Rabu, 12 November 2014

Penolakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender

Tulisan ini mengangkat masalah jender dan kesetaraannya. Kajian khusus pada artikel ini membahas tentang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender atau RUU KKG. Dalam hal ini, penolakan tersebut dilakukan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).  MIUMI menilai poin-poin yang terdapat didalam setiap pasal RUU KKG ini bertentangan dengan nilai-nilai budaya di Indonesia.  Pada setiap pasal yang dikritisi oleh MIUMI, RUU KKG ini bertentangan dengan etika, moral, budaya, dan agama masyarakat Indonesia.  Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi etika sopan santun dan adat ketimurannya. Jika RUU KKG ini tetap disahkan, ditakutkan budaya-budaya yang terdapat di Indonesia akan luntur dan terlupakan.  Selain bertentangan dengan budaya Indonesia, isi dari RUU KKG ini banyak terjadi ambiguitas kata-kata. Jika RUU KKG yang banyak memiliki ambiguitas kata-kata ini tetap disahkan tanpa sebuah revisi, dikhawatirkan akan terdapat banyak pihak yang memanfaatkannya.  Ambiguitas kata-kata dalam sebuah rancangan undang-undang, apalagi sampai disahkan menjadi sebuah undang-undang, akan memiliki dampak yang signifikan terhadap adat dan budaya Indonesia.  Indonesia sangat menjunjung tinggi adat ketimurannya. Jika RUU KKG ini tetap disahkan dengan banyaknya  ambiguitas kata-kata, bukan tidak mungkin nantinya Indonesia akan menganut faham liberalisme.   Faham liberalisme tidak bisa berlaku pada negara yang menjunjung tinggi adat ketimurannya seperti Indonesia.  Etika, moral, budaya, dan agama Indonesia tidak cocok dengan budaya-budaya barat dengan prinsip kebebasannya itu.  Penolakan yang dilakukan MIUMI memiliki dasar yang cukup jelas dan cukup kuat. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang atas rancangan undang-undang tersebut sebelum akhirnya disahkan menjadi sebuah undang-undang.
Kata kunci: jender, budaya Indonesia, RUU KKG, penolakan

Pendahuluan
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.[1]  Dalam teori konstruksi sosial, persepsi terkait perbedaan laki-laki dan perempuan secara jender kenyataannya dibangun secara sosial masyarakat. Artinya, pembedaan sifat antara laki-laki dan perempuan adalah bentukan dominasi dari kelompok-kelompok yang dianggap superior dalam masyarakat.
Perlu dibedakan antara jender dengan seks dalam konstruksi sosial.  Seks (jenis kelamin) adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu.  Pada jenis kelamin tidak mungkin ada pembagian peran yang signifikan dalam konteks sosial dan kultural dalam masyarakat, karena seks adalah ketentuan biologis yang sering dikatakan sebagai kodrat manusia dalam eksistensinya.
Seks tidak bisa disamakan dengan permasalahan jender. Konsep jender lahir karena adanya pembagian peran antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan menuntut kesetaraan hak dan kewajibannya kepada laki-laki. Karena dasar itulah Indonesia ingin mencoba menerapkan hukum yang jelas tentang konsep kesetaraan jender.
Pendek kata, permasalahan tentang kesetaraan jender belum ada ada titik temunya. Dari konsep jender yang sudah ada di Indonesia perlulah adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang kesetaraan dan keadilan jender. Oleh karena itu, dalam artikel ini saya akan membahas tentang rancangan undang-undang kesetaraan jender.

RUU KKG dan budaya Indonesia         
Budaya adalah hasil pikiran dan kerja manusia yang dilembagakan dalam masyarakat baik secara formal maupun kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.[2]  Budaya berubah dari waktu ke waktu dan/atau dari zaman ke zaman.  Sama halnya dengan jender, jender dapat berbuah seiring bergulirnya zaman karena jender dibentuk atas konsepsi manusia.  Jender lahir ketika para kaum perempuan merasa ditindas oleh laki-laki sekitar awal abad 20-an.  Kaum perempuan tidak diperbolehkan bekerja di ruang publik dan hanya diperbolehkan di ruang domestik. Hal inilah yang membuat kaum perempuan memberontak sampai akhirnya membuat sebuah komunitas perempuan.
Komunitas perempuan memiliki para anggota yang merasa dirinya ditindas oleh kaum laki-laki dan ingin menuntut kesetaraan.   Kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan.  Mereka ingin mendapat pengakuan dari publik bahwa perempuan tidak hanya dikhususkan bekerja di sektor domestik tetapi juga bisa handal dalam sektor publik.  Atas dasar inilah kaum perempuan tadi menamai kelompoknya sebagai kelompok feminis. Kelompok-kelompok feminis inilah yang nantinya memperjuangkan hak asasi perempuan atas kesetaraan jender dan membuka pikiran setiap orang bahwa perempuan tidak hanya ditempatkan di sektor domestik tetapi bisa juga di sektor publik.
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) sebagian besar banyak tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang bermayoritas penduduk beragama Muslim.  Seperti yang tertera pada isi dari RUU KKG pasal 12a memuat “dalam perkawinan, setiap orang berhak memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri secara bebas”.  Bila di teliti kembali, kalimat yang terdapat pada isi pasal tersebut memiliki arti, yaitu laki-laki bebas memilih pasangan apakah itu perempuan ataupun sesama laki-laki, begitu juga sebaliknya.  Sedangkan di Indonesia tidak diperbolehkan pernikahan sesama jenis.  Itu berarti isi pasal tersebut sudah menyalahi aturan perundang-undangan dan di dalam kata-kata dan bahasa yang digunakan banyak membuat ambigu.
Ambiguitas kata-kata tersebut banyak terjadi pada isi dari pasal-pasal yang terdapat dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).  Hal ini membuat pasal tersebut tidak dapat diterima oleh tokoh-tokoh intelektual agama yang tergabung dalam Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia atau yang biasa disebut MIUMI.  MIUMI menilai, ambiguitas kata-kata tersebut dapat membuat arti yang berbeda ketika nantinya rancangan undang-undang tersebut disahkan. Padahal, rancangan undang-undang tersebuat dibuat dengan harapan membuat hukum tentang jender yang jelas dan tegas.
Pernikahan sesama jenis bukanlah budaya yang terdapat di negara Indonesia.  Seseorang yang ingin menikah sesama jenis harus mencari negara yang melegalkan hukum pernikahan sesama jenis agar pernikahan mereka diakui. Itulah salah satu alasan mengapa pasal tersebut ikut dikritisi oleh MIUMI.  Meskipun hanya ambiguitas kata-kata, hal itu bisa saja dimanfaatkan oleh kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) untuk kepentingan mereka. Kepentingan yang dimaksud, seperti melegalkan pernikahan sesama jenis.
MIUMI menilai, jika Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) tetap disahkan tanpa sebuah revisi, banyak pihak yang akan memanfaatkan celah kesalahan yang terdapat didalamnya.  MIUMI menolak disahkannya RUU KKG ini secara tergesa-gesa karena ditakutkan akan berpengaruh signifikan terhadap Indonesia terutama dalam bidang budaya.  Kebudayaan nikah sesama jenis yang tidak terdapat di Indonesia bisa terlahir di negara ini, jika RUU tersebut tetap dipaksakan untuk segera disahkan tanpa sebuah revisi terutama dalam redaksionalnya.
Wacana tentang dibuatnya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) telah lama menjadi pembicaraan di kalangan Komisi VIII DPR RI.  Mereka menginginkan adanya hukum jelas yang mengatur tentang kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.  Perempuan berhak mendapat perlindungan dari hal-hal yang berbau pelecehan seksual.  Hukum tersebut tentunya berdasarkan apa yang terjadi di lapangan.  Banyak pelecehan seksual yang terjadi bagi kalangan perempuan.  Beberapa diantara hal yang dapat dikategorikan pelecehan seksual adalah menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dilakukan sangat ofensif, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya, menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.[3]
Banyak yang menjadikan pelecehan seksual sebagai bahan dari lelucon yang dianggapnya supaya lebih bersahabat.  Padahal, belum tentu pihak yang dilecehkan senang dengan apa yang dianggap sebagai lelucon tersebut.  Bila pihak yang dilecehkan tidak senang terhadap hal itu maka lelucon tersebut dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual.  Pelecehan seksual yang terjadi saat ini banyak dilakukan pada ruang-ruang terbuka dan dilakukan secara terang-terangan.  Karena pelaku melakukannya dengan kesadaran penuh.
Budaya pelecehan seksual sangat merugikan kaum wanita. Kaum wanita dipaksa untuk menerima segala pelecehan seksual baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Pelecehan seksual yang disengaja tersebut, seperti memegang alat vital wanita dalam waktu lama. Sedangkan pelecehan seksual yang tidak disengaja adalah terpegangnya alat vital wanita dalam tempo yang sebentar dengan posisi tangan tidak aktif. 
Pelecehan-pelecehan seksual yang terjadi membuat DPR RI Komisi VIII mengambil inisiatif untuk membuat Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). RUU tersebut dibuat DPR dengan harapan agar menjamin terciptanya keberlangsungan dari kesetaraan dan keadilan gender sehingga tidak ada lagi diskriminasi dan subordinasi gender, yang sering kali kaum perempuan sebagai korbannya.  Adapun tujuan lainnya adalah memberikan ketegasan hukum terhadap pelaku jender dengan hukuman setegas-tegasnya.
DPR menginginkan adanya tindak tegas terhadap pelaku pelecehan seksual, kekerasan dan/atau diskriminasi.  Pasal tentang kekerasan dan/atau diskriminasi tercantum dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).  Pada bab III pasal 15 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender berisi tentang “setiap warga negara berkewajiban untuk mencegah terjadinya kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia.”   Dengan dibuatnya pasal tersebut, artinya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) ingin melakukan upaya perlindungan terhadap  korban kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia seperti yang tercantum pada ayat 3 bab III pasal 15 RUU tersebut.
Tidak hanya tentang kekerasan atau pelecehan seksual, Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) juga membahas tentang hak perempuan untuk ikut bekerja di sektor publik. Adapun anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.[4] Padahal, seharusnya perempuan juga mempunyai hak bekerja di sektor publik.
Perihal hak perempuan yang diizinkan bekerja pada sektor publik seperti politik dan pemerintahan tercantum dalam rancangan undang-undang kesetaraan dan keadilan gender.  Hal itu dibahas pada bab III pasal 4 ayat 2 rancangan undang-undang tersebut berisi “selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementrian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional.”  Artinya, dalam undang-undang tersebut sudah terdapat gambaran bahwa perempuan juga berhak mendapatkan kesetaraan dalam hal pekerjaan.

Upaya penolakan MIUMI terhadap RUU KKG
Penolakan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender atau RUU KKG oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dikarenakan isi RUU tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.  Padahal, ketidaksetaraan jender dalam masyarakat Indonesia telah cukup banyak merubah pandangan laki-laki terhadap perempuan.  Saat ini, perempuan sudah tidak hanya di tempatkan di sektor domestik seperti dahulu tetapi juga sudah banyak yang bekerja di sektor publik.
Ketidaksetaraan jender dalam masyarakat Indonesia muncul karena adanya perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.   Perbedaan inilah yang dijadikan tolak ukur ketidakadilan dan ketidaksetaraan jender di Indonesia.  Perlu adanya undang-undang yang jelas untuk mengatur kesetaraan dan keadilan jender di Indonesia.   Namun, ketika wacana rancangan undang-undang tersebut dilontarkan dan hampir disahkan, banyak pihak yang justru menolak lahirnya rancangan undang-undang tersebut.
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang paling keras menentang disahkannya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).  Menurutnya, RUU KKG terutama dalam pasal 1, 2, dan 3 pada bab I memiliki pertentangan dalam Islam.[5]  Mereka menilai Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan rancangan undang-undang yang bersifat liberal.  Pada pasal-pasal yang terdapat didalamnya tidak terkandung aspek utama Pancasila, yang merupakan ideologi negara Indonesia, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.  Masih menurut MIUMI, isi dari pasal-pasal itupun mengandung nilai-nilai yang mengindikasikan tidak menghormati hak-hak umat Islam. 
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia menilai, Rancungan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender terlalu berkiblat pada paham liberalisme dan nilai-nilai Barat yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial, dan budaya.  Seperti pada bab III bagian  pertama, didalamnya hanya di persoalkan masalah politik dan pemerintahan, kewarganegaraan, pendidikan, komunikasi dan informasi, ketenagakerjaan, kesehatan dan keluarga berencana, ekonomi, hukum, dan perkawinan.  Tidak dibahasnya masalah sosial dan budaya.  Padahal, negara Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika, dan moral.
Tidak ada keterlibatan aktif dari masyarakat perihal pembuatan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).  Inilah yang membuat banyak penolakan terjadi.  Masyarakat tidak mendapatkan fasilitas untuk ikut berpendapat dalam perumusahan rancangan undang-undang ini.  Itulah yang menjadi salah satu alasan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menentang keras disahkannya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). Jika sejak awal proses perumusannya melibatkan masyarakat, kecil kemungkinan terjadi banyaknya penolakan seperti yang sedang terjadi saat ini.
Pembuatannya murni karena konsep dari anggota DPR Komisi VIII yang mengusulkan dibuatnya rancangan undang-undang tersebut.  Padahal seharusnya, pembuatan rancangan undang-undang menilik pasal 53 UU Nomor 10 Tahun 2004 dan pasal 39 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004, serta penjelasannya dapat diketahui bahwa masyarakat berhak memberikan masukan dalam rangka persiapan atau pembahasan rancangan Perda.  Masukan masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, dan hak masyarakat tersebut dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menilai, pembuatan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) mengacu pada paham-paham liberalisme.  Perumus konsep kesetaraan jender ini telah didorong oleh nilai-nilai budaya barat yang sebenarnya tidak cocok digunakan di negara yang memiliki adat ketimuran ini.  Padahal, konsep kesetaraan yang dianut negara-negara barat karena penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan selama berabad-abad.
Budaya barat mengaplikasikan konsep kesetaraan jender karena memiliki latar belakang historis yang cukup memilukan untuk kaum perempuan. Ketertindasan kaum perempuan yang selama berabad-abad lamanya menjadikan perempuan-perempuan di negeri barat memborontak dan meminta haknya sebagai perempuan. Perempuan-perempuan barat yang merasakan ketertindasan juga menginginkan dikembalikan hak asasinya sebagai perempuan, yaitu mendapat perlindungan.
Kentalnya budaya di Indonesia telah berubah semenjak dicetuskannya ide jender ini. Salah satunya adalah budaya sopan santun.  Budaya sopan santun yang dimaksud, seperti perempuan dari suku Jawa yang berlindung dan menuruti nasehat laki-laki. Kini, perempuan banyak yang memberontak dan menyetujui dibuatnya RUU KKG.  Perempuan yang menyutujui dan ingin segera disahkannya RUU KKG ini biasanya tergabung dalam komunitas-komunitas pembela hak asasi perempuan.  Padahal budaya suka Jawa tersebut sudah berlangsung cukup lama dan turun-temurun.
Dahulu, di Jawa ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga.[6]  Namun, hal pandangan tersebut telah dipatahkan oleh perjuangan RA. Kartini dalam merebut emansipasi wanita.  Berakar dari masalah tersebut, jender lahir dan ingin diperjuangkan. Bukan hanya karena ingin memperoleh pendidikan yang setara, tetapi juga pekerjaan yang disetarakan.
Perempuan-perempuan yang tergabung dalam komunitas feminis memandang banyaknya terjadi subordinasi terhadap perempuan.  Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.[7]  Hal inilah yang membuat kaum feminis menginginkan haknya sebagai manusia, yaitu berhak memimpin dan dipimpin.
Konsep berhak dipimpin dan berhak memimpin sudah tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) yang juga menjadi penolakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).   Konsep tersebut tertdapat pada bab III pasal 4 ayat 2, yaitu “perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementrian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.”  Dalam pasal tersebut terdapat kata, memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30 persen, artinya mau tidak mau dalam hal keterwakilan di legislatif dan lain-lain harus mendapatkan 30 persen dari jatah bangku yang ada.  Target aktivis KKG adalah kesetaraan secara kuantitatif antara laki-laki dan perempuan, terutama di ruang publik, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen.[8]
Kesalahpahaman terbesar terjadi pada perumus Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG).  Pada kata-kata paling sedikit 30 persen, artinya perempuan harus terlibat aktif dalam politik pemerintahan.  Hal itu memaksa kaum perempuan bekerja pada instansi politik dan pemerintahan sekurang-kurangnya 30 persen.  inilah yang diinginkan kaum feminis ekstrim yang merasa dirinya dan perempuan Indonesia lainnya ditindas oleh laki-laki karena dipaksa bekerja di ruang domestik.
Kejanggalan kembali terjadi pada bab III pasal 15 ayat (dyang memiliki isi “menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender kepada anak sejak usia dini dalam keluarga”. Jika sejak usia dini seorang anak sudah diajarkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender maka anak tersebut akan jauh dari agama. Hal tersebut yang tidak diinginkan oleh Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).  Ketakutan seorang anak jauh dari agama adalah salah satu bentuk penolakan MIUMI terhadap RUU KKG.
Ustaz Henri Shalahuddin, M.A. dari MIUMI menawarkan keserasian jender bukan kesetaraan jender karena keserasian jender tidak menuntut persamaan.  Konsep persamaan jender terdapat dalam bab I  pasal 1 ayat 2 yang berisi tentang, “kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.”  Dalam konteks bahasa yang terdapat dalam pasal tersebut, terdapat kata kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki.  Sedangkan, menurut agama laki-laki dan perempuan tidak dapat disamakan dan/atau disejajarkan.  Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan MIUMI menolak RUU KKG.
Dalam agama Islam, laki-laki dan perempuan tidak dapat disamakan dan/atau disejajarkan karena hal itu terdapat dalam wahyu Allah.  Dengan alasan itu, MIUMI bersikeras menolak disahkannya RUU KKG.  Isi-isi dari RUU KKG tidak berdasarkan pada firman Allah dan melanggar nilai dari Pancasila, yaitu sila pertama.  Pasal-pasal yang terdapat didalamnya berisi faham-faham liberalisme yang jauh dari agama dan budaya negara bermayoritas penduduk muslim ini.  Selain pasal-pasalnya yang mengandung nilai liberalisme, RUU inipun sarat akan kecacatan. Kecacatan-kecacatan yang terjadi bukan satu atau dua hal yang ditemui, tetapi banyak sekali. Keanehan dalam setiap pasalpun menjadi pengamatan serius MIUMI. Maka dari itu, MIUMI menentang keras disahkannya RUU KKG ini.
Dengan kata lain, perlu banyak perubahan mendasar terkait dibuatnya rancangan undang-undang keadilan dan kesetaraan gender.  Agar hukum yang mengatur tentang kesetaraan dan keadilan gender semakin jelas.  Diharapkan tidak ada lagi penolakan-penolakan terkait dibuatnya rancangan undang-undang kesetaraan dan keadilan gender.  Padahal, rancangan undang-undang tersebut telah banyak disetujui kaum perempuan yang termasuk dalam golongan feminis.  Mereka tidak mempermasalahkan isi dari RUU KKG ini.  Karena menurut mereka rancangan undang-undang tersebut adalah sebuah niat baik dari kalangan anggota DPR yang ingin menyejahterakan kaum perempuan.

Penutup
Jika banyak yang mengatakan bahwa penolakan Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia atau MIUMI tidak beralasan, pembahasan-pembahasan yang telah diutarakan dalam pembahasan-pembahasan artikel ini telah memberikan bukti bahwa penolakan MIUMI beralasan.  Banyak aspek yang dikaji oleh MIUMI yang menurutnya tidak pantas dijadikan sebuah undang-undang.  Undang-undang yang lahir di negara ini haruslah yang berasaskan ideologi Pancasila dan budaya-budaya di Indonesia
Penolakan-penolakan yang diutarakan oleh MIUMI berdalih agama sebagai faktor utamanya.  Dalam Pancasila sila pertama jelas tertulis, Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, agama dijadikan alat nomer satu dalam pembuatan sebuah undang-undang. Jika pembuatan sebuah rancangan undang-undang tanpa melihat aspek agama maka rancangan undang-undang tersebut patut dikritisi.
Selain faktor agama, MIUMI juga merinci masalah redaksional dan ambiguitas kata-kata.  Ambiguitas kata-kata banyak terjadi pada setiap pasal yang terkandung dalam RUU tersebut.  Dikhawatirkan ambiguitas kata-kata itu dapat berdampak negatif yang signifikan. Berdampak negatif yang signifikan karena dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang termarjinalkan di Indonesia. Pihak yang dimaksud adalah kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).  Kaum-kaum LGBT bisa jadi tidak dimarjinalkan lagi jika RUU KKG ini tetap dipaksa untuk disahkan.  Padahal, kaum LGBT ini dimarjinalkan karena konsep yang mereka punya tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Mereka memegang konsep liberalisme yang dikandung oleh negara-negara barat.  Mereka lupa bahwa adat ketimuran tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis. Untuk itu, MIUMI menentang keras disahkannya Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) ini.
Dengan kata lain, penolakan-penolakan yang diajukan MIUMI memiliki dasar yang cukup kuat.  Penolakan yang dilakukan MIUMI bukan semata-mata karena kepentingan golongannya melainkan karena ingin Indonesia tetap menjunjung tinggi adat ktimuran dan religiusitasnya.  Maka dari itu, perlu adanya perombakan yang menyeluruh terhadap RUU KKG ini. 


Daftar Pustaka
Simatauw,Meentje. Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Kupang: PIKUL, 2001.
Fakih, Mansour. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
“MIUMI Serahkan Berkas Penolakan RUU KKG,” miumipusat.org. Terakhir dimodifikasi 18 Juni, 2012, http://miumipusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=133:miumi-serahkan-berkas-surat-penolakan-ruu-kkg&catid=34:news&Itemid=63.
Husaini, Adian. “RUU Kesetaraan Gender Perspektif Islam.”  Islamia, no. 23 (2012): 1-4.
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender



[1] Meentje Simatauw, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis, (Kupang: PIKUL, 2001), 7.
[2] Meentje Simatauw, Gender & Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis,    (Kupang: PIKUL, 2001), 13.
[3] Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 20.
[4] Mansour Fakih, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 21.
[5] “MIUMI Serahkan Berkas Penolakan RUU KKG,” miumipusat.org, terakhir dimodifikasi 18 Juni 2012, http://miumipusat.org/index.php?option=com_content&view=article&id=133:miumi-serahkan-berkas-surat-penolakan-ruu-kkg&catid=34:news&Itemid=63
[6]  Fakih, Dr. Mansour, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 15-16.
[7] Fakih, Mansour, Analisis Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 15.
[8] Adian Husaini, “RUU Kesetaraan Gender Perspektif Islam,”  Islamia, no. 23 (2012): 1-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar