Jumat, 07 November 2014

Hak Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya tidak bisa diganggu oleh siapapun. Bangsa Indonesia menghargai dan memberikan kebebasan yang sama kepada setiap warganya untuk menerapkan HAM selama kebebasan itu tidak mengganggu HAM milik orang lain. Implementasi HAM dapat dipahami secara benar dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya HAM yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dan diupayakan secara terus menerus ke setiap orang sedini mungkin.
Kata kunci : hak asasi manusia, pancasila

PENDAHULUAN
            Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa sejak lahir yang melekat pada diri manusia sebagai anugerah Tuhan. Hak asasi manusia tidak dapat lepas dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan manusia dan tidak dapat dipisahkan dari pribadi tiap-tiap orang. Dalam pelaksanaannya, Negara juga wajib melindungi hak asasi warganya sebagai manusia secara individual berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dengan dibatasi oleh ketentuan agama, etika moral, dan budaya yang berlaku di Negara Indonesia dan oleh sistem kenegaraan yang digunakan. Maksudnya disini adalah bahwa negara wajib melindungi hak asasi warganya selama tidak mengganggu atau membuat kerugian hak asasi warganya yang lain.
            Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa Indonesia mengakui, menghargai, dan memberikan hak yang sama kepada setiap warganya untuk menetapkan Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti keterangan di atas bahwa kebebasan HAM tersebut tidak mengganggu dan harus menghormati HAM orang lain. Jadi hak asasi kita berbatasan dengan hak asasi orang lain. Sikap tersebut harus tetap dijaga untuk menumbuhkan toleransi dan kerjasama. Dengan demikian keadilan pun dapat tercipta.
            Di dalam UUD 1945, HAM pun telah diatur dan dijelaskan. Di bidang politik, pembuat UUD 1945 memikirkan adanya hak atas kemerdekaan setiap orang yang berada di wilayah Indonesia untuk berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Ketentuan dalam UUD ini dibuat agar dalam pelaksanaan hak berserikat mengeluarkan pikiran tidak mengganggu keamanan dan ketertiban nasional. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus didasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Banyak sekali penjelasan tentang HAM yang diatur dalam UUD dan pancasila. Tidak hanya di bidang politik saja, tetapi juga di bidang agama, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
            Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan terjemahan dari berbagai bahasa asing yaitu droit de I’ homme dari Bahasa Prancis, human rights dari Bahasa Inggris, dan mensellijke rechten dari Bahasa Belanda. Hak asasi manusia di dalam kepustakaan dibedakan menjadi pengertian hak-hak dasar dengan hak-hak asasi manusia. Dilihat dari tingkat pengakuannya, hak-hak asasi manusia mempunyai skala pengakuan internasional sedangkan hak-hak dasar berhubungan dengan pengakuan hukum nasional. Pengakuan hukum nasional itu bisa dalam bentuk undang-undang dasar dan peraturan perundangan yang lain. Pengakuan dan jaminan HAM di Indonesia tersebut diatur dalam Pancasila sila kedua, UUD 1945, Ketetapan MPR RI Nomor XVII/ MPR/ 1998 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya misalnya: UU No.39 tahun 1999.
            Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila mengandung pengertian tentang pengakuan terhadap perlindungan hak asasi manusia. Pengakuan dan perlindungan hak asasi tersebut mengandung arti adanya persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Menurut Budiardjo (dalam Emran & Nurdin, 1994: 171), hak asasi manusia didefinisikan sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.
            Menurut Poerbopranote (dalam Emran & Nurdin, 1994: 171), hak asasi adalah yang bersifat asasi artinya hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci. Jadi, hak asasi dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sehingga hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri. Ada banyak pengertian tentang apa itu HAM dan banyak para ahli yang menjelaskan tentang pengertian HAM itu sendiri.
            Menurut Mertoprawiro (dalam Margono, dkk, 2002: 60), pada mulanya yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, seperti hak hidup, hak kebebasan dan kesamaan, yang sifatnya tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Dalam perkembangan selanjutnya, hak-hak asasi manusia itu dapat dibagi dan dibedakan sebagai berikut: hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak asasi politik, hak asasi sosial dan kebudayaan, dan hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan.
            Konsep dasar atau pengertian dari HAM banyak macamnya sesuai dengan pendapat para ahli masing-masing. Mereka berasal dari pendidikan, sejarah,budaya masyarakat, dan lingkungan yang berbeda-beda. Hal ini tergantung bagaimana cara mereka memandan apa itu HAM. Tetapi pada intinya, apa yang mereka ungkapkan adalah sama bahwa HAM dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki manusia. Hak ini melekat pada setiap manusia dan merupakan sifat dari kemanusiaannya. Pengertian sederhana ini menjadi lebih kompleks apabila dihadapkan pada manusia dan kehidupannya yang dinamis.
            Dari beberapa pengertian maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur yang ada dalam pengertian HAM yaitu sebagai berikut: (1) hak yang dimiliki menurut kodratnya; (2) hak itu melekat pada diri manusia; (3) hak itu merupakan pemberian Tuhan; (4) hak itu harus dipertahankan; (5) hak itu bersifat suci dan luhur; dan (6) universal artinya menyeluruh dimili manusia tanpa perbedaan.
            Hak asasi bersifat universal artinya menyeluruh berlaku dimana saja dan kapan saja yang dimiliki manusia tanpa perbedaan walaupun manusia Indonesia terdiri dari berbagai paham keagamaan seperti Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Khong Hu Chu. Semuanya mengakui bahwa di atas manusia ada penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan adanya keyakinan terhadap adanya sang pencipta ini maka dapat tumbuh rasa kemanusiaan yang tinggi di antara orang-orang Indonesia. Kemudian timbullah segala perbuatan dan tindakan yang selalu berdasarkan pada rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.

Masalah Hak Asasi Bagi Bangsa Indonesia
Pandangan Idonesia Tentang Hak Asasi Manusia
            Pengertian dan persepsi hak asasi manusia harus memiliki keseimbangan. Artinya tidak hanya pengertian hak asasi manusia secara individu dan masyarakat dalam kehidupan social, melainkan harus pula melibatkan sektor kehidupan politik, social dan ekonomi. Untuk mencapai keseimbangan pengertian itu, Indonesia bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa menyelenggarakan lokarnya tentang hak asasi manusia tanggal 26-28 Januari 1993 di Jakarta untuk kawasan Asia Pasifik.
            Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.
            Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
            Lokakaryanya ini membahas pengertian hak asasi manusia. Pengertian dimaksud bukan sekedar dalam pengertian kita sendiri akan tetapi bukan pula dalam pemahaman Barat; rumusan pengertian hak asasi manusia yang sesuai dengan watak semua bangsa, sesuai dengan kondisi masyarakat. Indonesia dapat menjelaskan pandangan Indonesia tentang hak asasi manusia yang selalu menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 kepada dunia luar.

Pelaksanaan Hak Asasi Manusia dalam Pancasila
            Pelaksanaan hak asasi manusia dalam Pancasila sebagaimana tersebut dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang- Undang Dasar 1945. Pelaksanaan hak asassi manusia tidak dapat secara mutlak, karena penuntunan pelaksanaan yang demikian itu secara mutlak berarti melanggar hak asasi manusia yang sama bagi orang lain.
            Hak-hak asasi manusia dalam Pancasila dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dan terperinci di dalam batang tubuh UUD 1945 yang merupakan hukum dasar konstitusional dan fundamental tentang dasar filsafat negara Republik Indonesia serat pedoman hidup bangsa Indonesia, terdapat pula ajaran pokok warga negara Indonesia. Yang pertama ialah perumusan ayat ke 1 pembukaan UUD tentang hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa didunia. Oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
            Kebulatan lima dasar dalam Pancasila, mengemukakan Pancasila seperti dikemukakan Notonegoro dalam Pidato Dies Universitas Airlangga pada 10 Nopember 1955 secara filsafat kenegaraan, dan istilah “Pancasila” oleh Dr. Sumantri Harjoprakoso dalam “Indonesisch mensbeeld als basis ener psychotherapie” (Leiden, Juni 1956) yang juga digunakan dalam bidang kebatinan yang menyebut lima tabiat manusia guna mencapai pendirian hidup sempurna, yaitu: 1. Rela, 2. Narimo (Jawa), 3. Temen (Jujur), 4. Sabar, dan 5. Budi luhur. Lima tabiat ini agar dapat melaksanakan sandaran hidup yang dinamakannya “Tri Sila” yakni: a. eling (beriman), b. percaya dan c. mituhu (setia). “Pancasila” juga dikemukakan Prof. Dr. Priyono, Menteri PP dan KK pada Seminar Ilmu dan Kebudayaan di Yogyakarta (29 Juni 1956) sebagai “Panca Sila” Bahasa Indonesia.
            Hubungan HAM dengan Pembukaan, diperlihatkan dengan secara khusus hak asasi kemerdekaan segala bangsa dan tujuan negara, baik keluar dan kedalam dicantumkan dalam Pembukaan, sedangkan dalam UUDS hanya mencantumkan tujuan perdamaian tanpa menjaga ketertiban dunia. Isi Mukaddimah UUDS juga dinyatakan sama dengan Preambule Piagam Perdamaian (Charter for Peace). Yang menarik adalah tinjauannya terhadap lima sila dalam Pancasila yang membantu para penyelenggara memahami makna yang terkandung di dalamnya, sehingga dapat menilai apakah konstitusi yang dirumuskan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
            HAM juga terdapat di dalam Pembukaan konstitusi kita yang pernah berlaku. Namun, pelaksanaan HAM tetap berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Misalkan contoh bagaimana kedudukan individu dalam sistem demokrasi? Demokrasi kita tetap berlandaskan kolektivisme, bukan pertentangan individu dan “social orde” seperti demokrasi liberal dan hak-hak lainnya yang tetap berlandaskan kondisi masyarakat asli Indonesia.
Hubungan antara Hak asasi manusia dengan Pancasila dapat dijabarkan Sebagai berikut :
1. Sila ketuhanan yang maha Esa menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama , melaksanakan ibadah dan menghormati perbedaan agama.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama dalam hukum serta serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapat jaminan dan perlindungan undang-undang.
3. Sila persatuan indonesia mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan prinsip HAM dimana hendaknya sesama manusia bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis. Menghargai hak setiap warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang dilakukan tanpa adanya tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi masyarakat.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengakui hak milik perorangan dan dilindungi pemanfaatannya oleh negara serta memberi kesempatan sebesar-besarnya pada masyarakat. 

Perbedaan Gender di Indonesia
            Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa perempuan dan laki – laki berbeda.  Namun, gender bukanlah jenis kelamin laki – laki dan perempuan sebagai pemberian Tuhan. Gender lebih ditekankan pada perbedaan peranan dan fungsi yang ada dan dibuat oleh masyarakat. Oleh karena itu, gender penting di pahami dan dianalisa untuk melihat apakah perbedaan tersebut menimbulkan diskriminasi dalam artian perbedaan yang membawa kerugian dan penderitaan terhadap pihak perempuan.
            Sebenarnya, kita telah mempunyai basis legal yang menjamin hak  - hak dan kesempatan bagi laki – laki dan perempuan. Hal tersebut terlihat dari Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang di buat oleh PBB pada tahun 1993. Namun, deklarasi tersebut tidak begitu dikenal oleh masyarakat di Indonesia, sehingga jarang di buat sebagai acuan dalam kegiatan penyelesaian masalah yang berbasis gender (Sunanti Zalbawi, 2004).
            Di Indonesia, isu kesetaraan gender akhir – akhir ini menjadi isu yang tidak ada habisnya dan masih berusaha terus di perjuangkan baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh Imam Prasodjo dalam Kompas 29 Juli 2010, menyatakan bahwa permasalahan perspektif gender yang paling substantif juga terlihat di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Permasalahan tersebut mencakup substantif pemahaman tentang kebijakan berspektif gender itu sendiri. Peningkatan kesadaran dan pemahaman itu, harus dibarengi dengan adanya keterwakilan perempuan – perempuan dalam lembaga – lembaga negara, terutama lembaga pembuat kebijakan. Mengingat perempuan masih saja mengalami ketimpangan di bidang pendidikan, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena perkembangan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gender itu sendiri masih sangat lambat.
a. Konsep gender dalam kehidupan masyarakat Indonesia
            Posisi perempuan dalam keluarga pada umumnya dan di masyarakat Indonesia pada khususnya, masihlah berada di bawah laki – laki. Seperti kasus istri yang bekerja di luar rumah harus mendapat persetujuan dari suami, namun pada umumnya meskipun istri bekerja, haruslah tidak boleh memiliki  penghasilan dan posisi lebih tinggi dari suaminya. Meskipun perempuan sudah bekerja di luar rumah, mereka juga harus memperhitungkan segala kegiatan yang ada di rumah, mulai dari memasak hingga mengurus anak.
Lingkungan pendidikan
            Di bidang pendidikan, perempuan menjadi pilihan terakhir untuk mendapatkan akses. Oleh karena itu, tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia juga masih didominasi oleh kaum perempuan (kompas, 29 Juli 2010).
Lingkungan pekerjaan
            Perempuan yang memiliki akses pendidikan yang tinggi pada umumnya bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. namun, pemilihan pekerjaan tersebut masih berbasis gender. Perempuan dianggap kaum yang lemah, pasif dan dependen. Pekerjaan seputar bidang pelayanan jasa seperti bidang administrasi, perawat, atau pelayan toko dan pekerjaan dengan sedikit ketrampilan seperti pegawai administrasi dan hanya sedikit saja yang menduduki jabatan manajer atau pengambil keputusan (Abbott dan Sapsford, 1987).
b. Gender dan kesehatan di Indonesia
            GBHN membuat permasalahan gender semakin pelik, dalam penjabarannya intinya menyebutkan bahwa perempuan indonesia berfungsi sebagai istri pengatur rumah tangga, sebagai tenaga kerja di segala bidang dan sebagai pendidik pada bagi anak – anaknya. Konsep tersebut semakin membingungkan perempuan di Indonesia untuk memilih antara terjun dalam kegiatan di luar rumah dan menjadi istri sertai bu yang baik (Retno Suhapti, 1995).
            Konsep ini sangat berat bagi perempuan, dikarenakan proporsional beban tersebut mampu membuat perempuan retan akan stress. Selain itu, permasalahan ada pada keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Contohnya pada kasus ibu hamil yang menunggu keputusan suaminya untuk pergi berobat ke dokter. Pada akhirnya, ibu hamil terlambat mendapatkan penanganan yang dapat berakibat fatal bagi kesehatan janin dan ibu itu sendiri. Hal tersebut nampak permasalah gender di Indonesia mengakar sejak dahulu yang diawali dengan kebijakan pemerintah yang berlaku saat itu.
            Berdasarkan permasalahan yang terjadi, sudah waktunya perempuan dan laki – laki di Indonesia sama – sama berfungsi sebagai pengatur rumaha tangga pada khususnya dan pengatur beberapa kebijakan negara pada umumnya. Dengan tercapainya kondisi ini, dapat terjalin dengan harmonis bagi perempuan dan laki – laki di Indonesia. Perempuan juga harus mendapatkan kesempatan yang sama memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki laki di masyarakat.
            Untuk mewujudkan kondisi ini, mau tidak mau, kaum perempuan Indonesia harus sadar bahwa selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender yang membuat membedakan peran antara perempuan dan laki – laki di Indonesia, menghambat kesempatan mereka. Kesadaran perempuan lah yang sangat di butuhkan untuk dapat meningkatkan kondisinya sendiri di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dll. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep gender.
         
Hak Asasi Perempuan
            Pembicaraan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia sebetulnya bukan hal yang relatif baru. Meskipun demikian, hak asasi perempuan yang sudah mulai terangkat dari beberapa waktu sebelumnya,  kelihatannya semakin menguat dari waktu-ke waktu. Seseorang yang menjadi korban tidak lagi hanya akan cukup menerima bahwa ia memiliki hak, namun ia akan mulai mencari dimana letak jaminan akan hak tersebut dan bagaimana caranya agar hak tersebut  dapat diperoleh.  Tentu saja proses ini bukan proses yang sekali jalan, melainkan mensyaratkan hal-hal tertentu. Yang sangat mendasar bagi upaya untuk memperoleh hak adalah pengetahuan dasar tentang hak tersebut dan jaminannya ada dimana. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara yang antara lain melalui bacaan, berdiskusi secara intens, dan olahan pengalaman. Tulisan ini memberikan informasi dasar tentang hak perempuan, instrumen-instrumen yang mencantumkannya dan secara khusus membahas Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
            Hak Asasi Perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak  tersebut. Dalam konteks Indonesia misalnya, pengaturan hak asasi manusia kaum perempuan dapat  ditemui di dalam UUD 1945, KUHPidana, KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan HAM dan berbagai peraturan lainnya (terlampir). Penegakannya dilakukan oleh institusi negara dan para penegak hukum. Salah satu sumber utama adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. UU tersebut secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

            Para pejuang hak-hak perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik bahwa hukum dan sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir dan dalam dunia laki-laki yang lebih memperhatikan dan kemudian menguntungkan laki-laki dan melegitimasi situasi yang tidak menguntungkan perempuan.
            Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama, pendikotomian antara wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak asasi manusia sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga, pendekatan ‘kesamaan’ (sameness) dan ‘perbedaan’ (differences) yang dipakai oleh beberapa instrumen pokok hak asasi manusia; keempat, pemilahan dan prioritas hak sipil dan politik, ketimbang hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak asasi manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional lebih menekankan pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik sementara wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak privasi seseorang.
            Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan prioritas perlindungan hak pada wilayah publik sangat dilematis dalam konteks penegakan hak asasi manusia terhadap manusia yang berjenis kelamin perempuan. Sebab, dalam banyak pengalaman perempuan, wilayah domestik dan privat ini malah menjadi arena di mana kekerasan dan diskriminasi berlangsung sangat serius dan massif. Namun, situasi kekerasan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hanya dikategorikan sebagai perlakuan kriminal semata. Konsepsi pemilahan publik dan domestik pun berjalin dengan pandangan bahwa pelaku pelanggaran hak asasi manusia adalah negara (state actor) yang kemudian meminggirkan berbagai pengalaman perempuan.
            Dalam kasus “penyiksaan” (torture), misalnya, pendekatan hak asasi manusia konvensional hanya akan melihat kasus penyiksaan sebagai pelanggaran hak asasi manusia jika dilakukan oleh aparat negara dan terjadi di wilayah publik. Hal ini mengabaikan situasi yang sering dialami oleh perempuan korban kekerasan rumah tangga (yang mengalami penyiksaan), di mana kekerasan yang dilakukan oleh aktor negara dan kekerasan berlanjut karena aktor negara tidak segera bertindak terhadap pelakunya. Di samping itu, beberapa instrumen pokok memang telah meletakkan prinsip prinsip non-diskriminasi khususnya atas dasar jenis kelamin. Pendekatan yang dipakai dalam prinsip non-diskriminasi tersebut adalah “setiap orang adalah sama” khususnya di mata hukum, sehingga orang harus “diperlakukan sama” (sameness).
            Perlakuan berbeda dan perlindungan khusus hanya diberikan kepada perempuan yang menjalankan fungsi reproduksinya seperti melahirkan dan menyusui, karena asumsinya perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya pada perbedaan biologis (difference). Pendekatan ini dipandang tidak melihat akar masalah perempuan di mana kekerasan dan diskriminasi itu akibat dari relasi kekuasaan yang timpang dan telah berjalan sejak lama. Akibanya perempuan selalu berada pada posisi yang tidak beruntung (disadvantages) di hampir seluruh aspek kehidupan yang tidak mudah dikembalikan kepada posisi yang lebih baik jika tidak ada perlakuan dan perlindungan khusus. Perlakuan dan perlindungan khusus hanya pada perempuan yang sebagai “ibu” menjalankan peran domestik saja.
            Sementara perempuan yang tidak menjadi “ibu” dan banyak perempuan yang tidak pula berperan sebagai “ibu” berada pada posisi yang lemah dan tidak beruntung karena relasi timpang dan dampak dari ketertindasan tidak dijamin perlindungannya, diperlakukan sama dengan pihak (laki-laki) yang memiliki situasi yang lebih beruntung. Perlakuan sama menyebabkan situasi yang lebih senjang untuk tujuan atau hasil pencapaian keadilan. Perlakuan yang sama tidak akan menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan untuk tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau menghilangkan hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap pendidikan atau akses lainnya.         
            Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus memilah-milah hak sipil dan politik dan meninggalkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Penekanan tentang hak hidup, misalnya, banyak dilakukan terkait dengan hak untuk bebas dari hukuman mati. Tidak untuk menyatakan bahwa hak itu tidak penting, namun pemilihan wilayah yang diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang terkait dengan hak hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan setara. Misalnya, banyak perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat layanan dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran yang mati akibat perlakuan sewenang-wenang majikan dan tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka, bukan jadi area yang dianggap penting dalam konteks hak hidup.
            Padahal peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat dekat dengan keseharian hidup perempuan. Berbagai kritik dan advokasi yang dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi manusia dari perspektif pengalaman perempuan berdampak pada adanya perkembangan pemikiran baru tentang konsep hak asasi manusia. 45Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak asasi manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979.
            Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada. Konvensi meletakkan pula strategi/langkah-langkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan.

Penutup
            Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang melekat pada martabat manusia sejak lahir, sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya tidak bisa diganggu oleh siapapun seperti hak untuk hidup. Kita memiliki hak asasi manusia tetapi kita tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain.


Daftar Pustaka
“ Permasalahan HAM di Indonesia” Diakses tanggal 3 january 2013
http://aslinandya.blogspot.com/2011/05/permasalahan-ham-di-indonesia.html
“Hak Asasi Perempuan di Indonesia” Diakses tanggal 5 january 2013
http://www.elsam.or.id/?act=view&id=270&cat=c/603&lang=in  
“Perbedaan dan Isu Perbedaan Gender” Diakses tanggal 8 january 2013
http://www.psikologizone.com/keterbatasan-pekerjaan-dan-isu-perbedaan-gender/06511278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar