Rabu, 19 November 2014

PERAN MEDIA MASA DALAM KEMENANGAN PARPOL


Media merupakan lembaga sosial paling tinggi di masyarakat media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus – respons dalam behaviorisme. Kehidupan demokratis yang didamba-dambakan masyarakat hanya bersifat substansial dalam siklus lima tahun sekali. Rakyat hanya dijadikan objek eksploitasi kepentingan suara oleh partai politik untuk meraih kekuasaan. Sementara legitimasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang tertinggi dalam era demokrasi tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya. Pers sejatinya menjadi mitra masyarakat dalam mengawal jalannya roda pemerintahan, terbagi ke dalam sekat kepentingan golongan atau pemilik modal.  Keberpihakan pers di Indonesia rasanya belum sepenuhnya kepada rakyat , dalih dalih sebagai pamour pers di Indonesia hanya mementingkan fakktor ekonomi belaka.
Adanya keberpihakan non rakyat ini membuat pers Indonesia diragukan sebagai lembaga yang kredibel dan demokratis , ketika berbagai politisi-politisi pemegang kantor media yang berbeda mengagungkan ideologi dan visinya, saling sikut dan saling susul. Rasanya sinergisitas di negri ini akan semakin terperosok.
Pers, Caleg, Partai Politik, Demokrasi

Penuh perjuangan buat seorang calon legislatif dan partai politiknya, betapa beratnya waktu 24 jam digunakan untuk berpikir,berdiskusi, berkunjung  ke konstuen(masa pendukung), dengan tujuan untuk mensosialisasikan  program-program yang akan ditawarkan dalam kompanye, dan visi-misinya. Gambaran ini merupakan kegiatan  para caleg dan partai politik, yang  supersibuk untuk mengejar target suara dan popularitas di masyarakat, karena sayarat utama adalah suara sebanyak banyaknya yang bisa direkrut. Seperti  sebuah iklan, apapun jabatannya,pekerjaannya, pendidikannya  adalah tetap suara terbanyak.
Seperti layaknya para  penjudi, yang lebih dominan adalah emosi saat pertarungan, ketika  sudah dipertengahan waktu, dengan kalkulasi yang tidak sesuai dan strategi yang tidak murni,  prinsipnya adalah  yang  penting menang  dalam pertarungan itu.  Kalau cara berpikir  seperti ini para caleg kita ,maka  bangsa ini akan diurus olah para mental  spekulan, yang tidak jelas visi-misinya, apalagi  untuk kepentingan rakyat, yang bakal ada adalah hanyalah kepentingan pribadi  untuk kembali modal dan kepentingan kroni (masa pendukung). 
Sebelum  pertarungan  dimulai. Dalam  pengertian saya, bahwa suatu kemenangan itu ada dua yakni, kemenangan untuk mengelola kemenangan dan kemenangan mengelola kegagalan ilustrasi  kemenangan. Bila mendapat dukungan, duduk  menjadi anggota dewan, sesungguhnya belum disebut pemenang, tetapi baru masuk keruang setan yang penuh godaan. Nah bilamana sudah duduk mampu memilah , menolak dan mengindari godaan itu maka barulah anda disebut pemenang sejati  yang mapu mengelola kemenangan itu. Kalau pun tidak terpilih menjadi anggota dewan ,maka anda akan belajar introsepeksi, terhadap  kegagalan itu, bila telah sadar dan tahu penyebab kegagalan itu, maka kendalikan diri dan iklas  menerima kekalahan itu. Sesungguhnya itulah kemenangan sejati.
Selain dari pada itu, dewasa ini perkembangan akan teknologi dan globalisasi membuat kita terbawa arus,  pun juga dengan dunia politik, peran media massa dan sosial media juga sangat berperan aktif dalam kemeanangan suuatu caleg dan partai politik. Menarik memang , walau gerakan politik di Sosial Media tidak identik dengan gerakan di lapangan yang cenderung konvensional dengan pemasangan baligho dan kampenye, namun keunggulan di Sosial Media hampir sama dengan hasil sesungguhnya di lapangan seperti hasil yang disampaikan oleh beberapa lembaga survei.

Kemenangan suatu caleg juga bisa dikaitkan dengan peran media massa , sebagaimana media itu memberitakan suatu profil caleg dan aksi seorang caleg juga partai politiknya, namun di Indonesia kerap terjadi penyalah gunaaan weweang dari pers itu sendiri seringkali kode etik pers diabaikan , dan hanya mementingkan keuntungan semata tanpa adanya kredibiltas dari lembaga sosial nomer satu tersebut.

Pers Dan Sejarahnya
Pers adalah suatu lembaga sosial yang bergerak dalam media massa , Pers di indonesia sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, ketika pada tahun 1615, diterbitkan surat kabar “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah belanda yang bernaung pada perusahaan belanda terbesar pada waktu itu yak ni VOC. Pada , Selain masa pendudukan belanda , di massa pendudukan jepang , pers juga berkembang , ketika surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan “Dai Toa Senso” atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

Masa Revolusi Fisik dan Orde Baru
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode “revolusi fisik”, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya.
Masa Demokrasi Liberal
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965. Dan kemudian pers beralih ke tangan era orde baru
Masa Orde Baru
Ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pers seolah bungkam dan mati kutu ketika pers hanya dijadikan alat sebagai penggerak citra suatu negara yang bersifat otoriter pada waktu itu
Masa Reformasi
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden. Pers kala itu bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya, bergerak bebas tanpa arah ,  Pers kala itu adalah korban dari liberalisasi demokrasi yang baru baru ini diterapkan di negara Indonesia. Semenjak dibukanya kembali kebebasan pers melalui Surat Izin Pembuatan Pemberitaan (SIUPP) dan berlakunya UU nomor 21 tahun 1982 (pasal 13 ayat 5), pers kian tak terkendali, banyak surat kabar-surat kabar dan kantor berita baru yang bermunculan dan membuat berbagai spekulasi yang beragam macam. Ada banyak hal hal positif dan negatif dari hal ini. Kondisi pers saat itu bukanlah pada kondisi pers yang berkembang akan tetapi bagaimana pers bisa survive dan bertahan atas badai yang slalu menerpa. Krisis ekonomi yang menerpa pasca reformasi pun belum sepenuhnya rampung. Seringkali pers berytahand engan dalih eouvoria kebebabasan serta memanfaatkan longgarnya seluruh social fabric masyarakat dan pemerintahan kita. Dimasa itu seringkali muncul berita, liputan dan komentar yang berdomensi dan berwarna kuat sensasi bahkan sesasionalisme . Sekalipun seringkali tidak diporsi seleranya , entah pengertian kita tentang kebebasan pers tidak sependapat dengan keadaan itu. Pers kala itu seperti kerbau yang tak tentu arah. Sadar atau tidak pers kala itu mengundang pemodal besar untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka. Kebanyakan orang menagggap kebebasan pers yang berkembang dalam masa reformasi itu merupakan indikator dari demokrasi : tumbuhnya perbedaan pendapat secara sehat sekalipun sering terkesan amat partisan. Tapi sebetulnya semua itu tidak lepas dari kepentingan pasar.

Pers dan Demokrasi
Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi. Pertama, pemahaman demokrasi secara normatif. Kedua, pemaham demokrasi secara empirik. Dalam pemahaman normatif, demokrasi merupakan suatu kondisi yang secara ideal ingin diselenggarakan oleh suatu negara. Sedangkan dalam pemahaman empirik, demokrasi dikaitkan dengan kenyataan penerapan demokrasi dalam tataran kehidupan politik praktis.
Untuk melihat apakah demokrasi yang normatif diterapkan dengan baik dalam kehidupan politik secara empirik, para ahli politik membuat berbagai indikator untuk mengukurnya. Antara lain Huntington yang mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat di dalam sistem politik, para calon secara bebas bersaing untuk mendapatkan suara, dan hampir semua penduduk dewasa berhak untuk memberikan suaranya. Selain itu, demokrasi juga mensyaratkan adanya kebebasan sipil dan politik, yaitu adanya kebebasan untuk berbicara, berpendapat, berkumpul, berorganisasi, yang dibutuhkan untuk perdebatan politik, dan pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Suatu sistem dikatakan tidak demokratis bila oposisi dikontrol dan dihalangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, seperti koran-koran oposisi dibredel, hasil pemungutan suara dimanipulasi atau perhitungan suara tidak benar.
Sedangkan Dahl mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik dimana para anggotanya saling memandang antara yang satu dengan yang lainnya sebagai orang-orang yang sama dalam segi politik, secara bersama-sama berdaulat, memiliki kemampuan, sumber daya, dan lembaga-lembaga yang mereka perlukan untuk memerintah diri mereka sendiri. Indikator demokrasi yang diajukan Dahl adalah sebagai berikut:
  • Adanya kontrol terhadap kebijakan pemerintah.
  • Adanya pemilihan umum yang diadakan secara damai dalam jangka waktu tertentu, terbuka, dan bebas.
  • Semua orang dewasa mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum.
  • Hampir semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan umum.
  • Setiap warga negara memiliki hak politik, seperti kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, termasuk didalamnya mengkritik pemerintah.
  • Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan akses informasi alternatif yang tidak dimonopoli oleh pemerintah atau kelompok tunggal lain.
  • Setiap warga negara berhak untuk membentuk dan bergabung dengan lembaga-lembaga otonom, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang berusaha untuk mempengaruhi pemerintah dengan mengikuti pemilihan umum dan dengan perangkat-perangkat lainnya.

Berdasarkan pada pendapat Huntington dan Dahl di atas jelaslah bahwa kehadiran media massa menempati ruang penting dalam proses demokrasi, bahkan banyak ahli yang menyatakan bahwa pers sesungguhnya merupakan salah satu pilar demokrasi. Keberadaan media massa dilihat sebagai salah satu indikator demokratis tidaknya sebuah sistem politik karena terkait dengan kebebasan untuk menyatakan pendapat dan mendapatkan akses informasi. Negara yang demokratis akan menjamin kebebasan media massa dan negara yang otoriter akan mengekang kehidupan media massa. Disinilah letak hubungan media massa dan politik.

Pers Dan Politik
Sinergisitas berasal dari kata dasar “sinergi” yang artinya kegiatan atau operasi gabungan. Sinergisitas berarti merujuk pada kata sifat yang berkonotasi saling mempengaruhi atau saling melakukan kegiatan. Dalam konteks arti kata operasi gabungan, berarti kata sinergisitas merujuk pada melakukan kegiatan bersama, saling berkomunikasi atau bekoordinasi agar terbentuk suatu tatanan kerjasama yang baik dalam mencapai suatu tujuan. Dari hal di atas berarti dapat disimpulkan bahwa sinergisitas merupakan bentuk upaya melakukan kerjsamas dalam bentuk koordinasi nyata dan saling mengisi untuk mencapai suatu tujuan bersama.[1] Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkab ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
Kajian utama dari hal ini adalah ketika suatu media bisa mengantarkan berbagai aspek politik yang bisa berjalan spekualan di masyarakat. Karena politik juga mempengaruhi perkembangan media massa yang berada di suatu negara. Dan media juga merupakan sarana paling efektif untuk jalanya suatu perpolitikan, karena media massa memiiki kekuatan yang besar dalam menyebar luaskan pesan-pesan politik, sosialisasi politik dan membentuk opini publik
Masig –masing media memiliki kecenderungan yang berbeda-beda dalam membentuk citra katakanlah sebuah ormas atau partai. Dimana pencitraan itu pasti akan mnimbulkan opini publik tertentu terhadap parpol Media masa semata-mata berfungsi menjadi saluran atau media komunikasi politik , tetapi juga turut aktif dalam membentuk citra dari isi (pesan ) yang ingin disampaikan. Secara tekhnis dalam kurun waktu musim kampanye, pers terkena dampak beberapa kejadian lewat komuniaksi politiknya karena ada beberapa alasan diantaranya. Pertama, kehidupan politik memeperlihatkan aktifitasnya secara nyata, karenanya lebih menarik untuk diamati ; kedua, persaingan antar kekuatan politik tampak terbuka sehingga mudah diikuti setidaknya melalui media massa;  ketiga, perhatian media keapada aktifitas politik tersebut luar biasa besar dan yang lebih penting lagi terdapat pretensi bahwa media massa terlibat dengan kegiatan politik partisan kepada salah satu kekuatan politik yang diliputnya atau yang di jagokannya. Sesuai dengan UU nomer .. bawasanya pers merupakan lembaga yang memiliki sifat kredibilitas yang tinggi  sesuai dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Walaupun  masih  banyak tanda tanya apakah kedua undang-undang ini sudah cukup mampu menjamin pers sebagai kekuatan keempat (fourth estate) dari demokrasi. Media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap  merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu, namun ada juga hal yang menguntungkan kepentingan politik seperti yang di bahas pada hal tadi. Dewasa ini seringkali pers diragukan kredibilitasnya alih alih untuk mengangkat pamour atau bertahan dari persaingan, kerapkali pers memiliki tangan kanan sebuah partai, bahwasanya sebuah media mengkonstruksikan secara positif sebuah kekuatan politik yang sama dengan ideologi dan visi politik media itu sendiri. Gambaran bagaimanakah jika suatu media dan politik berbeda visi dan ideologi? Apa maksud  yang bisa kita tangkap kalau ada satu kekuatan politik memperoleh penggambaran yang positif padahal diantarnya keduanya media dan parpol memiliki latar belakang ideologis dan politis yang berbeda? Adakah kemungkinan penjelasan lain dan apa maknanya jika dia menggambarkan secara negatif sebuah partai politik padahal diantara keduanya memiliki orientasi yang sama . Adakah hal itu dipentingkan karena faktor ekonomi atau kepentingan tekhnis belaka?
Keberadaan seorang pembaca seperti tidak diperhitungkan dalam hal ini, boleh jadi pemihakan suatu parpol dilakukan dalam rangka memuaskan massa sebuah partai . Dengan kata lain bisa saja muatan ideologis dan politis dijadikan dasar untuk mempertahankan pasar ( kepentingan ekonomi) tatkala suatu media katakanlah sebuah koran memberitakan sebuah partai politik.  Dengan kata lain kemenangan seorang caleg bukanlah tidak mungkin hanya semata-mata dari proses retorikanya saja. Nuansa kontestasi sengit perpolitikan Indonesia dengan menjadikan media sebagai corong artikulasi partai politik. Kontestasi tersebut berupa perang opini berita, komentar, maupun konten berita antar berbagai partai politik sehingga pada akhirnya informasi yang disajikan oleh media akan tidak valid dan kredibel, malahan akan menyesatkan opini masyarakat. kondisi yang sedemikan tentunya akan sangat menyedihkan bagi insan pers yang menjunjung tinggi kenetralan media dalam upaya mencerahkan dan sumber pengetahuan masyarakat. maka dapat dikatakan bahwa inilah masa media capture of capitalism. Kapitalisme yang menyandera pemberitaan media massa.

Media Capture of Capitalism
   Terminologi tersebut diperkenalkan oleh Noam Chomsky (2004) dalam bukunya yang berjudul Media Control : The Spectacular Achievement of Propaganda. Chomsky mencontohkan kasus yang terjadi dalam pemberitaan media yang tidak independen dalam media massa Amerika Serikat. Dia mencontohkan Fox News maupun CNN yang cenderung membela kepentingan partai Republik di Kongres sehingga membuat masyarakat Amerika sendiri menjadi terpengaruh untuk menjadi republikan. Tentu saja, Rupert Murdoch adalah dalang di balik semua pemberitaan Fox maupun CNN tersebut dimana Murdoch yang merupakan seorang konservatif adalah republikan sejati. Hal tersebut terbukti dalam pemilu AS pada tahun 2003 dimana Fox News secara gencar mempengaruhi publik Amerika Serikat untuk memilih George Walker Bush menjadi presiden AS untuk periode kedua kalinya. Pemberitaan Fox News sendiri menelikung berbagai pemberitaan mengenai kejahatan kemanusiaan akibat perang invasi Amerika Serikat ke Iraq maupun Afghanistan sebagai bentuk apresiasi melawan terorisme. Oleh karena itulah Fox maupun CNN sendiri secara tidak langsung menjadi sandera Murdoch untuk senantiasa mendukung Republikan. Kapitalisme justru membuat dan mengebiri kode etik jurnalisme media massa Amerika Serikat yang cenderung humanitarian dan egalitarian dalam pemberitaanya. Kapitalisme media justru membuat pemeritaan menjadi saluran propaganda yang pada akhirnya menurunkan derajat pemberitaan media itu sendiri sehingga hanya menjadi sampah informasi bagi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan konten berita hanya berisi sanjungan maupun pujian kepada politisi partai politik dan bukannya berita kritis aspiratif. Media kehilangan fungsi kontrol dan kritis kepada pemerintahan dan kelak akan kehilangan tempat di mata masyarakat karena bukannya mencerahkan masyarakat malahan membodohi masyarakat dengan berita yang sumir dan tidak kredibel.[2]

Kondisi ini bisa di realisasikan pada kehidupan di indonesia sepertihalnya   Metro TV maupun TV One  yang di pegang oleh politisi kelas atas. Media yang acap kali disebut sebagai gerbang informasi masyarakat Indonesia justru juga kehilangan independensinya dalam pemberitaan. Kita ambil contoh dalam pemberitaan lumpur lapindo, TV One sendiri enggan untuk memberitakan kasus tersebut secara lugas, tajam, dan kritis seperti pada pemberitaan pada umumnya. TV One justru menampilkan sisi baik lumpur Lapindo sebagai sarana pariwisata alternatif di Jawa Timur dan hirau akan nasib pengungsi di desa Siring, Mindi, maupun Reno Kenongo yang terlunta – lunta. Kondisi yang sedemikan justru dimanfaatkan Metro TV untuk menyerang pemberitaan TV One yang mengangkat secara besar-besaran kasus kejahatan kemanusiaan Lumpur Lapindo. Kondisi serupa juga terjadi dalam pemberitaan mengenai pembentukan Partai Nasional Demokrat. Pemberitaan TV One mengeksploitasi secara berlebihan pembentukan partai tersebut, sementara Metro TV memberitakan secara halus bahwa Nasdem adalah partai aspiratif. Oleh karena irulah dapat dikatakan bahwa kontestasi pemberitaan TV One maupun Metro TV melambangkan persaingan politik antara Aburizal Bakrie maupun Surya Paloh yang selama ini kurang akur sejak Munas Golkar di Riau pada 2009 silam.

Penulis  sendiri mengkhawatirkan hal serupa terjadi dalam pemberitaan MNC Group seiring dengan masuknya Harry Tanoesoedibjo menjadi pengurus Partai Nasdem. Dikhawatirkan kualitas pemberitaan MNC yang selama ini terkenal dengan isu sosial budayanya akan terseret ke dalam arena politik yang sebearnya bukan domain pemberitaan MNC Group. Maka bisa dibayangkan apa jadinya pemberitaan Media Indonesia, Harian Suara Karya, maupun Koran Seputar Indonesia yang akan saling sikut menyikut dalam pemberitaannya.

Untuk itu peran dewan pers sesegara mungkin untuk mencegah hal tersebut terjadi dengan membentuk regulasi yang tegas untuk tidak membela kepentingan pemiliknya dan lebih memperhatikan kepentingan untuk mencerahkan pengetahuan masyarakat. Dewan Pers sekiranya perlu memperkuat kode etik jurnalisme untuk mencegah kongkalingkong media dan partai politik.

Pers dalam kehidupan politik, mampu menciptakan berbagai spekulasi dan opini publik. Pmeberitaan tentang politik (aktor, partai politik dan peristiwa politik) senantiasa mengundang perhatian , tanggapan dan bahkan tindakan politik. Hal ini disebabkoan oleh strategis dan besarnya kemampuan media dalam mengkonstruksikan realitas politik.
Dalam menciptakan suatu sinergisitas antar kelompok masyarakat. Sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.



Referensi:

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi, 2008.
Hamad, Ibnu. Peran Media Massa dalam Konstruksi Politik. Jakarta: Granit, 2004.
Jakob, Oetama. Pers Indonesia Berkomunikasi Tidak Tulus. Jakata: PT Kompas Gramedia, 2001.
Prayitno, Aprianto Indria. “SINERGISITAS PERS DAN PARTAI POLITIK DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI DELIBERATIF.” Analisa Poltik, 2011.



[1] Indria Aprianto.2011. Sinergisitas Pers dan Partai Politk dalam Pembangunan Demokrasi Deliberatif http://apriantoindriaprayitno.blogspot.com/2011/12/sinergisitas-pers-dan-partai-politik.html
[2] OpiniWasisto Raharjo. Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar