Jumat, 07 November 2014

KONSEPSI DIRI KAUM “GAY” DI KOTA SURAKARTA

Manusia sebagai makhluk sosial diciptakan oleh Tuhan untuk saling berpasangan. Seperti yang telah ditakdirkan bahwa laki-laki diciptakan untuk mendampingi perempuan, dengan kata lain bahwa ketika seorang laki-laki dan perempuan itu berpasangan dan berada dalam suatu hubungan intim tertentu entah yang tengah menyandang status pacaran atau bahkan telah menikah, inilah yang dikatakan sebagai kehidupan yang normal. Normal yang berarti memang seperti itulah yang selama ini telah terjadi bahwa laki-laki itu berpacaran dan menikah dengan perempuan dan seakan hal tersebut terjadi dengan sendirinya tanpa ada seorang pun yang sempat memikirkan alasan kenapa laki-laki itu pasanganya adalah perempuan dan juga sebaliknya. Akan tetapi, bukan berarti  kehidupan sosial yang ada saat ini semuanya dapat berjalan dengan normal. Kenyataanya, terjadi sebuah kekeliruan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman individu dalam memahami konstruksi sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satunya adalah munculnya kaum atau kelompok yang terdiri dari individu-individu penyuka sesama jenis kelamin dalam artian seorang laki-laki yang menyukai laki-laki pula atau yang biasa dikenal dengan sebutan gay.
Hidup menjadi seorang gay, tentu bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Takut dengan konsekuensi yang akan diterima jika mengakui bahwa dirinya adalah seorang gay, menjadi alasan kenapa hingga saat ini kaum gay lebih banyak terlihat hidup dibalik sorotan mata masyarakat. Diskriminasi itulah yang kerap kali mereka dapatkan dari orang-orang normal. Menganggap mereka sebagai kaum yang menyimpang, menjadi sebutan yang hingga kini tidak habisnya digunjingkan kepada kaum gay. Banyak kasus diskriminasi yang dilakukan terhadap kaum gay sejak dulu sampai saat ini yang terjadi hampir diseluruh dunia. Misalnya di New York, Amerika Serikat pada tahun 2011 lalu, Jemey Rodemeyer seorang gay berumur 14 tahun akhirnya bunuh diri karena dirinya selalu dibully dan diolok-olok oleh teman sekolahnya dengan komentar-komentar yang ditulis diblognya. Salah satu komen yang paling jahat yang pernah diberikan kepadanya adalah:   “I wouldn’t care if you died. No one would. So just do it. It would make everyone WAY more happier!”. Jemey mungkin hanya menjadi salah satu contoh perlakuan diskriminasi terhadap kaum gay di negara Barat yang tentunya masih banyak kasus tidak terkuak oleh media massa. Terlepas dari itu, disisi lain ketika membicarakan dan melihat di Indonesia bukan berarti negara dengan semboyannya “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti walaupun berbeda-beda tapi satu juga, tidaklah lagi berlaku jika melihat kenyataan bahwa masih banyak ditemukan perlakuan diskriminasi terhadap kaum gay yang jelas-jelas masih menjadi bagian bangsa negara ini, diperlakukan secara tidak adil oleh orang sekitar serta masyarakat umum. Memiliki perbedaan orientasi seksual yang berbeda menjadi perbedaan pula dalam perlakuan sosial didalam masyarakat. Diskriminasi itu meliputi berbagai bidang, contohnya diskriminasi sosial seperti stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan. Diskriminasi ekonomi, contohnya pelanggaran hak atas pekerjaan di sektor formal, dan bahkan kekerasan terhadap mereka hingga kini masih menjadi persoalan yang belum dapat dihilangkan. Kekerasaan itu sendiri, justru dilakukan oleh orang-orang terdekat dari mereka, misalnya keluarga. Salah satu kekerasan yang kerap dilakukan adalah kekerasan secara emosional yang berupa ancaman dari pihak keluarga untuk menyembunyikan orientas seksual atau jati dirinya yang asli, membatasi pergaulan, memaksa untuk “berobat”, dan bahkan pengusiran dari lingkungan keluarga sering terjadi.
Gay itulah sebutan yang diberikan kepada laki-laki yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis. Definisi gay yakni lelaki yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama lelaki (Duffy & Atwater, 2005). Perlakuan serta sikap diskriminasi terhadap kaum gay, memunculkan berdirinya berbagai organisasi-organisasi yang menjadi tempat bagi mereka yang memiliki satu rasa.  Seperti ketika abad ke-20 sekitar tahun 1920an di kota-kota besar di Hindia-Belanda bermunculan komunitas gay, yang kemudian setelah itu tahun 1969 di New York, Amerika di sebuah bar yang bernama Stonewall para waria dan gay melawan represi polisi dan peristiwa tersebut menjadi langkah awal bagi mereka untuk berani mempublikasikan dirinya ke dalam masyarakat. Tahun 1982 hingga sekarang mulai muncul organisasi-organisasi gay terbuka yang pertama di Indonesia seperti Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY), Indonesian Gay Society (IGS), dan GAYa NUSANTARA (GN) di Surabaya yang didirikan oleh Dede Oetomo pada tahun 1982 yang memiliki cita-cita mendirikan partai politik khusus kaum gay agar dapat memperjuangkan apresiasi dan eksistensi mereka. Kemunculan organisasi-organisasi gay di Indonesia tersebut, telah cukup membuktikan bahwa saat ini keberadaan kaum gay bukan lagi menjadi penyimpangan gender yang tidak diketahui oleh masyarakat. Bahkan jumlah gay yang ada di Indonesia tidak dapat dikatakan sedikit.
 Data persebaran kaum gay di Indonesia yang diperoleh dari hasil penelitian Forum Group Discuccion (FGD) yang bernama Mekanika dengan cara FGD. Berdasarkan identitas provinsi pada tahun 2013 yang menjadi anggota komunitas gay di internet adalah sebagai berikut :
            Tabel 1. Persebaran Kaum Gay di Internet Tahun 2013
No.
Provinsi
Jumlah
Presentase
1.
DKI Jakarta
33.054
43,33 %
2.
Jawa Barat
11.384
14,92 %
3.
Jawa Timur
7871
10,32 %
4.
Jawa Tengah
3890
5,10 %
5.
Bali
3878
5,08 %
6.
Daerah Istimewa Yogyakarta
3538
4,64 %
7.
Sumatera Utara
2897
3,80 %
8.
Riau
1613
2,11 %
9.
Sulawesi Selatan
1435
1,88 %
10.
Kalimantan Timur
1141
1,49 %
11.
Sumatera Selatan
767
1,00 %
12.
Lampung
672
0,88 %
13.
Sumatera Barat
624
0,82 %
14.
Kalimantan Selatan
509
0,67 %
15.
Kalimantan Barat
435
0,57 %
16.
Sulawesi Utara
347
0,45 %
17.
Kalimantan Tengah
312
0,41 %
18.
Jambi
248
0,32 %
19.
Nangroe Aceh Darussalam
243
0,32 %
20.
Nusa Tenggara Barat
229
0,30 %
21.
Kepulauan Riau
174
0,23 %
22.
Nusa Tenggara Timur
159
0,21 %
23.
Banten
125
0,16 %
24.
Sulawesi Tengah
122
0,16 %
25.
Bengkulu
113
0,15 %
26.
Maluku
95
0,12 %
27.
Papua Barat
87
0,11 %
28.
Sulawesi Tenggara
86
0, 11 %
29.
Papua
82
0, 11 %
30.
Gorontalo
57
0,07 %
31.
Bangka Belitung
54
0,07 %
32.
Maluku Utaraa
34
0,04 %
33.
Sulawesi Barat
13
0,02 %

TOTAL
76.288
100 %
Sumber : Data Hasil Penelitian Mekanika (FGD)
            Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa jumlah kaum gay yang berada di Indonesia tidaklah sedikit, walaupun mereka hanya berinterkasi dalam dunia maya. Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa kaum gay telah banyak yang berani memunculkan identitas mereka. Keberadaan kaum gay pun, dapat ditemukan di semua provinsi yang ada di Indonesia. DKI Jakarta, menempati peringkat pertama sebagai wilayah dengan jumlah kaum gay paling banyak. Dengan total 76.288 maka hal tersebut menjadi jumlah yang sangat kecil tentunya, jika dibandingkan dengan besarnya penduduk negara Indonesia. Apalagi, berdasarkan hasil penelitian dapat dimungkinkan banyak kaum gay yang tidak bergabung ke komunitas gay online tersebut.
Meskipun menjadi kelompok minoritas tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan para gay semakin hari akan banyak diketahui oleh masyarakat dengan jumlahnya yang semakin meningkat dan persebarannya pun semakin luas. Dari data tabel satu diatas, di provinsi Jawa Tengah kaum gay yang berintekeraksi di dunia maya berjumlah 3890 yang tentunya jumlah tersebut merupakan hasil akumulasi dari kota-kota yang berada di wilayah Jawa Tengah, termasuk Surakarta. Surakarta atau yang lebih akrab disapa dengan kota Solo ini selain terkenal dengan slogannya “The Spirit of Java” ini, di dalamnya ternyata juga menyimpan berbagai kisah kehidupan para gay yang sering dianggap tidak normal, menyimpang, dan bahkan sering disebut sampah oleh masyarakat. Dengan jumlahnya yang kurang lebih sekitar 700 orang, membuat para gay ini membuat komunitas yang disebut sebagai Yayasan Gerakan Advokasi Sosial dan Hak Azasi Manusia untuk Gay (Gessang) lebih tepatnya, bahwa yayasan inilah yang menjadi wadah bagi kaum gay di Kota Surakarta untuk melakukan berbagai kegiatan serta pertemuan rutin yang di selenggarakan oleh yayasan ini. Menurut direktur Yayasan Gessang, Slamet Rahardjo, yang telah lama membuka diri atas status gay-nya tersebut, menjelaskan bahwa komunitas yang telah berdiri sejak 14 tahun yang lalu ini, memiliki agenda pertemuan reguler setiap tahun yaitu “September Ceria”. Acara yang digelar setiap awal bulan September yang bertempat di kawasan atraksi wisata pegunungan Tawangmangu, Karanganyar ini biasanya dihadiri sekitar 700-an lebih gay di seluruh Indonesia. Acara ini bertujuan sebagai pertemuan lintas komunitas gay dan sebagai wadah ekspresi atas eksistensi mereka yang terpinggirkan dari masyarakat luas.
Selain acara September Ceria, forum kecil juga kerap di gelar oleh komunitas ini seperti pertemuan kalangan desainer atau seniman yang sama-sama berorientasi seksual gay. Akan tetapi, eksistensi komunitas gay saat ini agak meredup sejak adanya peristiwa ancaman dari Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) pada bulan September tahun 1999, yang saat itu Gessang akan mengadakan kegiatan Rapat Kerja Nasional Jaringan Lesbian dan Gay (JLGI). Sejak kejadian itu, komunitas gay di Kota Surakarta menjadi agak sulit ditemukan. Hingga saat ini, hanya ada sejumlah lokasi mangkal kalangan gay di Kota Surakarta. Lokasi-lokasi tersebut diantaranya adalah kawasan segaran Taman Sriwedari, kawasan Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, Joglo Sriwedari, depan eksbioskop Solo Theatre, Solo Grand Mall, lokasi wedangan Sraten, depan Lembaga Permasyarakatan Solo, kawasan Terminal Tirtonadi, kawasan Gilingan, kafe Warung Jawi, music room sejumlah hotel, sejumlah diskotek, dan beberapa lokasi lain. Tidak hanya sekedar ancaman secara kolektif saja yang diderita oleh komunitas gay di Surakarta, akan tetapi diskriminasi secara individu yang sangat kejam juga dilakukan oleh masyarakat umum khususnya orang-orang sekitar dimana mereka tinggal bahkan oleh keluarganya sendiri. Hal tersebut, seperti kisah yang dialami oleh seorang gay yang bernama Mathius Sutaryono yang bertempat tinggal di kawasan Tipes, Solo. Pada pertengahan bulan Maret 2006, dia meninggal akibat penyakit AIDS. Mathius kerap dipanggil Cut Tari oleh teman-temanya karena dianggap mirip dengan artis Indonesia yang bernama sama dengan panggilanya tersebut saat berdandan. Saat dia meninggal, baru berusia 24 tahun, dan ketika dirawat di salah satu rumah sakit swasta di Kota Surakarta tak ada satu saudara atau keluarganya pun yang menjenguk, bahkan ibu kandungnya tidak mau mengakui Cut Tari sebagai darah dagingnya. Peristiwa peminggiran bahkan pengeluaran dari keluarga yang dialami kalangan gay di Kota Surakarta memang cukup banyak terjadi. Selain Cut Tari ada pula seorang gay yang bernama Ryan (bukan nama sebenarya) diusir dari rumahnya karena salah satu saudara Ryan melihatnya tengah “bergelut” tanpa busana dengan teman laki-laki di kamarnya. Setelah peristiwa itu, kemudian Ryan memutuskan untuk bergabung kedalam komunitas gay di Kota Surakarta.

Berbagai kisah kehidupan kaum gay yang terjadi diberbagai wilayah khususnya di Kota Surakarta sendiri, memang bukan menjadi suatu pemandangan yang patut untuk terus dinikmati. Artinya, ketika status manusia adalah sebagai makhluk sosial yang memiliki kewajiban untuk peduli antar sesama peristiwa inilah yang selayaknya menjadi perhatian khusus dan berbeda disamping masalah-masalah sosial yang saat ini lebih banyak berbau dan datang dari dunia politik. Mencari jawaban atas pertanyaan kenapa perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat umum terhadap kaum gay yang hingga saat ini tidak henti-hentinya terjadi tentu menjadi sebuah keinginan besar bagi peneliti. Akan tetapi, disisi lain muncul suatu persoalan baru yang berawal dari rasa penasaran yang timbul karena adanya hubungan peneliti dengan salah satu kaum gay di Kota Surakarta yang dapat dikatakan sudah cukup lama, maka peneliti ingin mencoba mencari jawaban atas dasar pertanyaan tentang bagaimanakah konsep diri yang dibangun oleh kaum gay di Kota Surakarta tersebut. Selama ini, pandangan yang selalu ada dimata masyarakat bahwa kaum gay adalah orang-orang yang menyimpang, dan bahkan tidak sedikit dari sebagian masyarakat umum yang jijik terhadap mereka khususnya mereka para laki-laki maskulin. Tetapi, pertanyaan selanjutnya jika para laki-laki normal ditanya kenapa mereka (kaum gay) yang juga juga memiliki kesamaan jenis kelamin dengannya dapat memiliki orientasi seksual yang berbeda dari seharusnya, maka disinilah kaitannya dengan apa yang disebut sebagai konsep diri. Konsep diri terbentuk dari adanya pengalaman individu, seperti misalnya identitas pribadi seorang individu tergantung pada hubungannya dengan orang lain (James dalam Wirawan, 1998). Konsepsi diri juga terbentuk karena adanya interaksi dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Apa yang diprepsesikan seseorang tentangnya akan mempengaruhi penilian terhadap dirinya sendiri (Ritandiyono & Retnaningsih, 1996). Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara melihat diri sendiri yang juga dipengaruhi oleh pengalaman seorang individu dengan orang lain melalui proses interaksi. Terbentuknya orientasi seksual yang berbeda dari laki-laki umumnya pada kaum gay merupakan hasil dari pemahaman dan pemaknaan konsep diri mereka. Oleh karena itu, bagaimana kaum gay melihat diri mereka sendiri sebelum ataupun setelah terbentuk menjadi seorang gay menjadi sesuatu hal yang urgen untuk diteliti karena hal tersebut yang nantinya pula mampu memberikan jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana perilaku gay itu terbentuk khususnya para kaum gay di Kota Surakarta.

2 komentar:

  1. Salam. Halo kak, jika berkenan boleh minta nomor kontak nya? untuk tanya-tanya informasi mengenai gay untuk bahan skripsi. Terimakasih.

    BalasHapus
  2. Bisakah perilaku gay bisa kembali ke kehidupan normal

    BalasHapus