Rabu, 19 November 2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERUSAHAAN SECARA LITIGASI

Dalam era global seperti sekarang ini, dimana dunia seolah-olah tanpa batas (borderless), orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa atau perselisihan. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Salah satu jenis sengketa yang sering kita temui adalah sehari-hari sengketa dalam konteks bisnis. Sengketa yang timbul ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaikan sengketa yang disediakan oleh negara adalah pengadilan.
          Dalam menjalankan kegiatan bisnis, kemungkinan timbulnya sengketa suatu hal yang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, dalam peta bisnis modern dewasa ini, para pelaku bisnis sudah mulai mengantisipasi atau paling tidak mencoba meminimalisasi terjadinya sengketa. Langkah yang ditempuh adalah dengan melibatkan para penasehat hukum (legal adviser) dalam membuat dan ataupun menganalisasi kontrak yang akan ditanda tangani oleh pelaku usaha. Yang menjadi soal adalah, bagaimana halnya kalau pada awal dibuatnya kontrak, para pihak hanya mengandalkan saling percaya, kemudian timbul sengketa, bagaimana cara penyelesaian sengketa yang tengah dihadapi pebisnis. Secara konvensional atau tepatnya kebiasaan yang berlaku dalam beberapa dekade yang lampau jika ada sengketa bisnis, pada umumnya para pebisnis tersebut membawa kasusnya ke lembaga peradilan ditempuh, baik lewat prosedur gugatan perdata maupun secara pidana. Jika pilihannya penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga peradilan, para pihak memperhatikan asas yang berlaku dalam gugat-menggugat melalui pengadilan. Satu asas yang cukup penting adalah siapa yang mendalilkan, wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Asas ini dijabarkan dalam pasal 1865 KUHPdt yang mengemukakan bahwa:
“Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkanhaknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
          Untuk itu, jika penyelesaian sengketa bisnis dipilih lewat lembaga peradilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangan, yakni pihak penggugat wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Disamping itu, penggugat harus tahu persis di mana tempat tinggal tergugat, sebagai gugatan harusdiajukan di tempat tinggal tergugat, Asas ini dikenal dengan istilah Actor Secuitor Forum Rei.
          Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Penyelesaian melalui Litigasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur penyelasaian melalui peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan khusus seperti peradilan anak, peradilan niaga, peradilan pajak, peradilan penyelesaian hubungan industrialdan lainnya. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.


Kebaikan dari sistem ini adalah:
1.       Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2.       Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu asas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah)

Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1.      Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap)
2.       Hakim yang "awam" (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara. apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
          Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi (nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai, hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem (perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat diajukan upaya hukum).
          Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan dalam perusahaan diatur didalam Undang-undang No.22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
          Dalam Pasal 56 Undang-undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
1.     di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
2.     di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
3.     di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
4.     di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Adapun susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
1.     Hakim
2.     Hakim ad Hoc
3.     Panitera Muda, dan
4.     Panitera Pengganti.
Untuk Pengadilan Kasasi di Mahkamah Agung terdiri dari :
1.     Hakim Agung
2.     Hakim ad Hoc pada Mahkamah Agung ; dan
3.     Panitera
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung RI harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1.     warga negara Indonesia
2.     bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3.     setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
4.     berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun
5.     berbadan sehat sesuai dengan keterangan dokter
6.     berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
7.     berpendidikan serendah-rendahnya Starata Satu (S-1) kecuali bagi Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung, syarat pendidikan Sarjana Hukum serta berpengalaman dibidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
          Pengangkatan dan penunjukan Hakim Ad Hoc tersebut pad pengadilan Hubungan Industrial berdasarkan SK. Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebelum memangku jabatan Hakim Ad Hoc wajib disumpah atau memberikan janji menurut agama dan kepercayaannya masing-masing serta Hakim Ad Hoc tersebut tidak boleh merangkap Jabatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 66 Undang-Undang No.2 Tahun 2004.
          Hukum acara yang dipakai untuk mengadili sengketa perburuan tersebut adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dilingkungan Pengadilan Umum, kecuali di atur secara khusus oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2004 serta menuggu keputusan Presiden untuk menentukan Tata Cara pengangkatan Hakim Ad Hoc Ketenaga Kerjaan.
          Sebelum Undang-Undang ini berlaku secara effektif didalam masyarakat dalam penyelesaian pemutusan Hubungan Kerja masih memakai KEP/MEN/150 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.13 Tahun 2003, tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan .
          Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan Hubungan Industrial PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
1.     Tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2.     Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
3.     Tingkat pertama mengenai perselisihan PHK;
4.     Tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
          Ketentuan Beracara dalam PHI tidak berbeda seperti Hukum Acara Perdata. Kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 81 – Pasal 115).
          Putusan PHI mengenai Perselisihan Hak dan PHK dapat diajukan ke MA melalui Upaya Hukum Permohonan Kasasi paling lama 14 hari setelah putusan dibacakan, atau menerima pemberitahuan putusan.

          Para pihak yang terlibat dalam dunia perusahaan ingin agar segala sesuatunya dapat berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Akan tetapi, dalam praktik ada kalanya apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak tidak dapat dilaksanakan karena salah satu pihak mempunyai penafsiran yang berbeda dengan apa yang telah disetujui sebagaimana yang tercantum dalam kontrak sehingga dapat menimbulkan perselisihan.          Apabila suatu sengketa terjadi dan diselesaikan melalui badan pengadilan, hakim harus memutuskannya berdasarkan sumber hukum yang ada secara teori salah satu yang dapat dijadikan rujukan sebagai sumber hukum adalah yurisprudensi. Selain untuk menjaga agar tidak terjadi kesimpangsiuran putusan, yang berakibat pada ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang berperkara, yurisprudensi juga berguna untuk menyederhanakan pertimbangan hukum dalam pengambilan putusan.
          Sengketa yang diselesaikan melalui Pengadilan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkanoleh kedua belah pihak selain waktu dan biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak, juga identitas para pihak yang bersengketa akan diketahui oleh masyarakat. Sebagaimana diketahui prinsip yang dianut oleh lembaga peradilan adalah pada asasnya terbuka untuk umum. Masalah lainnya adalah bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan prosesnya cukup lama. Hal ini tiada lain karena proses pengadilan ada beberapa tingkatan yang harus dilalui, yakn tingkat pertama di pengadilan negeri (PN); tingkat kedua di pengadilan tinggi (PT) untuk tingkat banding, dan tingkat ketiga adalah mahkamah agung (MA) sebagai tingkat kasasi yang merupakan instansi terakhir dalam hierarki lembaga peradilan.
          Berdasarkan materi mengenai penyelesaian sengketa secara litigasi lebih baik apabila permasalahan diselesaikan secara non-litigasi terlebih dahulu. Penyelesaian secara non-litigasi dapat secara negoisasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Selain karena tidak membutuhkan biaya yang besar, prosesnya pun terbilang lebih mudah dan tidak memakan banyak waktu. Namun, alangkah lebih baik apabila kita dapat mencegah timbulnya sengketa dalam perusahaan.


          Sengketa terjadi jika salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian. Penyelesaian ini harus dilakukan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di antara para pihak. Salah satu penyelesaian sengketa dalam dunia ekonomi yaitu melalui melalui badan pengadilan (litigasi). Litigasi dianggap sebagai yang paling tidak efisien oleh para pelaku dunia ekonomi komersial dalam penyelesaian sengketa dibandingkan dengan non-litigasi, berkaitan dengan waktu dan biaya yang dibutuhkan. Rendahnya kesadaran hukum juga ikut mempengaruhi, di mana para pihak yang berperkara di pengadilan bukan untuk mencari keadilan melainkan untuk memenangkan perkara. Beberapa faktor lain yang mengakibatkan pengadilan bersikap tidak responsif, kurang tanggap dalammerespon tanggapan umum dan kepentingan rakyat miskin (ordinary citizen). Hal yang palingutama adalah kemampuan hakim yang sifatnya generalis (hanya menguasai bidang hukum secara umum tanpa mengetahui secara detil mengenai suatu perkara).


REFERENSI

ml.scribd.com/doc/91217444/ian-Sengketa-Litigasi-Non-Litigasi
http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=125259
Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada, Jakarta 2004.
Depnaker RI, Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004.

http://marullohtekindustri.blogspot.com/2012/06/penyelesaian-sengketa-perusahaan-secara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar