Rabu, 12 November 2014

KONFLIK DI JALUR GAZA : ANTARA PALESTINA DAN ISRAEL

Di antara konflik internasional yang dapat diukur, persoalan wilayah menjadi sangat penting, karena hal tersebut merupakan sifat alamiah teritorial sebuah negara. Konflik atas kontrol wilayah dapat dibedakan dalam dua variasi : Perselisihan teritorial (mengenai garis perbatasan) dan konflik atas kontrol keseluruhan wilayah termasuk perbatasan. Mempertimbangkan perbedaan utama mengenai penarikan garis batas antara kedua negara tersebut, maka negara harus mengontrol wilayah yang diperselisihkan. Sejak berdirinya Negara Israel di bumi Palestina pada tahun 1948, berdasarkan rekomendasi resolusi No 181 Majelis Umum (General Assembly) Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1947 tentang pemecahan Palestina menjadi dua negara: Arab dan Israel, melahirkan peperangan dan pembantaian massal antara Israel dan Negara Arab beserta negara tetangganya. Konflik Israel-Palestina pada awalnya memang tentang Zionisme keagamaan, akan tetapi pada tahun 1896 M, Theodore Herzl aktor sekaligus arsitek intelektual atas munculnya ide negara negara bagi Yahudi Diaspora mengggagas negara merdeka bagi Yahudi. Konflik tentang zionisme keagamaan dibelokkan kepada tujuan-tujuan politik-keduniaan. Karena hubungannya dengan integritas negara, wilayah menjadi jauh lebih berharga daripada nilai ekonomi atau strategi yang mereka ambil secara bersamaan, seperti konflik antara Palestina dan Israel ini. Dalam hal ini posisi Mesir sangat berperan besar dalam perdamaian antara Palestina dan israel. Pengakuan terhadap peran penting dan strategis Mesir secara umum tercermin dari intensitas konsultasi dan koordinasi yang dilakukan para pemimpin dunia dengan pihak Mesir terkait proses perdamaian di Timur Tengah. Konflik ini secara penuh menjadi tanggung jawab Dewan Keamanan PBB untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) berdasarkan Piagam (Charter) diharapkan mampu menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina tersebut, akan tetapi peran DK PBB ternyata masih bergantung dengan Amerika Serikat (AS). Dominansi Amerika Serikat membuat efektifitas DK PBB tidak maksimal. Segala bentuk resolusi yang berkaitan tentang Israel, AS lebih memilih abstain atau mem-veto hasil perundingan DK PBB dengan beberapa anggota lainnya. Setiap konflik global pasti berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dunia, termasuk konflik di jalur Gaza ini. Konflik Gaza itu tidak saja merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia pun cemas karena konflik ini bisa berpengaruh pada naiknya harga minyak. Selama Israel masih melakukan agresi militer, pembangunan pemukiman di wilayah Tepi Barat dan melakukan pemblokiran di jalur Gaza, penyelesaian konflik tersebut tidak akan pernah berhenti.

Pendahuluan :

Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina. Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan
sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad kedua belas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur TengahNovember 2008 lalu, sebagai "pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan" bagi penyelesaian konflik Israel- Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi militer Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan akhir 2008 ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.

Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.

Agresi militer Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu lalu benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai "pasukan jihad”.


Fakto-faktor yang mempengaruhi agresi Israel ke Jalur Gaza

            Konflik dan perang sudah merupakan hal yang biasa terjadi di kawasan Timur Tengah. Perang ini tidak hanya melibatkan suku, ras, atau negara satu dengan negara lain, tetapi juga melibatkan negara lain yang sebenarnya tidak berhak ikut campur tangan dalam menangani konflik yang terjadi di Timur Tengah. Diantara negara-negara yang selalu ikut campur dalam permasalahan ini adalah Amerika Serikat yang mengklaim dirinya sebagai polisi dunia. Bahkan Amerika Serikat mempunyai anak emas yang selalu dibelanya yaitu Israel yang notabene sebagai penjaga kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah.

            Terjadinya konflik bersenjata yang berlarut-larut tersebut disebabkan oleh tindakan militer Israel yang gencar melakukan invasi terhadap beberapa wilayah negara Palestina dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Palestina. Hal ini dilakukannya dalam rangka memperluas permukiman Yahudi di Negara Palestina. Sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat penuh tentunya Palestina tidak akan tinggal diam menyikapi hal tersebut. Ketidakberdayaan PBB dan sikap kontroversial Amerika Serikat yang cenderung membela Israel semakin mempersulit posisi Palestina dalam mempertahankan wilayah kedaulatan negaranya tersebut. Bahkan Palestina seolah olah berjuang sendirian dalam menghadapi agresi israel yang di dukung Amerika Serikat.

            Sejarah Israel bermula dari lahirnya gerakan Zionis pada abad ke 19 d iEropa Timur. Zionisme adalah aspirasi penciptaan negara tersendiri untuk bangsa Yahudi. Istilah Zionisme berasal dari kata Zion, nama bukit tempat kompleks ibadah bangsa Yahudi di kota Yerussalem. Berbagai kelompok Zionis digabungkan menjadi satu organisasi besar berkat kegiatan seorang yahudi yang hidup di Eropa Tengah dan Barat yang menyaksikan penindasan kaum Yahudi yaitu Theodore Herzl. Ia menekankan masalah suatu bangsa tanpa negara dalam Zionisme dan pendirian negara Yahudi di tanah Palestina.1 Pada bulan Agustus 1897, Herzl menyelenggarakan kongres Zionis se-Dunia pertama di Basel, Swiss, yang mengumpulkan lebih dari 200 Zionis yang mewakili Yahudi dari segala daerah, aliran, dan golongan sosial. Mereka mendirikan organisasi Zionis se-Dunia. Berdasarkan program Basel gerakan ini menyerukan kepada bangsa Yahudi agar mendirikan tanah air atau tempat tinggal sendiri untuk bangsa Yahudi di tanah Palestina.2 Apabila dilihat dari sudut pandang agama istilah ini merujuk pada agama Yahudi sebagai agama monoteis yang memiliki ciri khas keterkaitan dengan bangsa Yahudi. Jika dilihat berdasarkan etnisitas, kata ini merujuk kepada keturunan  Eber atau Yakub, anak Isa, anak Abraham (Ibrahim) dan Sarah. Sejarah panjang Yahudi dan gerakan Zionis ini kemudian banyak menimbulkan berbagai konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah. Salah satunya adalah konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun. Konflik tersebut banyak terjadi terutama setelah berdirinya negara Israel yang kemudian menjadi musuh bersama negara-negara di kawasan Timur Tengah.

            Pada tanggal 14 Mei 1948, mandat Inggris berakhir dan pimpinan Zionis segera memproklamasikan berdirinya negara Israel akan tetapi sehari kemudian langsung diserang oleh tentara koalisi dari Lebanon, Mesir, Trans-Yordania, Iraq, Suriah dan negara Arab lainnya. Tetapi Israel dapat memenangi pertempuran ini dan merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayah mandat Inggris di tanah Palestina. Perang ini menyebabkan banyak warga Arab yang mengungsi ke negara-negara tetangga. Pada periode berikutnya sebagian tanah
dari orang Arab disita pemerintah Israel dengan dalih menyangkut keamanan negara. Hingga saat ini, persoalan berdirinya negara Israel tetap menjadi sumber ketegangan, bukan hanya antara penduduk Yahudi dan Penduduk Arab Palestina, melainkan antara Israel dan mayoritas negara di kawasan Timur Tengah.

            Puncaknya, serangan Israel ke wilayah Palestina pada 27 Desember 2008. Serangan itu terjadi hanya Sembilan hari setelah habisnya masa gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada 19 Desember 2008. Kesepakatan gencatan senjata itu memang hanya berlaku antara Hamas dan Israel. Bagi Gaza, pemerintahan yang berkuasa adalah Hamas yang memenangkan pemilihan umum di Gaza pada Januari 2006.

            Seperti halnya dengan serangan ke Lebanon pada 2006, serangan Israel ke Jalur Gaza kali ini pun kembali mendapatkan kecaman dunia internasional. Dunia, minus Pemerintah Amerika Serikat, mengecam keras tindakan Israel tersebut. Gempuran Israel pun terus berlanjut meski mendapatkan kecaman keras dari masyarakat internasional. Aksi protes dan demonstrasi pecah di berbagai kota dunia, termasuk di Indonesia, mengecam Israel dan Amerika Serikat. Sejak Israel menyerang Jalur Gaza pada 27 Desember 2008, protes anti
Israel terjadi disegala penjuru dunia. Di Iran ribuan warga turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi mengecam tindakan Israel menyerang Jalur Gaza, Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengajak kaum Muslim diseluruh dunia untuk menghukum Israel.

            Tidak hanya dunia Arab dan warga Muslim yang mengecam serangan Israel ke Jalur Gaza, Vatikan juga termasuk yang mengecam keras serangan Israel ke Gaza. Langkah yang lebih radikal ditempuh Venezuela dan Bolivia dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel Sebagai protes terhadap agresi militer Israel ke Jalur Gaza. Pemerintah Venezuela dan Bolivia menyatakan bahwa atas nama solidaritas, penghargaan pada hak asasi manusia dan perdamaian pihaknya menempuh langkah tersebut. Gelombang protes terhadap serangan militer Israel ke Jalur Gaza semakin meluas. Puluhan ribu demonstran di berbagai kota besar di AS, Eropa, Afrika, dan Timur Tengah turun ke jalan. Ribuan demonstran ramai-ramai membakar bendera Israel di Swedia dan melemparkan sepatu ke Konsulat Jenderal AS di Edinburg, Skotlandia. Gelombang protes paling besar dan tersebar terjadi di Prancis. Kepolisian Prancis memperkirakan sedikitnya 30.000 demonstran turun ke jalan di kota-kota Prancis, seperti Lyon, Marseille, dan Grenoble.

Dengan menyerang Gaza nampaknya pemerintah Israel telah siap dengan segala konsekuensi, termasuk kegagalan seperti yang pernah mereka alami di Lebanon. Ketika memutuskan untuk menyerang Jalur Gaza pemerintah Israel telah yakin bahwa militernya telah banyak belajar dengan kegagalan di Lebanon pada tahun 2006. Dan kekeliruan itu tak akan pernah terulang lagi. Ketika menyerang Lebanon pada 2006 militer Israel hanya dapat
menghancurkan berbagai infrastruktur yang ada di sana, tetapi gagal dalam menaklukkan Hizbullah. Oleh karena itu agresi Israel di Jalur Gaza kali ini merupakan perjudian bagi Israel mengingat hal serupa pernah dilakukan oleh Israel di Lebanon dengan hasil yang mengecewakan.
           
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresi Israel ke Jalur Gaza antara lain:
1. Politik domestik
Agresi Israel kali ini tidak terlepas dari persaingan politik di dalam negeri. Negara Yahudi tersebut dalam pembangunan citra positif bagi rakyat Israel. Persaingan calon kandidat Perdana Menteri Israel menyeruak dalam agresi militer yang dimulai menjelang pergantian tahun baru ini. Suhu politik yang kian meningkat jelang pemilihan menjadikan semua politisi yang ikut bertarung dalam pemilhan berlomba-lomba mendapatkan simpati rakyat Israel.
2. Kondisi Ekonomi dan Militer
Meski telah berdiri sejak 1948, Israel belum sepenuhnyaa terbebas dari defisit neraca pembayaran yang parah. Berkat bantuan ekonomi dan militer AS (juga bantuan uang tunai dari donor-donor Yahudi di seluruh dunia), keuangan negara itu bisa terhindar dari angka negatif. Namun, bantuan tersebut tidak berarti bagi negara musuh bersama bangsa Arab itu menjadi terlena. Upaya keras mereka untuk membebaskan dari belitan defisit neraca perdagangan mulai terlihat. Dalam berberapa tahun belakangan ini, Israel mampu menghasilkan surplus perdagangan yang substansial. Keberhasilan itu ditopang oleh pertumbuhan pesat di sektor teknologi tinggi.
3. Konteks Internasional
Serangan Israel ke Jalur Gaza kali ini tak bisa dilepaskan dari situasi internasional pada saat itu dimana terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden AS menggantikan George Walker Bush yang merupakan pendukung utama negara Yahudi tersebut memunculkan ketakutan yang amat sangat terhadap pemerintahan Obama. Yahudi mempunyai dugaan besar, jika Obama tidak akan terlalu mendukung agresi militer mereka. Jika Israel ingin bertindak memerangi Hamas, itu harus dilakukan dalam beberapa hari terakhir masa kepresidenan
Bush. Situasi di Amerika Serikat yang sedang menjalani transisi pemerintahan dari George W. Bush ke tangan Presiden terpilih Barack Obama, sampai akhir Januari mengakibatkan kosongnya tata politik internasional. Hal ini dimanfaatkan betul oleh Israel dengan melakukan serangan ke Jalur Gaza dengan dalih membalas serangan roket Hamas untuk melindungi warganya. Sementara itu, respon dari dunia Internasional, dalam hal ini Dewan Keamanan PBB, OKI dan Liga Arab, sangat lamban lantaran semuanya terlalu sibuk dengan kalkulasi politik dan ekonomi jika mereka bertindak sesuatu terhadap Israel maupun mengenai Palestina, lantaran, agresi Israel tidak menguntungkan siapapun secara politis (kecuali bagi Israel tentunya), apalagi secara ekonomis.

Peran Mesir dalam proses perdamaian konflik Israel Palestina

            Dalam kaitan antara Mesir dengan konflik Israel - Palestina, memang sulit dibayangkan saat ini perundingan final Israel-Palestina dapat berhasil tanpa peran Amerika Serikat (AS) dan Mesir. Kasus gagalnya KTT Camp David tahun 2000 semakin membuka mata AS dan negara-negara barat lain bahwa pengaruh AS sebagai negara adidaya-tanpa mengikutsertakan kekuatan regional (semisal Mesir) ternyata belum cukup mengantarkan Israel dan Palestina mencapai kesepakatan final. Dari kasus Camp David itulah, kedua negara (AS dan Mesir) merasa semakin membutuhkan satu sama lain.

Pasalnya kapasitas isu yang dibahas dalam perundingan final-khususnya Kota Jerusalem jauh lebih besar dari level sekelas Presiden Clinton, Yasser Arafat, dan PM Ehud Barak. Ini berbeda dari perundingan Israel-Palestina sebelumnya yang tidak menyentuh hal-hal yang sangat sensitif. Arafat sudah berusaha menjelaskan dalam KTT Camp David lalu bahwa masalah Kota Jerusalem bukan urusan dirinya semata, tetapi wewenang umat Islam dan Kristen.

Dalam sebuah kesempatan, Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan "Seandainya Mesir tidak membuka pintu, mustahil Palestina bersedia duduk di meja perundingan dengan Israel dan mustahil pula konferensi Madrid bisa terlaksana. Mesir kini terus berupaya mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah karena percaya bahwa perdamaian adalah jalan masa depan. Upaya Mesir dalam meredakan konflik Israel-Palestina juga mendapat sambutan baik Menteri Luar Negeri Inggris, David Miliband. Bahkan Miliband menegaskan pentingnya melakukan dialog dengan Hamas. "Saat ini, Mesir bertindak sebagai perwakilan seluruh dunia dalam mengatasi Hamas. Mesir tadinya hanya ditunjuk oleh Liga Arab, tapi dalam prakteknya mereka mewakili kita semua. Apapun alasan penunjukan itu.

Pengakuan terhadap peran penting dan strategis Mesir secara umum tercermin dari intensitas konsultasi dan koordinasi yang dilakukan para pemimpin dunia dengan pihak Mesir terkait proses perdamaian di Timur Tengah. Utusan Khusus Presiden Obama, Senator George Mitchell, dalam kunjungannya ke Cairo pada 18 April 2009 menegaskan keyakinan dirinya dan Presiden Obama bahwa perdamaian menyeluruh di timur tengah hanya akan terwujud melalui upaya upaya Mesir. Pemilihan Mesir sebagai negara tempat Presiden Obama menyampaikan pesan perdamaian pada 4 juni 2009 kepada umat Islam sedunia semakin mempertegas posisi dan peran penting Mesir yang tidak dapat diabaikan dalam proses perdamaian di Timur Tengah.

Peran besar Mesir dalam proses perdamaian Timur Tengah itu memang sempat menimbulkan salah paham, hal ini menyusul gagalnya KTT Camp David tahun 2000. Sejumlah media massa AS langsung menuduh Mesir berada di balik gagalnya KTT Camp David. Mereka menuduh Presiden Mubarak tidak menggunakan pengaruhnya menekan Arafat agar menerima tawaran AS dan Israel tentang jalan kompromi soal Kota Jerusalem. Mereka sempat mengungkit perihal bantuan AS pada Mesir sebanyak 2,1 milyar dollar AS setiap tahun yang berlangsung sejak tercapainya perdamaian Israel-Mesir di Camp David tahun 1979. Tak pelak lagi, terjadilah polemik dalam beberapa pekan terakhir ini antara media massa Mesir dan AS. Harian terkemuka AS New York Times mempertanyakan, buat apa AS membantu Mesir banyak-banyak kalau Mesir hanya menghambat proses perdamaian Timur Tengah.
           
            Media massa Mesir semacam Al Ahram balik menyerang AS. Dikatakan, bantuan AS pada Mesir sesungguhnya lebih banyak untuk kepentingan AS di Timur Tengah. Menurut Pemred Al Ahram Ibrahim Nafi, bantuan AS tersebut hanya sepertiga yang berbentuk uang tunai sedangkan sisanya berupa senjata dan suku cadang buatan AS yang dipasok ke Mesir atau barang impor dari AS yang harganya jauh lebih mahal dibanding harga barang serupa dari Jepang atau negara Eropa Barat.

            Pada 8 Januari 2009 terjadi moment yang sangat penting yaitu adanya perdamaian yang diprakarsai Mesir dan Prancis yaitu melalui proses mediasi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara Israel dengan Hamas di Gaza. Ini dilakukan karena dampak dari perang sangat dirasakan oleh Mesir. Pertama, dampak secara ekonomi yaitu ekspor obat-obatan dan kebutuhan rumah tangga menurun. Hal ini dikarenakan diperbatasan perang antara Hamas dengan Israel tidak boleh ada barang masuk. Kedua dampak sosial yaitu sampai hari ke13 perang Hamas dengan Israel mengakibatkan pengungsian dengan jumlah yang besar yaitu mencapai lebih dari 700 ribu jiwa yang sebagian besar adalah anak-anak, wanita, dan orang tua.

Realita tersebut menunjukkan bahwa perdamaian Israel – Palestina sangat sulit diwujudkan tanpa adanya dukungan dari Mesir. Artinya, apabila Amerika Serikat ingin memasuki dunia Arab dan umat Islam harus melalui pintu Mesir. Barangkali faktor itulah yang mendorong Amerika Serikat dalam lawatannya ke Afrika kali ini perlu mampir di Cairo menemui Presiden Mubarak. Sebaliknya, Presiden Hosni Mubarak dalam setiap kesempatan selalu mengungkapkan bahwa Mesir dibawah kepemimpinan Presiden Anwar Sadat yang telah membuka pintu perdamaian di Timur Tengah.


Peran DK PBB dalam Konflik di Jalur Gaza

            Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengerahkan Dewan Keamanan menyelidiki dugaan kejahatan perang Gaza,.jika Israel engganmelakukannya.Sebelumnya, PBB mendesak Israel segera menyelidiki dugaan perang di Gaza selamamusim angin lalu. Atas desakan itu PBB mendapat dukungan 132 negara anggota PBB,dari jumlah total 192 negara. Sedang 60 negara lainnya, 44 negara absen dan 16 tak mendukung. Para negara pendukung menginginkan adanya akuntabilitas, khususnya dari Israel, atas  dugaan pelanggaran hukum internasional dalam perang Gaza yang merenggut nyawa1.400 warga Palestina serta 13 warga Israel tersebut.Israel sendiri tidak mendukung desakan PBB yang tertuang dalam resolusi negara Arabtersebut, dan menyatakan resolusi tersebut hanya menguntungkan sepihak. SementaraAmerika Serikat menilai resoslusi tersebut 'tidak adil dan bias' dan berpotensi melukai proses perdamaian di Timur Tengah.
        Peran Dewan Kemanan PBB sebagai pihak yang bertanggung jawab sekaligus mediator dalam menangani konflik antara Israel-Palestina di jalur Gaza tahun 2007-2009 tidak efektif. Stabilitas keamanan dan perdamaian internasional masih jauh dari cita-cita dan tujuan didirikannya Perserikatan Bangsa Bangsa. Peran DK PBB dalam pangdangan politik islam-pun tidak mampu menghentikan peperangan meskipun bersifatsementara (muwada'ah), dibuktikan dengan Penolakan resolusi No 1860 tentang genjatan senjata oleh Israel dan Palestina. Selama Israel masih melakukan agresi militer, pembangunan pemukiman di wilayah Tepi Barat dan melakukan pemblokiran di jalur Gaza, penyelesaian konflik tersebut tidak akan pernah berhenti.
15 anggota Dewan Keamanan PBB tampaknya harus bersiap-siap kehilangan kredibilitasnya sekali lagi ketika ia sedang mempersiapkan sanksi lanjutan terhadap Iran sementara gagal meloloskan resolusi terhadap Israel atas penindasannya yang semakin gencar kepada orang-orang Palestina di Gaza. Banyak orang kini bertanya adakah kredibilitas yang masih tersisa bagi DK-PBB,” kata Mouin Rabbani, editor Middle East Report, majalah analisis Timur Tengah paling populer di AS.
            Namun, pertanyaan yang jauh lebih tepat, menurut Rabbani, adalah layakkah DK-PBB mempunyai kredibilitas—setelah berbagai kegagalannya menjamin keamanan dan perdamaian, serta menutup mata terhadap banyak ancaman kepada keamanan dan perdamaian berikut hak-hak asasi bagi jutaan manusia. Tindak-tanduk DK-PBB yang terus terobsesi dengan program “senjata” nuklir Iran yang tidak pernah eksis sementara tidak mampu melakukan apa pun—bahkan hanya sebuah pernyataan sekalipun—dalam menangani pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza yang nyata di hadapan sudah berbicara banyak hal,” lanjut Rabbani.
            Dan konflik ini (Israel-Palestina) adalah konflik yang mereka (DK-PBB) ciptakan sendiri pada 1947. Sementara itu pengamat khusus PBB, John Dugard, dengan tegas menyatakan bahwa aksi Israel telah melanggar larangan atas hukuman kolektif sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa Keempat. Stephen Zunes, gurubesar politik dan studi internasional University of San Francisco, mengamini pendapat Rabbani bahwa, Jika DK-PBB tunduk kepada tekanan AS dan menjatuhkan sanksi lanjutan atas Iran sementara tidak ada program senjata nuklir yang aktif di Iran, maka hal itu akan semakin mencederai kredibilitas DK-PBB.
Sebagai perbandingan, Zunes mengungkapkan bahwa Israel telah melanggar Resolusi DK-PBB 487 yang memerintahkannya agar menandatangani kesepakatan pengawasan dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) selama 26 tahun. Namun, selama itu pula DK-PBB tidak pernah member sanksi terhadap Israel. Hal yang sama berlaku terhadap India dan Pakistan yang selama lebih daripada satu dekade tetap dibiarkan melanggar Resolusi 1172 yang memerintahkan kedua negara itu untuk menghentikan program senjata nuklir mereka.
Konflik antara Israel-Palestina bukanlah kali pertama. Berbagai acara perundingan damai seolah tidak berarti karena konflik Israel-Palestina masih berlangsung hingga saat ini. Sebenarnya ada dua isu penting yang menjadi alasan konflik Israel-Palestina tak kunjung padam, yakni isu politik dan isu teologis. Isu teologis karena mereka (Israel Palestina) berjuang memperebutkan wilayah “suci” yang secara teologis-historis perjuangan untuk mendapatkannya telah “diamanatkan oleh Tuhan”. Konsep teologis kedua Negara tersebut jelas sangat kontras, Israel dengan dasar teologi Yahudi sedangkan Palestina dengan dasar teologi Islam. 
           Isu politik nyatanya sering digunakan pihak Israel untuk melancarkan agresi ke wilayah negara Palestina. Fokus serangan Israel saat ini adalah pada seluruh wilayah yang didiami kelompok Hamas. Harakah Muqawamah Islamiyah atau lebih dikenal dengan Hamas merupakan organisasi yang didirikan sejak 1987 dan secara sah merupakan partai politik yang mendominasi kursi parlemen Palestina (meraih 76 dari total 132 kursi). Sehingga nampak adanya pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara (state sovereignity) dalam hal ini mengingat tujuan akhir serangan Israel adalah menggantikan posisi Hamas yang dianggap “garis keras” dengan posisi Fatah yang selama ini disukai oleh negara Barat.

Apa kata UN Charter?
Dewan Keamanan (DK) PBB merupakan suatu badan eksekutif yang dilengkapi dengan segala macam wewenang dan tanggung jawab untuk mengambil tindakan-tindakan penting demi terpeliharanya perdamaian dan keamanan. Fungsi sebagai “polisi dunia” ini dipertanyakan semenjak Negeri Paman Sam sangat sensitive terhadap isu-isu yang berhubungan dengan 911 bombing (Kasus WTC 11 September 2001).
            Pasal 39-51 Piagam PBB (United Nations Charter) menunjukkan betapa kuatnya DK PBB walaupun terkadang seringkali ditemui banyak pelanggaran terhadap penggunaan kekuatan tersebut. Misalnya saja inti dari pasal 39 ialah bahwa sebelum memberikan rekomendasi yang diperlukan bagi pemulihan perdamaian dan keamanan, Dewan akan menentukan apakah terdapat suatu keadaan yang mengancam (threat of peace), atau pelanggaran terhadap perdamaian (breach of peace) ataupun suatu agresi (act of aggression) melalui investigasi. Dan segala penyelesaian konflik antar negara yang berujung melalui jalur kekerasan (use of force) maka harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari DK PBB. Namun, implementasi dari pasal-pasal tersebut menjadi tidak efektif karena nuansa kebijakan politik anggota tetap DK PBB yang lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada common interest seluruh negara anggota PBB. Penggunaan hak veto pun terkadang sering melenceng dari garis yang telah ditetapkan DK PBB. Untuk itulah tidak sedikit negara yang merasa dirugikan akibat dijatuhkannya resolusi Dewan.
Efektifkah Resolusi DK PBB?  
Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan membuat sebagian negara mempertanyakan fungsi dan efektivitas adanya DK PBB. Begitu dekatnya Amerika dengan Israel dalam berbagai hal menjadikan resolusi Dewan yang dijatuhkan terasa kurang efektif. Misalnya saja implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673. Israel memang punya hak untuk mempertahankan diri, namun tidak ada yang punya hak “mempertahankan” wilayah pendudukan. Dan ketika Mahkamah Internasional mengutuk pembangunan “dinding pemisah,” bahkan di sebuah Peradilan AS, hakim Buergenthal, menegaskan bahwa pembangunan tembok pemisah untuk mempertahankan wilayah pendudukan Israel merupakan ipso facto dalam “pelanggaran hukum kemanusiaan internasional,” karena pendudukan itu sendiri ilegal.” Namun kenyataannya, tembok besar telah berdiri kokoh dan banyak penduduk sipil Palestina menjadi korban serta Israel seolah tidak bersalah.
Terakhir, resolusi 1860 yang baru saja dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan kedua belah pihak yang berselisih.
Hanya Amerika Serikat saja yang abstain dalam pemungutan suara mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut. Sedangkan ke-13 anggota DK PBB (baik permanent atau non-permanent members) lainya setuju untuk disahkannya resolusi tersebut guna menghindari banyaknya korban serta menghindari serangkaian pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional.
Kedekatan Amerika dengan Israel memang tidak terelakkan lagi. The New York Times (23 September 2001), memberitakan bahwa bantuan yang diberikan untuk Israel adalah sebesar 77 Milyar US$ sejak tahun 1967. Dan itu belum termasuk “sumbangan” teknologi militer yang canggih. Fakta tersebut memberikan gambaran buruk akibat adanya dua wajah dari Amerika yaitu sebagai anggota tetap DK PBB dan sebagai TTM Israel. Tidak salah lagi apabila Israel berani untuk “tidak mematuhi” segala aturan dari resolusi Dewan karena Amerika berada dibelakangnya. Sehingga muncul ketidakefektifan dan ketidakadilan resolusi Dewan yang hanya berdasar kepentingan politik semata.

Konflik Gaza Mengguncang Ekonomi Dunia
            Peperangan Israel dan Palestina di Jalur Gaza dalam sepekan terakhir tidak saja menimbulkan banyak korban jiwa, tapi juga mengguncang ekonomi dunia. Indikasinya, hari ini harga minyak di pasar internasional sudah mulai naik di saat perekonomian global belum pulih dari resesi.
Diprediksi, kelangkaan minyak akan terjadi permintaan pasar bakal meningkat menjelang musim dingin di AS dan Eropa serta negara-negara lain pada akhir tahun. Ditambah pula muncul seruan dari milisi Hisbullah di Libanon kepada negara-negara Arab agar mengurangi produksi minyak mereka, atau menaikkan harganya di pasar dunia. Hisbullah termasuk milisi yang disegani di Timur Tengah. Seruan dari milisi tersebut dianggap sebagai cara efektif untuk membuat para konsumen utama yang merupakan sahabat Israel, seperti AS dan Eropa, agar bisa menekan negara zionis menghentikan serangan ke Gaza. 
Konflik Gaza itu tidak saja merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia pun cemas karena konflik ini bisa berpengaruh pada naiknya harga minyak. Menurut laman RTE, harga minyak dalam transaksi elektronik untuk perdagangan Asia di bursa New York pada Senin pagi 19 November naik di atas US$87 per barel. Di bursa London, harga minyak Brent juga naik, yaitu sebesar 55 sen menjadi US$109,5 barel. Padahal Jumat pekan lalu sudah naik hingga US$108,95 per barel.
Para investor sudah mulai menhkhawatirkan berkurangnya pasokan minyak dari Timur Tengah. Apalagi bila konflik Israel-Palestina di Gaza terus berlanjut. Naiknya harga minyak bisa menjadi masalah besar bila muncul sikap yang frontal dari negara-negara Arab penghasil minyak di Timur Tengah. Seruan dari pemimpin milisi Hisbullah agar negara-negara Arab menggunakan segala cara untuk mendukung Palestina dari serangan Israel, semakin membuat ketar ketir para pemimpin dunia. "Kurangi ekspor minyak kalian atau naikkan sedikit harganya, pasti bakal mengguncang AS dan Eropa. Dengan tekanan demikian, maka tidak perlu mengerahkan bala tentara, tank atau pesawat tempur," demikian saran pemimpin Hisbullah, Hassan Nasrallah, seperti dikutip Reuters pekan lalu.
Memang negara-negara Arab penghasil minyak itu berbeda ideologi politik sehingga sulit bersatu. Namun jika tersentuh oleh rasa kemanusiaan, bisa jadi para pemimpin negara-negara Arab akan mengikuti seruan Hizbullah tersebut. Sebab, saran itu cukup mengundang perhatian media massa dan juga pengamat pasar minyak dunia. Berbasis di Lebanon, Hisbullah merupakan milisi yang disegani Israel. Mereka terakhir berperang pada 2006. Berlangsung selama 34 hari, perang itu menewaskan 1.200 warga sipil di Lebanon dan 160 warga Israel, sebagian besar tentara.
Meski dampak ekonomi di level internasional belum terlalu nampak, di tingkat regional sudah terasa. Setidaknya, sektor wisata di wilayah Israel dan Palestina langsung drop akibat konflik yang disebut Israel sebagai operasi militer 'Pillar of Defense' untuk menghantam kelompok Hamas di Gaza yang bersenjatakan roket itu. Saat ini, banyak turis yang berpikir dua kali untuk mengunjungi kota-kota wisata di dekat zona perang, seperti Yerusalem di Israel dan Betlehem di Tepi Barat, Palestina. "Konflik di kawasan selatan bakal memukul industri pariwisata, yang merupakan salah satu andalan pendapatan di wilayah itu," kata Menteri Pariwisata Israel, Stas Misezhnikov. Pemerintah negara zionis itu mengaku bahwa sektor wisata hanya menyumbang 2-3 persen dari pertumbuhan ekonomi mereka.
Menurut kantor berita Reuters, sejumlah hotel di Israel dan maskapai penerbangan El Al dalam beberapa hari terakhir mengalami pembatalan pesanan kamar maupun jadwal penerbangan dari para turis. Jumlah pembatalan kunjungan ini diprediksi bakal terus bertambah bila konflik berlanjut. Seorang juru bicara Fattal, jaringan hotel terbesar di Israel, mengaku telah menerima beberapa pembatalan pesanan kamar. "Kami melihat awal dari tren, namun perlu beberapa hari berikut untuk bisa memperkirakan arah tren keseluruhan," kata juru bicara itu.
Hotel American Colony di Yerusalem juga mengungkapkan pembatalan pesanan kamar di menit-menit akhir. Pembatalan ini juga muncul dari para turis lokal di Israel. Mereka memilih tinggal di rumah ketimbang jalan-jalan. Kapal pesiar yang biasa berlabuh di Pelabuhan Ashdod pun tidak berani boleh mendekat. Selain itu rute penerbangan ke dan dari Bandara Ben Gurion di Tel Aviv dialihkan ke kawasan utara untuk memberi ruang lebih luas bagi jet-jet tempur Israel dalam menggempur Gaza. Sebelum munculnya kembali konflik di Gaza, Israel telah menikmati tingginya kunjungan turis. Selama Januari-September 2012, sebanyak 2,6 juta turis mengunjungi negara itu. Ini rekor baru dan 7 persen lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu.
Tidak saja Israel yang mengalami kerugian di sektor wisata akibat konflik. Turisme menyumbang 12 persen dari produk domestik bruto Palestina. Kota Betlehem, yang berada di wilayah Palestina, memiliki situs-situs suci bagi umat Kristen. Gereja Kelahiran Yesus Kristus, misalnya, selama ini menarik minat banyak umat Kristen di penjuru dunia untuk ziarah ke sana. Sejak konflik berlangsung, Betlehem kehilangan hampir setengah dari total turisnya. "Menurut saya persentase pembatalan kunjungan sekitar 40-50 persen hingga akhir November dan bulan depan," kata Elias al Arja, ketua Asosiasi Arab untuk jaringan hotel di Betlehem.
Kerugian juga melanda para pebisnis di Jalur Gaza. Tidak sedikit tempat usaha maupun rumah mereka dan pegawai mereka hancur karena serangan udara militer Israel. Target mereka adalah para militan Hamas, namun rudal-rudal mereka juga menembaki bangunan-bangunan warga sipil. Kerugian total di segi ekonomi akan tergantung pada seberapa lama konflik ini berlangsung. Perusahaan informasi bisnis, BDI, kepada harian Haaretz mengungkapkan bahwa operasi militer Pillar of Defense ini diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi di Israel sebesar NIS 1,1 miliar atau sekitar Rp2,6 triliun per minggu. Perhitungan itu berdasarkan angka kerugian aktual yang ditanggung Israel saat menggelar operasi militer Cast Lead beberapa tahun lalu. Targetnya juga sama, kelompok Hamas di Jalur Gaza. Operasi Cast Lead berlangsung sekitar tiga pekan, dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009.
Menurut BDI, sebagian besar biaya yang harus dikeluarkan Israel pada serangan militer kali ini untuk membiayai amunisi dan bahan bakar. Untuk kerusakan properti, seperti rumah dan dan tempat bisnis milik warga Israel, BDI memperkirakan kerugiannya sekitar NIS 25 juta (sekitar Rp60,9 miliar). Menurut survei BDI, banyak konsumen di Israel yang belakangan ini mengurangi belanja untuk kegiatan bersantai maupun hiburan. Banyak pula dari mereka yang saat ini dipanggil berdinas militer karena berstatus tentara cadangan. Maka, bila pemerintah tetap pada rencana mengerahkan 30.000 tentara cadangan, ongkos perang yang ditanggung Israel bertambah NIS 70 juta per minggu.
Diperkirakan, kelangkaan minyak akan terjadi permintaan pasar bakal meningkat menjelang musim dingin di negeri AS dan Eropa. Ditambah pula muncul seruan dari milisi Hisbullah di Libanon kepada negara-negara Arab agar mengurangi produksi minyak mereka, atau menaikkan harganya di pasar dunia akibat dari konflik di jalur Gaza.
Konflik Gaza itu tidak saja merugikan ekonomi Israel dan Palestina. Dunia pun cemas karena konflik ini bisa berpengaruh pada naiknya harga minyak. Menurut laman RTE, harga minyak dalam transaksi elektronik untuk perdagangan Asia di bursa New York pada Senin pagi 19 November naik di atas US$87 per barel. Di bursa London, harga minyak Brent juga naik, yaitu sebesar 55 sen menjadi US$109,5 barel. Padahal Jumat pekan lalu sudah naik hingga US$108,95 per barel. Para investor sudah mulai mengkhawatirkan berkurangnya pemasokan minyak dari Timur Tengah. Apalagi bila konflik Israel-Palestina di Gaza terus berlanjut. Naiknya harga minyak bisa menjadi masalah besar bila muncul sikap yang frontal dari negara-negara Arab penghasil minyak di Timur Tengah. Teguran dari pemimpin milisi Hisbullah agar negara-negara Arab menggunakan segala cara untuk mendukung Palestina dari serangan Israel, semakin membuat ketar ketir para pemimpin dunia. "Kurangi ekspor minyak kalian atau naikkan sedikit harganya, pasti bakal mengguncang AS dan Eropa. Dengan tekanan demikian, maka tidak perlu mengerahkan bala tentara, tank atau pesawat tempur," demikian saran pemimpin Hisbullah, Hassan Nasrallah, seperti dikutip Reuters pekan lalu.
Memang negara-negara Arab penghasil minyak itu berbeda ideologi politik sehingga sulit bersatu. Namun jika tersentuh oleh rasa kemanusiaan, bisa jadi para pemimpin negara-negara Arab akan mengikuti seruan Hizbullah tersebut. Sebab, saran itu cukup mengundang perhatian media massa dan juga pengamat pasar minyak dunia.

Kesimpulan :

Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad kedua belas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Berdasarkan pemaparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai selama Israel masih melakukan agresi militer, pembangunan pemukiman di wilayah Tepi Barat dan melakukan pemblokiran di jalur Gaza selain itu juga apabila pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa sentuhan “tangan-tangan politik”.


Daftar Pustaka

www.gatra.comFokus Berita. Diakses tanggal 8 Januari, 2013,
Israel Gaza dan Mesir dalam Sejarah dimana Palestina Selama Ini. Diakses tanggal 8 Januari, 2013, http://politik.kompasiana.com/2012/11/24/israel-gaza-dan-mesir-dalam-sejarah-dimana-palestina-selama-ini-510790.html
Peran Mesir dalam Konflik Israel Palestina. Diakses tanggal 8 Januari, 2013, http://www.bacain.com/s/Peran-mesir-dalam-konflik-israel-Palestina/4
Konflik Israel Palestina Kebiadaban zionis Yahudi. Diakses tanggal 8 Januari, 2013, http://madina.co.id/index.php/opini/5545-konflik-israel-palestina-kebiadaban-zionis-yahudi
Bukan kejutan DK gagal kecam aksi Israel di Gaza. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://www.muhsinlabib.com/news/bukan-kejutan-dk-gagal-kecam-aksi-israel-di-gaza
Peranan PBB. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://www.scribd.com/doc/27954385/Peranan-PBB
Efektivitas Peran DK PBB dalam Konflik Palestina Israel. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://dodiksetiawan.wordpress.com/2009/01/25/efektivitas-peran-dk-pbb-dalam-konflik-palestina-israel/
Konflik Gaza Mengguncang Ekonomi Dunia. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://www.gatra.com/fokus-berita/21069-konflik-gaza-mengguncang-ekonomi-dunia.html
Konflik Gaza Mempengaruhi Ekonomi Dunia. Diakses tanggal 9 Januari, 2013, http://topiklainnya.blogspot.com/2012/11/konflik-gaza-mempengaruhi-ekonomi-dunia.html

2 komentar:

  1. Semoga kepedulian umat muslim di Indonesia terus bertambah dalam berusaha membantu menyalurkan donasi kemanusian untuk saudara muslim dimanapun berada, baik di negara sendiri dan juga di negara lain yang menderita akibat perang seperti di Gaza Palestina dan Suriah saat ini. Jazakumullah khoir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin...semoga Allah swt. memberikan yg terbaik bagi umat muslim seluruh dunia.

      Hapus