Rabu, 12 November 2014

Pengaruh Kepemilikan, Netralitas, dan Kehebatan Media Televisi Membentuk Opini Publik dalam Kehidupan Politik Indonesia

Tulisan ini menganalisis tentang hubungan antara media televisi dan politisi. Hubungan antara media televisi dengan dunia politik memang tidak bisa dipisahkan, keduanya sama-sama menguntungkan dalam kepentingan masing-masing pihak. Seorang politisi membutuhkan televisi sebagai alat untuk menyebar luaskan gagasan atau kebijakan kepada masyarakat. Sedangkan televisi membutuhkan politik sebagai bahan berita untuk kebutuhan informasi masyarakat dalam peranya sebagai kontrol pemerintah. Penulisan artikel ini dilatarbelakangi oleh hubungan antara politisi dan televisi yang mulai memengaruhi penyajian informasi. Hal ini menjadi penting untuk dibahas ketika informasi yang disajikan oleh televisi tidak lagi  berimbang karena telah disusupi corong-corong kepentingan politik. Media televisi yang tidak seimbang ini tentu saja akan berimbas pada kehidupan demokrasi. Tujuan dari penulisan ini untuk kepentingan studi sebagai tugas terstruktur. Artikel ini ditulis dengan menggunakan pendekatan kualitatif, pengambilan data dilakukan dengan cara analisis media massa dan studi pustaka yang menghasilkan beberapa referensi.
Kata Kunci: Media televisi, Politik, kepentingan politik, Demokrasi, Pemerintah

Pendahuluan
            “there’re only two things which can throw light upon hear on earth. Two things, one is the sun in heaven and the second one is the press on earth.” (Mark twin)
Sebelum tahun 1987 saluran televisi Indonesia hanya memiliki TVRI sebagai saluran televisi nasional. Namun seiring dengan alur dinamika masyarakat, maka bermunculanlah televis-televisi swasta. Televisi swasta pertama yang muncul di Indonesia adalah RCTI (Rajawali Citra Televisi) pada tahun 1987, lalu munculah saluran-saluran televisi lain seprti SCTV, Indosiar, Antv, dan TPI. Kemunculan salunan televisi tersebut dapat menjadi alternatif masyarakat dalam mencari informasi dan hiburan.
            Selama periode TVRI (30 tahun) masyarakat banyak disuguhi program hiburan dan informasi yang lebih merujuk pada kepentingan politik penguasa. Dari acara hiburan, informasi, sampai acara pendidikan selalu menyampaikan “pesan” kepentingan pemerintah. Kemudian masyarakat selalu mendapatkan informasi yang seragam setiap harinya. Kemunculan beberapa saluran televisi swasta memberi sedikit pencerahan bagi masyarakat di mana masyarakat dapat mengakses informasi yang beragam dan dapat menyaksikan berbagai hiburan. Kemunculan saluran televisi swasta ini juga disambut hangat oleh para industriawan, di mana mereka dapat mengiklankan produknya secara luas, karena pada masa TVRI periklanan dalam televisi dilarang dengan alasan mengurangi sikap konsumerisme masyarakat. Televisi sebagai media massa yang lebih diterima dalam masyarakat dibanding media massa yang lainya berpeluang besar terhadap pembentukan opini masyarakat dan pembentukan citra. Dengan demikian televisi diharapkan dapat menjadi salah satu media yang dapat menjadi anjing penjaga atau watch dog dalam jalanya pemerintah. Hal tersebut dapat di rasakan oleh masyarakat sesaat setelah era orde baru runtuh. ketika orde baru, media massa khusunya televisi tampak “diam” berbicara mengenai korupsi, namun pada era reformasi ini televisi begitu gencar menjalankan fungsi kontrolnya terhadap pemerintah tanpa rasa takut terhadap rezim otoriter. Namun dengan hadirnya televisi swasta ini sering menimbulkan “kecurigaan” masyarakat terutama tentang stasiun televisi yang dimiliki oleh aktor politik. Sebut saja ANTV dan TV One yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie yang merupakan politisi Partai Golkar, MNC, RCTI, dan MetroTV yang pemiliknya adalah Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo yang berada di Parta Nasdem, lalu TRANS TV dan TRANS7 yang dimiliki oleh Chairul Tanjung ( donatur Partai Demokrat ).
             Dari yang telah diuraikan di atas bahwa kepemilikan media oleh aktor politik telah menghadirkan berbagai pertanyaan, apakah saluran televisi dapat bersifat objektif dalam penyampaian inforrmasi? Apakah saluran televisi dapat terlepas oleh kepentingan politik penguasa? Hal ini menarik untuk dikaji mengingat televisi sangat berpengaruh penting dalam pembentukan opini dan pencitraan.

Kekuatan Media Televisi
            Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menguatkan peran media massa dalam kehidupan masyarakat. Setidaknya ada tiga fungsi yang melekat pada media yaitu memberi informasi, pendidikan, dan hiburan.[1] Media massa yang merupakan komponen dari empat pilar demokrasi harus  dijaga kebebasanya sebagai anjing penjaga  bagi jalanya pemerintahan. Kebebasan yang diberikan pada praktiknya sering disalah artikan oleh media sehingga sering terjadi berbagai konflik antara media dan penguasa.
Kini, media massa tidak hanya tumbuh menjadi penjaga atau pengawas kekuasaan rezim berkuasa. Namun, media telah menjadi kekuatan baru bagi para pelaku politik dan ekonomi. Bisnis media kini mulai diatur oleh orang yang memiliki kekuatan politik dan uang yang kemudian berkolaborasi mengatur isi  yang pada akhirnya setiap informasi akan disusupi oleh kepentingan tertentu. Hal ini tentu saja memperlihatkan bagaimana media dapat menjadi kekuatan bagi politisi dan pengusaha untuk mencari keuntungan.
Salah satu media yang paling dominan saat ini adalah media televisi. Kelebihan televisi yang menampilkan penyiaran secara audio visual lebih menarik masyarakat indonesia. Televisi kini bukan lagi menjadi barang sekunder dan istimewa karena mayoritas keluarga indonesia sudah memiliki televisi dan televisi telah dijadikan barang yang pokok.
            Keberadaan industri pertelevisian telah mengundang beragai macam tanggapan. Fungsi televisi dalam menyajikan informasi melalui berita, wawancara, komentar, bahkan talk show sekalipun dapat menimbulkan opini dan tanggapan yang berbeda-beda dalam masyarakat. media terutama televisi dalam keahlianya mengolah data, fakta, dan kata-kata dalam suatu pemberitaan, tentu saja akan menarik perhatian dan membuat audiens beropini baik setuju maupun tidak terhadap pemberitaan yang ditayangkan. Dengan begitu maka, media televisi bukan hanya menampilkan hiburan dan informasi saja namun media televisi juga dapat dijadikan pembentuk pendapat umum.
Kehebatan media televisi dalam membentuk opini ini dapat kita lihat ketika seseorang membeli produk karena pengaruh iklan yang ditampilkan di televisi atau ketika seseorang memilih aktor politik karena aktor politik tersebut sering muncul di televisi. Hal ini membuat politisi atau para pemimpin negara tidak dapat lepas dari peran media sebagai pembentuk opini masyarakat. Media terutama televisi sering dimanfaatkan oleh politisi atau pemimpin negara sebagai sarana untuk memperkenalkan gagasan dan sosok mereka sendiri. Televisi berpartisipasi aktif dalam menyajikan berbagai kasus, informasi, dan prestasi seseorang, terutama dalam bidang politik dan pemerintahan, sekaligus menjadi pengarah opini publik dalam promosi para kandidat partai politik, baik untuk pemilihan presiden, parlemen atau kepala daerah. Pemberitaan yang dikabarkan oleh media televisi tentu saja tidak lepas dari sudut pandang ruang redaksi yang akan membentuk bahkan memengaruhi pandangan atau opini pemirsa.
Pengaruh media dalam pembentukan opini publik juga terlihat dalam kasus perang teluk, di mana Amerika berusaha menarik simpati dunia mealui berbagai media terutama televisi agar mendukung intervensinya yang dilakukan di Irak. Dalam perang tersebut militer Amerika menyatakan bahwa mereka membutuhkan senjata (media) untuk membatu menyerang Irak.  Amerika melalui media barat memberitakkan bahwa Sadam Husein adalah seorang pembunuh berdarah dingin, hal ini tentu saja membentuk opini dunia tentang Saddam Husein dan Irak. Namun, strategi Amerika Serikat dibalas oleh presiden Irak Saddam Husein (almarhum) dengan mengizinkan Peter Arnett dari CNN untuk melakukan siaran langsung dari Baghdad. Saddam ingin memperlihatkan kepada dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi di Irak dan mengubah pendapat umum. Bahkan dalam propagandanya Saddam tiba-tiba muncul di tengah-tentang sandraan tentara Amerika dengan penuh simpati.[2]
Apa yang terjadi antara Irak dan Amerika bukan hanya perang senjata, tetapi juga perang informasi antara stasiun televisi yang pro Amerika dan pro perjuangan Irak. Misalnya, stasiun televisi Al-Jazeera dan Al-Arabi yang di pancarkan secara global oleh Arab berusaha untuk mengimbangi pemberitaan dari saluran televisi pro Amerika. Sehingga kedua saluran televisi tersebut menjadi target sasaran bom untuk menghentikan pemberitaan agar mereka dapat membentuk opini umum secara sepihak. Bentuk dari media televisi sebagai pembentuk opini yang efektif juga dapat kita lihat bagaimana media dengan berbagai tanggapanya tentang politisi perempuan. Media  televisi telah terlanjur banyak menayangkan acara yang menggambarkan bahwa perempuan itu lemah, tidak rasional, tidak bisa mengambil keputusan,dan lain sebagainya yang pada akhirnya menjadi hambatan bagi seorang kandidat perempuan dalam pemilu atau pemilukada. Di Indonesia Krisna Sen pernah menulis tentang tekanan publik dan media terhadap pencalonan Megawati sebagai presiden. Isu yang banyak diangkat oleh media pada saatb itu adalah isu bahwa seorang perempuan “haram” menjadi pemimpin di Indonesia.[3] Pada saat itu media seperti menentang kepemimpinan politik perempuan yang pada akhirnya media massa membentuk opini masyarakat untuk menentang pemimpin politik perempuan. Bahkan negara yang demokratisnya tinggi seperti Amerika juga mengalami hal yang serupa. Erika Falk[4] yang melakukan studi gender dan liputan media Amerika menemukan bahwa meskipun Hillary Clinton memimpin polling pada pemilu saat itu, tidak membuat banyak media televisi untuk lebih banyak meliputnya. Namun, keanyakan media malah lebih banyak meliput Obama. Hillary juga lebih sering mendapat julukan rendah dan menjatuhkan. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan bagi Hillary Clinton. Hasil liputan media tentang kepemimpinan serang perempuan tentu saja memengaruhi cara pandang masyarakat pada kandidat politik perempuan yang nantinya juga akan memengaruhi jumlah suara yang di berikan terhadap kandidat perempuan dan tentu saja sangat berpengaruh bagi ketidak adilan gender. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa media televisi sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik. Bahkan dalam suatu survei di Amerika menyebutkan 9 dari 10 orang Amerika percaya bahwa media memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pendapat umum.
Kekuatan televisi sebagai media juga menampilkan berbagai tayangan telah melahirkan orang-orang berbakat di dunia seni menjadi lebih terkenal. orang-orang terkenal yang sering kita sebut selebritis ini sebagian besar adalah seorang penyanyi, aktris/aktor, musisi, model, dan persenter. Semakin banyak ditampilkan di televisi seseorang akan semakin familiar dan populer. Sosok artis  yang begitu dikenal dalam masyarakat memang tak lepas dari kemampuan media massa terutama televisi yang handal dalam membentuk citra dan opini publik. Kepopuleran selebriti dan seorang politisi memang tak bisa dilepaskan dari peran televisi, melalui televisi, kita dapat mengenal wajah dan latar belakang selebriti dan politisi. Liputan yang dilakukan secara terus menerus oleh media cukup akurat untuk meningkatakan pengetahuan pemilih pada calon dan seorang pemilih kemungkinan akan memilih kandidat yang dikenal daripada yang tidak dikenal.  Kepopuleran selebritis ini sering kali dimanfaatkan oleh para politisi untuk menarik masa kertika kampanye. Contohnya, ratu talk show  Oprah Winfrey dimanfaatkan oleh Obama (calon presiden AS 2008) untuk menarik sebagian besar dari 18.500 orang yang datang di depan panggung kampanye Obama.[5]
Kini di negara-negara demokratis khususnya Indonesia, seorang selebritis bukan hanya telah menjadi penarik masa dalam kampanye. Namun, dengan tanggapan bahwa kemungkinan seorang pemilih akan memilih kandididat yang lebih dikenal membuat banyak partai menggiring selebriti sebagai salah satu kader atau wakil partainya dalam pemilu untuk memperjuangkan kursi kekuasaan partainya di dalam pemerintahan. Partai politik ingin memenangkan pemilu secara instan karena para selebritis tidak perlu susah-susah berkampanye atau mempromosikan dirinya sendiri karena sebagian masyarakat telah mengenalnya.
Sejumlah selebriti telah menorehkan namanya sebagai pejabat penting daerah maupun anggota legislatif. Seperti, Zumi Zola yang berhasil menjadi Bupati Tanjung Jabung timur, Jambi dan Dicky Chandra yang sempat menjadi wakil Bupati Garut, Jawa barat. Sebelumnya, juga telah ada Rano Karno yang menjadi wakil gubernur Banten dan Dede Yusuf yang juga menjadi wakil gubernur Jawa Barat. Lalu, selebriti yang berhasil menjadi anggota DPR yaitu, Rieke Dyah Pitaloka yang tahun ini juga menyalonkan diri sebagai gubernur Jawa Barat, Rachel Mariam, Eko Patrio, Angelina Sondak, dll. Ada juga yang akan menyalonlan diri sebagai pejabat, seperti dedy Mizwar yang menyalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Barat, lalu ada aktor tampan Irwansyah yang akan maju di Pilkada Tangerang 2013 dan yang sempat heboh diberitakan adalah sang raja dangdut yang akan menyalonkan diri sebagai presiden di tahun 2014 mendatang.[6] Keberadaan selebritis di kancah politik ini memang tak dapat dipisahkan dari keberadaan televisi dalam masyarakat. keduanya seperti keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan dan saling menguntungkan.

Netralitas Media Televisi?
Kenetralan media televisi secara absolut memang sulit untuk direalisasikan, baik itu secara praktis maupun secara teoris. Media televisi dalam menyajikan berita tentu saja memiliki 2 ruang penting dalam proses pengangkatan berita. Pertama, ruang redaksi yang bertugas untuk memproduksi tulisan atau tayangan berita. Kedua, ruang industri yang bertugas dalam pendanaan dan pemasaran, pihak industri biasanya yang mencari iklan, donatur, dan dana dari pemilik media tersebut.
            Sering kali para pemilik kepentingan politik memanfaatkan televisi sebagai alat kampanye yang efektif sehingga mereka bersedia menjadi donatur atau bahkan berupaya memiliki sebuah stasiun televisi. Hal ini seharusnya tidak memengaruhi ruang redaksi dalam memproduksi berita, namun tetap saja kenetralan redaksi seringkali gagal berkompromi dengan kepentingan penguasa media tersebut. Apalagi jika pengusa suatu media tersebut adalah salah seorang aktor politik. Maka, tidak heran lagi bila alur pemberitaan tentang dirinya dan partainya dapat diarahkan sesuai keinginan.  Padahal kenetralan media telah diatur dalam UU 32/2002 tentang penyiaran pasal 36 ayat 4 yang menyebutkan, “isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan golongan.” Dari undang-undang tersebut dapat kita simpulkan bahwa media seharusnya tidak memunculkan kesan menilai atau keberpihakanya terhadap suatu partai atau aktor politik, terutama pada pemilu atau kepentingan politik lainya. Biarlah masyarakat yang menilai sendiri tentang aktor politik atau partai tersebut. Yang harus dilakukan media sebenarnyan hanya menampilkan informasi tentang politik dengan sebenar-benarnya.
            Dalam proses negara demokratis, sebuah kenetralan, independensi, dan objektifitas media sangat dibutuhkan. Media yang memiliki kenetralan, independensi, dan objektifitas dapat membongkar kepalsuan yang terjadi dalam kubu birokrasi, dan media dijadikan sebagai alat penyalur kritik untuk mengawasi jalanya pemerintahan. Dalam pilkada, media televisi dapat menyukseskan kampanye dengan cara memberi informasi tentang bagaimana cara memberikan suara saat pilkada, lalu memberkan informasi tentang betapa pentingnya pilkada kepada masyarakat sehingga angka golput menurun. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa media massa senantiasa mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi jalanya pemerintahan. Dengan demikian, peran media terutama televisi sangat diperlukan objektifitas dan netralitasnya dalam menyajikan informasi baik dalam pemilu ataupun dalam pengawasan pemerintah. Namun, sekarang ini memang sangat sulit untuk menemukan media terutama media televisi yang benar-benar netral atau objektif. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah masih ada media yang bersifat netral di Indonesia? Adakah media yang tidak berafiliasi pada kepentingan tertentu? Bisakah media hanya berorientasi pada bisnis dan bukan pada kepentingan politik?

Kepemilikan Media Televisi
Setelah UU Penyiaran No. 32/2002 diberlakukan, ada tiga kategori bisnis media massa yang diakui pemerintah, yakni media massa swasta nasional, media publik, media lokal, dan media komunitas. Industri televisi indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 2000. Kelebihan televisi yang menampilkan pesan secara audio-visual membuat televisi semakin kuat kedudukanya di tengah keluarga. Selain itu, media televisi juga memiliki kekuatan yang luar biasa mengingat peranya dalam membentuk opini atau menciptakan citra melalui acara berita, pendidikan, dan melalui hiburan. Bahkan dalam mengarahkan opini, televisi juga dapat mengarahkan seorang pemilih lebih efektif dari pada mengarahkan pemilih melalui kampanye. Hal ini tentu saja membuat para pelaku politik berupaya berinteraksi dengan baik atau bahkan memiliki dan beraliansi dengan suatu media.
Sebagai negara demokratis, Indonesia membebaskan semua warga negaranya untuk mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya seperti yang tertera pada UUD 1945 pasal 28C ayat 1. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk mendirikan bisnis saluran televisi sekalipun itu seorang politisi. Beberapa politisi atau partai politik yang beraliansi dengan media televisi yaitu, Partai Golkar jelas, Aburizal Bakrie yang merupakan ketua umum Partai Golkar memiliki dua saluran televisi yaitu TV One dan ANTV.  Antv didirikan bersama Agung Laksono pada tahun 1994 yang pada masa itu mereka masih menjadi fungsionaris Partai Golkar pada masa orde baru. Sedangkan TV One yang sebelumnya bernama Lativi adalah milik mantan menteri Soeharto pada masa itu, yakni Abdul Latief. Lativi kemudian bangkrut dan diambil alih oleh Bakrie Group, yang berganti nama menjadi TV One. Sementara itu, saluran televisi yang beraliansi pada kepentingan partai demokrat adalah Trans TV dan trans 7 dimiliki oleh pengusaha pribumi dan pemilik Para Group yaitu Chairul Tanjung. Trans7 awalnya adalah TV 7 didirikan oleh Kompas Group yang tidak bertahan lama lalu dimarger oleh Para Group menjadi Trans7. Kemudian ada duet Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo yang bergabung dalam Partai Nasiaonal Demokrat atau Nasdem. Surya Paloh merupakan pemilik dari Media Indonesia Group yang mendirikan stasiun televisi yaitu, Metro TV yang didirikan pada tahun 1994 ketika itu Surya Paloh masih menjadi fungsionaris Partai Golkar pada rezim Soeharto. Sedangkan Hary Tanoesoedibjo adalah pemilik MNC Group dengan jaringan stasiun televisi terbesar yaitu RCTI, Global TV, dan MNC TV.
            Keterlibatan politisi pada industri stasiun televisi dikhawatirkan dapat menimbulkan adanya konspirasi  para elite yang akan melakukan kontrol pemberitaan dan informasi         . Media televisi dijadikan sebagai alat kepentingan politik dan ekonomi untuk mencari keuntungan. Para pejabat akan mengatasnamakan kepentingan     bangsa untuk mengatur pemberitaan sesuai keinginan mereka. Sedangkan atas nama pertumbuhan ekonomi para pebisnis atau pedangan juga melakukan hal yang sama. Dapat disimpulkan bahwa kebebasan media yang dijiwai oleh demokrasi telah disusupi corong-corong kepentingan yang setiap informasi dan suara beritanya yang telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Fenomena kepemilikan media oleh politisi telah membuat netralitas Televisi menjadi patut dipertanyakan. Bagaimanapun, pemilik Televisi yang juga seorang politisi ini membutuhkan pencitraan sekaligus berbagai cara untuk menyerang lawan politiknya. Dan Televisi merupakan sarana terbaik yang bisa dimanfaatkan. Seperti yang diungkapkan Peter Golding dan Graham Murdoch yang mengungkapkan bahwa sifat dan fungsi media televisi akan berubah jika sudah berada antara uang dan kepentingan. Perbahan tersebut adalah keberpihakan media atas pasar dan politik yang dapat mengarahkan suatu berita dan menutupi kebenaran yang diketahuinya. Serta ada pergeseran dari hard journalism (hard news) yang dikaitan dengan pemberitaan langsung dan nyata sesuai dengan kejadianyang sebenarnya yang berubah menjadi soft journalism, yang menceritakan berita dengan sudut pandang yang lebih menarik masyarakat yang sedikit atau banyak berbeda dengan kejadian sebenarnya.[7]
Lihat bagaimana Surya Paloh bisa membuat dirinya bermenit-menit hadir di layar Televisi melalui Metro TV. Di Metro TV, penayangan pidato Surya Paloh bisa lebih lama dibandingkan dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemberitaan positif mengenai Partai Nasdem juga kerap terlihat di Televisi miliknya. Kekuatan partai ini semakin terasa setelah Surya Paloh berhasil menggaet Harry Tanoesoedibjo MNC Group dengan 3 stasiun televisi terkenal.
Selain Surya Paloh yang mamanfaatkan televisi untuk pencitraan, ada juga Nirwan Bakrie keluarga Bakrie yang berusaha menjatuhkan lawan politiknya melalui televisi. Pada saat itu, kisruh sepakbola yang terjadi di Indonesia sangat lekat dengan nuansa politik . Nirwan Bakrie memanfaatkan  televisi milik keluarganya TV One dan ANTV untuk menyerang Djohar Arifin Husin. Kedua stasiun televisi ini bahkan sempat dilaporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kerena berita yang disajikan dianggap tidak berimbang.
Pada kasus korupsi misalnya, yang mendera beberapa kader Partai Demokrat, begitu massif diberitakan distasiun-stasiun televisi kecuali di Trans TV dan Trans 7 yang beritanya tidak terlalu massif. Padahal, kasus korupsi juga banyak terjadi di partai-partai lain. Publik digiring untuk beropini seakan-akan yang korupsi hanya kader Partai Demokrat saja. Padahal hampir semua partai politik muncul adalah tempat yang nyaman untuk melakuakan praktik-praktik koruptif. Sedangkan partai besar seperti PDIP jarang sekali muncul di televisi baik itu prestasi ataupun kekuranganya. Hal ini disebabkan karena partai besar ini tidak memiliki atau bergabung dengan salah satu stasiun televisi. Berbeda dengan Partai Nasdem yang begitu sering muncul di televisi dan Aburizal Bakrie yang tak jarang juga terlihat di televisi. Bahkan hari ulang tahun Partai Golkar juga ditayangkan di ANTV. Namun bagaimana dengan kasus lumpur lapindo? Begitu minim disiarkan disiarkan di ANTV dan TV One. Bahkan berita yang disiarkan kadang berbeda, stasiun televisi lain memberitakan tentang lumpur lapindo dengan menyebutkan nama perusahaan dan terlihat berpihak kepada korban lumpur lapindo. Sedangkan pemberitaan oleh ANTV dan TV One mengenai lumpur lapindo selalu saja menggunakan nama kota  bukan menggunakan nama perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab dengan kasus ini. Kedua stasiun televisi tersebut juga terlihat takut untuk memberitakan kasus yang terjadi pada keluarga Bakrie dan Partai Golkar. Boleh jadi, pemberitaan-pemberitaan itu memanng bentuk serangan terhadap lawan politik, sekaligus menutupi kebobrokan partai tertentu yang menguasai media televisi tertentu.
Kepemilikan stasiun televisi oleh pilitisi pada dasarnya memang tidak disalahkan. Hanya saja menjadi salah ketika setiap keping informasi disusupi oleh kepentingan politik. Masyarakat menjadi bingung tentang kebenaran berita, tentang apakah stasiun A lebih baik dari stasun B, tentang siapa yang benar, atau siapa yang seharusnya dipilih. Keambiguan berita dan ketidak seimbangan berita menimbulkan kekhawatiran bahwa media sebagai pilar keempat demokrasi kita tak lagi bisa diandalkan yang kemudian akan menjadikan kehidupan demokrasi yang tak sehat.
         
Kesimpulan
          Dari beberapa pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa peran televisi pada dasarnya bukan hanya dijadikan alat pelepas ketegangan atau hiburan. Isi dan informasi yang ditanyangkan di televisi selalu saja menimbulkan pengaruh dalam masyarakat. Dalam hal ini pemberitaan di televisi selalu menimbulkan respon yang berbeda-beda terlepas berita itu benar atau tidak atau respon tersebut setuju atau tidak.
Setidaknya televisi telah menyita lebih banyak perhatian dibanding media-media yang lainya. Tayangan televisi sangat berpengaruh kepada pembentukan opini masyarakat, baik itu tayangan berita, drama, talk show, atau acara-acara lainya. Kehebatan televisi dalam membentuk opini, membuat partai politik dan politisi berlomba-lomba untuk beraliansi atau memiliki suatu media televisi. Media televisi dalam menyampaikan informasi diharapkan dapat menjadi alat transparansi pemerintah yang netral. Namun, kenetralan media televisi yang lagi-lagi tidak dapat berkompromi dengan penguasa media yang juga seorang politisi. Kenetralan media televisi juga tidak lepas dari sikap seorang jurnalis. Keprofesionalisme seorang jurnalis kini bukan lagi berdiri di tengah tanpa kesan memihak, namun berdiri di sebelah siapa yang menguasai media yang akan mengatur alur berita.
Keberpihakan media terhadap partai politik atau politisi tertuntu memang selalu dapat kita lihat dalam penayangan berita yang kurang seimbang. Kerena pada dasarnya tidak ada netralitas yang absolut. Karena setiap orang, jurnalis, atau media telivisi sekalipun memiliki sudut pandang berbeda terhadap pihak lain. Namun, tidak dipungkiri bahwa keberpihakan media yang terjadi tanpa kontrol akan melukai jalanya demokrasi yang sehat.
Sudah sepatutnya pengelolaan media televisi dikembalikan kepada program-program berita yang netral sebagai bentuk pengabdian terhadap masyarakat atas kebutuhan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab. Media televisi diharapkan dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu sehingga dapat menciptakan mendorng masyarakat yang cerdas, kritis, dan demokratis. Media yang netral juga akan berjasa membuka mata publik tentang carut marut dunia politik dan tata kelola pemerintah. Sehingga dapat menambah kedewasaan berpolitik di Indonesia khususnya. Disamping itu juga perlu adanya kesadaran masyarakat tentang bagaimana media tersebut dan siapa yang ada di belakangnya. Dengan begitu, masyarakat dapat memilih tayangan yang baik atau tidak baik untuk ditonton.


Daftar Pustaka
Cangara, hafied. Komunikasi Politik. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Subiakto, Henry dan Rachmah Ida. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta: kencana prenada media group. 2012.
“Politik Selebriti.” Detik.com. Diakses tanggal 3 Desember 2012. http://news.detik.com/read/2011/02/21/115254/1574993/471/politisi-selebriti.
“Keberadaan dan Peranan Media Massa dalam Komunikasi Politik.” scibd.com. Diakses tanggal 7 Noveber, 2012. http://id.scribd.com/doc/52638697/Peranan-Media-Massa-Dalam-Komunikasi-Politik.
“Hubungan antara Kekuatan Politik dengan Media Massa Sebagai Alat Pencitraan.” Pakishijau.com. Terakhir dimodifikasi 13 Januari, 2012. http://www.pakishijau.com/2012/01/hubungan-antara-politik-dengan.html http.
“Independensi Media.” Shnews.com. Diakses tanggal 6 Desember, 2012. http://shnews.co/detile-11907-perang-politik-di-media-televisi.html



[1] Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 170.
[2] Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 196.
[3] Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 163.
[4] Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 162.
[5] Hafied Cangara, Komunikasi Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 372.
[6] “Politik Selebriti,” Detik.com, Diakses tanggal 3 desember 2012, http://news.detik.com/read/2011/02/21/115254/1574993/471/politisi-selebriti.
[7] Henry Subiakto dan Rachmah ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012), 136-137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar