembangunan, mengurangi dan menyederhanakan prosedur birokrasi, memperlancar pelaksanaan koordinasi kegiatan, meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan efisiensi pelayanan kepada masyarakatDiantara beragam alasan terbitnya UU No. 32 tahun 2004 dikarenakan otonomi daerah selama ini baru taraf memberdayakan sebagian kecil elit daerah, sebaliknya belum memberdayakan masyarakat keseluruhan. Otonomi daerah  masih mengedepankan politik dalam aras kekuasaan/kewenangan (power oriented) atau berkutat pada tingkat formulasi kebijakan, belum beranjak pada taraf implementasi/manajerial (customer oriented). Sehingga undang-undang baru ini kemudian mengakomodir beberapa hal termasuk ketentuan mengenai Pilkada langsung. Model pemilihan yang merupakan makna lain dari otonomi sebagai bentuk demokrasi di tingkat lokal.
            Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pilkada langsung dan otonomi daerah saling berkaitan satu sama lain.
Demokratisasi lokal adalah implikasi dari desentralisasi yang dijalankan di daerah-daerah sebagai perwujudan dari proses demokrasi di Indonesia.  Konsepnya mengandaikan pemerintahan itu dari, oleh dan untuk rakyat.  Demokrasi lokal memuat hal yang mendasar yaitu keikutsertaan rakyat serta kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi lokal terwujud salah satunya dengan adanya Pilkada langsung dengan kata lain proses ini mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
            Kesimpulan dari artikel ini adalah Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang demokrasi, yang melakukan pilkada langsung dan otonomi daerah.  Indonesia yang melakukan transisi hingga 3 kali ini yaitu pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan Orde Baru dan yang terakhir yang sekarang digunakan adalah Pemerintahan Orde Reformasi.  Setiap pemerintahan menggunakan sistem yang berbeda-beda.  Otonomi daerah menjadi pilihan setelah pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru yang berpola pemerintahan yang sentralistik.  Dalam pelaksanaan Pilkada secara langsung rakyat yang memilih siapa yang akan menjadi pemimpin daerah berikutnya itu salah satu wujud dari demokrasi lokal.  Sarannya adalah perlu ditegaskan lagi bahwa Indonesia adalah negara yang demokrasi dan memperbaiki sistem pemerintahan yang kurang baik.


Daftar Pustaka
Agustino, Leo. Tinjauan Demokratisasi di Beberapa Negara dan Demokrasi Lokal di Indonesia. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009.
Affan, Gaffar. Parameter Pemilihan Umum yang Akan Datang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.
Fatwa, A M. Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa. Jakarta: YARSIF WATAMPONE. 2002
 Hardjito, Dydiet. Pemecahan masalah yang Analitik: Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI. Jakarta: Premada Media. 2003.



[1] Sampai sekarang, belum ada satu tulisan pun yang lebih baik dari tulisan Daniel S. Lev, yang menyangkut transisi menuju Demokrasi Terpimpin. Harap periksa lebih lanjut dalam bukunya, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (Monograph Series, Modern Indonesia Project, Cornel University, Ithaca, 1966).
[2] Jajaran yang lebih rendah yang dimaksud seperti: gubernur, bupati/walikota, camat dan kepala desa.
[3] Uraian yang lebih terperinci mengenai penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia, harap periksa Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Elections Under a Hegemonic Party System (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992).
[4] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pasal 1 ayat 4.
[5] Perwakilan oleh DPRD.
[6] Elemen masyarakat dalam hal ini Organisasi Non-Pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat.
[7] Sampai sekarang, belum ada satu tulisan pun yang lebih baik dari tulisan Daniel S. Lev, yang menyangkut transisi menuju Demokrasi Terpimpin. Harap periksa lebih lanjut dalam bukunya, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959 (Monograph Series, Modern Indonesia Project, Cornel University, Ithaca, 1966).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar