Jumat, 14 November 2014

PERBEDAAN GENDER DI INDONESIA MEMPERSEMPIT RUANG GERAK PEREMPUAN DALAM BERKIPRAH DI RANAH POLITIK

Tulisan ini menganalisis kebijakan publik mengenai perbedaan gender yang membuat susahnya bergerak bagi perempuan di ranah politik. Seiring dengan beragam persoalan yang dialami perempuan yang hak-haknya sering dirampas dan belum di letakan sebagaimana mestinya oleh kebanyakan masyarakat, dimana masih tingginya tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan yang dilakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan perhatian serius secara politik. Perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Tujuan dari upaya ini adalah untuk menghilangkan kesetaraan gender yang ada dalam masyarakat abikat social-budaya, kebijakan politik serta doktrin interpretasi agama. Untuk mewujudkan hal ini relasi gender yang sama antara laki-laki dan perempuan. Isu gender tidak hanya merupakan isu ragional ataupun nasional, tetapi sudah merupakan isu global. Isu yang menonjolkan berkaitan dengan gender di Indonesia. Dengan demikian hasil analisis dapat dipergunakan untuk pertimbangan program pemberdayaan perempuan agar perempuan bisa berkarya seperti kaum laki-laki. Kaum perempuan pun tidak akan tersingkirkan oleh kaum laki-laki dan akan adanya kesetaraan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Bukti-bukti empiris sudah menunjukan bahwa keseteraan gender sudah bukan masalah di negeri ini. Hanya saja yang memang perlu diperjuangkan adalah bagaimana agar perempuan semakin berdaya di dalam pengembangan Sumber Daya Manusia terutama melalui pendidikan, sehingga ke depan peluang untuk memasuki dunia publik akan semakin nyata.
gender, hak azasi perempuan, politik Indonesia, ketidakadilan gender, kesetaraan gender

            Sejak dasa warsa terakhir telah menjadi bahasa yang memasuki setiap analisis sosial menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubaha sosial serta menjadi topik penting dalam setiap perbincangan mengenai pembangunan. Namun apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gender dan mengapa dikaitkan dengan usaha emansipasi kaum perempuan?
            Pemahaman dan pembeda antara konsep seks dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisa untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan social yang menimpa kaum perempuan. Hal ini karena ada kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Misalnya analisa yang di kembangkan oleh Karl Mark ketika melakukan kritik terhadap sistem kapitalisme akan lebih tajam jika pertanyaan gender juga di kemukakan. Demikian halnya analisa kritis lainnya dalam bidang kebudayaan maupun politik, tanpa pertanyaan gender, akan berwatak mendua, di satu saat sedang memperjuangkan suatu bentuk ketidakadilan gender. Dengan demikian analisis gender merupakan analisa kritis yang mempertajam berbagai analisa kritis ekonomi,sosial,politik dan budaya yang sudah ada.
            Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang di bentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Misalnya saja perempuan di anggap lemah,lembut,   emosional, keibuan dan lain sebagainya. Sedangkan, lelaki di anggap kuat,rasional,perkasa dan lain sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukanlah kodrat, karena tidak abadi dan dapat dipertukarkan. Artinya ada lelaki yang emosional, lemah lembut, keibuan dan lain sebagainya. Sementara itu, ada juga perempuan yang kuat, rasional dan lebih kuat dari lelaki, tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda, lelaki yang lebih kuat.
            Dengan melihat perbedaan yang jelas antara lelaki dan perempuan, maka dapat di katakana bahwa gender dapat di artikan sebagai konsep social yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah enurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
            Demikian halnya dengan zaman kecil di tempat-tempat umum, seperti di terminal,stasiun dan lain-lain. Selalu di pisahkan antara tempat untuk laki-laki dan perempuan. Pemisahan ini selain karena perbedaan jenis kelamin (seks) juga karena alasab moral,etika dan agama.
            Tulisan ini akan membahas tentang Perbedaan Gender di Indonesia yang membuat susahnya perempuan untuk bergerak di ranah Politik. Oleh karena itu saya akan membahas tentang peran politik perempuan di Indonesia.


Ketidaksetaraan Gender
            Berbicara tentang perempuan dan politik, merupakan bahasan yang menarik sebab, peran politik perempuan dari perspektif kalangan feminism radikal adalah di mana terjadinya transformasi total. Peran perempuan di ranah domestik ke ranah pulik atau dalam bahasa populernya ketidaksetaraan gender.
            Pertanyaannya kini, jika tonggak keterlibatan perempuan di ranah politik sudah di rencanakan semenjak 22 desember 1928 silam, apakah realisasinya sudah maksimal pada hari ini? Logikanya dalam kurun waktu 73 tahun, tentu banyak perubahan signifikan yang terjadi dalam khazanah politik perempuan di negeri ini. Apa lagi dengan gendering emansipasi yang selalu di tabuh setiap tanggal 21 april. Ditambah pula, sekarang DPR sedang menggondok RUU  tentang ketidaksetaraan gender. Bahkan untuk kepentingan itu politisi senayan merasa perlu untuk studi banding sampai ke Denmark, menurut Rieke Diah Pitaloka, dua bulan setelah deklarasi sumpah pemuda.[1]
            Tak bisa di pungkiri, minimnya partisipasi kaum hawa di kancah perpolitikan negeri ini, khususnya Sumatra barat tidak terlepas dari berbagai stigma dan stereotype yang berkembang di tengah masyarakat,sebagai perbandingan misalnya 11% dari 55 orang anggota dewan. Menurut anggota DPD asal sumbar,emma yohana contoh lainnya tidak mudah bagi perempuan untuk mengambil peran secara proposional di ranah politik, karena ia harus berjuang dan berbanding dengan laki-laki untuk mendapatkan suara.
            Dominasi budaya patriarkhi seolah member garisan tegas bahwa antara perempuan dengan politik merupakan dua dunia yang berbeda dan tidak dapat bersinergi satu dengan yang lainnya. Dunia perempuan adalah di rumah yang meliput wilayah domestic, mengurus anak-anak dengan segala tetek bengeknya dan kalaupun berkarir di luar rumah maka pekerjaan atau karier bukanlah hal yang utama. Perempuan di haruskan siap memainkan peran ganda, sebagai ibu dan perempuan bekerja sedangkan politik adalah tempat yang cocok bagi laki-laki karena penuh dengan intrik-intrik berbahaya, terlihat macho, penuh maneuver serta identik denga uang dan kekuasaan.
            Dengan kondisi seperti ini, perempuan jelas tidak memiliki nilai tawar menawar. Terjun ke dunia politik bagi perempuan bukan berarti harus menjadi anggota legislatif,bupati,wali kota, atau presiden. Namun berperan aktif di ranah politik merupakan pembuktian kemampuan intelegasi sekaligus aktualisasi diri bagi kaum hawa keterlibatan perempuan dengan politik.
            Menurut artikel yang saya baca contoh-contoh kesetaraan gender itu beban ganda. Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang status dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wiliyah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusi pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau aggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
            Saat ini, masyarakat sipil sedang menggagas untuk masukan dan kritisi terhadap dua draf yang ada. Karena berangkat dari filosofi kepentingan yang berbeda, maka Jaringan Advokasi Keseteraan Gender bersepakat melalui workshop 11 maret 2011 untuk membuat sandingan secara keseluruhan konsep pengaturan tentang kesetaraan gender. Hal ini karena draft RUU dari pemerintah dan DPR lebih menunjukan pengaturan tentang tata kelola mainstreaming gender di Indonesia. Jika melihat lebih jauh, hak-hak perempuan yang spesifik belum menjadi hal penting dalam pengaturannya karena diletakan pada penjelasan pasan dan belum jelasnya kewajiban siapa dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam berbagai bidang.
Oleh karena itu, beberapa ususlan penting yang perlu diatur dalam RUU Kesetaraan Gender kelak adalah :
      1)     Kewajiban Negara dalam menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak perempuan.
    2)     Perlu mengidentifikasi area pemenuhan dan perlindungan, apakah satu atau dua area tertentu, atau multi area dalam arti mengatur hak-hak perempuan diberbagai bidang.
     3)     Perlu mengatur jelas tanggung jawab pihak-pihak terkait seperti lembaga Negara, swasta maupun peran serta masyarakat dalam pemenuhan dan perlindungan hak perempuan.
   4)     Perlu mendefinisikan secara jelas kesetaraan gender, ketidakadilan gender maupun diskriminasi gender termasuk didalamnya dampak dari ketidaksetaraan gender.
     5)     Mekanisme pemenuhan dan perlindungan termasuk didalamnya mekanisme kelembagaan dan pembiayaan.
     6)     Sanksi administrative maupun pidana bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan ataupun terjadinya diskriminasi akibat perbedaan jenis kelamin.[2]

Membatasi hak-haknya pada ranah publik.
            Memberikan fokus pada tindakan Negara akan membatasi makna hak asasi manusia hanya pada kekerasan di ranah publik. Profil dari subyek hak asasi manusia dalam konteks ini adalah orang yang aktif di ranah publik. Akses tak terbatas yang dimiliki laki-laki dan di sisi lain terhalangnya partisipasi perempuan di ranah publik/politik menyebabkan konstruksi hak asasi manusia hanya sebatas pengalaman laki-laki. Akibatnya, kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan tetap berada di luar perhatian perlindungan hak asasi manusia. Pembatasan kebebasan sipil perempuan hanya di ranah privat, di samping pembatasan bergerak, berbicara, penyadaran, dan kebebasan dalam keluarga secara tradisional akan tetapi berada di luar lingkup perhatian hak asasi manusia. Status publik, partisipasi, hak, dan sumber daya perempuan terus menerus  dimendiasi, jika tidak bergantung pada sistem nilai social dan budaya di ranah privat. Dalam terminology hak asasi manusia, konsekuensi pembedaan wilayah kehidupan menjadi ranah privat dan publik telah menghambat cakupan dan aplikasi hak asasi manusia seperti dalam gambaran berikut :


Katergori pelanggaran
Pelaku pelanggaran
Korban
Publik
Hak sipil, politik.
Negara sebagai pelaku.
Hak individu, utamanya laki-laki yang lebih  mendominasi ranah publik.
Privat
Hak ekonomi, sosial, budaya.
Pelaku non-negara.
Hak kolektif, utamanya perempuan yang di batasi di ranah privat.[3]

            Contoh ketidakadilan gender yang ada di tengah masyarakat yang kita bahas saat ini adalah mengenai sosol seorang wanita untuk menjadi seorang pemimpin. Sebenarnya pada masyarakat umumya, permasalahan mengenai hal ini tidak begitu di permasalahkan. Akan tetapi ada beberapa oknum atau masyarakat atau kalangan tertentu yang mempermasalahkan hal ini, yaitu mengenai sosok seorang wanita untuk menjadi seorang pemimpin.
            Dapat kita lihat bahwa kebanyakan pemimpin baik itu perusahaan Negara maupun lembaga institusi lainnya, sebagian besar atau mungkin dapat kita katakana hamper semuanya dipimpin oleh seorang pria. Pria dianggap memiliki wibawa dan kekuatan, dan tentu bila kita bandingkan dengan wanita tentu jauh berbeda. Dalam sudut pandang kami sebenarnya pria maupun wanita yang menjadi seorang pemimpin ialah bukanlah sebuah masalah. Siapapun berhak untuk menjadi seorang pemimpin, entah itu pria maupun wanita.
            Akan tetapi, kenyataannya dalam masyarakat bahwa lelaki lebih dipercaya disbanding wanita dalam memimpun suatu kelompok. Anggapan khalayak bahwa kebanyakan wanita melihat dirinya sebagai seseorang yang ragu, imbang, bingung akan tujuan-tujuan mereka dalam hidup, dan menunggu dipilih atau disadari keberadaannya oleh ria. Mereka tidak suka mengambil resiko dan mereka menjadi gelisah dalam situasi di mana mereka tidak mengetahui banyak hal. 
            Bahkan, dari beberapa sumber menyebutkan bahwa kaum tertentu yang “mengharamkan” wanita untuk menjadi seorang pemimpin. Alasan yang dikemukakan ialah salah satunya sebagai berikut, Pemimpin wanita itu pasti merugikan. Akan tetapi, menurut pendapat kamu, alasan yang dikemukan dari sumber tersebut tidaklah wajar. Tidak ada alasan yang jelas mengenai pernyataan mereka tersebut. Oleh karena itu, kamimenganggap hal ini juga sebagai bentuk ketidakadilan gender oleh beberpa pihak.[4]

Hak Azasi Perempuan
            Hak azasi perempuan (HAP) dapat di pahami sebagai hak yang di miliki oleh seorang perempuan, karena dia perempuan. HAP muncul karena Universal Declaration of Human Right (UDHR)belum mampu mengkomodasi perlindungan terhadap perempuan atas pelaksanaan haknya. Jadi, HAP merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM) yang tidak lepas dari sejarah perkembangan HAM.
            HAP merupakan gelombang HAM. Ketiga, yang muncul karena UDHR beserta dua konvensi turunnya International Convernant on Civil and Political Right (ICCPR) dan International Convernant Economic, Social, Culture Right (ICESCR) belum cukup mengakomodir hak dasar perempuan, belum mengakui adanya perbedaan (differences) antara perempuan dan laki-laki serta tidak mengatur aksi afirmatif kepada kelompok rentan, termasuk perempuan.
            Perkembangan HAP tidak berhenti pada Convention on the Elimination of All forms of Descrimination Against Women (CEDAW) namun berkembang ke isu-isu yang belum di akomodasi dalam CEDAW. Dalam konferensi HAM di Wina tahun 1993 HAP dan hak anak di akui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari HAM Universal. Pada tahun 1995 di adakan konferensi sedunia keempat tentang perempuan di Beijing yang menghasilkan Deklarasi Beijing dan landasan Aksi Beijing. Dalam konferensi Beijing ini di rumuskan aksi-aksi yang harus di laksanakan untuk memajukan dan memberdayakan perempuan. Dalam deklarasi ini di nyatakan bahwa persamaan antara perempuan dan laki-laki adalah masalah hak azasi, syarat dari keadilan sosial dan persamaan pembangunan dan perdamaian. Menurut artikel Ria Permana Sari yang pernah saya baca.[5]
            Pada lampiran Undang-Undang Republik Indonesia no.7 tahun 1984, tanggal 24 juli 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita bagian IV pasal 15 yang mengatakan bahwa Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita persamaan hak dengan laki-laki di muka hukum dan Negara-negara peserta wajib memberikan kepada wanita dalam urusan-urusan sipil, kecakapan hukum yang sama untuk menjalankan kecakapan ntersebut khususnya memberikan kepada wanita hak-hak yang sama untuk menandatangani kontrak-kontrak dan mengurus harta benda serta wajib member mereka perlakuan yang sama pada semua tingkatan prosedur di muka hakim dan pengadilan.
            Dengan lambatnya pemajuan perlindungan hak azasi perempuan di Indonesia maka nampaknya di perlukan upaya-upaya di samping kegiatan sosialisasi yang optimal mengenai hak azasi perempuan, juga penambahan peraturan perundang-undangan tentang hak azasi perempuan. Di samping itu, dengan banyaknya masalah yang muncul tentang kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih sangat di perlakukan untuk mengatasi pesoalan-persoalan perempuan. Seperti eksploitasi terhadap tenanga kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah konflik, prosititusi dan lain-lainnya.
Sementara di Indonesia, yang sudah meratifikasi Committee on the Elimination of Descrimination against Women (CEDAW) sejak tahun 1984, dalam implementasinya masih belum dapat melindungi perempuan dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh individu secara langsung maupun Negara melalui kebijakan-kebijakan patriarkhis dan berorientasi pada pasar. Sistem patriarkhi yang tercermin dalam kebijakan ditingkat Nasional maupun Lokal, menghasilkan praktek-praktek dan tindakan yang mengabaikan hak-hak perempuan, memperkuat kekerasan dan pelaggaran hak asasi manusia dan hak asasi perempuan (HAP), serta mengancam sumber-sumber dan keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya perempuan. Kepentingan aktor-aktor global melalui perusahaan multinasional dan transnasional dalam berbagai perjanjian internasional seperti FTA, G-20, dll sangat jelas terlihat melalui pola pembangunan yang terjadi di Indonesia saat ini. Sistem tersebut selanjutnya mendapatkan dukungan lembaga keuangan internasional (World Bank, Asia Development Bank, sebagainya), terlihat dengan jumlah hutang Indonesia per-2012 telah mencapai Rp 1.944,14 triliun.[6]
            Namun dalam hak-hak asasi perempuan ada beberapa hak-hak khusus. Dan ketika membicarakan tentang Hak Perempuan, ada satu instrument hukum yang mengatur Hak perempuan, yaitu Undang-undang No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the elimination all form of discrimination againt women) atau yang lebih dikenal dengan sebutan CEDAW.
Dalam CEDAW disebutkan beberapa bentuk hak-hak perempuan, diantaranya:
      1)     Hak untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya.
      2)     Hak untuk memperoleh pendidikan.
    3)     Hak untuk bekerja yang layak, termasuk memberikan hak-hak khusus bagi perempuan bekerja yang hamil.
      4)     Hak dibidang kesehatan.
   5)     Hak-hak dibidang ekonomi dan sosial, termasuk hak partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan di segala tingkat.
      6)     Hak atas hukum yang adil.
    7)     Hak atas perkawinan Negara Lemah dalam Melindungi HAP sampai saat ini, penghormatan, perlindungan serta pemenuhan akan hak-hak perempuan tampaknya masih jauh dari kata “maksimal”[7]

Peran Politik Perempuan di Indonesia
            Seiring dengan beragam persoalan yang di alami perempuan yang hak-haknya seiring di rampas dan belum di letakan sebagai mana mestinya oleh kebanyakan masyarakt di mana masih tingginya tingkat kekerasan yang di alami oleh perempuan yang di lakukan oleh oknum maupun institusi jelas merupakan pekerjaan besar yang di butuhkan perhatian serius secara politik.
            Politik memang bukan satu-satunya solusi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan masalah-masalah kaum hawa yang juga secara mental atau psikologis yang mengharuskan masalah itu dapat di sembuhkan serta memulihkan rasa percaya diri secara normal sebagai seseorang manusia. Mereka yang mengalami masalah akan mudah di tolong tatkala politik sebagai salah satu power di pegang individu yang punya komitmen politik yang kuat pada masalah perempuan.
            Masalah politik inilah yang harus di pegang oleh orang-orang yang seharusnya adalah perempuan itu sendiri. Bagaimana urusan-urusan perempuan secara psikologis dan kultur yang bersifat interen atau menginteral lebih di ketahui oleh perempuan sendiri. Karena itu perjuangan ini akan efektif bila sarana politik yang sudah tersedia dalam jatah 30% harus direbut oleh perempuan bila masalah-masalah perempuan yang seabrek ingin di minimalisir melalui kekuatan di parlemen mendatang.
            Pada hasil pemilu tahun 2004 baru mampu mengakomendasi kursi perempuan sebanyak 10,7% atau hanya 28 orang dari 550 anggota parlemen yang menjadi wakil rakyatuntuk periode 2004-2009. Angka ini jelas belum bisa mewakili power perempuan agar cepat bergerak lebih leluasa sehingga mampu memperjuangkan aspirasi kaum perempuan secara keseluruhan. Partai politik belum sepenuhnya a thome dengan kewajiban 30% mencalonkan perempuan sebagai caleg nomor jadi yang ada perempuan justru di pasang sebagai symbol akomondatif dengan nomor-nomor sepatu yang susah meloloskan perempuan menuju kursi parelemen.
            Model yang di pakai partai pada perempuan hanya simbolik lips service sebagai strategi dari partai yang ujung-ujungnya menarik konstituen memilih partai yang ada ansich. Tidak tahu apa alasan perempuan di partai cuma di pajang, kesan bahwa perempuan tidak memiliki standard an cenderung lemah dan terbatas adalah argumentasi yang bersifat apologi atau mencari kelemahan perempuan saja. Sikap ambivelense partai yang cenderung mendua dalam melihat perempuan adalah gambaran dari sikap masyarakat kita yang belum sepenuhnya melihat perempuan sebagai kekuatan perubahan dalam masyarakat.
            Politik penuh persaingan inilah yang harus di hadapi baik perempuan mau terjun memilih politik sebagai pilihan pengabdian dalam membantu merubah wajah politik Indonesia yang coreng moreng khususnya orang-orang yang ingin menjadi kata lisator-lisator perempuan lain yang masih banyak tertinggal serta banyak pula berbagai korban-korban kekerasan yang belum tersentuh oleh kebijakan Negara sampai saat ini.
            Hal ini di tandai dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden perempuan pertama republic ini. Fenomena terpilihnya Megawati inilah yang kemudian menjadi pintu gerbang bagi para perempuan untuk terus aktif terlibat di ranah politik. Hingga kemudian hari, di lingkup elit politik semakin banyak sekali kita temukan fakta yang menunjukan bahwa yang menduduki posisi strategis tersebut adalah kaum perempuan. Fenomena ini semakin bertiup kencang setelah munculnya UU pemilu nomer 10 tahun 2008 pasal 8 alinea 1 d mengenai jatah perempuan di parlemen.
            Namun terlepas dari itu semua, muncul sebuah pandangan lain yang sesungguhnya perlu kita telisik terkait dengan fenomena eksistensi kaum perempuan di ranah politik negeri ini. Khususnya yang berkaitan dengan risk ataupun impact akan kerasnya kehidupan politik yang harus di tanggung oleh mereka. Dalam berbagai kasus, perempuan kerap kali mengalami sebuah kejadian yang cukup menggelisahkan, terkait dengan eksistensinya dalam pergaulan di ranah politik, sebut saja kasus-kasus hukum yang menimpa Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Wa Ode, Miranda Gultoem, Sri Mulyani, dll. Jika kita amati di luar konteks kasus yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan konteks keadilan gender, mungkinkah mereka melakukan hal yang bertentangan dengan hukum tersebut di sebabkan bukan oleh factor internal yang ada dalam diro mereka? Melainkan factor eksternal (arus politik) yang melingkupi mereka ? perlu kita tahu bahwasanya kekuatan-kekuatan politik inilah yang memiliki pengaruh kuat dalam mengatur perilaku politik seseorang. Sehingga dalam pandangan sisi historisnya, kaum perempuan yang di nilai “lemah” mudah sekali terombang ambing oleh pusaran arus politis yang memang menjadi korban dari adanya dinamika politik ini.
            Kita sadari bahwa dalam kancah perpolitikan sangatlah minim dan seakan akan wanita selalu di rugikan oleh lelaki terbukti dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang kursi kaum perempuan di birokrasi, perempuan hanya di batasi tiga puluh persen selebihnya itu untuk kaum lelaki, dan hal ini bukan berarti bahwa wanita tidak mampu dan bersaing dengan kaum lelaki, dan saat ini mungkin undang-undang yang mengatur kursi atau jatah di berokrasi masih kokoh artinya tidak ada perubahan tapi bukan berarti undang-undang ini akan terus kokoh selamanya suatu saat pasti aka nada perubahan mengingat kemampuan dan juga semangat perempuan sudah tidak bisa lagi di ragukan, kalau kita lihat di permukaan ternyata wanita sudah mulai banyak mewarnai dalam even-even penting missal saja dalam pemilu, pilgub, pilkada, pilkadas bahkan sampai pada tatanan struktur yang paling bawah. Selain itu juga mendidik dan mengkader anak agar supaya menjadi anak yang cerdas dan baik yang bisa di harapkan oleh bangsa, ada yang mengatakan bahwa wanita adalah makhluk sensitive dan feminism dan juga wanita mempunyai kekurangan dalam reproduksi yang akan menghambat keberlangsungan tugasnya dan lain sebagainya dan hamper secara keseluruhan kaum wanita sepakat dengan alasan-alasan di aras karena itu sifatnya menguntungkan kaum lelaki dan bahkan ada yang mengatakan bahwa tiga puluh persen porsi di birokrasi untuk perempuan sudah cukup banyak mengingat kelemahan dan kekurangannya.

            Dapat disimpulkan bahwa gender menjadi isu yang banyak dibicarakan seirama dengan perkembangan akses pendidikan bagi perempuan. Melalui akses pendidikan yang semakin luas bagi perempuan, maka kesadaran untuk membincangkan relasi gender di dalam kehidupan masyarakat menjadi semakin mengedepankan. Kesetaraan gender sebagaimana yang diketahui adalah produk impor dari negeri barat tentang adanya tuntutan untuk keseimbangan peran di dalam relasi gender tersebut.
            Isu yang sangat mendasar tentang gender adalah meliputi tiga hal, yaitu gender differentiation, gender inequality dan gender oppression. Perbedaan gender di dalam kehidupan memang masih menjadi masalah di Negara-negara berkembang. Misalnya kesamaan di dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, politik dan social-ekonomi. Kesamaan akses ini dirasakan sangat penting, sebab selama ini memang ada sebuah anggapan yang sangat kuat bahwa ada perbedaan akses di dalam ranah public antara lelaki dan perempuan.
            Namun demikian, di akhir-akhir ini akses perempuan di dalam politik memang sudah mulai tampak dengan semakin banyaknya keterlibatan perempuan di dalam politik praktis. Bukankah sekarang semakin banyak perempuan di dunia legislative, birokrasi dan juga jabatan-jabatan politik lain. Ada beberapa bupati perempuan yang terdapat di Indonesia, semakin terbuka akses pendidikan dan keterbukaan politik, maka tentu akan semakin banyak perempuan yang akan bisa. Oleh karena itulah sekali lagi saya menyatakan bahwa pemberian kuota kepada perempuan di dalam representasi politik tentulah tidak penting.


Referensi
Alie, Marzuki. Situs resmi Demokrat. April 1, 2011. http://www.demokrat.or.id/2011/04/realitas-baru-perpolitikan-di-indonesia/ (accessed 01 03, 2013).
Fanani, Estu R. Kalyanamitra. Sempemter 21, 2012. http://www.kalyanamitra.or.id/2012/09/kesetaraan-gender-kondisi-perempuan-yang-perlu-diwujudkan/ (accessed Januari 9, 2013).
Rustam, Wahidah. Solidaritas Perempuan. 11 26, 2012. http://www.solidaritasperempuan.org/index.php?option=com_content&view=article&id=254%3Apernyataan-sikap-solidaritas-perempuan-q-negara-pelaku-pelanggaran-hak-asasi-perempuan-stop-militerismeq-&catid=45%3Apenguatan-organisasi&Itemid=94&lang=en (accessed Januari 1, 2013).
Suzanti, Irma. Indipt Online Blog. Semtember 29, 2011. http://blog.indipt.org/uncategorized/hak-asasi-perempuan-16/ (accessed 12 28, 2012).
Teguh. Harian Haluan. April 21, 2012. http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=14350:peran-perempuan-di-ranah-politik&catid=11:opini&Itemid=187 (accessed Januari 9, 2013).



[1] Rieke diah pitaloka, “peran perempuan diranah politik,” ketidaksetaraan gender 1,1,April(2012): 1
[2] Esti F. Fanani, “Kondisi perempuan yang perlu diwujudkan” 1,1,November (2012)
[3] “Mengembalikan hak-hak perempuan” hal.15 tentang membatasi hak-hak perempuan di ranah publik.
[4] “Ketidakadilan gender dimasyarakat” tentang kepemimpinan seorang wanita, tidak ada tahun.
[5] Ria Permana Sari, “Perkembangan Hak Azasi Perempuan,” Hak Azasi Perempuan 1,1,Januari (2009):1
[6] Wahidah Rustam, “Negara pelanggaran hak azasi perempuan,” hak azasi perempuan 1,1,November (2012): 1
[7] Irma Suzanti, “Hak Asasi Perempuan,” bentuk hak asasi perempuan,1,2, oktober (2011): 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar