Rabu, 12 November 2014

PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN YANG DILAKUKAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG BERDAMPAK PADA KINERJA BADAN LEGISLATIF DI INDONESIA

Dewan Perwakilan Rakyat yang berfungsi untuk mengayomi dan menampung aspirasi-aspirasi rakyat, sekarang anggota DPR  malah sibuk dengan kepentingan pribadi dengan kelompoknya.  Pada masa sekarang Dewan Perwakilan Rakyat  mempunyai kekuasaan yang sangat luas sekali yang menjadikan ketidak fokusan  DPR untuk menjalankant tugas dan wewenangnya.  Kekuasaan yang disalahgunakan anggota DPR untuk memenuhi kepentingan pribadinya tetapi dengan memanfaatkanfasilitas negara.  Hal ini ditunjukan dengan terbuktinya banyak anggota DPR yang melakukan penyelewengan dana, yang seharusnya dana untuk pembangunan ataupun untuk rakyat tetapi justru dana tersebut dimasukan dalam saku para anggota DPR.  Tidak hanya penyelewengan dana yang dilakukan anggota DPR tetapi juga memanfaatkan fasilitas negara dengan berlebihan.  Selain dengan fasilitas yang sudah bagus gaji cukup, belum cukup untuk anggota DPR dengan fasilitas begitu saja.  Dengan diadakannya studi banding oleh DPR, dengan alasan untuk mengukur seberapa jauh sistem kerja pemerintahan Indonesia.  Tetapi ternyata studi banding tersebut juga dimanfaatkan untuk rekreasi oleh anggota DPR, bahkan mengajak anak dan istri untuk melakukan studi banding.  Padahal studi banding adalah kepentingan negara dan itu merupakan tugas yang harus dilaksanakan untuk dapat memajukan Indonesia.  Studi banding yang dibiayai oleh negara dan menghabiskan milyaran rupiah ternyata banyak yang hasilnya nol besar itu karena banyak anggota DPR yang tidak membuat laporan hasil studi banding yang dilakukan ke luar negeri.  Masalah seperti ini berdampakpada kinerja legislatif ang seenaknya sendiri dalam bertugas.  Maka dari keadaan yang seperti ini bisa dipastikan kinerja DPR saat ini msih terbilang males-malesan dan asal-asalan. Maka sebaiknya rubahlah pola fikir untuk memikirkan kepentingan pribadinya  tetapi pikirkanlah kepetingan yang umum, supaya negara Indonesia terpikirkan dan bisa menjadi negara yang maju. 
Kata kunci : Kekuasaan, Dewan Prwakilan Rakyat (DPR), Badan Legislatif

Pendahuluan
Ruang-ruang kekuasan  di Indonesia saat ini, ada ditiga lembaga yaitu eksekutif,legislatif dam yudikatif.  Berbeda dengan era sebelumnya dimana ruang kekuasaam didominasi oleh lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden.  Terpecahnya kekuasaan ke lembaga  lain seharusnya membawa berkah bagi rakyat Indonesia, karena pemerintah di awasi oleh parlemen dan lembaga penegak hukum.
Namun kenyataannya, terpecahnya ruang kekuasaan ke berbagai lembaga negara lainnya tidak serta merta membawa rakyat di negeri ini sejahtera dan memperoleh keadilan yang sesungguhnya.  Ruang-ruang kekuasaan di era sekarang, kenyataannya jatuh ke tangan orang-orang yang rakus dan tidak bertanggung jawab khususnyadalam lembaga legislatif yaitu DPR .  Ruang kekuasaan DPR yang diisi oleh orang yang rakus dan tidak bertanggung jawab dapat menjadi petaka bagi rakyatnya ataupun rekan politik.  Kekuasaan yang diisi oleh orang seperti ini membuat keadilan dan kesejahteraan yang seharusnya milik publik dapat dengan mudahnya dikorbankan, sehingga dipastikan begitu rumitnya rakyat memperoleh hak-hak atas keadilan dan kesejahteraan, akibatnya ketegangan antara penyelengara negara dan rakyatnya kerap terjadi, karena tuntutan masyarakat kerap diabaikan.
Karena ruang kekuasaan DPR didominasi oleh penyelengara negara yang korup maka kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia sudah bebar-benar memprihatinkan.  Penyalahgunaan kekuasaan yang telah dilakukan anggota DPR, telah benar-benar membuat kondisi yang bertolak belakang, seperti bumi dan langit antara DPR dan rakyatnya.  Ketika DPR di parlemen dibuatkan ruangan kecil puluhan milyar, kursi yang persatuannya berharga puluhan juta, anak-anak kecil di Lebak Banten harus mempertaruhkan nyawa, menyebrangi sungai dalam dan deras, diatas sebuah jembatan gantung yang telah rusak parah. Ketika DPR, menuntut kendaraan-kendaraan dinas yang mewah, rakyat kecil harus bersusah payah didalam sebuah sistem transportasi yang amburadul, yang mengabaikan keamanan dan kenyamanan.  Ketika DPR mendapatkan fasilitas kesehatan kelas satu di rumah sakit ternama didalam dan luar negeri, rakyat kecil kesulitan untuk berobat, ribuan bahkan jutaan orang kesulitan ketika sakit.  Sakit bagi mereka berarti 2 kali penderitaan.  Menderita karena sakit, menderita pula karena memikirkan biaya.  Sakit dinegara Pancasila dan beragama ini, bisa berarti jatuh miskin.
Rakyat tentu senang  jika ruang kekuasaan DPR di negeri ini dipegang oleh orang orang yang bertanggung jawab.  Dengan kekayaan alam yang berlimpah, pastilah rakyat Indonesia akan sejahtera.  Pergi kemana-mana  dengan transportasi yang aman dan nyaman, sehingga para wanita tidak khawatir diperkosa bila berpergian.  Sekolah bukan halangan bagi semua orang, sehingga tidak ada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya, kecuali  orang tua yang bodoh tentunya.  Orang yang sakit tidak khawatir berobat, karena setiap orang memegang kartu asuransi nasional disetiap tangannya, sehingga orang yang sakit cepat tertangani.  Demikian pula wanita wanita di desa , tidak terpaksa mengadu nasib di negara orang lain dengan berbagai resiko yang mengorbankan harga dirinya sebagai manusia.
Metode dalam penulisan jurnal ini adalah deskriptif-argumentatif.  Dan mengumpulkan data melalui pustaka.  Dengan tujuan untuk memperjelas dan memberikan pendapat yang disertai fakta agar dapat dibenarkan kebenaran tentang penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi dalam badan legislatif.

1.    Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat
Era reformasi pada 1998, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem hukum di Indonesia.  Dari amandemen konstitusi dan perubahan peraturan perundang-undangan, hingga pembenahan sistem kerja aparat dan transformasi budaya hukum.  Meskipun patut diapresiasi positif, arah perkembangan reformasi hukum perlu diantisipasi untuk mencegah arah gerak perubahan bak pendulum.
Pendulum selalu bergerak dinamis, tidak pernah berhenti, sehingga secara kasat mata dianggap kemajuan.  Namun jika diperhatikan seksama, sesungguhnya pergerakan tersebut hanya berjalan di tempat, tak beranjak, dan berputar di tempat yang sama.  Kondisi ini dapat terjadi apabila ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil reformasi hukum yang telah dicapai terkumpul menjadi gerakan untuk “kembali ke kondisi semula” tanpa memperhatikan kinerja dan evaluasi yang telah dicapai selama proses reformasi hukum berjalan.
Beberapa contoh dapat diberikan untuk melihat adanya fenomena ini, yang mana salah satunya adalah wacana amandemen kelima UUD 1945.  Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat maupun institusi negara untuk segera mengamandemen UUD 1945 membuktikan bahwa konstitusi Indonesia masih belum sempurna.
Namun demikian, melihat arah opini publik menyangkut berbagai isu, sebut saja soal peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat kemungkinan terjadinya pergeseran kekuasaan di institusi DPR dengan pola pendulum, yakni kembali ke masa sebelum amandemen.
Pada era pasca reformasi, semangat dalam proses amandemen adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang pada rejim Orde Baru dianggap terlalu executive heavy, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik.  Selain itu, pengerdilan partai politik melalui berbagai cara juga menyebabkan kegerahan publik untuk memperkuat lembaga representasi dan pengawasan yang terjelma dalam tubuh DPR.  Menilik Arsip PAH I Badan Pekerja MPR (Sekretariat Jenderal MPR tahun 2000), dapat dilihat berbagai makalah mulai dari LIPI, UI, UGM, ITB, Unibraw, Unhas, hingga berbagai laporan peneliti independen yang mendukung pemikiran yang sama dan merekomendasikan penguatan peran DPR.
Hasilnya, saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik.  DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN.  Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik.  Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan.  Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.
Sekarang, gagasan untuk mengurangi peran DPR dan kembali ke format executive-heavy acapkali terdengar.  Hampir di setiap talkshow dan seminar, segenap pihak menyuarakan perubahan perubahan atas kewenangan DPR, kondisi mana yang jauh berbeda dengan semangat awal reformasi di sekitar tahun 1998-2001.  Publik seolah lupa dengan desakan mereka 10 tahun yang lalu yang justru menginginkan perluasan kekuasaan DPR sebagai perwujudan kehendak rakyat untuk membangun oposisi yang kuat terhadap pemerintah (yang identik dengan kekuasaan otoriter).  Suatu gerakan kolektif menuju perubahan ternyata hanya berputar di tempat yang sama.
Gagasan pembatasan kewenangan DPR merupakan contoh yang sempurna mengenai gerakan pendulum dalam reformasi hukum.  Selain karena menguat atas ketidakpuasan kinerja DPR hasil amandemen, desakan ini muncul secara konsensus dan tanpa pertentangan dari pihak manapun, termasuk aktor utama yang sebelumnya mengusulkan amandemen pada masa lampau.

2.    Kekuasaan  DPR Mengabaikan Nilai
Seharusnya ruang kekuasaan di DPR ini banyak diisi oleh orang yang amanah, oleh orang-orang yang tidak korup.  Kenapa? karena bangsa Indonesia memiliki 2 pilar pengawal perilaku manusianya.  Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara dan nilai-nilai agama sebagai sumber keyakinan beragama setiap pemeluknya kepada penciptanya.  Kedua pilar tersebut mengajarkan dan menekankan kejujuran dan keadilan.  Namun aneh  kedua benteng itu, seperti tidak bermakna.  Seharusnya setiaap langkah dan perilaku rakyat Indonesia, lebih khususnya para pemimpinnya ada didalam kedua pilar tersebut.
Namun semua hal bertolak belakang.   Dinegara Pancasila dan beragama ini, korupsi malah subur dan merajalela. Pelaku korupsi hidup dalam penghormatan.  Ketika mereka disangkakan korupsi maka doa-doa dipanjatkan bersama-sama dipimpin oleh seorang tokoh agama.  Ketika mereka disidangkan keluarga dan para pengikutnya membela dengan semangat seperti membela orang yang mulia.  Ketika lepas dari penjara, ia disambut suka cita , bagai pahlawan pulang dari medan perang.  Korupsi itu mengambil milik orang lain, mengambil sesuatu yang bukan miliknya, mengambil milik rakyat. Itu dosa menurut agama dan tidak benar menurut  ideologi negara, Pancasila.
Kekayaan alam  yang berlimpah, sistem berbangsa dan bernegara  yang mengusung demokrasi sebagai kedaulatan tertinggi rakyat, ideologi negara yang bernama Pancasila dan keyakinan beragama  yang wajib dianut oleh setiap warga negara   seharusnya  menjadi modal kuat bagi bangsa ini untuk terbang  maju dan sejahtera. Lalu kenapa kita kalah dengan dengan negara lain, yang tidak mempunyai kekayaan alam, yang  ideologi negara tidak sejelas Pancasila , yang rakyatnya bebas beragama ataupun tidak, yang hanya mengandalkan sistem negara yang demokratis semata?.   Jepang misalnya.
Apa yang terjadi adalah kelemahan DPR yang mereka miliki, ditutupi oleh kesadaran yang tinggi para pemimpinnya.  Sebaliknya dengan kita, kelebihan yang kita miliki, dihancurkan oleh ketamakan para DPR nya.  DPR yang lebih sedikit seharusnya memberi contoh keteladanan rakyatnya yang banyak.  Lain halnya, DPR yang sedikit menjadi contoh buruk rakyatnya yang banyak, sehingga seperti sia-sia kelebihan yang dimiliki oleh bangsa ini.  Semoga kenyataan ini hanya sesaat dan tidak ditenggelamkan oleh hawa nafsu para pemimpin yang tampaknya sulit dikekang dan mengabaikan nilai-nilai yang tertanam didalam ideologi negara dan nilai-nilai mulia keyakinan beragama  yang melekat didiri mereka semenjak dilahirkan.

3. Penyalahgunaan Kekuasaan yang Dilakukan Anggota DPR
3.1 Korupsi dan Kolusi
Korupsi secara luas diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau privat yang merugikan publik[1].  Korupsi dan kolusi banyak terjadi di negara berkembang contohnya negara Indonesia.  Kolusi adalah sebuah kerjasama, tetapi bukan kerjasama biasa, melainkan dengan maksud jahat.  Terjemahan resminya adalah “persekogkolan” atau “kongkalikong”, sedangkan korupsi itu sendiri adalah biasanya hasil kerjasama antara pengusaha dan penguasa dan itu termasuk kedalam kejahatan[2].  Korupsi dan kolusi timbul karena terjadinya kesenjangan pendapatan antara yang ada di dalam dan luar birokrasi, yakni masyarakat yang dilayani, terutama masyarakat bisnis.  Dalam prakteknya korupsi biasanya diwujudkan dengan uang atau hal yang bisa dinilai dengan uang dan kebanyakan terjadi pada anggota legislatif (DPR).
Di dalam badan legislatif khususnya DPR, praktek korupsi ini terjadi karena adanya kaitan dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pejabat atau pegawai pemerintah.  Penyelewengan perilaku anggota DPR, terjadi karena kekuasaan yang dimiliki anggota DPR sangat besar. Kondisi ini berbalikan dengan masa Orde Baru, saat Soeharto memimpin.  Ketika itu, pemerintah memiliki kekuasaan besar sehingga bisa melakukan korupsi yang besar dan tanpa harus melanggar prosedur dan administrasi legal, karena pada masa Soeharto ketika ia  mempunyai kekasaan yang penuh untuk mengatur semua jalannya pemerintahan di negara Indonesia banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dana yang mengakibatkan negara Indonesia sekarang menjadi negara nomor 2 yang paling terkorup didunia.  Banyak modus-modus yang digunakan anggota DPR dalam korupsi tanpa harus melanggar ketentuan hukum dan administrasi yang resmi.  Ketentuan resmi itu bisa dikelabui, baik secra tersembunyi ataupun secara terang-terangan.  Salah satunya sebagai contoh kasus, dalam sebuah tender yang menyangkut proyek-proyek besar seorag pejabat bisa membantu memenangkan suatu perusahaan, tanpa melanggar prosedur.  Kemudian secara tidk langsung, ia dan mugkin dengan beberapa orang dengan siapa ia berkolaborasi  menerima suatu “hadiah”, tanpa tanda terima.  Suatu keuntungan bersama bisa diproleh dengan melakukan apa yang dikenal dengan praktik mark-up terhadap biaya suatu proyek.  Praktik ini bisa dilakukan tanpa melanggar ketentuan legal dan administrasi.  Tetapi negara bisa dirugikan.  Pengusaha bisa memperoleh dengan harga yang tinggi dan pejabat dan pengusaha berkolusi bisa memperoleh imbalan. 
Persoalan definisi korupsi bisa menjadi lebih rumit jika hasil korupsi itu tidak diterima oleh pelakunya, melainkan oleh pihak ketiga, dengan alasan politis atau pembangunan.  Sebagi contohnya pada menjelang Pemilu 1997, Orsospol akan membutuhkan banyak dana.  Biasanya dana itu diperoleh dari pengusaha.  Caranya adalah dengan “menitipkan” dana tersebut kepada pengusaha tertentu yang akan diberi proyek.  Dalam kasus itu pengusaha mungkin hanya memperoleh keuntungan yang wajar dan resmi saja yang memang berhak diterima.  Sedangkan bagian “keuntungan” yang lain akan diberikan kepada pihak ketiga.
Kesulitan yang lain adalah jika perbuatan menyimpang, mengelabui atau menyiasati ketentuan legal atau administratif resmi itu tidak didasarkan pada motif kepentingan pribadi.  Ada beberapa alasan yang bisa memenuhi adagium “tujuan menghalalkan cara”.  Pertama, jika dana yang diperoleh itu dipakai untuk membiayai proyek-proyek non-budgeter.  Kedua, jika dana dipakai untuk kesejahteraan pegawai.  Dan ketiga, jika tindakan itu justru merupakan upaya penghindaran ketentuan-ketentuan yang terlalu rijid.
Dalam praktek, banyak kegiatan yang anggarannya terbatas berhadapan denga biaya riil yang ternyata besar sehingga diperlukan tindakan-tindakan penyimpangan demi “efisiensi”.  Mungkin juga kegiatan itu memerlukan biaya tambahan untuk pemberian “intensif” kepada pihak luar.  Dari pihak yang menerima.  Intensif itu berarti korupsi, karena ia telah mendapat gaji atau biaya untuk melakukan pekerjaan itu.  Semuanya itu dapat dikategorikan sebagai korupsi.  Praktek-praktek seperti itulah yang merusak suasana dan aturan main dan memberi celah kepada tindak korupsi untuk kemanfaatan pribadi diluar kepentingan umum.  Itu semua menjadi indikasi yang memberikan kesan dan data tentang luasnya praktek korupsi di Indonesia.  Korupsi bahkan sering disebut sebagai telah “membudaya”.  Padahal korupsi bukanlah gejala budaya melainkan anti-budaya.
Pada saat ini dimana korupsi sangat merajalela di Indonesia menjadikan Indonesia terpuruk baik dalam hal khususnya pemerintah, namun tidak hanya itu karena korupsi juga berdampak pada negara Indonesia yang semakin terpuruk ekonominya.  Hal semacam ini sangat sulit dihentikan kecuali dengan kesadaran diri masing-masing, tetapi itupun dirasa tidak mungkin karena perilaku-perilaku DPR yang sekarang ini yang terlalu menyepelekan tugasnya dan tidak memperhatikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota DPR, yang ada justru memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan untuk pribadinya.
Walaupun korupsi sekarang sudah merajalela diIndonesia namun sampai saat ini pemerintahpun belum bisa mengatasi secara menyeluruh korupsi-korupsi yang terjadi pada saat ini.  Pemerintah kurang tegas dalam memberikan hukuman terhadap pidana-pidana korupsi yang tidak memberikan efek jera terhadap pidana tersebut, sehingga orang-orang yang belum melakukan korupsi menjadi ikutan melakukan korupsi karena tidak takut dengan hukuman-hukuman yang ada, yang lebih parahnya lagi sekarang hukum Indonesia dapat dibeli dengan uang dan memandang sistem ekeluargaandan jabatan.
Dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang sangat membantu karena menjadikan terkuaknya kebejatan-kebejatan yang ada dalam DPR.  Memang dalam penanganannya KPK tidak memandang bulu apakah dia pejabat tinggi ataupun pejabat biasa.  Contohnya saja KPK sudah menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka, padahal angie mmempunyai jabatan dalam kursi DPR.  Yang lebih hebatnya lagi Menteri Olahraga Andi Malarangeng juga sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus Hambalang.  KPK memang sangat membantu sekali dalam menguak kasus-kasus korupsi yang ada di Indonesia, namun mengapa hukuman untuk pidana korupsi tidak sebanding dengan apa yang mereka perbuat dan mengapa justru dengan terkuaknya kejahatan-kejahatan pada pejabat tinggi enjadikan posisi KPK tidak aman dan bahkan sampai tersebar isu bahwa KPK akan dibubarkan.   Bukan hanya DPR saja yang melakukan tindakan korupsi namun tidak terlalu tersorot oleh media, namun kalau itu yng melakukan anggota DPR pastilah sangat disorot oleh media karena DPR sebagai wakil rakyat dan harusnya mengayomi rakyat justru malah melakukan penyelewengan-penyelewengan dana, dan dana itu sendiri adalah uang rakyat.  Dalam media televisi ditayangkan semua warga negara harus membayar pajak tepat waktu agar dapat melakukan pembangunan dengan segera tapi kalau masyarakat sudah membayar pajak namun malah dikorupsi sama pejabat-pejabat itu sama saja omong kosong.  Pejabat-pejabat DPR seharusnya sadar akan tugas dan kewajiban sebagai anggota DPR, namun kenapa pejabat-pejabat hanya memikirkan untuk kepentingan pribadinya saja bukan mementingkan kepentingan umum seperi yang tercantum dalam tugas dan wewenang DPR.  Pejabat menganggap sepele rakyat, maka bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah untuk rakyatpun banyak yang tidak sampai kepada rakyat melainkan sampai disaku-saku pejabat, hal semacam ini sangat menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pembangunannya.  Masyarakatpun tidak pernah tau tentang hal semacam ini karena hanya pejabat DPR yang tau sementara uang yang seharusnya untuk rakyat justru malah dimakan oleh pejabat-pejabat tinggi negara.
Salah satu untuk megurangi korupsi dan kolusi adalah dengan melakukan rasionalisasi jumlah pegawai, meningkatkan kualitas pegawai dengan mengembangkan profesionalitas, meningkatkan penggunaan dan kecanggihan teknologi serta menyederhanakan peraturan dan prosedur untuk mendapatkan pelayanan dari negara.  Keberhasialan dari tindakan itu harus dilihat pada indikator apakah rasio anggaran dan jumlah pegawai telah meningkat.  Artinya, tingkat gaji rata-rata bertambah baik, fasilitas kerja lebih nyaman, dan teknologi yang lebih canggih.

3.2 Penyalahgunaan Studi Banding
Sebagian anggota DPR terkesan sudah menutup mata dan telinga terhadap kritik pedas masyarakat atas studi banding ke luar negeri. Meskipun dikritik, anggota DPR terus melakukan studi banding.  Terakhir, anggota Komisi IV melakukan studi banding ke Perancis dalam rangka mencari bahan untuk pembahasan RUU Peternakan dan Kesehatan Hewan, sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 2009.  Sebagian lagi studi banding ke China untuk tujuan yang sama.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho, dan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Arif Nuralam, mengecam studi banding yang terus dilakukan DPR.  Keduanya menilai DPR tidak transparan dan akuntabel, baik mengenai rencana keberangkatan maupun hasil kunjungan.  Hasil konkrit kunjungan DPR ke luar negeri belum kelihatan. Yang terjadi justru, anggota DPR selalu mencari alasan pembenar, bahkan menyalahkan mahasiswa Indonesia di luar negeri atau pers di Tanah Air yang mengecam studi banding tersebut.
Eryanto menunjuk bukti minimnya transparansi dan akuntabilitas. Dari 143 kali kunjungan sepanjang 2004-2009 hanya ada tiga laporan pertanggungjawaban studi banding.   Sejak 2009 hingga sekarang ada 54 kunjungan ke luar negeri, namun baru lima yang ada laporan pertanggungjawaban terbuka. “Laporan itu tentu sangat minim sekali,” kata Eri di sela-sela diskusi di Jakarta.  Bukan hanya laporan yang minim. Menurut Eri, kualitas laporan pun layak dipertanyakan.  Bayangkan, laporan studi banding RUU Holtikultura ke Belanda hanya berisi dua halaman.
Arif mengkritik penggunaan anggaran yang begitu besar untuk studi banding.  Biaya ratusan juta hingga miliaran rupiah uang rakyat dipakai studi banding tetapi hasilnya tidak sepadan.  Arif melihat libido kunjungan kerja anggota DPR sulit dibendung karena tak semata ingin melakukan kajian mendalam mengenai RUU yang dibahas.  Studi banding dijadikan sarana plesiran, bahkan tak jarang piknik bersama anggota keluarga. Gagasan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri tak ada artinya karena tetap dilanggar.
Senada dengan Eryanto, Arif mengingatkan anggota DPR tentang kewajiban mempertanggungjawabkan secara moral dan politik studi banding yang mereka lakukan.  Untuk meminimalisasi libido studi banding, kata Arif, anggaran DPR sebaiknya berbasis kinerja.  Sehingga transparansi dan akuntabilitas tak hanya dilihat secara formal, tetapi juga substansial.  Anggota Komisi IV DPR, Rosyid Hidayat, berkilah studi banding ke Perancis dan China sudah mendapat persetujuan dari fraksi masing-masing dan Badan Anggaran.  Ia juga menilai studi banding ke Perancis cukup penting karena diperoleh informasi tentang zona berbasis impor ternak.  Juga diperoleh informasi tentang penyakit sapi asal Australia dan Brazil.
Informasi mengenai penyakit sapi di Australia dan Brazil bisa diperoleh dengan cepat di internet.  Juga bisa diperoleh langsung dari narasumber di kedua negara melalui telekonperensi.  Namun Rosyid mengatakan DPR juga belajar tentang swasembada daging dari Perancis.  Prancis saat ini merupakan produsen daging dan susu terbesar di seluruh Eropa.

3.      Dampak pada Kinerja Badan Legislatif
Tiga Pilar Negara yang berperan sangat penting untuk berdiri dengan kokohnya sebuah negara adalah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.  Jika tiga pilar ini bersinergi dengan baik maka akan kokohlah pondasi pilar sebuah negara, tapi sebaliknya, jika tiga lembaga ini berkonspirasi dalam hal korupsi maka akan runtuhlah negara tersebut[3]Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat mengantongi rapor merah sepanjang tahun 2012.  Hal tersebut membuktikan kinerja lembaga legislatif tidak optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.  Indikator buruknya kinerja lembaga legislatif tercermin dari empat aspek, yaitu kinerja legislasi, anggaran, pengawasan dan Badan Kehormatan.  Kinerja pelaksanaan tiga fungsi utama yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan secara prosedural administratif berjalan.  Namun, secara fungsional substansialnya mengalami kemerosotan bahkan cenderung merusak citra lembaga Dewan Perwakilan Rakyat.
Kinerja legislasi buruk tercermin dari produktivitas dan kualitas undang-undang rendah.  Target legislasi 2012 sebesar 64 RUU, terangnya, hanya 10 RUU yang merupakan prioritas tahun 2012. Pencapaian dari hal itu juga minim dengan 1 RUU dari prioritas 2012 sementara 9 RUU dibahas di tahun 2011.  Empat undang-undang (UU Pemilu, UU APBN, UU Penanganan Konflik Sosial, dan UU Pendidikan Tinggi) dari pencapaian DPR di tahun 2012 juga telah digugat di Mahkamah Konstitusi karena mengandung sejumlah persoalan.  Yang  artinya secara kualitas buruk.
Sedangkan, aspek anggaran di DPR, justru menjadi lahan korupsi. Terlihat dari kinerja DPR yang berhasil mendorong tambahan penerimaan negara APBN 2012 kurang lebih Rp 18 triliun.  Namun, anggaran tersebut tidak untuk menambah belanja publik tetapi untuk belanja rutin pemerintah pusat.  Politik anggaran yang dijalankan DPR demikian, masih berorientasi pada proyek dan kepentingan sendiri serta pemerintah.
Politik anggaran tersebut mengakibatkan wakil rakyat terlibat korupsi. Selama 2012, ada empat wakil rakyat yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, yaitu Angelina Sondakh dari Fraksi Demokrat, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi PAN, Emis Moeis dari Fraksi PDIP, dan Zulkarnaen Djabar dari Fraksi Golkar.  Hal tersebut memperjelas bahwa praktik politik anggaran di DPR dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan kroni.  Masih banyak anggota dewan yang diduga terlibat korupsi, ada yang dipanggil KPK dan namanya disebut oleh sejumlah saksi. Namun status mereka belum jelas. 
Sedangkan, dalam aspek pengawasan terlihat DPR bekerja dengan tidak efektif.  Pengawasan pelaksanaan perundangan dan penggunaan keuangan negera jauh dari harapan.  Terlihat dari banyaknya kasus korupsi pengawasan penggunaan anggaran negara yang dilakukan anggota DPR.  Terbongkarnya kasus korupsi itu bukan oleh kinerja DPR namun KPK.  DPR di sepanjang tahun 2012 tidak menggunakan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat.  Padahal, hak tersebut adalah hal penting dalam mengawasi kinerja pemerintah.  Itu membuktikan perangkat pengawasan yang digunakan tidak mencapai 50 persen.  Bahkan, tidak berhasil sampai tuntas dan berakhir tidak jelas.
Sementara, mengenai kinerja BK sendiri dinilainya tidak tegas.  Sepanjang tahun 2012, DPR banyak disorot publik karena dugaan pelanggaran etika wakil rakyat.  BK memberikan sanksi ringan dan tidak memiliki efek jera.  Bahkan BK banyak yang menilai membela rekan sejawat.  Namun intinya, BK belum efektif menegakkan citra dan kehormatan DPR.  , mungkin sebaiknya 2013 nanti DPR harus lebih efektif menjalankan keempat aspek tersebut.  Dalam aspek lagislasi, DPR harus mengevaluasi secara serius dan komprehensif Program Legilasi Nasional (Prolegnas).   Prolegnas harus mengutamakan perundangan yang berpihak pada rakyat dan tidak terjebak pada keinginan legislatif maupun eksekutif sendiri.
Agar efisien dan efektif, proses pembahasan RUU langsung dibahas oleh komisi terkait tanpa harus melalui proses pembahasan di Baleg yang memakan waktu, energi dan biaya yang sangat besar.  Dalam peran pengawasan, DPR perlu membuat indikator yang jelas menilai kinerja pemerintah.  Hal tersebut untuk mencegah praktik korupsi di DPR dan Pemerintah.  Sementara, BK menurutnya harus lebih tegas.  Sanksi berat harus dijatuhkan pada wakil rakyat yang melanggar etika dan perundangan.

Penutup
Pada masa sekarang ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat masih belum serius dalam menjalankan tugasnya karena anggota DPR masih mengedepankan kepentingan pribadi dengan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat.  Padahal tugas DPR itu sendiri adalah semua bekerja untuk rakyatnya namun kenapa anggota DPR masih egois dengan dirinya sendiri.  Sebenarnya DPR sudah diberi fasilitas yang bagus dan gaji yang besar, tapi kenapa banyak anggota DPR banyak yang melakukan penyimpangan-penyimpangan dana (korupsi) bahkan mungkin hampir seluruh anggota DPR melakukan hal yang sedemikian.
Dengan diadakannya studi banding keluar negeri oleh DPR yang tujuannya untuk mengukur seberapa jauh istem kerja pemerintahan di Indonesia sendiri namun pada kenyataannya sudah berpuluh-puluh kali DPR melakukan studi banding keluar negeri tapi hasil yang diperoleh dari studi banding tersebut tidak dibuat atau tidak ada laporannya sama sekali.  Padahal studi banding DPR tersebut menggunakan uang rakyat yang habisnya tidak tanggung-tanggung yaitu sampai milyaran rupiah tapi hasilnya nol besar.
Hal yang demikian juga berdampak pada kinerja pemerintahan yang ada di Indonesia karena banyaknya penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam DPR tersebut menjadikan anggota DPR melakukan tugasnya dengan seenaknya sendiri dan bermalas-malasan.  Absen jarang hadir, rapat juga jarang hadir maka kapan negara Indonesia mau maju kalau pemimpin-pemimpinnya bertindak hal yang demikian.
Dengan kejadian-kejadian yang seperti ini maka seharusnya anggota DPR sadar bahwa anggota DPR itu bekerja untuk rakyat dan digaji dengan uang rakyat, tidak sepantasnya anggota DPr untuk bermalas-malasan agar kinerja pemerintah dapat berjalan dengan baik dan dapat memajukan negara Indonesia.


Daftar Pustaka
Zaldy.  “Ruang Kekuasaan di Negara Pancasila dan Beragama.”  Politik, 22 Februari 2012 | 10:08, http://politik.kompasiana.com/2012/02/22/ruang-kekuasaan-di-negara-pancasila-dan-beragama-440816.html.
H Zubaidi.  “ Membangun Pemerintah yang Bersih.” Haluankepri, 12 Agustus 2011 22.39, http://haluankepri.com/opini-/16029-membangun-pemerintahan-yang-bersih.html.
Suleiman, M. Ajisatria.  “Kekusaan Dewan Perwakilan Rakyat.” Padmimonang, 19 Oktober 2012, http://padmimonang.wordpress.com/2012/10/19/kekuasaan-dpr-pendulum-reformasi/#more-551.
Rahardjo, M. Dawam.  Orde Baru dan Orde Transisi ( Wacana krisis atas Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisis Ekonomi).  Yogyakarta: Pusat Penerbitan UII Press, 1999.
“ Burunya Kinerja Lembaga Legislatif.”  Ajinatha, diakses pada tanggal 8 Januari 2012, http://ajinatha.blogspot.com/2012/02/buruknya-kinerja-lembaga-eksekutif.html.
“ Studi Banding DPR.”  Hukumonline, 17 Desember 2012, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50ce6e8d42456/akuntabilitas-studi-banding-dpr-sangat-minim.



[1] “Tugas dan Wewenag DPR. “ DPR diakses pada tanggal 8 Januari 2013.  http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/tugas-dan-wewenang.
[2]  M. Dawam Rahardjo, Orde Baru dan Orde Transisi ( wacana Krisis atas Penyalahgunaan Kekuasaan dan Krisi Ekonomi) (Yogyakarta: Pusat Penerbitan UII Press, 1999), 6.
[3] Jakob Siringoringo.  “Kekuasaan Legislatif.”  Analisadaily, Selasa, 07 Jun 2011 21:34, http://www.analisadaily.com/news/read/2011/06/07/2983/korupsi_dan_kekuasaan/.

1 komentar: