Sabtu, 15 November 2014

FUNGSI INTEGRATIF PANCASILA DALAM PERSATUAN INDONESIA YANG MULTIKULTURAL

Persatuan bukanlah suatu hal yang mudah diciptakan, memerlukan komitmen, tekat, dan optimisme juga dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Tersedianya ruang-ruang sosial tempat warga Indonesai mengalami kebebasan dan perbaikan mutu hidup akan menguatkan komitmen kebangsaan itu. Penerapan pancasila dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya merupakan kunci untuk menciptaan persatuan dan kesatuan di Indonesia. Diharapkan masyarakat Indonesia bisa menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari serta menjadikan pancasila sebagai tutunan dlam melakukan segala hal. Adanya toleransi beragama, terpenuhi hak-hak masyarakat sebagai manusia, keberpihakan pemerintah kepada rakyat,  serta keadilan yang seadil-adilnya. Konflik-konflik sosial yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita memahami fondasi keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme. Makna multikulturalisme dan pluralisme bisa membantu masyarakat Indonesia menciptakan rasa kecintaan kepada bangsanya sendiri.

Setelah melalui proses yang cukup panjang akhirnya bangsa Indonesia menemukan jati diri yang didalamnya tersimpul ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain, yang kemudian oleh para pendiri negara kita dirumuskan dalam suatu rumusan yang sederhana namun mendalam, yang meliputi lima prinsip (lima sila)[1]. Dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang membahas rumusan dasar negara Indonesia yang kemudian beliau menamai istilah dasar negara tersebut dengan nama Pancasila. Kata Pancasila diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya lima dasar kelakuan yang baik. Didalam nama itu menunjukan bahwa dasar filsafat Negara kita tersusun atas lima hal yang merupakan suatu bagian dari suatu keutuhan dan bagian dalam suatu hubungan kesatuan.
Pancasila dijadikan filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”        
Pancasila yang tertulis dalam Pembukaan, bahkan Pembukaan secara keseluruhan merupakan perjanjian luhur yang mengikat seluruh rakyat dan semua generasi bangsa Indonesia[2]. Beberapa nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius pada dasarnya bersumber dari bangsa Indonesia sendiri yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Jika bangsa Indonesia bisa melaksanakan Pancasila dengan baik, itu menunjukan bahwa kita setia kepada bang kita sendiri.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila ialah: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan[3]. Sebagai alat pemersatu Pancasila sudah semestinya mengandung persatuan, kesatuan didalam diri pribadinya sendiri serta mempunyai dasar yang mengandung persatuan, kesatuan yang kokoh dan kekal supaya persatuan, kesatuan Indonesia kokoh dan kekal juga[4]. Tetapi pernah ada yang menilai bahwa sila-sila yang terdapat dalam Pancasila itu terpisah satu dengan yang lainnya serta mengartikan sila-sila itu saling bertentangan satu sama lainnya. Padahal jika dipahami, Pancasila merupakan bentuk lain dari cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berideologi[5].
Persatuan Indonesia adalah proses yang harus terus dilakukan. Mempersatukan Indonesia bukanlah suatu yang hal yang mudah. Negara kita adalah negara kesatuan yang terdiri dari pulau-pulau, dari yang kecil sampai yang besar dengan lingkungan alam yang beragam dan corak aneka macam kebudayaan penduduknya. Tidak ada negara lain didunia ini yang bisa menyamai keanekaragaman luar biasa yang dimiliki Indonesia. Mulai dari bahasa, suku, agama, budaya, kepercayaan, kekayaan alamnya dan masih banyak lagi. Keanekaragaman merupakan kelebihan dari bangsa ini, tetapi disisi lain, keanekaragaman ini juga dapat menimbulkan bahaya disintegrasi apabila salah dalam pengaturannya. Adanya unsur-unsur perbedaan didalam suatu bangsa selain menimbulkan daya positif kearah kerjasama dan kesatuan, juga dapat menimbulkan kekuatan tolak-menolak, tentang-menentang yang mungkin mengakibatkan perselisihan, pertikaian dan perpecahan[6]. Kita harus mengantisipasi terjadinya perpecahan sampai ke level yang paling dasar.
Sadar atau tidak, Pancasila memilik fungsi integratif yang bisa menjamin kesatuan bangsa Indonesia yang pluralistik. Jika dasar negara dan kostitusi sudah tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir serta berperilaku sebagia warga negara maka aksistensi negara dan bangsa Indonesia yang pluralistik akan terancam. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal dibelakang jika tidak membulatkan tekad memacu kemajuan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi dan Proklamasi.

Relevansi Nilai-Nilai Dasar Pancasila
Hakekat Pancasila merupakan nilai, nilai yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia yang akan diwujudkan menjadi kenyataan kongkrit dalam kehidupannya dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia dalam hal ini adalah pendukung nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan. Nilai-nilai diatas merupakan satu kesatuan, saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Ketuhanan. Kesadaran akan Ketuhanan menjadi landasan pula atas akal, sumber kekuasaan manusia untuk kekuatan diri sendiri memperoleh kenyataan, sehingga kesadaran akan Ketuhanan juga bersifat kesadaran pikiran[7]. Bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultur telah menempatkan keagamaan sebagai landasan yang terkuat dalam kehidupan ketatanegaraannya. Munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagaman, merebaknya partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum tuntasnya hubungan agama dan negara, yang menyangkut dua hal pokok: pertama, hubungan negara dan agama dan kedua, implementasi prinsip negara berketuhanan dan konstitusi[8].
Dalam pemaknaan keberagaman, pluralisme dan multikulturalisme sebagai toleransi dan kerukunan hidup beragama terbentang tarik ulur. Terjadi gesekan di antara agama yang satu dengan yang lainnya, bahkan didalam agama-agama itu sendiri. Fanatisme tidak dibenarkan dalam agama mana pun, apalagi kalau keberagaman diwujudkan dengan cara-cara yang ekstrem yang menempatkan agama sendiri sebagai kebenaran mutlak satu-satunya[9]. Kecenderungan lebih memuliakan agama daripada Tuhan pun hendak dikapling-kaplingkan dan kebenarannya juga dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing, seolah Tuhan tidak mampu menciptakan kebenaran yang universal. Jika sekarang bangsa kita ini makin terpuruk, itu karena faktor “agama” yang tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas. Namun, banyak diantara kita yang tidak mangerti atau bahkan menyalah artikan pesan-pesan tersebut.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Itulah bunyi sila kedua Pancasila. Dalam sila Kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya bermoral dan beragama. Kemanusiaan adalah bentuk lain dari semangat menghargai satu sama lain, sosok yang toleran, yang dalam perilaku sehari-hari didasarkan pada kepentingan bersama sebagai sesama anak bangsa[10]. Oleh karena itu, dalam kehidupan bersama dalam bernegara harus dijiwai oleh moral kemanusiaan untuk saling menghargai sekalipun terdapat suatu perbedaan karena hal itu merupakan bawaan kodrat manusia untuk saling menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Untuk menunjukan Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tidak cukup hanya mengkritik dan berkoar-koar nilai kemanusiaan di kancah Internasional tetapi harus memberikan  contoh bagaimana menjunjung nilai kemanusiaan. Lihat saja masyarakat Indonesia sekarang ini, ditengah massa yang marah, nilai-nilai kemanusiaan hanya tinggal sebaris kata-kata. Konflik-konfilk sosial kerap menghiasi layar televisi, mengisi surat kabar, internet dan radio. Penyebabnya hanyalah hal yang sepele, seperti kasus kerusuhan di Ambon yang sekarang sudah merambat dan melas menjadi pertikaian antaretnis.
Sementara itu, melihat keragaman, pluralitas dan multikultur yang dimiliki Indonesia, maka persatuan bangsa Indonesia merupaka salah satu tuntunan yang majemuk. Negara harus memberikan sarana atas tercapainya harkat dan martabat  seluruh warganya dalam segala paham golongan, etnis, suku, ras, individu, maupun golongan agama. Meskipun telah dirumuskan dan coba diterapkan, pada dasarnya persatuan masih harus dilihat sebagai hal yang rapuh. Pengalaman dari era pasca-Reformasi, yang justru mengakibatkan konflik antaretnis di Sampit, di Ambon dan terakhir merebaknya perilaku agresif ormas yang terlihat sulit menyatukan perbedaan dan keragaman, meyakinkan kita bahwa persatuan Indonesia bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Bangsa Indonesia terus melangkah meskipun telah jatuh bangun dalam membangun demokrasi. Presiden, gubernur, walikota, dan bupati dipilih secara langsung. Namun, mencari dan mengerti definisi demokrasi dalam konstitusi tidaklah mudah. Sekarang ini kita dihadapkan pada keprihatinan di mana demokrasi yang terwujud dalam pilkada justru merusak moral masyarakat.
Pancasila sebagai dasar negara juga menyinggung soal demokrasi dalam sila keempat yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. 1 Juni 1945 Sukarno berpidato didepan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
           “...Dasar itulah ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu egara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”[11].

Sukarno berusaha menegaskan pentingnya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Yang diinginkan Sukarno adalah demokrasi yang  didasari pada prinsip permusyawaratan untuk mencapai mufakat dan harus dilakukan dengan hikmat dan kebijaksanaan.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan manusia dengan Tuhannya[12]. Keadilan dalam konteks aturan, kebijakan, tindakan, dan perlakuan pemimpin terhadap rakyatnya dapat membuat masyarakat lebih leluasa bermusyawarah dan bermufakat mencari solusi persoalannya.
Sekarang ini, Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, hanya dianggap sebatas kata magis. Ketidakadilan amat terasa. Komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan sila kelima benar-benar diuji di era persaingan bebasb dan globalisasi sekarang ini. Berbagai perjanjian bilateral dan multilateral dalam kerangka integrasi perkonomian regional atau global mengikat negara-negara pada kesepakatan dan aturan-aturan main baru, yang bertabrakan dengan kepentingan nasional[13]. Saat otonomi diterapkan, desentralisasi diharapkan bisa lebih mendekatkan kebijakan pemerintah dengan kesejahteraan rakyat. Tetapi justru pemerintah daerah cenderung mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan pemerintah pada era sentralisasi. Perizinan eksploitasi sumber daya alam untuk pengusaha  dipermudah. Padahal, jika pemerintah daerah mau memperjuangkan nasib rakyat, mereka harus aktif menciptakan atau mendukung yang berorientasi menyejahterakan masyarakat. Keadilan ekonomi akan menciptakan masyarakat sosial yang sejahtera. Bagaimanapun, rakyat berhak menikmati hasil kekayaan alam bumi pertiwi[14].

Kedudukan dan Fungsi Pancasila
Pancasila sebagai landasan falsafah bangsa merupakan suatau harmonisasi dari nilai-nilai dan norma-norma utuh yang terkandung dalam Pancasila, yang bertujuan mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh agar menjadi landasan filsafat yang sesuai dengan kepribadian dan cita-cita bangsa. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila merupakan karya besar Indonesia dan merupakan lambang ideologi bangsa Indonesia serta dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara[15]
      a.      Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Bangsa Indonesia dalam hidup bernegara telah memiliki suatu pandangan hidup bersama yang bersumber pada budayanya dan nilai-nilai religius. Pancasila sering disebut-sebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam hal ini, Pancasila dijadikan petunjuk arah dalam setiap kegiatan atau aktifitas hidup di segala bidang. Didalam Pancasila terdapat nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan kerohanian yang mencirikan masyarakat Indonesia. Sikap dan perilaku masyarakat Indonesia haruslah  selalu dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Hal ini penting karena dianggap dapat membantu mewujudkan keharmonisan masyarakat Indonesia. Selain itu, masyarakat Indonesia juga harus saling berhubungan dengan masyarakat lainnya dan tidak boleh hidup secara individual, karena pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial. Dengan pandangan yang diyakini bangsa Indonesia akan mampu memandang dan memecahkan segala masalah secara tepat di semua bidang.
                  b.     Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara republik Indonesia merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara atau penyelenggaraan negara. Ini berarti seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang  modern ini. Maka Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, Pancasila merupakan sumber kaidah hukum negara yang secra konstitusional mengatur negara Republik Indonesia beserta seluruh unsur-unsurnya yaitu rakyat, wilayah, serta pemerintahan negara. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mepunyai kekuatan mengikat secara hukum. Selain itu, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun hukum negara dan mengenai hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis[16].
Dalam sejarah Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila sudah mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung kepada legitimasi ideologi negara Pancasila. Kedudukan Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi, dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu. Contohnya, pada saat rezim Soeharto Pancasila digunakan sebagai alat pembenaran atas rezim otoritarian yang ia terapkan di Indonesia. Selain itu, kemiskinan, pengangguran, kesehatan serta ketidakadilan juga masih terbengkalai. Padahal jika kita bisa menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mungkin saja bisa teratasi.
                 c.      Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Menurut  Antoine Destut de Tracy (1836) Ideologi merupakan ilmu tentang terjadinya cita-cita atau gagasan, cita-cita yang mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui masyaarakat. Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Pancasila juga bukanlah merupakan ide-ide atau perenungan seorang saja, yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan tertentu, tetapi Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sehingga pada hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komprehensif[17].
Modern ini, Pancasila sebagai ideologi negara seharusnya menjadi acuan dan landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan, para politisi dan para pelaku ekonomi serta masyarakat, dalam partisipasi dalam membangun negara, justru menjadi buram dan terpinggirkan. Bukan karena ideologi tidak penting, mungkin masalahnya kerana tidak ada integritas yang memadai dari pemimpin nasional untuk merumuskan tantangan yang tepat dan mengembangkan ideologi yang menyatukan arah bangsa.

Pelaksanaan Pancasila Dalam Hidup Kenegaraan
Pelaksanaan Pancasila dapat dianggap sempurna apabila telah meresap didalam hati, jiwa serta mendarah daging dan kita jadi mempunyai kepribadian Pancasila atau kepribadian kebangsan Indonesia. Dengan keadaan yang seperti itu, dapat dikatakan bangsa Indonesia sudah mendapatkan kepribadiannya sendiri dan telah mampu menerapkannya di kehidupan, tingkah laku, cara dan perbuatan hidup sebagai gambaran pribadi yang sejati yang sesuai dengan tuntutan jaman. Kita harus menerapkan hal-hal dan nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila. Mulai dari pokok-pokok kenegaraan sampai hal-hal mengenai penyelenggaraan negara. Kekuasaan negara yang berbentuk kedulatan rakyat, kekuasaan negara untuk memelihara, membangun, mengembangkan, kesejahteraan, kedamaian, kesatuan dan kebahagiaan[18]. Inilah yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Kapankah pelaksanaan Pancasila seperti itu dapat kita wujudkan ? Semua itu tergantung kepada kita sendiri. Jika kita bercermin dengan keadaan bangsa kita sekarang mungkin itu semua memerlukan waktu yang sangat lama dan sulit untuk direalisasikan.
Kedaulatan rakyat atau demokrasi, semenjak runtuhnya rezom orde baru, kehidupan demokrasi di Indonesia seperti mendapatkan angin segar. Jaminan kebebasan berkumpul, berserikat dan menyatakan pendapat yang diatur dalam konstitusi diwujudkan dengan terbitnya UU No 2/1999 tentang partai politik. Aturan itu pun disambut rakyat dengan gegap gempita. Tetapi tuntutan penegakan hak politik rakyat tidak berhenti sampai disitu. Pemilihan presiden dan wakil presidenyang sebelumnya dilakukan dengan sistem perwakilan diubah dengan sistem pemilihan langsung. Anggota legislatif, mulai dari DPR, DRRD Provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota juga dipilih secara langsung. Hasil pemilihan langsung oleh rakyat bisa dibilang lebih sah dibanding pemilihan melalui perwakilan. Namun apakah dengan itu semua Indonesia sudah bisa dibilang demoktaris ?
Selang 14 tahun setelah reformasi, demokrasi di Indonesia masih tergolong semu, masih ada beberapa indikator yang belum terpenuhi. Salah satunya pemilu yang bebas dan jujur sebab, pemilu langsung justru melahirkan politik uang, kekerasan dan kecurangan lain. Suara rakyat mejadi sesuatu yang dapat diperjualbelikan, terutama dalam pilkada. Selain itu, pembuatan kebijakanjuga belum melibatkan rakyat. Suara rakyat hanya dipergunakan sebatas alat hitung untuk mendapatkan kekuasaan atau jabatan tertentu. Kebijakan yang diambil hanya didasari hanya didasari pada kepentingan elite, bukan kepentingan dan keinginan rakyat. Demokrasi yang berjalan pun belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, seperti amanah sila keempat Pancasila[19].
Kebijakan pemerintah pada masa lalu sering kali dinilai dan dirasakan diskriminatif. Tidak ada persatuan, kedamaian, dan kemakmuran yang merata tanpa keadilan. Ketidakadilan memicu manusia berkonflik, berperilaku anarki menggilas perikamanusiaan. Hukum yang tidak adil bahkan merusak logikadan rasa keadilan manakala koruptor kelas kakap yang merampas kemanusiaan yang adil dan beradab bisa melenggang bebas. Bagaimana negara bisa mengatakan sudah berlaku adil dikala orang suku Dayak tak punya lahan sejengkal pun, sementara hutan dan lahan beserta seisi perut bumi Kalimantan telah dikapling pemodal sampai jutaan jutaan hektar luasnya kerana kolusi dan korupsi[20].
Sejarah mencatat, bangsa ini cukup banyak mengalami masa jatuh bangun. Pencapaian memang ada, tetapi jumlahnya kalah banyak dengan realita keterpurukan. Kebijakan-kebijakan pemerintah sejak Orde Baru sampai saat ini nyatanya menempatkan Indonesia dalam jeratan gurita baru, yaitu imperialisme ekonomi yang mengatasnamakan globalisasi.
Perbaikan menyelurh menjadi suatu hal yang wajib dilakukan jika kita menginginkan Indonesia seperti apayang dicita-citakan Pancasila. Demokrasi, sekali lagi menjadi jalan keluar yang dianggap paling baik kerana bisa menjamin kebebasan individu. Dengan sistem ini diharapkan muncul kepemimpinan yang handal. Pemimpin yang wibawanya mampu menggerakkan seluruh elemen dari pusat sampai ke unit terkecil di daerah untuk berkomitmen demi kemajuan bangsa. Apapun kebijakan yang diambil, kebutuhan rakyat tetap harus jadi prioritas.

Mutikultiralisme dan Pluralisme di Indonesia
Mutikulturalisme adalah filosofi yang juga terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Budaya dalam hal ini harus dipahami sebagai semua bagian masyarakat dalam kehidupannya yang kemudian melahirkan banyak corak seperti, bahasa, sejarah, agama, budaya dan lain-lain. Multikulturalisme bertujuan untuk menciptakan kebersamaan, kesederajatan, dan mengapresiasikan dalam dunia yang kian komples dan tidak monokultur lagi. Pluralisme diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain[21].
Negara kita adalah negara kesatuan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil dengan lingkungan alam yang beraneka ragam. Lingkungan alam yang berupa iklim, flora dan fauna, tanah, air dan sebagainya, terlihat juga pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Pengaruh lingkungan alam itu, tidak selalu menimbulkan akibat yang seragam terhadap kebudayaan. Selain itu, pengaruh kebudayaan asing yang tidak merata, faktor isolasi wilayah yang didiami, membuat suku-bangsa itu mengembangkan corak kebudayaannya masing-masing[22].
Indonesia selama ini disebut-sebut sebagai bangsa yang ramah-tamah dan memiliki toleransi serta budayanya yang tinggi. Suku-suku bangsa dengan kebudayaannya yang berbeda-beda di Indonesia mempunyai nilai potensil. Nilai-nilai tersebut berupa jiwa gotong-royong dan kekeluargaan. Lalu muncul pertanyaan, benarkah kita bangsa yang ramah-tamah serta memiliki toleransi dan budaya yang tinggi ?
Melihat kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok Ahmadiyah serta perusakan gereja dan kekerasan terhadap jemaatnya membuat kita sulit menerima pernyataan bahwa kita bangsa yang ramah-tamah dan memiliki toleransi serta budaya yang tinggi. Tantangan yang dihadari sangat beragam, mulai dari tantangan tradisional (yang terkait sulitnya bersatu karena sangat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang mempengaruhi gaya hidup dan pemikiran).
Pluralisme dan multikulturalisme sering salah ditafsirkan secara sempit dalam pengakuan keyakinan beragama. Bahkan muncul isu mayoritas-minoritas atau superioritas-inferioritas yang pada akhirnya gampang meyulut pertikaian. Sifat eksklusivisme kelompok kian menonjol, ketimpangan sosial dan diskriminasi sosial makin melebar. Contoh, dibentuknya rintisan sekolah bertaraf Internasional (RSBI) secara tidak langsung mengakibatkan diskriminasi. Hanya keluarga kaya saja yang bisa menikmati pendidikan bermutu karena mahalnya biaya pendidikan.
Melalaikan multikulturalisme dan pluralisme Indonesia sebagai berkah dan kekayaan yang harus ditempatkan sebagai fondasi berarti negara membiarkan segala bentuk kebebasan terancam. Komitmen kebangsaan akan makin kuat kalau dari dalam komunitas bisa mendapatkan kebebasab yang membuka ruang bagi kesejahteraan bangsa. Negara kita memiliki segala sesuatu yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju. Sumber daya Indonesia tidaklah kalah, bahkan kemajemukan dan keanekaragaman buday yang kita miliki jauh lebih kaya dengan keunggulan masing-masing yang tidak dimilik oleh bangsa lain. Beragam atau homogen, setiap bangsa membutuhkan persatuan agar bangsa ini tetap eksis dan berjaya[23].

Setelah pembahasan diatas kita bisa menyimpulkan bahwa untuk menciptakan persatuan dan kesatuan kuncinya hanyalah satu. Persatuan buakan suatu hal yang mudah di capai. Penerapan Pancasila dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Kita tidak perlu bingung lagi harus bagaimana memecahkan masalah yang ada. Karena Pancasila sudah mencakup semua, mulai dari nilai-nilai, cita-cita, norma, serta cara untuk mencapai cita-cita dan harapan bangsa Indonesia. Kita perlu menanamkan nilai-nilai Pancasila di hati dan jiwa kita sehingga mendarah daging. Selain itu ada beberapa hal yang harus dilakukan agar persatuan ini benar-benar tercipta yaitu, memajukan kesetaraan sosial, keberpihakan pemerintah kepada rakyat dan menjamin hak dasar sosial : hak untuk bekerja, hak untuk menerima upah yang mencukupi kehidupan sekeluarga, hak mendapatpenghasilan yang layak, hak untuk beristirahat dan masih banyak lagi. Adanya toleransi beragama, terpenuhi hak-hak masyarakat sebagai manusia, keberpihakan pemerintah kepada rakyat,  serta keadilan yang seadil-adilnya. Tersedianya ruang-ruang sosial tempat warga Indonesia mengalami kebebasan dan juga perbaikan mutu hidupnya akan menjadi pilar yang menguatkan komitmen kebangsaan. Konflik-konflik sosial yang kini marak tidak seharusnya terjadi apabila kita memahami fondasi keindonesiaan kita: pluralisme dan multikulturalisme. Melakukan pemanfaatan sumber daya alam dengan bijaksana, dan memberi kesempatan orang pribumi untuk mengelola dan menyicipi hasil bumi sendiri. Hal terpenting dari semua ini adalah, komitmen dan tekat kita semua sebagai bangsa Indonesiabaik unutk memajukan dan membuat Indonesia menjadi lebih . Kita harus membangun watak baru yang memihak bangsa sendiri, berakar budaya yang berorientasi progresif agar mampu bergabung di kancah Internasional dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Optimislah tidak lama lagi itu akan terealisasi dan jangan pernah letih mencintai Indonesia.



REFERENSI

Achmad Aprianto Blog, http://achmad-aprianto.blogspot.com/.
Budi Susilo Soepandji Blog, http://budisusilosoepandji.wordpress.com/.
Filsuf Gaul Blog, http://filsufgaul.wordpress.com/.
Kaelan. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, 2010.
Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pokok-Pokok Pembahasan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1979.
Notonegoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975.
Nusantara, Merajut. Rindu Pancasila. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010.



[1] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 12.
[2] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pokok-Pokok Pembahasan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1979), 17.
[3] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 28.
[4] Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 13.
[5] Ibid, 16.
[6] Ibid, 105.
[7] Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 74.
[8] Merajut Nusantara, Rindu Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 6.
[9] Ibid, 6.
[10] Merajut Nusantara, Rindu Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 39.
[11] Soekarno, Tjamkan Pantja Sila!: Pancasila Dasar Falsafah Negara, ed. Amin Arjoso (Jakarta: Panitia Peringatan Lahirnya Pancasila, 2002), 25.
[12] Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 83.
[13] Merajut Nusantara, Rindu Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nisantara, 2010), 168.
[14] Ibid, 198.
[15] Achmad Aprianto, mengomentari “Relevansi Pancasila sebagai Filsafat Hidup Berbangsa dan Bernegara.” Achmad Aprianto Blog, diposting 29 April, 2012, http://achmad-aprianto.blogspot.com/2012/04/relevansi-pancasila-sebagai-filsafat.html (diakses 9 Januari 2012).
[16] Kaelan, Pendidika Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2010), 107-110.
[17] Ibid, 112.
[18]  Notonegoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Yogyakarta: Pantjuran Tudjuh, 1975), 172.
[19] Merajut Nusantara, Rindu Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010), 129-134.
[20] Ibid, 157-161.
[21] Filsuf Gaul, mengomentari “Implementasi Konsep Multikulturisme dan Pluralisme di Indonesia,” Filsuf Gaul’s Blog, diposting 7 Maret, 2012, http://filsufgaul.wordpress.com/2012/03/07/implementasi-konsep-multikulturalisme-dan-pluralisme-di-indonesia/ (diakses 10 Januari 2012).
[22] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pokok-Pokok Pembahasan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1979), 75-80.
[23] Merajut Nusantara, Merajut Nusantara, Rindu Pancasila (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010).

1 komentar:

  1. Situs Judi Slot Online Pragmatic Play Slot Online Mudah Menang 2021
    Provider Slot Online Mudah 용인 출장샵 Menang 2021. Bisa di Pragmatic Play, Situs Slot Pragmatic 김포 출장샵 Play, 창원 출장마사지 Slot Joker123, Slot QQSlot. Game Slot Online 삼척 출장안마 Gacor, Pragmatic 논산 출장마사지 Play, Joker123, Slot

    BalasHapus