Rabu, 12 November 2014

Peran Pemerintah Daerah melalui Perda No.3 Tahun 2004 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima di Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto, Kabupaten Banyumas

Tulisan ini menganalisis mengenai kebijakan Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Purwokerto, Banyumas terhadap pengaturan pedagang kaki lima di Jalan Jenderal Soedirman. Artikel ini menganalisis mengenai proses pembentukan peraturan daerah yang sesuai prosedur yaitu harus mengambil sistem Bottom Up ( dari bawah ke atas ) tidak secara Top Down ( dari atas ke bawah ). Analisis menunjukkan bahwa peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Purwokerto mengandung kemungkinan bahwa peraturan dibuat secara Top Down mengingat masih banyaknya masyarakat yang kurang sosialisasi mengenai adanya Perda No. 4 Tahun 2003 yang mengkhususkan penataan pada pedagang kaki lima. Hal ini terbukti pada adanya kericuhan saat penggusuran lapak pedagang kaki lima di Jalan Jenderal Soedirman pada sekitar tahun 2011. Banyak dari para pedagang kaki lima berpendapat bahwa sebelumnya tidak ada sosialisasi dari Pemerintah Daerah tentang permasalahan lapak mereka dan mereka mengaku bahwa Perda yang mengatur pedagang kaki lima tersebut tidak menguntungkan para pedagang kaki lima sama sekali. Mereka tidak mendapat tindak lanjut apapun sebagai pernyataan tanggung jawab atas kesejahteraan pedagang kaki lima yang juga merupakan bagian dari masyarakat. Selain itu, tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui pertimbangan segi aspek sosial dan ekonomi serta kefektifitasan adanya peraturan daerah tersebut. Masalah seperti ini jika tidak mendapat tindak lanjut yang serius, maka bukan tidak mungkin akan menjadi masalah baru yang cukup pelik di Purwokerto. Oleh karena itu dibutuhkan tanggung jawab penuh atas kekuasan otonomi Pemerintah Daerah Banyumas untuk menyejahterakaan masyarakatnya dengan menyusun suatu kebijakan yang berbasis kerakyatan.
Key words   : pedagang kaki lima – pemerintah daerah – kebijakan daerah - perda no.3 tahun 2004

PENGANTAR
          Purwokerto adalah ibukota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Jumlah penduduknya 249. 705 jiwa pada tahun 2005. Secara tradisional, Purwokerto bukan merupakan kota industri maupun perdagangan. Hingga saat ini, kegiatan-kegiatan industri sangat sedikit ditemukan di Purwokerto. Jika pun ada industri, hanyalah industri yang masih tradisional, yang hanya mempekerjakan segelintir orang saja.
Dengan adanya perkembangan yang cukup signifikan dari jumlah mahasiswa yang semakin meningkat menyebabkan kemajuan dari segi ekonomi kota Purwokerto. Setali tiga uang dengan hal tersebut, mulai mengalami peningkatan masyarakat yang membuka usaha, khususnya makanan. Maka itu, mulai muncullah berbagai masalah mengenai perijinan-perijinan yang cukup pelik untuk diselesaikan.
            Purwokerto merupakan salah satu kota yang potensial di bidang perdagangan, karena adanya lapangan kerja yang cukup luas, minat pasar yang lumayan tinggi, namun produsen atau penyalur yang ada dapat dibilang masih minim. Hal ini menyebabkan para pengusaha kecil yang mencoba membuka usahanya namun masih terhalang oleh tempat, dengan tanpa sadar membuka usaha di sembarang tempat, terutama di trotoar-trotoar  yang ada di kota Purwokerto, sebut saja salah satunya terdapat di Jalan Jenderal Soedirman yang banyak sekali terdapat para pedagang kaki lima. Pada akhirnya, tata ruang kota Purwokerto menjadi agak semrawut dengan adanya para pedagang yang menjajakannya di pinggir jalan.
            Dalam potensi yang ada pada masyarakat terutama dalam bidang perdagangan, Pemerintah Daerah sudah seharusnya dapat mengimbangi dalam pembuatan kebijakan-kebijakan baru sebagai usaha menjaga tatanan kota yang sudah ada tanpa merugikan salah satu pihak. Sehingga, disinilah hadir peranan Pemerintah Daerah bagi pengaturan masyarakat di masing-masing daerahnya, khususnya Purwokerto, baik yang berprofesi sebagai pekerja maupun pengusaha-pengusaha kecil yakni para pedagang kaki lima tersebut.
        Di Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto, sudah lama identik dengan pusat perbelanjaan masyarakat Purwokerto. Hal ini disebabkan karena ramainya toko-toko mulai dari pusat onderdil kendaraan bermotor, pusat tekstil dan bahan-bahan pakaian, hingga pusat perbelanjaan makanan dan minuman murah disertai dengan mall atau pasaraya menjadikan daerah Jalan Jenderal Soedirman tak pernah sepi. Dengan adanya lokasi yang strategis di tengah kota dilengkapi dengan ruko-ruko yang layak untuk dijadikan tempat usaha, tak heran di wilayah ini hampir seluruh masyarakatnya membuka usaha mulai dari hanya sekedar warung hingga rumah makan dan tempat karaoke. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat didaerah lain di Purwokerto mulai mencium aroma bisnis yang lumayan menguntungkan. Oleh karena itu, mulai menjamurlah lapak-lapak pedagang kaki lima dengan beragam usahanya yang justru menjadikan wajah Jalan Jenderal Soedirman menjadi agak kumuh dan berantakan.
            Dengan menjamurnya lapak-lapak pedagang kaki lima mulai dari Jalan Jenderal Soedirman hingga Alun-Alun Purwokerto mungkin dirasa sangat menguntungkan bagi masyarakat yang berperan sebagai pembeli. Cukup beragamnya pilihan yang ditawarkan, mulai dari buah-buahan, tempat makan, hingga segala macam keperluan mahasiswa maupun masyarakat tersaji dengan relatif banyak dan harga yang ditawarkan cukup murah dibanding yang ada di mall ataupun pasaraya. Namun pengaturan tata letak yang seharusnya menjadi pengawalan ketat Pemerintah Daerah dibiarkan begitu saja dan menjadi salah satu masalah bagi kota Purwokerto.
            Ketika hal ini mulai biasa terlihat di Jalan Jenderal Soedirman, tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu, Pemerintah Daerah yang dibantu oleh aparat pamong praja menggusur lapak-lapak tersebut dengan alasan mengganggu kenyamanan pengguna jalan raya ( karena mengakibatkan kemacetan-red ) dan juga tidak memiliki ijin penggunaan lahan untuk membuka tempat usaha. Hal ini dianggap ganjil mengingat mengapa saat sudah menjamur baru dibersihkan dan bagaimana tindak lanjut Pemerintah Daerah atas nasib para pedagang kaki lima ini. Oleh karena itu, seharusnya Pemerintah Daerah sudah memikirkan tindak lanjut penyediaan tempat usaha kembali jika benar-benar langkah penggusuran harus diambil.
            Dalam Perda No. 4 Tahun 2003 menjelaskan bahwa prosedur penggusuran pun harus sesuai dan berjalan tertib. Tertib yang dimaksud ialah Pemerintah Daerah menyiapkan pemberitahuan terlebih dahulu, kemudian disosialisasikan dengan baik kepada para pedagang setelah sebelumnya juga menyiapkan tindak lanjut berupa tempat baru untuk membuka usaha mereka kembali. Peraturan Daerah wajib dijadikan pedoman atas pengambilan keputusan tindak lanjut Pemerintah Daerah dalam mengatasi konflik maupun permasalahan. Mengingat saat penyusunan kebijakan, Pemerintah Daerah sudah harus menyertakan partisipasi masyarakat daerah untuk mengetahui apa yang diperlukan bagi kemajuan daerah mereka. Kiranya, aspek ekonomi dan sosial juga harus ikut dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah dalam pengambilan keputusan atas suatu putusan atau kebijakan. Namun, jika permasalahan akibat penyelewengan Peraturan Daerah masih terjadi, dapat disimpulkan bahwa mungkin Pemerintah Daerah yang belum bisa melakukan pendekatan dan mensosialisasikan dengan baik atau kebiasaan masyarakat politik yang acuh tak acuh masih melekat kuat pada tiap individu masyarakatnya. Jadi, adanya permasalahan seperti ini bisa jadi tidak bisa dipertanggungjawabkan kepada satu pihak saja, tetapi juga harus dievaluasi antara dua belah pihak yang dapat disimpulkan bahwa apapun masalah yang ada di suatu daerah harus diselesaikan dengan musyawarah dan damai, bukan dengan kekerasan yang menimbulkan kericuhan dalam tindak penggusuran yang menimpa para pedagang kaki lima di Jalan Jenderal Soedirman ini.
            Pelaksanaan Peraturan Daerah yang diambil oleh Pemerintah Daerah Banyumas dirasa masih kurang efektif dan efisien mengingat masih banyak pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang kiranya masih sangat awam dengan Perda No.4 Tahun 2003 tersebut, sehingga dirasa sangat perlu dievaluasi ulang dengan menyertakan rakyat melalui sistem Bottom Up ( dari bawah ke atas ) dan bukan sebagai keputusan yang Top Down dan hanya untuk kepentingan para elit. Sehingga, adanya kericuhan dan kekerasan pada saat penggusuran pedagang kaki lima di Jalan Jenderal Soedirman ini sepertinya tidak perlu terjadi kembali mengingat adanya juga hukum yang melindungi para pedagang kaki lima yaitu Pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 mengenai adanya hak-hak warga Negara untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Jadi, hak-hak warga Negara tersebut tetap terlindungi dengan baik oleh Pemerintah Daerah, khususnya, tetapi tidak melanggar atas peraturan-peraturan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah.

KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

1. Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Dimana daerah otonom kemudian disebut juga sebagai suatu daerah yang memiliki kekuasaan tersendiri terhadap segala atas apa yang ada didaerahnya tersebut. Baik dalam segi kemasyarakatan, birokrasi, maupun segi ekonomi dan budayanya. Pemerintah Daerah juga memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban atas keberlangsungan pembangunan dari segi poleksosbud daerahnya sehingga tercipta situasi yang kondusif atas suatu penyelenggaraan pemerintahan.

1.1  Dasar Hukum

            Kewenangan suatu daerah untuk mengatur sendiri atas apa yang terjadi di masing-masing daerahnya memiliki kekuatan hukum, karena apa yang akan masing-masing Pemerintah Daerah putuskan maupun rundingkan harus melalui proses hukum yang selalu diawasi dan dimintai pertanggungjawabannya oleh Pemerintah Pusat. Dasar-dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah ialah :
  
      a. Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan landasan awal dan paling dasar bagi setiap pelaksanaan maupun penyelenggaraan otonomi daerah. Pasal 18 UUD 1945 menjelaskan adanya pembagian maupun pendistribusian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.

      b. Tap MPR RI
Tap MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

      c. Undang-Undang
Undang-undang No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada    prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Lalu Undang-undang No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. Otonomi daerah adalah  hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Maka dari itu, otonomi daerah atau disebut juga sebagai daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang mempunyai hak atau kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut ketentuan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  
2. Penerapan Kebijakan Otonomi Daerah

1.1 Perda ( Peraturan Daerah )

·        Definisi Perda : Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan dari Kepala Daerah ( Bupati ) atau sebuah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah, baik di tingkat provinsi maupun di Kabupaten/Kota.

·        Prinsip Dasar Pembentukan Perda

1. Adanya dasar konstitusional dalam pembentukan peraturan daerah
Dasar konstitusional yang seringkali digunakan dalam penyusunan atau pembentukan peraturan daerah yaitu Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ‘Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.’ Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,’ Negara Kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Artinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah desentralisasi, dimana desentralisasi yang sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 adalah pemberian wewenang yang seluas-luasnya pada Pemerintah Daerah

Dalam  Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi  daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan   perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing- masing daerah. Lalu dalam Pasal 12 Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas  pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi, rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau Bupati/Walikota.

1.2    Pelaksanaan Kebijakan Daerah

Di setiap pelaksanaan regulasi/kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah, sudah sepatutnya seluruh kinerja serta hasil yang diraih oleh Pemerintah Daerah dipertanggungjawabkan kepada rakyat, karena di dalam suatu kegiatan ekonomi dari tadisional menuju modern, Pemerintah Daerah dapat berpartisipasi secara aktif dan menyeluruh di dalam suatu sistem ekonomi daerahnya tanpa mengurangi ataupun merusak kekuatan pasar itu sendiri. Pemerintah Daerah sebagai pengendali kebijakan di daerahnya, dapat “datang” dengan kekuatan memaksa dalam membuat aturan-aturan yang patut ditaati, serta menentukan arah perekonomian dan timbal balik apa yang akan didapatkan oleh masyarakatnya. Bahkan sebuah hak berupa kekusaan Pemerintah Daerah untuk menyusun sebuah kebijakan dilansirkan justru menciptakan raja-raja kecil di daerah yang mengaliensi kepentingan masyarakatnya. Program Nasional yang diharapkan mampu dinikmati oleh semua lapisan masyarakat terkendala oleh kepentingan segelintir pihak elit daerah, termasuk berbagai kasus penyimpangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini dapat terjadi jika pemahaman beberapa pihak mengenai distribusi kekuasaan di daerah adalah sebagai tujuan, bukan sebagai jalan sebuah Negara mendekat kepada rakyatnya. Fakta yang terjadi ini menghadirkan analisa baru mengenai pentingnya peranan pemerintah, khususnya di tingkat daerah didalam suatu sistem ekonomi. Maka dari itu, Pemerintah dapat bergerak dan menghasilkan suatu yang positif ataupun yang negatif dan semuanya akan dibahas pada suatu teori yang disebut teori Regulasi Ekonomi[1].

                       1.1.1       Dasar dan Fakta Teori

Fokus dalam teori Regulasi adalah pada pelaku yang mendapat manfaat dan yang menanggung beban. Suatu regulasi atau kebijakan ekonomi dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun di suatu daerah, Purwokerto, misalnya, dengan tujuan dan maksud tertentu. Terkadang hal ini dilaksanakan penuh dengan kepentingan-kepentingan segelintir orang. Oleh karena itu, nyatanya, dampak positif dan negatif tersebut datang secara bersamaan dimana keuntungan yang dirasa bersamaan dengan kerugian yang didapat.
Jika kerugian yang datang seiring dengan manfaat yang datang pula, Pemerintah Daerah, dalam hal ini, harus kembali memutar otak dalam rangka berusaha menekan angka-angka kerugian tersebut dan mengembangkan segi manfaat yang dicapai sehingga dapat tersebar semaksimal mungkin bagi pengembangan daerahnya. Sejalan dengan adanya pengaplikasian secara serius dari Pemerintah Daerah dalam menelaah kasus ini, seperti halnya yang dilakukan George Stigler yang pada akhirnya justru dapat mengembangkan regulasi ini dan mendapatkan kebermanfaatan yang tidak sedikit. Sehingga akhirnya, ia mampu menyusunnya sebagai dasar pedoman menjadi lebih sistematis.
Secara lebih luas dan menyeluruh, teori regulasi ini dapat ditujukan untuk melihat sisi manfaat dan buruknya suatu regulasi yang bisa dikaitkan dengan Teori Optimal Pareto[2]. Teori regulasi harus dilaksanakan semaksimal mungkin yang pada tujuannya adalah sebagai pengembangan manfaat untuk publik atau konstituen dan seminimalnya menghilangkan dampak negatif atau kerugian yang ada. Jadi,teori regulasi dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah dengan harapan dapat mengurangi kerugian yang mungkin akan muncul akibat adanya faktor kesalahan sistem maupun kesalahan manusia dari segi penanaman pemahaman teori Regulasi ini.

                        1.1.2       Urgensi Keterkaitan Publik dalam Pembentukan Peraturan Daerah

Sistem penyelenggaraan Negara merupakan salah satu unsur penting dalam suatu Negara[3]. Tidak mengherankan bahwa pemicu terjadinya krisis Nasional disertai banyak persoalan yang menyerang suatu Negara disebabkan oleh adanya tata kelola pemerintahan yang belum memenuhi kriteria Good Governance yang baik. Oleh karena itu, setara dengan yang terkandung dalam Tap MPR No. XI/MPR/2009 mengenai Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN dan Undang-undang No. 28 Tahun 1999 mengenai penyelenggara Negara yang bersih, bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.                                 
Salah satu karakteristik Good Governance yang baik dan berjalan semestinya  adalah dengan adanya partisipasi atau keterkaitan publik seminimalnya dalam suatu proses pembentukan keputusan atau kebijakan.
Partisipasi publik yang diharapkan adalah mengenai tampungan aspirasi mereka yang menjadikan mereka masyarakat politik yang aktif. Untuk itu, diharapkan kinerja yang dinamis dapat menghasilkan sebuah keputusan yang dapat berjalan sesuai prosedur dan diharapkan dapat mengurangi konflik antara pemerintah dan masyarakat yang banyak disebabkan atau menjadi bukti kegagalan pemerintah suatu daerah dalam menjalankan segi otonom kepada daerahnya yakni mengatur dan mengelola pemerintahan beserta masyarakatnya.
            Masyarakat yang apatis dapat menjadi momok menakutkan bagi para penyelenggara pemerintahan suatu Daerah maupun tingkat Negara, karena hal ini dapat menjadi bom waktu bagi sang penyelenggara pemerintahan yang memungkinkan sudah mencapai titik maksimal pada tahap pembuatan kebijakan. Hal ini dilontarkan bisa saja hanya untuk kepentingan masyarakatnya, namun tidak menutup kemungkinan mereka akan mengaitkan kepentingan pribadi di dalam keputusan yang mereka buat sebagai tindak nyata atas protesnya mereka terhadap masyarakat yang seolah-olah tak acuh terhadap hasil kerja mereka. Maka dari itu, hal-hal seperti inilah yang dapat menjadi “alarm” peringatan bagi tiap pribadi/individu masyarakat untuk bisa berperan aktif bagi proses penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya.
            Pentingnya keterkaitan publik dalam pembentukan peraturan daerah adalah juga sebagai pengorganisir maupun pelaksana sehingga peraturan daerah dapat bekerja dengan baik. Dapat diambil contoh, saat penentuan tingkat tarif pajak bagi masyarakat di Purwokerto, disinilah masyarakat dapat mengaspirasikan usul-usul mereka bagi Pemerintah Daerah sehingga Pemerintah Daerah mengetahui dan memahami dimana letak kemauan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Terkadang, hal tersebut didengarkan Pemerintah Daerah berasal dari segolongan masyarakat saja, tidak secara menyeluruh. Padahal hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi didalam pelaksanaan hasil kebijakan tersebut. Sebagai contoh, pada akhirnya terjadi tindak penggusuran yang merugikan masyarakat kecil atau tidak mampu, khususnya diakibatkan karena kesalahan prosedur perundingan dan pengambilan keputusan oleh Pemerintah Daerah.

            1.1.3   Relevansi dengan Indonesia Saat Ini

Adanya teori regulasi terutama yang bersifat kedaerahan ini sebenarnya sangat membantu Pemerintah Daerah, utamanya, dalam memaksimalkan kinerjanya dalam membangun regulasi yang tepat sasaran. Hal ini juga dapat diwujudkan dengan adanya dukungan masyarakat yang aspiratif sehingga sistem yang digunakan pemerintah adalah Bottom Up, bukan hanya sekedar Top Down. Namun, Indonesia dewasa ini belum mampu memperbaiki kualitas pelayanan birokrasinya secara penuh sehingga kebijakan yang ditempuh seringkali mengalami penyelewengan dari sasaran yang sudah ditargetkan sebelumnya.
            Bagi Pemerintah Pusat, pengotonomian daerah dilakukan sebagai salah satu cara memberikan hak penuh bagi keberlangsungan pemerintahan yang ada di daerah. Sehingga, interaksi yang terjalin antara Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah kepada masyarakat, serta Pemerintah Pusat kepada masyarakat menjadi lebih efektif dan efisien, dimana Pemerintah Pusat juga dapat mengetahui keadaan masyarakat di suatu daerah tertentu melalui Pemerintah Daerahnya, dan masyarakatpun dapat mengajukan aspirasinya kepada Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah.
            Dalam interaksi yang sudah terjalin dengan baik antara ketiga pelaku  pemerintahan ( Pusat, Daerah, dan masyarakat ), tidak mustahil dapat tercipta hasil kinerja yang baik yang dapat membawa manfaat secara maksimal dan menekan angka kerugian salah satu pihak yang ingin diuntungkan sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam Teori Regulasi Daerah. Pada akhirnya, teori ini dapat teraplikasi dengan baik sebagai parameter keberhasilan kinerja suatu pemerintahan daerah kepada masyarakatnya.
            Selain dapat mengukur keberhasilan kinerja Pemerintah Daerah terhadap kekuasaan otonominya, jalinan interaksi kepada masyarakat juga sebagai bentuk tanggung jawab penuh pemerintah terhadap kepentingan serta kebutuhan masyarakat di daerahnya. Misalnya, di dalam pembahasan artikel ini menyangkut hak-hak pedagang kaki lima yang sedikit terpinggirkan menjadi salah satu kepentingan masyarakat yang seringkali kurang ditanggapi oleh Pemerintah Daerah. Pada akhirnya, hal tersebut justru seringkali menjadi pemicu atas apa yang menjadi konflik antara Pemerintah Daerah dan masyarakatnya.
            Kurangnya komunikasi serta sosialisasi atau pendekatan Pemerintah Daerah kepada masyarakat guna memperbaiki sistem maupun penyuluhan mengenai prosedur pengambilan keputusan Peraturan Daerah dirasa menjadi salah satu pemicu dimana masyarakat kurang paham dan sadar atas bagaimana mengaspirasikan keinginan dan hak mereka atas penyelenggaraan pemerintahan secara Good Governance yang lebih menekankan pada partisipasi aktif masyarakat kepada pengembangan serta kemajuan daerahnya. Pada akhirnya, dirasa perlu tindakan lebih dari segi Pemerintah Daerah yang notabene mempunyai tanggung jawab atas sebuah kekuasaan dari Pemerintah Pusat untuk bersikap produktif dan profesional menangani permasalahan di masing-masing daerah bawahannya yang mempunyai karakteristik masyarakat berbeda-beda.
            Masyarakat sebagai obyek pemerintahan merangkap pengawas pemerintahan yang berkedaulatan kerakyatan, sebenarnya dapat menjadi sarana atas tampungan-tampungan “inspirasi” yang dirasa cukup memungkinkan untuk ditindaklanjuti menuju sebuah kebijakan. Kebijakan disini ialah kebijakan yang berbasis kerakyatan dan memungkinkan atau pasti disetujui oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, terkadang penyelewengan terjadi dalam hal ini sehingga menyebabkan hubungan keduanya menjadi kurang harmonis dan seringkali menyebabkan masyarakat bertindak apatis atau masa bodoh terhadap masalah-masalah yang ada di daerahnya sehingga mengesankan bahwa pemerintah lamban dan kurang cepat tanggap terhadap permasalahan yang ada. Oleh karena itu, pengkhususan cara pendekatan Pemerintah Daerah cukup ideal menjadi “angin segar” dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di suatu daerah.

KAITAN OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVERNANCE

      1.      Definisi Good Governance

Good Governance adalah seluruh rangkaian proses pengambilan keputusan atau kebijakan oleh pemerintah setempat ( baik pusat maupun daerah ) dimana keputusan tersebut diimplementasikan atau tidak. Di dalam sebuah Good Governance, dileburkan antara pemerintah dan yang diperintah, sehingga tidak menekankan adanya suatu kedudukan maupun jabatan karena kita semua adalah bagian dari proses Good Governance. Pada akhirnya, Good Governance lebih menekankan kepada adanya keberlangsungan proses pengambilan keputusan yang transparan dan tepat sasaran, dimana keputusan tersebut hasil dari aspirasi masyarakat yang dirundingkan oleh pemerintah dan mengambil hasil yang terbaik.
            Ketika Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara wajib melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seluruh kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara yaitu dalam berbagai sektor pelayanan, terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus atau perlu adanya suatu pelayanan.
            Kepentingan hajat orang banyak dalam bahasan artikel ini ialah kepentingan yang berorientasi kepada seluruh lapisan masyarakat. Bukan saja kehadap segelintir orang yang menjadikan kemampuan financial mereka sebagai senjata mereka untuk mendapatkan kepentingan secara sepihak. Dalam hal ini seperti para pedagang kaki lima, mereka mendirikan lapak-lapak dipinggir jalan atau menggunakan trotoar sebagai tempat usaha karena tidak mempunya dana lebih untuk membeli maupun menyewa tempat yang disediakan oleh Pemerintah Daerah atau bahkan Pemerintah Daerah tidak menyediakan sarana tempat lain sebagai lapak baru yang murah dan mempunyai investasi bisnis yang cukup menguntungkan.

      2.      Otonomi Daerah dan Good Governance

Seperti yang sudah dibahas dalam paragraf sebelumnya, otonomi daerah dibentuk atas dasar pembagian wewenang pengaturan sebuah daerah dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, dimana dalam hal ini, Pemerintah Daerah bertanggung jawab penuh atas daerah yang dibawahinya. Pelaksanaan otonomi daerah juga dimaksudkan agar keefektifitasan pengambilan kebijakan oleh Pemerintah Daerah berjalan tepat karena pemahaman yang lebih oleh Pemerintah Daerah mengenai seluk-beluk daerahnya. Hal ini termasuk di dalam suatu proses berjalannya Good Governance yang baik. Oleh karena itu, pemerintah sebagai penyedia layanan publik memang sudah seharusnya menjadi lebih dekat terhadap masyarakat agar pengarahan atas pengambilan kebijakan berjalan dengan bijak tanpa ada satu pihakpun yang dirugikan.
Adanya reformasi dalam sistem pemerintahan yang didasarkan pada prinsip demokrasi yang juga disuarakan pada reformasi total tahun 1998 yang lalu, membuat perubahan fundamental pada sistem tata pemerintahan lokal, dimana salah satunya adalah tuntutan untuk ikut berpartisipasi politik secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan/kebijakan oleh pemerintah[4]. Melalui Undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau yang lebih dikenal sebagai UU Otonomi Daerah. UU ini secara fundamental merubah sistem pemerintahan daerah sebelumnya (yang diatur melalui UU Nomor 5 Tahun 1974) yang menekankan kepada kekuasaan eksekutif ke arah kekuasaan legislatif dan partisipasi masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN :

            Purwokerto sebagai ibukota kabupaten Banyumas memiliki banyak potensi atas sumber daya alam beserta masyarakatnya. Kegiatan industry di kota ini dapat dikatakan masih sangat sedikit karena banyak dari masyarakat masih mengandalkan dalam mata pencaharian petani ataupun industri-industri kecil-kecilan seperti industri rumahan yang hanya mempekerjakan segelintir orang saja. Namun, dibalik itu, kota Purwokerto memiliki potensial yang cukup besar di bidang ekonomi, yaitu perdagangan. Dengan cukup meningkatnya jumlah “penghuni baru” kota ini yang hampir sebagian besar merupakan mahasiswa dari luar Purwokerto, membuat kota ini menjadi semakin ramai. Hal ini yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat asli untuk meningkatkan kapasitas kesejahteraan hidupnya melalui perdagangan. Tak heran, di hampir seluruh bagian kota Purwokerto banyak ditemukan pusat-pusat keramaian, termasuk yang terdapat di Jalan Jenderal Soedirman, Purwokerto. Di daerah ini, banyak ditemukan pedagang-pedagang kaki lima yang dengan leluasa membuka usahanya di pinggir-pinggir jalan bahkan di trotoar. Oleh karena itu, disekitar tahun 2011, wajah Jalan Jenderal Soedirman menjadi sedikit berantakan.
            Pemerintah Daerah dalam hal ini, sudah seharusnya bertindak sesuai kapasitasnya mengelola tata ruang kota seapik mungkin. Namun, bukan berarti harus disertai kekerasan dalam mengatasi masalah pedagang kaki lima, dikarenakan sesuai dengan Pasal 27 UUD 1945 bahwa setiap Warga Negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak serta Perda No. 4 Tahun 2003 mengenai proses penggusuran yang harus sesuai prosedur dan berjalan tertib. Maka itu, inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah untuk menindak lanjuti permasalahan yang ada tanpa merugikan satu pihak.
            Terkadang, permasalahan penggusuran merupakan momok menakutkan bagi para pedagang kaki lima, dikarenakan setelah adanya penggusuran tersebut, mereka menjadi penggangguran. Hal ini disebabkan karena tidak ada tanggung jawab dari Pemerintah Daerah untuk menyelamatkan kesejahteraan para pedagang kaki lima tersebut. Oleh karena itu, tindak lanjut berupa tempat usaha baru dan uang ganti rugi dapat menjadi pemecah masalah atas penggusuran.
            Para pedagang kaki lima yang juga merupakan bagian dari masyarakat dapat menuntut hak-haknya atas apa yang menimpa mereka. Di satu sisi, Pemerintah Daerah tidak dapat tinggal diam, karena adanya otonomi daerah berbasis kerakyatan dan masyarakat sebagai pengawas jalannya pemerintahan di daerah. Selain itu, jika Pemerintah Daerah menggunakan Perda sebagai “senjata” dalam penggusuran, bila ditelaah lebih dalam kembali, Peraturan Daerah berasal dari aspirasi masyarakat yang kemudian diwujudkan oleh Pemerintah Daerah menjadi suatu kebijakan. Namun, jika pada akhirnya masyarakat lah yang merugi, seharusnya Perda ini dapat dievaluasi bahkan direvisi kembali, karena didalamnya terdapat hak-hak masyarakat untuk diperjuangkan. Oleh sebab itu, tindakan Pemerintah Daerah yang sewenang-wenang tidak dibenarkan karena terikat dalam suatu sistem pemerintahan yang demokratis dan berkedaulatan rakyat.
           
REFERENSI
·        Arifin, B.  dan D.J. Rachbini. (2001). Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta : INDEF-UI
·        Rachbini, Didik. (2004). EKONOMI POLITIK “Kebijakan dan Strategi Pembangunan; Edisi 1”.Jakarta : Granit
·        Stanlard, Martin. (2003). APAKAH EKONOMI POLITIK ITU ? : Sebuah Studi Teori Sosial dan Keterbelakangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
·        Ratnawati, Tri. Perlu Reorientasi Konsep Otonomi Daerah. www.politikindonesia.com. Last Modified December 28, 2011. http://www.politikindonesia.com/index.php?k=wawancara&i=30066-Tri%20Ratnawati:%20Perlu%20Reorientasi%20Konsep%20Otonomi%20Daerah. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·        Widianto, Willy. Konflik Sosial Bukti Kegagalan Otonomi Daerah. www.tribunnews.com. Last Modified November 01, 2012. http://www.tribunnews.com/2012/11/01/konflik-sosial-bukti-kegagalan-otonomi-daerah.  Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·        Agustian, Bemby. Otonomi Daerah dan Good Governance dalam Rangka Mewujudkan Keberhasilan Pembangunan Daerah. www.wartawarga.gunadarma.ac.id. Last Modified April 25, 2010. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/otonomi-daerah-dan-good-governance-dalam-rangka-mewujudkan-keberhasilan-pembangunan-daerah. diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·        Wiseman. Pengertian dan Proses Penyusunan Peraturan Daerah. www.undang-undang-indonesia.com. Last Modified Agustus 15, 2012. http://undang-undang-indonesia.com/forum/index.php?topic=32.0. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
·        Wiyono, Suko. Peraturan Daerah Sebagai Bagian Integral dari Peraturan Perundang-undangan dalam Negara Hukum Republik. www.fh.wisnuwardhana.ac.id. Last Modified February 17, 2010. http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=37. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB
Faedlulloh, Dodi. PKL di Purwokerto : Sebuah Analisis Awal. www.kompasiana.com. Last Modified March 25, 2011. http://regional.kompasiana.com/2011/03/25/pkl-di-purwokerto-sebuah-analisis-awal-351392.html. Diakses pada 08 Januari 2013 pukul 18.35 WIB


[1] Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan, 9-10.
[2] Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik : Kebijakan dan Strategi Pembangunan, 11.
[3] Muhammad Ikhwan, “URGENSI PARTISIPASI PUBLIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH”, Muhammad Ikhwan Blog, diakses pada 08 Januari 2013, pada http://studihukum.blogspot.com/2011/02/urgensi-partisipasi-publik-dalam.html
[4] Bemby Agustian, “OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVERNANCE DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KEBERHASILAN PEMBANGUNAN DAERAH”, www.wartawarga.gunadarma.ac.id, diakses pada 08 Januari 2013, pada http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/otonomi-daerah-dan-good-governance-dalam-rangka-mewujudkan-keberhasilan-pembangunan-daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar