Jumat, 07 November 2014

MEMBANGUN RUANG PUBLIK DI LINGKUNGAN KOST-KOSTAN, LANGKAH MENUJU MASYARAKAT KOMUNIKATIF

A.     PENGANTAR
Rasionalitas dan modernitas sebagi salah satu produk pencerahan  telah berhasil membebaskan manusia dari belenggu mitos dan zaman kegelapan (dark age) di eropa. Lewat rasio  masyarakat dunia diajak untuk berani berfikir menggunakan rasionya untuk mengenal alam dan menaklukkannya. Hasilnya, ilmu pengetahuan berkembang pesat, industri modern tumbuh dimana-mana yang kemudian berkembang menjadi industri perkotaan, teknokratisasi dan birokratisasi berkembang sedemikian rupa hingga dominasi kapitalisme yang sampai saat ini masih belum tergantikan.
Dalam perkembangannya rasionalitas dan modernitas mendapat banyak kritik karena melahirkan berbagai macam masalah semisal dominasi sistem terhadap individu, manusia yang menjadi hanya mampu berfikir rasional instrumental, eksploitasi dan alienasi individu dalam sistem kapitalisme, dan secara garis besar rasionalisme menjadi irrasional karena ketidakmampuannya menjelaskan isu-isu kerkinian.
Pada perkembangan selanjutnya muncul rasionalitas kritis yang mengkritik rasionalitas dan modernitas. Lewat pencarian akar permasalahan dunia modern, teori kritis menemukan bahwa relasi antar individu tampak sebagai relasi komoditas adalah yang menjadi penyebab mundurnya manusia modern. Hubungan yang terjalin antar individu sifatnya semata-mata pertukaran ekonomis dan politik. Hal tersebut sebenarnya berakar dari analilis marxis yang ekomi deterministik dalam memahami sebuah masayarakat dimana hubungan antar individu merupakan hubungan kerja dalam produksi.
Mazhab frankfurt mengusulkan suatu teori yang menyerukan adanya kaitan antara teori dan praksis sebagai solusi keterasingan relasi manusia tersebut. Langkah-langkah adalah merekonstruksi rasionalitas diatas menjadi apa yang dinamakan rasionalitas kritis. Rasionalitas kritis mengkritik cara produksi kapitalisme yang efektif dan efisien namun disisi lain mengalienasi individu dan mengeksploitasi, rasionalitas modern melahirkan bentuk penindasan baru individu terhadap individu, logika manusia direduksi untuk kepentingan teknis semata mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, dan hubungan antar individu menjadi saling menindas satu sama lain.
Dalam perkembangannya, rasionalitas kritis mengalami kebuntuan samahalnya dengan rasionalitas yang dikritiknya: emansipasi kritis menjadi instrumen dominasi baru, sikap kritis menjadi rrasional karena hanya bisa mengkitik dan lain sebagainya.
Kemudian muncullah rasionalitas instrumental. Rasional instrumental memfokuskan
pada sistem kontrol untuk mencapai sasaran. Segala hal yang mengyangkut komunikasi dan interaksi dengan alam akan memunculkan dominasi pekerjaan, sedangkan komunikasi dan interaksi yang terjalin antar individu atau kelompok manusia akan memunculkan tindakan strategis. Tindakan strategis tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dari yang dikonsepkan George C. Homans dalam proposi-proposisi penyususn teori pertukaran dimana kita semua mempertukarkan segala macam hal untuk mendapatkan yang kita inginkan. Tindakan strategis dalam rasionalitas instrumental mengahrapkan suatu hasil akhir dari komunikasi adalah penguasaan dan pengendalian atas orang lain (lawan bicara) lewat bujukan, rekayasa, manipulasi bahkan paksaan komunikasi yang tercipta pada dasarnya bersifat monologis karena subjek dalam hal ini seseorang menganggap orang lain (lawan bicaranya) adalah objek yang bisa diibaratkan sebagai benda.
            Rasionalitas instrumental inilah yang menjadi sasaran kritk habermas dengan paradigma komunikasinya: rasionalitas komunikatif. Komunikasi adalah titik tolak fundamental Habermas yang erat hubungannya dengan usaha mengatasi kemacetan teori kritis atas pendahulunya,( Hadirman, F. Budi, 1993:xix).

B.    RUMUSAN BAHASAN
1.      Konsep Rasionalitas Komunikatif Habermas
2.      Konsep Ruang Publik Masyarakat Komunikatif Habermas
3.      Pentingnya Ruang Publik di Lingkungan Kos-Kosan

C.    PEMBAHASAN
1.      Konsep Rasionalitas Komunikatif Habermas
Rasionalitas komunikatif Habermas merupakan kritik atas rasionalitas instrumental yang dinilai menciptakan dominasi baru. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi yang terdapat dalam rasionalitas instrumental jika menyangkut antar individu akan memunculkan tindakan strategis. Komunikasi adalah sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak mustahil didalamnya terdapat bujukan, rekayasa, bahkan paksaan agar lawan bicara melakukan apa yang dia harapkan (mengendalikan lawan bicara). Menurut Habermas yang seperti itu bukanlah komunikasi yang sesungguhnya karena tujuan dan capaian hasilnya telah ditentukan sebelumnya bukan kesepakatan bersama hasil dari proses argumentasi. Relasi yang terjalin dari komunikasi semacam itu sifatnya subjek-objek. Maka manusia akan merasa terasing antara satu sama lain karena mereka memperlakukan manusia lainnya atas dasar kepentingan dan pencapaian tujuan mereka masing-masing.
Dalam rasionalitas komunikatif yang dibangun Habermas relasi yang terjalin dari komunikasi sifatnya subjek-subjek (intersubjektif). Dua subjek yang sedang berkomunikasi kedudukannya sama, dialogis, saling pengertian, dan dasarnya adalah argumen yang rasional. Konsensus atau kesepakatan yang muncul dari komunikasi semacam ini adalah hasil pemahaman intersubjektif peserta diskusi. Ketika beradu argumen peserta diskusi yang kalah (salah) dalam menyusun atau memberikan pendapatnya harus mengakuinya secara jujur dan bijaksana. Dari proses ini koreksi kesalahan (falsifikasi) dapat terjadi. Harapan dari koreksi tersebut dapat melakukan proses refleksi diri.
Hasil dari konsensus tersebut adalah berupa klaim-klaim rasional yang disebut klaim-klaim kesahihan. Dalam bukunya The Theory of Communicative Action Habermas menyebut empat macam klaim. Kalau ada kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif, berarti mencapai klaim kebenaran (truth). Kalau ada kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, berarti mencapai klaim ketepatan (rightness). Kalau ada kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang, berarti mencapai klaim autentisitas atau kejujuran (sincerety). Akhirnya, jika keempat klaim tersebut dapat tercapai, klaim komprehensibilitas (comprehensibility) terpenuhi. Mereka yang mampu melakukannya berarti memiliki “kompetensi komunikatif”. (Habermas, 1981).
Selain itu, soal argumen yang menjadi landasan dalam berkomunikasi diatas Habermas membedakannya kedalam dua macam argumen. Pertama, perbincangan atau diskursus. Tujuan utama dari diskursus adalah untuk mencapai tujuan konsensus lewat subjek partisipan yang masing-masing telah mempunyai seperangkat latar belakang pengetahuan berintraksi menghasilkan “latar depan”, sampai ahirnya konsensus dasar tercipta. Yang kedua adalah kritik. Kritik dapat dipergunakan jika konsensus tidak dapat dicapai karena berbagai hal (http://beranitahu.blogspot.com/2011/02/diskursus.html). Dua bentuk kritik yang diutarakan Habermas adalah kritik estetis yang mempersoalkan norma-norma sosial yang dianggap objektif. Jika diskursus mengandaikan objektivitas norma-norma, kritik estetis mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia bathiniah. (Ansori, 2009) Dan kritik yang kedua adalah kritik terapeutis yang dilakukan guna mengungkap penipuan diri masing-masing pihak yang berkomunikasi.


2.      Konsep Ruang Publik Masyarakat Komunikatif Habermas
Untuk mengakomodasi rasionalitas yang komunikatif seperti diatas diperlukan suatu tempat agar tiap orang bisa mengungkapkan argumennya secara terbuka. Ruang atau wahana tersebut bernama Ruang Publik (Public Sphere). Ruang publik tidak hanya berbicara soal tempat tetapi mencakup  suatu situasi dan kondisi yang ideal bagi terciptanya argumentasi yang memenuhi keempat klaim diatas. Ruang publik merupakan wahana dimana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap masyarakat memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi, dan dari sana muncul kepentingan bersama untuk mencapai konsensus mengenai arah masyarakat dan pemecahan-pemecahan setiap masalahnya
Ruang publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta situasi berbicara yang ideal. Situasi yang ideal ini adalah keadaan dimana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional.(Ansori,2009). Dalam situasi ideal ini kebenaran muncul lewat argumentasi. Ruang publik ini juga merupakan sarana yang menjembatani antar rakyat dan penguasa (pemerintah). Idealnya kekuasaan itu buka dilegitimasi namun disepakati lewat konsensus yang dibangun lewat komunikasi tersebut.melalui ruang publik masyarakat dapat menyuarakan kepentingan terhadap pemerintah, dan pemerintah sebisa mungkin menyerap aspirasi masyarakat tersebut untuk dipenuhi. Jika tidak memungkinkan atau membutuhkan proses yang rumit yang akan memakan banyak waktu pemerintah dapat  memberi pengertian kepada rakyatnya dengan cara yang dapat dimengerti. Sementara itu, masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa. Jika hal tersebut dapat terjadi bukan tidak mungkin akan tercipta suatu tatanan yang harmonis antara rakyat dan penguasa yang akan membawa kebaikan bagi bersama.

3.      Pentingnya Ruang Publik di Lingkungan Kos-kosan
Dari dua konsep diatas, rasionalitas komunikatif dan ruang publik penulis mencoba mengambil contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan pribadi penulis, lingkungan kos-kosan. Lingkungan kos-kosan bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah masyarakat seperti gambaran yang diutarakan diatas. Ada banyak individu yang hidup dan berinteraksi dididalamnya. Selain itu para mahasiswa penghuni satu kos-kosan tidak hanya hidup didunianya, dunia kampus dan pertemanan sesama mahasiswa namun lebih luas adalah masyarakat disekitar lingkungan kos-kosan termasuk pemilik kos didalamnya.
Dari pengalaman pribadi penulis sendiri kerap dijumpai berbagai macam konflik baik yang menyangkut sesama penghuni kos, penghuni dan pemilik kos, bahkan penghuni kos dan masyarakat sekitar. Kita sering mendengar bahkan mengakui interaksi yang terjalin antara mahasiswa dan masyarakat di lingkungan sekitar kos-kosan kualitasnya rendah. Mahasiswa jarang ikut bergaul dengan masyarakat sekitar. Mahasiswa seolah memiliki dunianya sendiri terlepas dari masyarakat disekitarnya. Kalaupun ada interaksi adalah semata-mata atas dasar kepentingan. Misalnya mahasiswa baru akan berinteraksi dalam bentuk meminta pertolongan kepada pemilik kos jika ada kerusakan yang kaitannya dengan kamar kos yang mereka tinggali, atau fasilitas penunjang lain semisal listrik dan air mengalami gangguan. Di kos-kosan penulis sendiri jarang ada acara-acara semisal kumpulan untuk mengakrabkan antara mahasiswa baru dan lama juga dengan pemilik kos. Para penghuni kospun jarang semuanya berkumpul untuk sekedar ngobrol-ngobrol santai, kalaupun ada orangnya cenderung yang itu-itu saja. Ketika ada konflikpun mereka yang terlibat lebih memilih saling mendiamkan, entah menunggu apa dan sampai kapan.
Dari konsep ruang publik diatas penulis menyadari sebenarnya setiap kos-kosan memiliki hal tersebut  namun kebanyakan belum dimanfaatkan dengan baik. Ambil contoh di kos-kosan penulis tersedia ruang tamu dengan fasilitas TV, meja, kursi, dan lain sebagainya yang diperuntukkan bagi para penghuni kos untuk berkumpul. Namun kebanyakan fasilitas tersebut belum dimanfaatkan dengan baik untuk menciptakan interaksi yang komunikatif baik antar penghuni kos maupun antara penghuni kos dengan pemilik kos. Sebenarnya ruang publik tersebut jika dimanfaatkan dengan baik dapat membuat kondisi kos-kosan menjadi lebih hidup, terjalin kebersamaan, dan dapat meminimalisir konflik. Segala macam hal mengenai kebutuhan penghuni kos dapat diutarakan dengan tepat sasaran kepada pemilik kos yang kebetulan tinggal bersebelahan dengan kos-kosannya. begitu pula sebaliknya jika pemilik kos mempunyai keinginan tertentu atau usulan saran yang ada kaitannya dengan penghuni kos dapat disampaikan diruang tersebut. Kemudian antar penghuni kos-kosan dapat mengutarakan pemikiran, pendapat, ataupun komplennya terhadap penghuni kos-kosan lainnya dengan cara yang menyenangkan, diselingi orbrolan ringan dan candaan.
Dengan begitu interaksi yang terjalin di lingkungan kos-kosan akan lebih berkualitas dan kos-kosan tidak hanya menjadi tempat bagi mahasiswa untuk melepas penat setelah seharian berkutat dengan aktivitas kampus. Lewat ruang publik “berskala kecil” tersebut masing-masing pihak kedudukannya sama, sama-sama sebagai subjek, tercipta rasionalitas komunikatif lewat penyampaian argumen yang sebenarnya bisa dijadikan ajang meningkatkan kemampuan berbicara mahasiswa terutama yang berkaitan dengan kemasyarakatan selain lewat organisasi-organisasi dilingkungan kampus. Kita tidak perlu memikirkan hal yang muluk-muluk dulu seperti mengkomunikatifkan antara masyarakat dengan pemerintah, lewat hal sederhana seperti memanfaatkan ruang publik di kos-kosan tersebut kita bisa menciptakan suatu dunia-kehidupan berskala kecil yang disana kita hidup dan menghidupinya.


D.    PENUTUP
Pemikiran Habermas mengenai rasionalitas komunikatif pada dasarnya merupakan kekhawatirannya terhadap rasionalitas intrumental, didalamnya termasuk modernisasi yang telah membawa manusia semakin jauh dari kodratnya sebagai makhluk yang komunikatif. Lewat rasionalitas barunya, rasionalitas komunikatif Habermas mengajak manusia untuk menjadi makhluk yang komunikatif, menciptkan dunia kehidupan yang didalamnya manusia hidup dan menghidupinya lewat jalan komunikasi yang intersubjektif, argumentasi yang rasional, serta keterbukaan dari semua pihakn untuk bersama-sama mencapai tujuan dan kepentingan bersama. Salah satu caranya adalah dengan menciptakan dan memanfaatkan apa yang dinamakan public sphere. Sebuah tempat dimana rasionalitas komunikatif itu dapat terwujud, konsensus dapat tercapai, orang-orang berkumpul dalam kesederajatan, dan tidak ada lagi penguasaan antar satu orang terhadap orang lainnya.
Berangkat dari dua konsep diatas penulis mengangkat ruang publik dilingkungan terdekatnya, kos-kosan. Ruang publik seperti yang dijelaskan diatas setidaknya dapat menjadi langkah kecil sekaligus awal untuk menuju masyarakat yang komunikatif seperti apa yang dicita-citakan Habermas dan kita semua.

E.     DAFTAR PUSTAKA    
Ansori, 2009. Rasionalitas Komunikatif Habermas. Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Vol.3 No.1
Januari-Juni 2009 Pp.90-100 STAIN Purwokerto.
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Perdana Media Group, Jakarta
Habermas, Jurgen. 1981. Teori Tindakan Komunikatif Rasio dan Rasionalitas Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta
Hardiman, Fransisco Budi, 2008. Menuju Masyarakat Komunikatif. Kanisius, Jogjakarta.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2012. Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana,
Jogjakarta.
Wasian, neno. 2011. “Diskursus”. http://beranitahu.blogspot.com/2011/02/diskursus.html diakses pada Selasa, 14 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar