Jumat, 07 November 2014

Kepastian Hak-Hak Bagi Pekerja atau Buruh Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Dalam artikel ini saya meneliti bagaimana hak-hak dari pekerja/buruh outsourcing sudah terpenuhi atau tidak di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Banyak pekerja/buruh outsourcing yang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja/buruh. Sehingga artikel ini bertujuan untuk memberikan pandangan bahwa perlu mencantumkan hak-hak pekerja/buruh outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam praktek kerja outsourcing selama ini, banyak terjadi pelanggaran akan hak-hak dari pekerja/buruh outsourcing. Dengan alasan menekan pengeluaran produksi dalam mengupah sumber daya manusia, banyak perusahaan menggunakan jasa pekerja/buruh outsourcing. Akibatnya, ada perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing tanpa menggunakan surat perjanjian kerja. Tanpa melalui perjanjian kerja, pekerja/buruh outsourcing sewaktu-waktu dapat di PHK (Putus Hubungan Kerja) tanpa sebuah alasan yang sangat jelas dan tanpa uang pesangon karena statusnya yang merupakan pekerja/buruh outsourcing tanpa perjanjian kerja. Selain permasalah mudahnya pekerja/buruh outsourcing di PHK, banyak perusahaan yang membayar pekerja/buruh outsourcing dibawah upah pekerja/buruh tetap dengan kegiatan dan waktu kerja yang sama. Sehingga dapat dikatakan upah pekerja/buruh outsourcing dibawah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada beberapa perusahaan yang bahkan melarang pekerja/buruh outsourcing ikut dalam keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh.  Dengan tidak masuknya pekerja/buruh outsourcing ke dalam serikat pekerja/serikat buruh, maka mereka tidak akan dapat memperjuangkan hak-hak mereka yang seharusnya. Untuk mengatasi permasalahan itu, ada serikat pekerja/serikat buruh yang mengajukan pengujian UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh outsourcing. Namun, pemerintahlah yang seharusnya mulai mengkaji ulang sistem outsourcing agar dapat melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Dan membuat sebuah kebijakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh di Indonesia.
Kata Kunci: pekerja/buruh, outsourcing, UU Ketenagakerjaan
Pendahuluan
            Buruh atau tenaga kerja merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam sebuag perusahaan. Dalam sebuah sistem produksi terdapat buruh yang menjalankan alat-alat produksi. Buruh atau pekerja digunakan untuk menghasilkan barang produksi dengan memanfaatkan tenaga mereka. Dan tenaga buruh atau pekerja itu diganti dengan upah atas pekerjaan mereka.
Dengan semakin meluasnya arus globalisasi, maka akan berdampak semakin berkembangnya perekonomian suatu negara. Dengan semakin berkembanganya perekonomian sehingga diperlukan pembentukan kebijakan-kebijakan yang dapat mengakomodir semua perkembangan perekonomian. Serta dapat memberikan pengaturan dan pengawasan dalam roda perekonomian. Salah satu kebijakan yang diambil adalah masalah ketenagakerjaan dalam sistem perekonomian.
Sistem ketenagakerjaan setiap negara tentu berbeda-beda sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh negara tersebut. Sistem ketenagakerjaan dibentuk oleh negara agar proses produksi berjalan dengan lancar. Dengan sistem ketenagakerjaan yang dibentuk akan mengatur kondisi dan keadaan pekerja/buruh dengan baik sehingga menjamin kelangsungan proses produksi dan sistem perekonomian nasional serta dapat menjamin kesejahteraan dari pekerja/buruh. 
Sistem ketenagakerjaan di Indonesia, menerapkan sistem outsourcing. Outsourcing merupakan sistem ketenagakerjaan dimana pekerja/buruh dikontrak atau disewa oleh suatu perusahaan dengan jangka waktu tertentu. Dalam konteks Indonesia, hal ini bukan merupakan hal baru. Sistem outsourcing sudah ada sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Dan kian diperkuat sejak awal krisis finansial yang melanda Asia Tenggara dan Asia Timur pada tahun 1997, serta dilegalkan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997.
            Sistem kerja outsourcing muncul karena merupakan perwujudan dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF (International Monetery Fund), World Bank, dan ILO (International Labour Organitation),[1] sebagai syarat pemberian bantuan untuk menangani krisis moneter pada tahun 1997. Kesepakatan dengan IMF tersebut menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 untuk memberlakukan Pasar Kerja Fleksibel. Salah satu produk perundang-undangan yang mengatur tentang sistem outsourcing setelah diperbaharui adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka berlakulah secara resmi sistem outsourcing dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
            Selama ini sistem outsoucing hanya menguntungkan bagi perusahaan karena dapat menghemat biaya produksi perusahaan. Menghemat biaya karena pekerja/buruh yang dipekerjakan dengan sistem outsourcing dibayar dengan sangat murah dan tidak diberikan tunjangan-tunjangan yang seharusnya didapatkan oleh pekerja/buruh. Dengan alasan menghemat biaya sebenarnya sistem outsoucing digunakan untuk menunjang produksi perusahaan tapi malah digunakan untuk menekan biaya perusahaan dalam produksi.
            Sesungguhnya sistem outsourcing sangatlah merugikan bagi pekerja/buruh. Dalam sistem kerja outsourcing pekerja/buruh tidak mempunyai kepastian kerja, karena mereka sewaktu-waktu dapat diputus kontrak kerjanya. Selain itu juga, buruh yang kerja dengan sistem outsourcing tidak akan bisa masuk kedalam serikat pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan berlakunya sistem ketenagakerjaan outsourcing maka akan terjadi fragmentatif, diskriminatif, dan eksploitatif terhadap pekerja/buruh.
            Dalam penulisan artikel ilmiah ini, metode yang akan digunakan adalah deskriptif-eksplanatif dengan mengumpulkan data melalui studi pustaka. Artikel ilmiah ini dibuat dengan tujuan untuk memperjelas status buruh yang seharusnya dan memberikan kepastian kerja pada pekerja/buruh, memberikan hak-hak yang semestinya kepada pekerja/buruh, serta meninjau kembali sistem ketenagakerjaan outsourcing yang diberlakukan oleh Indonesia. Sehingga sistem ketenagakerjaan yang di pakai Indonesia dapat mensejahterakan pekerja atau buruh.
Pekerja/Buruh di Indonesia
1.      Pengertian Buruh
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, buruh diartikan sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[2] Setiap pekerjaan yang dikerjakan oleh buruh akan mendapatkan imbalan atau upah sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Buruh mendapatkan upah setelah bekerja merupakan hak asasinya.
Buruh merupakan pekerjaan yang menjadi mayoritas pekerjaan masyarakat kelas bawah di Indonesia. Mayarakat kelas bawah tidak mempunyai pilihan lain dengan bekerja menjadi buruh karena mereka tidak mempunyai kecakapan khusus dan berpendidikan rendah. Bahkan ada daerah yang khusus memasok buruh-buruh untuk bekerja di perusahaan-perusahaan.
Sebagai masyarakat yang berpendidikan rendah, meraka tidak mempunyai pilihan lain untuk bekerja selain menjadi buruh. Bagi mereka menjadi buruh sudah sesuatu yang lebih baik daripada mereka menganggur. Setidaknya dengan menjadi buruh mereka dapat memberikan nafkah yang cukup layak bagi keluarganya. Di Indonesia buruh dapat bibedakan menjadi beberapa macam sesuai dengan pekerjaan dan upah yang diberikan. Macam-macam buruh tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:
a.  Buruh Harian adalah buruh yang mendapatkan upah pada saat pekerjaan selesai pada setiap harinya.
b.  Buruh Kasar adalah buruh atau pekerja hanya menggunakan tenaga fisik yang kuat karena tidak mempunyai kecakapan khusus yang lain selain tenaganya.
c.  Buruh Musiman adalah buruh yang hanya mendapatkan pekerjaan pada musim-musim tertentu.
d.  Buruh Pabrik adalah buruh atau pekerja yang bekerja di pabrik.
e.  Buruh Tambang adalah buruh atau pekerja yang bekerja di pertambangan.
f.    Buruh Tani adalah buruh atau pekerja yang bekerja di pertanian.
g.  Buruh Terlatih adalah buruh atau pekerja yang dilatih untuk keterampilan kerja tertentu.
2.      Sejarah Buruh di Indonesia
Sejarah perburuhan di Indonesia melalui berbagai masa, mulai dari masa penjajahan sampai masa kemerdekaan. Perburuhan sudah ada di Indonesia dari dahulu. Masyarakat Indonesia sudah menawarkan tenaganya kepada orang lain untuk mencari makan. Mulai dari menjadi buruh tanam sampai menjadi pembantu rumah tangga pada sodagar-sodagar kaya pada masanya.
Masa yang paling kelam dalam sejarah perburuhan di Indonesia terjadi pada masa penjajahan. Pada masa penjajahan bahkan buruh bisa dibilang menjadi budak. Para buruh atau budak (masa penjajahan) bekerja pada penjajah tanpa mendapatkan imbalan sedikitpun. Para buruh harus bekerja tanpa mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja dan hanya mempunyai kewajiban untuk bekerja sesuai dengan yang diperintahakan oleh tuannya.
Perbudakan terjadi karena beberapa faktor. Perbudakan terjadi karena para raja, bangsawan, penjajah dan para penguasa ekonomi membutuhkan orang-orang yang bisa bekerja untuk mereka. Selain kebutuhan dari para penguasa, perbudakan juga terjadi karena pendidikan masyarakat yang rendah pada waktu itu. Yang paling utama terjadi perbudakan karena kemiskinan yang melanda masyarakat pada masa itu.
Sebelum masa penjajahan, banyak orang yang menghambakan diri kepada raja atau bangsawan. Menghambakan diri berbeda dengan perbudakan. Perbudakan terjadi atas dasar pemaksaan sedangkan penghambaan terjadi karena keinginan dari orang tersebut. Penghambaan bisa terjadi karena faktor utang. Sehingga orang yang mempunyai utang membayar utangnya dengan menghambakan diri kepada orang yang memberikan utang.
Pada masa kerajaan dan penjajahan, perbudakan dan penghambaan memang banyak terjadi di Indonesia. Perbudakan dan penghambaan terjadi karena faktor keterpaksaan, kebodohan dan kemiskinan. Namun seiring merdekanya bangsa Indonesia, tidak serta merta perbudakan atau penghambaan itu hilang. Perbudakan dan penghambaan diganti dengan istilah pekerja/buruh yang mengabdi kepada seseorang.
Dengan berkembangnya teknologi dan informasi buruh bukan hanya sebagai orang yang bekerja lalu mendapatkan upah, mereka juga mempunyai hak-hak yang harus mereka dapatkan. Dalam masa pasca kemerdekaan, khususnya setelah reformasi, pekerja/buruh semakin giat memperjuangkan hak-hak mereka. Para buruh menuntut agar kerja keras mereka dibalas dengan harga yang setimpal.
Tuntutan pekerja/buruh bukan tanpa dasar. Hak-hak pekerja/buruh sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang, namun dalam prakteknya undang-undang tidak dijalankan semana mestinya. Para pekerja/buruh berhimpun atau berkumpul dalam serikat pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Dengan berakhirnya masa orde baru, berakhir pula serikat tunggal yang dikuasai oleh satu serikat yaitu Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Dan berdasarkan keputusan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pendaftaran Serikat Buruh, maka banyak buruh yang membentuk serikat tersendiri. Para buruh membentuk serikat dengan buruh lain yang senasib dan satu pekerjaan.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid kebebasan berserikat bagi buruh di kukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Sejak itu, Serikat Pekerja atau Serikat Buruh tumbuh semakin banyak. Data terakhir pada bulan Juni tahun 2007, ada 3 konfederasi yaitu Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta 86 federasi dan belasan ribu Serikat Buruh/Serikat Pekerja tingkat pabrik.
Munculnya banyak serikat pekerja/serikat buruh bukan hanya karena diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 namun karena kurangnya keterampilan berorganisasi di kalangan buruh/pekerja sehingga menimbulkan perpecahan. Seringkali serikat buruh atau serikat pekerja yang memisahkan diri karena perbedaan pandangan atau perbedaan tujuan dalam menjalankan organisasi. Banyak serikat buruh atau serikat pekerja baru yang pecah dan menambahkan kata “reformasi” atau “baru” pada nama organisasi yang lama menunjukan rentannya perpecahan dalam organisasi buruh.
Mengaca pada serikat buruh atau serikat pekerja yang ada pada masa orde baru, serikat-serikat buruh/pekerja yang ada pada saat ini dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok serikat besar. Pertama, kelompok Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Kedua, kelompok eks-Serikat Pekerja Seruluh Indonesia (eks-SPSI). Ketiga, kelompok non-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (non-SPSI) atau independen. Kelompok buruh yang tergabung dalam organisasi eks-SPSI merupakan kelompok buruh yang memisahkan diri dari organisasi SPSI dan membentuk suatu organisasi yang baru. Sedangkan buruh yang tergabung dalam organisasi non-SPSI merupakan organisasi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan SPSI.
Sebenarnya perpecahan dalam serikat buruh tidak hanya terjadi di tubuh SPSI saja, namun di serikat buruh lainpun terjadi. Perpecahan lebih didasari pada hal-hal yang bersifat praktis dan bukan prinsip. Di Indonesia serikat buruh atau serikat pekerja menganut prinsip unitaris dan tripartisme serta, dapat dikategorikan sebagai economic unionism atau business unionism yang membatasi perjuangan kepentingannya pada kesejahteraan anggota dalam kerangka hubungan kerja.[3]
Dari banyaknya serikat buruh/pekerja akibat dari reformasi dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 maka masalah dan konflik anatarserikat terjadi seiring dengan tumbuhnya serikat buruh. Dengan banyaknya serikat buruh yang dibentuk, banyak pula serikat buruh yang tidak mendaftarkan organisasinya kepada Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Biasanya serikat buruh yang tidak mendaftrakan organisasinya terkonsentrasi pada buruh yang bekerja di sektor padat karya.
Pada dasarnya, budak pada masa penjajahan atau buruh pada masa setelah kemerdekaan merupakan orang yang bekerja untuk mendapatkan upah atas hasil kerjanya. Setiap buruh berhak mendapatkan hak-haknya sebagai buruh atau sebagai manusia. Buruh memperjuankan hak-hak mereka dengan ikut serta dalam keorganisasian yang disebut serikat buruh. Serikat buruh merupakan wadah resmi bagi buruh untuk menuntut hak mereka dan menyampaikan aspirasi mereka.
3.      Politik Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Masa sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi hukum perbudakan. Perbudakan dilakukan oleh berbagai suku yang ada di Indonesia pada waktu itu seperti Sumba, Baree Toraja dan lain-lain. Perbudakan diberlakukan sesuai dengan hukum adat dan tergantung pada tingkat kewibawaan penguasa (raja) yang sedang berkuasa.
Perbudakan terus terjadi sampai masa penjajahan Belanda dan Jepang. Perbudakan pada masa penjajahan Belanda disebut kerja rodi. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, perbudakan disebut romusya. Dua jenis perbudakan itu, sama-sama memaksa rakyat Indonesia bekerja tanpa mendapatkan sebuah imbalan.
Setelah Indonesia merdeka, tidak ada perkembangan yang berarti mengenai ketenagakerjaan. Karena pada masa itu Indonesia lebih fokus untuk mempertahankan kemerdekaan. Pemerintahan pada waktu itu, produk hukum yang dihasilkan  hanya menterjemahkan peraturan-peraturan peninggalan Hindia Belanda.
Pada masa pemerintahan Soeharto, sistem ketenagakerjaan Indonesia mulai mengalami perbaikan seiring dengan dicanangkannya pembangunan ekonomi. Pemerintah mulai mengirim TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri. Namun sayangnya kedudukan pekerja/buruh semakin melemah. Hak-hak pekerja/buruh tidak diberikan secara penuh.
Setelah pemerintahan Soeharto turun dan orde baru runtuh, Presiden silih berganti beserta dengan kebijakan ketenagakerjaannya. Peraturan perudang-undangan diperbaharui demi terciptanya sistem ketenagakerjaan yang baik. Peraturan perundang-undangan baru dibuat untuk menjamin hak-hak dari pekerja/buruh.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dengan dikeluarkannya UU tersebut banyak serikat pekerja/serikat buruh yang dibentuk. Namun karena pemehaman demokrasi yang belum matang, sehingga jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang banyak membuat hubungan industrial di Indonesia memburuk.
Presiden Megawati Soekarnoputri pada masa pemerintahannya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sampai sekarang masih berlaku. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari peraturan serta undang-undang sebelumnya. Setelah berlakunya undang-undang ini peraturan serta undang-undang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada masa pemerintahan sekarang yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terjadi sedikit peningkatan dalam hal ketenagakerjaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengupayakan kesejahteraan pekerja/buruh. Namun sebenarnya masih belum dirasakan secara sepenuhnya oleh para pekerja/buruh.
Sistem Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Dalam menjalankan sebuah perekonomian negara dimana menyangkut tenaga kerja, maka pemerintahan suatu negara harus menerapkan sebuah sistem yang dapat mengatur jalannya roda ketenagakerjaan. Maka di pandang sangat perlu tersusunnya sistem ketenagakerjaan dalam tujuan pembangunan ketenagakerjaaan sebagai bagian dari integral pembangunan nasional. Sistem ketenagakerjaan haruslah diatur dalam sebuah peraturan resmi oleh pemerintah sehingga dapat terwujudnya sistem ketenagakerjaan yang baik dan sempurna.
Tentunya, sistem ketenagakerjaan haruslah tersusun sebaik mungkin dengan memperhatikan hak-hak dan melindungi para pekerja/buruh serta dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha. Dengan kondusifnya dunia usaha maka akan semakin banyak menyerap tenaga kerja dan banyak membuka lapangan pekerjaan. Semakin banyak lapangan pekerjaan maka akan semakin banyak tenaga kerja yang terserap sehingga terciptanya kesejahteraan bagi semua pihak.
Sudah tentu, Indonesia mempunyai sebuah sistem ketenagakerjaan untuk mengatur tenaga kerja yang berada di Indonesia. Sistem ketenagakerjaan yang dianut oleh Indonesia adalah sistem outsourcing atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut dengan alih daya. Kebijakan sistem outsourcing ini diatur dalam sebuah produk hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diresmikan pada tanggal 25 Maret 2003 di Jakarta oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Undang-undang ini sebagai penyempurnaan dari undang-undang serta peraturan pemerintah yang ada sebelumnya tentang ketenagakerjaan.
Sistem outsourcing sebenarnya telah ada pada zaman Yunani dan Romawi. Pada saat itu, sistem outsourcing yang diberlakukan oleh pemerintah Yunani dan Romawi bukanlah menyewa pekerja atau buruh namun menyewa tentara asing untuk bekerja pada mereka. Seiring dengan perkembangan zaman, outsourcing mulai diterapkan di dunia usaha. Para pengusaha mulai bersaing bukan hanya saja dengan menghasilkan produk yang berkualitas, namun juga bagaimana menekan biaya produksi serendah mungkin.
Dengan tingkat persaingan yang tinggi dan akibat dari pasar global, praktek outsourcing didorong oleh salah satu butir dari sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus[4] yang mengidentifikasikan bahwa sebuah tenaga kerja dalam dunia usaha haruslah bersifat fleksibel sebagai sebuah syarat untuk dunia investasi. Adapun isi dari Washington Consensus adalah sebagai berikut:
1.      Disiplin anggaran pemerintah,
2.      Pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah,
3.      Reformasi pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak,
4.      Tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil,
5.      Nilai tukar yang kompetitif,
6.      Liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif,
7.      Penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung,
8.      Privatisasi BUMN,
9.      Deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar agar lebih kompetitif,
10.  Keamanan legal bagi hak kepemilikan.
Sehingga dari dunia usaha yang fleksibel bahwa bila produksi meningkat maka tenaga kerjapun ikut meningkat, tapi bila produksi menurun maka tenaga kerja juga harus dikurangi demi mengimbangi biaya produksi. Dengan kefleksibelan dalam dunia usaha, maka perusahaan dapat menerapkan outsourcing untuk pengefisiensian produksi. Karena dengan sistem outsourcing perusahaan dapat mengurangi jumlah karyawan outsourcing yang dimilikinya kapanpun.
Outsourcing diterapkan di dunia usaha untuk membagi resiko usaha yang ada kepeda pihak lain. Pada prinsipnya outsourcing merupakan penyerahan kerja kepada pihak lain yang lebih ahli dalam bidang tertentu untuk mengerjakan bidang tertentu. Misal, sebuah perusahaan Wedding Organizer menyerahkan urusan makanan kepada perusahaan Catering, dekorasi pada perusahaan dekorasi dan lain sebagainya.
Perkembangan sistem kerja outsourcing di Indonesia dibagi atas dua zaman. Pertama, masa sebelum kemerdekaan. Pada masa sebelum kemerdekaan sistem kerja outsourcing diberlakukan dalam sistem tanam paksa oleh Deli Planters Vereeniging pada tahun 1879. Pemerintah Belanda pada waktu itu memberlakukan sistem outsourcing untuk menghasilakn jumlah barang yang lebih banyak sehingga menambah devisa untuk negaranya di pasar internasional. Salah satu usaha yang dilakukan Belanda untuk menambah devisanya adalah dengan mendirikan perkebunan di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Kedua, masa setelah kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, sistem kerja outsourcing diberlakukan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1601 b yang menyatakan, “pemborongan suatu pekerjaan adalah kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga.”[5] Sistem kerja outsourcing pada sekarang ini mulai marak diberlakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Bukan hanya perusahaan manufaktur saja yang menerapkan sistem kerja outsourcing namun juga di perusahaan perusahaan seperti hotel, minimarket, restaurant, mall dan lain-lain. Bahkan sekarang ini, sistem kerja outsourcing mulai diterapkan di dunia pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi.
Maka melihat banyaknya perusahaan yang menggunakan tenaga kerja outsourcing maka pemerintah memperbaharui peraturan tentang outsourcing kedalam sebuah undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang tersebut berisi tentang asas, landasan dan tujuan ketenagakerjaan, perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan, pemberian kesempatan yang sama bagi semua pekerja/buruh, pelatihan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja asing, pembinaan hubungan industrial, pembinaan lembaga dan sarana hubungan industrial, perlindungan atas hak-hak dasar buruh/ pekerja, dan pengawasan ketenagakerjaan. Kalau dilihat dari isi undang-undang tersebut bahwa semua peraturan tentang tenaga kerja sudahlah sangat lengkap.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat pasal yang menyatakan sistem outsourcing atau alih daya dalam penggunaan tenaga kerja. Selanjutnya, sistem outsourcing atau alih daya dikuatkan atau dijelaskan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Nomor: Kep.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Nomor: Kep.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Peraturan tersebut memberikan penjabaran atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang masih bersifat umum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi maka outsourcing diperbolehkan di Indonesia. Namun tentunya, setiap kegiatan outsourcing atau alih daya harus memperhatikan dan mematuhi segala peraturan yang ada agar terciptanya dunia usaha yang kondusif. Akan tetapi, dalam perjalanan pelaksanaan outsourcing masih terdapat beberapa masalah yang harus segera di selesaikan. Masalah yang paling mencolok dalam pelaksanaan outsourcing di Indonesia adalah perbedaan penafsiran atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam UU Ketenagakerjaan terdapat tiga pasal yang menyatakan tentang sistem kerja outsourcing yaitu pasal 64, 65 dan 66. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan bahwa suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan lain melalui suatu perjanjian. Selain itu juga, pasal-pasal tersebut menerangkan bahwa pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan lain tidak boleh pekerjaan pokok dari perusahaan pemberi pekerjaan.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa outsourcing diterapkan di Indonesia. Pertama, ketiadaan sumber daya yang mampu mengerjakan suatu produksi. Sebenarnya alasan pertama ini sangatlah riskan bila terjadi. Seharusnya suatu perusahaan menerapkan outsourcing dalam produksinya, dari perusahaan tersebut haruslah mampu mengerjakan produksi pokoknya karena outsourcing hanya berfungsi untuk memenuhi bahan penunjang produksi utama. Perusahaan yang memberlakukan outsourcing haruslah menjadi pengawas atas jalannya produksi yang dilimpahkan kepada perusahaan lain dan bukan malah melimpahkan produksi pokok kepada perusahaan lain.
Kedua, untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Dengan outsourcing diberlakukan di Indonesia akan membantu tumbuhnya iklim investasi. Dengan membaiknya iklim investasi maka dengan sendirinya akan banyak lapangan pekerjaan yang terbentuk dan akan mengurangi pengangguran. Semakin berkurangnya pengangguran maka bisa dibilang kesejahteraan rakyat Indonesia menuju ke yang lebih baik.
Ketiga, merupakan alasan yang paling utama yang digunakan perusahaan yaitu untuk menekan biaya produksi seefisien mungkin. Dengan menerapkan sistem outsourcing  yang mempergunakan pekerja/buruh outsourcing dengan gaji yang tidak sesuai dengan berbagai alasan. Bahkan ada perusahaan yang sengaja membuat perusahaannya seolah-olah bangrut dan memecat semua karyawannya dan mendirikan perusahaan baru dengan menerapkan sistem outsourcing.  
Hubungan Sistem Outsourcing dengan Hak-hak Pekerja atau Buruh
Sistem kerja outsourcing sudah menjadi sebuah gejala global, hampir semua negara di dunia menggunakan sistem kerja outsourcing. Indonesia sebagai salah satu dari negara-negara yang menerapkan sistem outsourcing, memiliki jumlah pekerja/buruh outsourcing sebanyak 16 juta jiwa dari 41 juta angkatan kerja formal atau sekitar 40%. Banyaknya pekerja/buruh outsourcing di Indonesia menimbulkan kontrofersi di antara kalangan pengusaha dan pekerja/buruh. Dikalangan pengusaha, sistem outsourcing sangatlah mengutungkan dalam hal produksi usahanya. Sedangkan, bagi pekerja/buruh justru outsourcing sangatlah merugikan bagi mereka karena terampasnya hak-hak mereka.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan praktek kerja outsourcing. Masalah yang muncul antara lain seperti, perusahaan menyewa pekerja outsourcing untuk bekerja di pekerjaan inti atau produksi utama perusahaan padahal pekerja outsourcing hanya boleh dipekerjakan kegiatan produksi tambahan yang menunjang produksi utama. Masalah yang paling berat adalah tidak adanya perjanjian antara perusahaan yang menjadi pengguna pekerja/buruh outsourcing dengan perusahaan penyedia pekerja. Dengan tidak adanya surat perjanjian akan menyebabkan hilangnya hak-hak dari pekerja/buruh karena tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menuntut haknya.
Masalah mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing pada pekerjaan inti sangatlah melanggar Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 66 yang menyatakan bahwa pekerja/buruh outsourcing tidak boleh dipekerjakan dalam kegiatan produksi utama dan hanya boleh dipekerjakan pada produksi penunjang saja. Sebenarnya, pekrja/buruh outsourcing hanya boleh dipekerjakan dalam jenis pekerjaan perifer seperti tenaga pembersih, keamanan, mengemudi, catering, dan pekerjaan penunjang pertambangan. Namun, pada prakteknya pekerja/buruh outsourcing dipekerjakan pada pekerjaan inti dari perusahaan.
Pada pelanggaran praktek kerja outsourcing dengan mempekerjakan pekerja/buruh tanpa perjanjian merupakan sebuah pelanggaran terhadap pasal 64 dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa sebuah pemborongan kerja haruslah melalui sebuah perjanjian tertulis. Apabila tanpa perjanjian tertulis tentu akan menimbulkan dampak negatif bagi pekerja/buruh outsourcing yang dipekerjakan di perusahaan tersebut. Dampak negatif itu, berupa hilangnya hak-hak dasar pekerja/buruh.
Dari masalah penggunaan pekerja/buruh outsourcing pada pekerjaan inti dari perusahaan akan menimbulkan permasalahan baru di antara pekerta/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing. Akan timbul diskriminasi diantara pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing. Walaupun kedua jenis pekerja/buruh tersebut bekerja di pekerjaan inti yang sama dari perusahaan, namun perlakuan dari perusahaan terhadap pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing sangatlah berbeda jauh. Pekerja/buruh tetap akan mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai seorang pekerja, sedangkan pekerja/buruh outsourcing sebagian hak-hak dasarnya tidak dipenuhi oleh perusahaan.
Pembedaan hak-hak dasar antara pekerja/buruh tetap dengan outsourcing seperti diskriminasi upah dan diskriminasi berserikat. Upah yang merupakan hak dari seorang pekerja/buruh terjadi perbedaan walaupun melakukan pekerjaan yang sama. Seorang pekerja/buruh outsourcing terkadang tidak diperbolehkan ikut serta dalam seuatu serikat pekerja atau serikat buruh. Perbedaan tadi, menimbulkan perdebatan dikalangan pekerja/buruh. Para pekerja/buruh menuntut untuk diperlakukan sama.
Dalam hal pembayaran upah pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing dengan pekerjaan yang sama dan jam kerja yang sama terjadi perbedaan upah dari dua kelompok pekerja itu. Pekerja/buruh outsourcing upahnya lebih rendah dari pekerja/buruh tetap. Dari komponen upah berupa premi hadir, premi masa kerja, tunjangan jabatan, uang makan, tunjangan keluarga, tunjangan transfort, tunjangan shift dan tunjangan perumahan terjadi perbedaan pembayaran. Pekerja/buruh outsourcing hanya mendapatkan sebagian dari komponen upah tergantung dari kebijakan perusahaan yang mempekerjakannya.
Upah pekerja/buruh outsourcing lebih rendah dari upah pekerja/buruh tetap, maka secara otomatis upah pekerja/buruh outsourcing dibawah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah pada setiap tahunnya. Sementara itu, tujuan dari penetapan upah minimum oleh pemerintah salah satunya untuk menghindari kemungkinan eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan yang memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi keuntungannya. Pada kenyataannya tujuan untuk menghindari eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan justru dengan sistem outsourcing terjadi eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan. Pekerja/buruh dieksploitasi oleh perusahaan dengan pembayaran upah dibawah upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Selain diskriminasi upah, pekerja/buruh outsourcing juga mendapatkan diskriminasi dalam hal keikutsertaan dalam serikat pekerja/serikat buruh. Seorang pekerja/buruh outsourcing terkadang tidak diperbolehkan oleh perusahaannya untuk ikut masuk kedalam suatu serikat pekerja/serikat buruh. Dengan tidak masuknya pekerja/buruh ke dalam serikat pekerja/serikat buruh, mereka akan kehilangan sebuah wadah untuk mengasfirasikan dan menuntut hak.
Permasalahan yang paling krusial adalah pekerja/buruh outsourcing yang bekerja tanpa kontrak kerja. Tanpa adanya kontrak kerja, pekerja/buruh sewaktu-waktu dapat diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan. Pemutusan hubungan kerja yang awalnya tidak ada perjanjian kontrak kerja, akan merugikan pihak pekerja/buruh yang di PHK. Pekerja/buruh tidak akan mendapatkan haknya sebagai pekerja yang di PHK karena bekerja tanpa kontrak kerja.
Untuk mengatasi permasalah yang terjadi akibat sistem kerja outsourcing, Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML) mengadukan perlanggaran hak konstitusional yang terjadi di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kepada Mahkamah Konstitusi. Menanggapi laporan tersebut, Mahkamah Konstitusi mengadakan sidang dan menghasilkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan pasal 65 ayat 7 dan 66 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa  pekerja/buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsorcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi.
Untuk melindungi hak-hak dari pekerja/buruh, Mahkamah Konstitusi mengusulkan dua buah model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Walaupun telah dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, berisi keputusan untuk menghilangkan beberapa frasa dalam pasal 65 ayat 7 dan 66 ayat 2 huruf b dalam UU Ketenagakerjaan yang berentangan dengan UUD 1945. Dalam keputusan tersebut menghilangkan berapa frasa yang bersangkutan dengan kerja outsourcing. Walaupun Mahkamah Konstirusi telah memutuskan dengan menghilangkan beberapa frasa tentang outsourcing, namun tidak begitu banyak berpengaruh terhadap hak-hak pekerja/buruh outsourcing yang selama ini telah dirampas. Pemerintah seharusnya memperbaharui sistem ketenagakerjaan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan sistem yang lebih baik, dengan lebih memperhatikan hak-hak dari seorang pekerja/buruh.
Sebuah sistem ketenagakerjaan yang berlaku tidak boleh melanggar konstitusi. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 4 yang berbunyi Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sangatlah jelas bahwa sistem ekonomi Indonesia yang didalamnya ada sebuah sistem ketenagakerjaan haruslah berdasarkan kebersamaan dan berkeadilan. Namun dalam sistem outsourcing justru sebaliknya, banyak pekerja/buruh merasa diperlakukan tidak adil.
Pemerintah yang dalam hal Ketenagakerjaan mempunyai hak untuk menentukan sebuah kebijakan haruslah memperhatikan pekerja/buruh dan bukan hanya memperhatikan pihak pengusaha saja. Kebijakan yang diambil haruslah menguntungkan kedua belah pihak. Segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus mensejahterakan semua orang yang terkait dengan kebijakan tersebut.
Kesimpulan
Dalam sebuah produksi dibutuhkan pekerja/buruh untuk melaksankan produksi tersebut. Pekerja/buruh merupakan orang yang dipekerjakan untuk melakukan suatu produksi dengan upah sebagai imbalannya. Untuk mengatur pekerja/buruh dibutuhkan sebuah sistem ketenagakerjaan yang dapat mengatur jalannya sistem ekonomi dan industri serta melindungi hak-hak pekerja/buruh.
Indonesia sebagai negara berkembang menerapkan sistem kerja outsourcing yang merupakan perwujudan dari kebijakan Pasar Kerja Fleksibel yang dimintakan kepada pemerintah Indonesia oleh IMF (International Monetery Fund), World Bank, dan ILO (International Labour Organitation) sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan bantuan. Kemudian kebijakan tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur sistem ketenagakerjaan nasional. Dalam UU tersebut mengatur semua hubungan ketenagakerjaan antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh.
Dalam perjalanan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat beberapa masalah. Masalah yang timbul seperti pembayaran upah pekerja/buruh outsourcing yang lebih rendah dari upah minimum, tidak diberikannya jaminan kerja oleh perusahaan pemakai jasa pekerja/buruh outsourcing, dan perusahaan yang sengaja pelanggar undang-undang dengan mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing tanpa perjanjian kerja. Masalah tersebut timbul akibat dari keinginan perusahaan untuk mengemat pengeluaran produksi perusahannya.
Untuk mengatsai permasalahan tersebut telah dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Putusan tersebut menyatakan bahwa pasal 65 ayat 7 dan 66 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Serta memberikan dua model dalam sistem outsourcing untuk melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.
Tidaklah cukup kalau hanya dengan dua model yang disarankan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melindungi hak-hak dari pekerja/buruh. Pemerintah sebagai lembaga resmi yang mengatur sistem ketenagakerjaan haruslah membuat suatu kebijakan yang dapat melindungi hak-hak pekerja/buruh, baik pekerja/buruh tetap dan pekerja/buruh outsourcing. Pemerintah haruslah lebih ketat dalam pengawasan perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh outsourcing.

Daftar Pustaka
Tjandraningsih, Indrasari, dan Rina Herawati, dan Suhadmadi. Diskriminatif dan Eksploitatif Praktek Kerja Kontrak dan Outsourcing di Sektor Industri Metal di Indonesia. Bandung: AKATIGA-FSPMI-FS, 2010.
Simanjuntak, Payaman J. Manajemen Hubungan Industrial. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2011.
Djumialdji, F.X. Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
The Chicago Manual of Style Sexteenth Edition. Chicago: The Universitas of Chicago Press, 2010.
Mohamad Faiz, Pan. ”OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN: (Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).” Jurnalhukum.blogspot.com. May 20, 2007. http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing-dan-tenaga-kerja.html.
Wijayanti, Asri. “Hukum Ketenagakejaan Pasca Reformasi.” Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Sutedi, Adrian. “Hukum Perburuhan.” Jakarta: Sinara Grafika, 2009.
Maulana, Prawira. “Inilah Putusan MK Soal Penghapusan ‘Outsourcing’!.” Kompas.com. 21 Januari 2012. http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing.
“Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi.” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur. Diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.
Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia.” Serikat Pekerja Perkebunan. Diakses 25 Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011



[1] International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur jalannya sistem finansial global dan menyediakan pinjaman bagi negara-negara anggotanya. World Bank adalah lembaga keuangan internasional yang menyediakan pinjaman bagi negara-negara berkembang di seluruh dunia. Tujuan utama World Bank adalah menuntaskan kemiskinan di seluruh dunia. International Labor Organization adalah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mewadahi isu-isu dan masalah-masalah buruh di seluruh dunia.
[2] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 ayat 3.
[3] Indrasari Tjandraningsih, “Serikat Buruh atau Serikat Pekerja di Indonesia,” Serikat Pekerja Perkebunan, diakses 25 Desember 2012, http://www.pn8.co.id/spbunpn8/index.php?option=com_content&view=article&id=50%3Aserikat-buruh-serikat-pekerja-di-indonesia&Itemid=50.
[4] Washingrin Consensus merupakan sebutan bagi sepuluh kebijakan ekonomi oleh John Wiliamson pada tahun 1989.
[5] “Outsourcing, Ada Sejak Zaman Romawi,” Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependududkan Provinsi Jawa Timur, diakses 25 Desember 2012, http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/majalah-sdm-plus/64-edisi-133-januari-2012/623-outsourcing-ada-sejak-zaman-romawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar