Sabtu, 15 November 2014

Strategi Membentuk Pribadi, Keluarga, dan Lingkungan menjadi Bangsa yang Profesional, Bermoral, dan Berkarakter

            Ketahan pribadi dan ketahanan keluarga perlu ditempa Jati Diri dan harus ditanamkan di hati individu sejak dini demi terciptanya generasi mendatang yang lebih baik. Untuk itu, seyogyanya dilakukan penegasan kembali pembangunan watak dan pembangunan berbangsa (character and nation building), serta pencanangan visi tentang kebangkitan masyarakat Indonesia. Perlu digarisbawahi bahwa pencanangan harus disampaikan dengan tulus sehingga tidak mengesankan sekedar sebuah program, namun sebagai arahan kokoh dari kebijaksanaan implementasi konsepsi ketahanan nasional. Dalam kenyataan sehari – hari sering kita melihat betapa sulitnya menemukan sosok pemimpin atau panutan. Untuk tidak menyulitkan diri sendiri karena gagal menemukan sosok yang kita cari jauh lebih mudah bila kita mulai berlatih untuk dapat menjadi  panutan paling tidak bagi diri sendiri, keluarga terdekat dan setiap bawahan yang dipercayakan kepada kita. Hakikat konsepsi ketahanan nasional adalah pengaturan dan penyelenggaraan segenap aspek kehidupan nasional (Astagatra), dengan menggunakan pendekatan atas ke bawah (top down approach). Maksudnya, pendekatan berorientasi pada perumusan kebijaksanaan yang bersifat makro yang perlu diwujudkan dengan suatu langkah pelaksanaan, yaitu pembangunan nasional. Pemikiran yang ingin dikembangkan ini bergerak dari arah berbeda, yaitu pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach). Pendekatan ini dimulai dari segi pembinaan pelakunya, yaitu manusia sebagai pribadi yang bersifat mikro. Pemikiran ini berlandaskan kenyakinan tentang eratnya hubungan antara ketahanan pribadi, ketahanan keluarga dan ketahanan nasional. Pribadi manusia pada hakekatnya bertumpuk pada kehidupan keluarga. Secara bertahap pribadi – pribadi ini mengembangkan ketahanan lingkungan desa sebagai lingkungan hidup atau kantor / organisasi sebagai lingkungan kerja, ketahanan daerah dan selanjutnya untuk mewujudkan ketahanan nasional. Sebagai sistem dan subsistem perpaduan dari kedua pendekatan tersebut akan saling mengisi baik dalam proses pemahaman, penghayatan maupun pelaksanaan konsepsi ketahanan nasional. Makna dari hasil perpaduan tersebut menunjukan peran pribadi sebagai individu dalam konteks saham dan peran sertanya secara nyata terhadap eksistensi dan upaya menuju kejayaan bangsa dan negara dengan memanfaatkan konsepsi yang kita miliki.

Pada awal tahun 1995, Indonesia menempatkan diri dalam posisi yang baik untuk melakukan konsolidasi diri. Arah yang telah baik dapat dilanjutkan tanpa menimbulkan dampak negatif (averechts = memberikan hasil yang sebaliknya). Suatu kondisi yang tentunya akan menyulitkan apabila kita berniat untuk memperbaikinya.
            Pengalaman-pengalaman dalam bidang ekonomi khususnya, menunjukkan perlunya pemantapan pada arah pembangunan nasional. Kendati pencapaian pembangunan nasional sudah memadai, hasil yang didapat harus dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan program selanjutnya. Kegiatan internasional misalnya, sejumlah penghargaan internasional dan juga keberhasilan lain dalam bidang kepemimpinan di arena dunia berkembang, mengingatkan kita pada posisi yang pernah ditempai Indonesia pada tahun 50-an.
            Pada saat itu, ketahanan nasional semakin banyak digunakan, baik secara formal maupun secara informal, yang memiliki inti menggarisbawahi agar suatu bangsa tetap ulet dan tangguh dalam melanjutkan pembangunan. Pemahaman ketahanan nasional juga disampaikan lewat pendidikan di lingkungan pegawai negeri, TNI dan Polri, serta di perguruan tinggi dalam bentuk matakuliah bidang Kewiraan. Sebagai mata ajaran, ketahanan nasional yang diberikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) merupakan benang merah, baik dalam kurikulum pendidikan kursus regular (KRA) bagi pegawai negeri senior terpilih sipil, militer, dan swasta yang dapat digolongkan sebagai kader pimpinan nasonal. Lemhannas sebagai lembaga pengkajian dan pendidikan nasional mempunyai tugas mengkaji dan memantau kondisi ketahanan nasional secara terus-menerus sehingga kondisi itu dapat digunakan untuk menerapkan kebijaksanaan pembangunan dari periode ke periode dengan baik sesuai dengan konsepsi ketahanan nasional.[1]
            Secara informal istilah dan pengertian ketahanan nasional juga digunakan oleh media cetak dan elektronika, begitu juga dalam berbagai pembahasan umum yang berkaitan dengan tahan tidaknya suatu aktivis untuk berlanjut. Seperti yang telah diutarakan sebelumnnya, hakekat konsepsi ketahanan nasional adalah pengaturan dan penyelenggaraan seluruh aspek kehidupan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara dari berbagai cara pandang bangsa.[2] Konsepsi tersebut dikenal mulai tahun 60-an dan mulai muncul gagasan tentang ketahanan nasional merupakan perwujudan dari rasa syukur dan bangga, karena Indonesia dengan segalam keterbatasan mampu membuktikan kemapuannya mengatasi segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG), baik internal ataupun ekstenal.
            Banyak pihak beranggapan bahwa pemikiran tentang ketahanan nasional lahir di SESKOAD (Sekolah Komando Angkatan Darat) Bandung, dan selanjutnya secara formal dikembangkan di Lemhannas Jakarta, konsepsi tersebut adalah konsepsi militer semata. Kata ketahanan ditafsirkan sebagai represif, namun ketahanan di sini diartikan ulet dan tangguh. Dalam kenyataannya konsepsi itu merupakan konsepsi nasional yang diharapkan bisa menjadi acuan dalam mengatur dan menyelenggarakan seluruh system nasional, baik yang menyangkut segi kesejahteraan maupun keamanan dalam arti luas (bukan sekedar keamanan fisik), menyeluruh, terpadu, komprehensif dan integral berdasarkan wawasan nasional yang kita kenal dengan sebutan Wawasan Nusantara dan telah mencakup wawasan kebangsaan yang mengacu pada Pancasila dan UUD 1945.[3]
Awal tahun 1995, Indonesia berada dalam posisi mantap namun penuh dengan tantangan dan sangat menentukan kelangsungan dan kejayaan Indonesia pada masa depan. Berbagai faktor internal dan eksternal dengan segala indikasinya perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan hal buruk yang tidak diharapkan. Selama kurun waktu 1995-1997, berbagai peristiwa banyak terjadi di Indonesia, diantaranya di Situbondo, Tasikmalaya, Pontianak, Karawang, dan Tanah Abang Jakarta.[4]
Jika istilah back to basic dalam pengelolaan konsepsi ketahanan nasional diterapkan, berarti Indonesia harus menumpukan harapan pada kepemimpinan pribadi dari masyarakat Indonesia yang benar-benar mampu terealisasikan secara nyata.[5] Konsepsi ketahanan nasional secara pribadi mampu menghayati dan membuat konsep ketahanan pribadi kuat yang berlandaskan Pancasila, paling tidak mengharapkan kualitas pribadi yang merupakan esensi ketahan pribadi berikut [6]:
·                                Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
·                                Memiliki kepercayaan diri dan memegang teguh prinsip
·                                Mandiri/independent
·                                Berjiwa dinamis, kreatif, dan pantang menyerah
·                               Memiliki visi pribadi yang mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi

Manusia yang memiliki ketahanan pribadi yang kuat, pasti akan tumbuh dan berkembang dengan baik, dan tidak akan menemui kesulitan dalam berinteraksi dengan keluarga, lingkungan rumah, lingkungan daerah ataupun lingkungan nasional maupun internasional. Jika ketahanan nasional dapat semakin mantap dan tangguh, tentu kita dapat mengatasi ATHG tersebut dengan baik yang bersumber dari dalam ataupun dari luar.

Tantangan Dari Luar 
Pada saat tahapan Pembangunan Nasional Indonesia memasuki fase Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, di tingkat internasional telah terjadi sejumlah perubahan mendasar yang menyangkut tata hubungan ekonomi antar negara, seperti diberlakukannya GATT/WTO, APEC, dan AFTA. Persaingan antarnegara dalam perdagangan Internasional menjadi sangat ketat dan terbuka, membuat Indonesia tidak lagi mempunyai pilihan kecuali menyesuaikan orientasi kebijaksanaan ekonominya, dari yang semula hanya mengincar pasar domestic kini diarahkan ke pasar internasional. Pada masa mendatang, setiap pelaku ekonomi harus meningkatkan kemampuan dalam bersaing jika ingin menunjukkan peran di bidangnya.
Perkembangan teknologi komunikasi membuka peluang untuk masuknya berbagai informasi dari berbagai bentuk. Melalui media massa, informasi dapat masuk melewati batas-batas wilayah dan budaya suatu negara. Berbagai peristiwa yang terjadi di belahan dunia manapun, lebih cepat diketahui dan disaksikan dari belahan dunia lain. Dalam hal ini, perlu kewaspadaan dan persiapan untuk menerima masuk pengaruh dari luar, agar tidak memberi dampak negatif bagi perkembangan bangsa.
Beberapa tahun terakhir, banyak krisis yang telah mengguncang dan merusak tata nilai yang ada dalam masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis yang dimaksud yakni
·        Krisis Politik
·        Krisis Ekonomi
·        Krisis Hukum
·        Krisis Kepercayaan
·        Krisis Moral
Adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, krisis tersebut mampu mengguncangkan hamper seluruh aspek kehidupan nasional yang pada hakekatnya bersumber dari krisis identitas. Masalah identitas sebenarnya bukanlah masalah urgent, tetapi tergolong important, yang penanganannya dimana kita berada. Dengan demikian, penting dilakukan sebuah tindakan khusus. Jika sikap dan sifat manusia tidak berubah, hasil yang akan dicapai tentu akan seperti semula. Tidak ada perubahan, adanya kita melangkah mundur bukan melangkah maju.

System Nilai Yang Dianut 
Proses globalisasi mengandung satu implikasi mendasar, aktivitas yang semula terjangkau sekarang ini hampir tanpa batas. Secara revolusioner, globalisasi juga memberikan implikasi pada tatanan nilai yang mendukung pada seluruh aspek kehidupan. Khusus dalam bidang sosial budaya, globalisasi memberikan dampak terhadap masuk dan munculnya nilai-nilai baru dalam tata kehidupan umum, dan menjadi acuan perilaku serta corak kehidupan masyarakat. Integritas bangsa merupakan perpaduan dari integritas pribadi sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai sosial dan budaya. Identitas akan terlihat dari kepribadian bangsa, tercermin dari rangkaian kepribadian individu bangsanya.
Suatu bangsa memerlukan dasar normative, yakni suatu system nilai dan pandangan dasar sebuah kebijaksanaan. Namun, system nilai tersebut tidak hanya dibuat oleh individu atau kelompok yang sedang berkuasa, tetapi juga harus diambil dan digali dari kehidupan masyarakat. Pada akhirnya kita juga kembali pada Pancasila, yang diakui sebagai satu-satunya azas bangsa Indonesia. Pancasila tidak digariskan dari atas, namun dibuat dari nilai-nilai dasar dan pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila bukanlah agama, namun kandungan nilainya menyangkut tatanan perilaku manusia dan wajar apabila Pancasila diyakini sebagai tuntunan dan tujuan hidup bangsa Indonesia. Jika kita hayati, selain menjelaskan apa, mengapa dan ke mana sebenarnya tujuan hidup kita, setiap sila dari Pancasila juga memberikan pengembangan dan pemantapan kepribadian. Visi yang menyangkut pandangan hidup dan tertuang dalam Pancasila, semua dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Manusia dan Faktor Tingkah Lakunya 
Berbicara tentang manusia bukan hal yang mudah, banyak permasalahan yang ada di dalamnya.Bahkan manusia itu sendiri merupakan masalah. Manusia itu pribadi, yang artinya ia mandiri dalam menunjukkan kehendaknya dalam menentukan sendiri setiap perbuatannya. Manusia bukan benda mati, ia mampu, ia berdaya dan berkekuatan. Karena itu, manusia selalu dan tak akan pernah berhenti berkembang, terutama mengembangkan kebutuhannya. Teori tentang hirarki kebutuhan yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan menjadi anggota kelompok, kebutuhan ego, serta kebutuhan untuk beraktualisasi.[7]
Sebagai makhluk berjiwa rohani dan berbadan jasmani, manusia terpanggil untuk mengembangkan diri, mengadakan dialog, dan saling berinteraksi. Dalam sila pertama Pancasila, harus kita akui bahwa keberadaan manusia adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Kita juga perlu ketahui lagi, kehadiran manusia mengungkapkan kebersamaan sesama dan manusia tidak bisa hidup tanpa ada bantuan dari manusia lain. Pada hakekatnya manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Manusia juga tidak akan lepas dari salah satu factor tingkah lakunya yakni Interaksi. Berbagai cara dilakukan manusia untuk berinteraksi, yakni :
·        Interaksi Manusia dengan Manusia
·        Interaksi Manusia dengan Masyarakat
·        Interaksi Manusia dengan Negara
Ajaran agama islam misalnya menyadarkan umatnya lewat kata – kata, Hablul Minaullah, hablum minannas; selain harus menyembah Allah manusia harus  dapat melakukan silaturrahmi dengan sesamanya.[8]
Ada sebuah teori yang disebut Continuum Maturity Process yaitu proses pendewasaan berkelanjutan yang melewati sejumlah tahap yakni tahap bergantung (dependent), tahap mandiri (independent) dan tahap saling bergantung (interdependent).[9]
Manusia yang memiliki Intelligence Quotient (IQ) tinggi, namun Emotional Intelligence (EQ) rendah berpeluang menemui kegagalan, sebaliknya seseorang yang ber-EQ tinggi meski hanya memiliki tingkat kecerdasan rata – rata berpeluang menikmati keberhasilan.[10]
Kecerdasan emosional terutama berkaitan dengan kemampuan dalam pengendalian diri. Khususnya  dalam pergaulan, mampu mengendalikan diri juga berarti mampu mengelola emosi. Artinya  kita dapat memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka, menghargai perbedaan dalam cara berperasaan terhadap berbagai hal  janga pula abaikan kemampuan untuk menjadi pendengar dan penanya yang baik, kemampuan membedakan antara yang dikatakan ataupun dilakukan seseorang lewat suatu reaksi dan penilaian tertentu.[11]

Manusia dan Faktor Kepemimpinannya 
Kepemimpinan adalah perpaduan antara ilmu dan seni memimpin, yang pada hakekatnya merupakan kemampuan untuk mempengaruhi dan memotivasi seseorang atau kelompok sehingga mereka bersedia dan berkemampuan mencapai sasaran yang diharapkan.[12] Seorang pemimpin diharapkan mampu menduduki jabatan yang dipercayakan kepadanya. Artinya, ia harus mampu menumbuhkembangkan kompetensinya melalui pendidikan formal atau informal.
Pendidikan dan pembinaan karakter yaitu suatu proses berkelanjutan yang tidak ada hentinya (a never endiing process). Karakter dan integritas pertama muncul dalam lingkungan keluarga. Di lingkungan keluarga itulah seseorang mulai mengenal dan belajar tentang berbagai tata nilai. Melalui pendidikan yang diberikan, tata nilai tersebut mulai dikembangkan agar bisa memasuki dunia nyata di luar lingkungan keluarga. Secara konseptual, tata nilai bersumber dari agama yang dianut. Tanpa landasan yang kokoh, agama hanya sekedar dipahami secara harafiah. Akibatnya agama tidak akan terlihat, terasakan dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk melaksanakan tugas dengan baik, di samping orientasi ke masa depan, seorang pemimpin harus memiliki kompetensi dan karakter. Dalam ilmu kepemimpinan tingkat menengah ke atas dikenal istilah Visionary Leadership (Kepemimpinan yang berdasar pada visi/pandangan ke depan). Maksudnya, semakin rendah tingkat kepemimpinan seseorang, maka tantangan kedepannya semakin terbatas. Pandangan ke depan seseorang tergantung pada tingkat kepemimpinan seseorang.[13]

Ketahanan Pribadi
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh banyak factor, baik yang datang dari luar ataupun dari dalam. Sebagai pribadi, manusia perlu mengembangkan diri agar di kemudian hari ia dapat tampil total yang mantap dan harmonis. Dalam mengembangkan diri, manusia harus menggunakan akal, perasaan, budaya, kehendak pribadi dalam kata lain mampu memanfaatkan seluruh jasmani dan rohaninya demi mencapai tingkatan yang stabil dan tidak tergoyahkan dalam kondisi apapun. Kepribadian yang utuh dan kuat dapat dimiliki seseorang apabila ia sebaga warga suatu  bangsa, menganut nilai yang diambil dari keyakinan dan pandangan hidup bangsa.
Setiap kali berbicara tentang manusia Indonesia, yang menjadi pembicaraan adalah manusia yang memiliki pandangan hidup, berideologi, bercita-cita dan berperilaku Pancasila. Manusia Indonesia menerima Pancasila sebagai ideology yang bersumber pada pandangan hidup dan kristalisasi dari berbagai nilai yang diterima dan menjadi pedoman bangsa dan masyarakat. Kepribadian yang mengacu pada system nilai Pancasila harus dapat terlihat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kepribadian berlandaskan Pancasila harus selalu tercermin dalam sikap manusia Indonesia.
Situasi memprihatinkan yang mulai terjadi akhir-akhir ini di dalam masyarakat Indonesia mengisyaratkan perlunya upaya penegasan kembali apa yang disebut pembangunan karakter dan pembangunan berbangsa (character and nation building). Dewasa ini, suasana keterbukaan yang sedang kita nikmati sering kali disalahgunakan sebagai  kesempatan untuk melontarkan kritik dan mencari kesalahan orang lain. Hal ini yang mengakibatkan banyaknya pendapat dan kritik miring tentang manusia lain, tanpa menyadari apa yang telah diperbuat selama ini.[14]

Ketahanan Keluarga
Tidak seorang pun menyangkal bahwa, manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Sejak kecil hingga akhir hayatnya, manusia tidak akan pernah mau hidup seorang diri. Dengan kata lain, manusia itu selalu berada dalam lingkungan sosial. Lingkungan tersebut yang akan membentuk orientasi sikap serta tindakan dalam membentuk pola sosialisasinya. Lingkungan sosial terdekat adalah keluarga. Menurut para ahli, keluarga adalah satuan sosial terkecil yaitu instansi pertama yang memberikan pengaruh sosialisasi setiap anggota keluarga, yang akan membentuk kepribadian. Dalam keadaan normal, seorang anak akan dibentuk dan dipengaruhi oleh sikap dan tindakan orang tuanya.
Dalam kehidupan nyata, seorang anak dapat menjadi orang dibesarkan oleh keluarga yang berkecukupan dari segi materi. Seorang anak tidak hanya membutuhkan dukungan materi, namun juga pendidikan terbaik. Perlu kita ketahui, kondisi house tidak berpengaruh secara langsung atau menentukan terciptanya home (house lebih dikaitkan pada bangunan tempat tinggal, home (lebih dikaitkan dengan suasana).Istilah broken home mengisyaratkan macetnya estafet system nilai, kendati jumlah pengecualian menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga broken home berhasil menjadi orang.[15]
Pembinaan dan penempaan tentunya hanya dapat dilakukan dengan baik apabila keluarga memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Dari ketahanan keluarga akan tercermin sejumlah tata nilai utama keluarga yang secara khusus akan mempengaruhi kehidupan beragama anak. Seperti yang tercantum dalam Pancasila, setiap orang Indonesia berhak memahami, menghayati, dan mengamalkan agama yang dianutnya. Semua orang tahu bahwa setiap agama mengajarkan kebaikan dan dari agama yang mana pun kita dapat memetik system nilai untuk menjalani kehidupan. Kehidupan beragama harus diawali dari rumah, bukan ditumpukan pada tempat ibadah agama tersebut. Dari agama yang dianut, kita dapat menemukan system nilai yang nantinya dapat diterapkan bagi diri sendiri dan bagi keluarga.
Dalam rangka pengembangan kemampuan diri setiap anggota keluarga, pendidikan adalah factor utama entah itu pendidikan formal ataupun informal. Apabila pendidikan lebih difokuskan pada pengingkatan kemampuan manusia dalam bidang keterampilan dan ilmu pengetahuan, maka pendidikan informal lebih berorientasi pada pendidikan mental dan spiritual. Untuk memperoleh pendidikan formal, seseorang dapat mengikutinya  secara bertahap melalui lembaga pendidikan resmi. Di samping keteladanan, pendidikan informal yang diberikan oleh kepala keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk norma positif secara turun-temurun. Dengan terciptanya komunikasi dua arah, akan tercipta pula keterbukaan dan keakraban di antara masing-masing pihak, yang dilandasi dengan perhatian dan kasih sayang yang tulus.
Ketahanan pribadi yang kuat dan bersumber pada ketahanan keluarga akan menghasilkan kemampuan dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan sekaligus membantu individu menjaga jati dirinya. Pengecualian dapat muncul dari keluarga yang tidak harmonis dapat membuat kepribadian yang rapuh namun ada juga yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis, namun memiliki kepribadian yang kokoh. Walau bagaimanapun, jauh lebih baik jika setiap orang berusaha menciptakan keharmonisan dalam keluarga.

Ketahanan Lingkungan
Terdapat beberapa jenis ketahanan yang berkaitan dengan lingkungan antara lain :
·        Ketahanan Domisili (Ketahanan Lingkungan Tempat Tinggal)
Ketahanan domisili adalah ketahanan yang dapat diwujudkan di daerah tempat tinggal kita.Ketahanan domisili merupakan kondisi dinamis yang ditampilkan sekelompok orang yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan tertentu. Kebersamaan yang ditampilkan mencerminkan keuletan dan ketangguhan kelompok tersebut guna mengahadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik yang dating dari luar ataupun dari dalam yang bisa membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup, keamanan dan kesejahteraan hidup tempat kita tinggal.
·        Ketahanan Organisasi (Ketahanan Lingkungan Berkarya)
Sebagai pribadi, seseorang dapat bergabung dalam organisasi baik sosial, kemasyarakatan, politik, dan lain sebagainya. Dalam organisasi setidaknya terdapat empat komponen yang saling terkait, yaitu Lingkungan, Struktur Organisasi, Kelompok dalam organisasi, dan Individu atau badan pengambil keputusan organisasi. Untuk mengukur ketahanan organisasi, diperlukan adanya keseimbangan antara organisasi dan lingkungannya, antara kekuatan dan kualitasnya. Sebuah organisasi harus menjalin keakraban dengan organisasi lain, masyarakat, pemerintah maupun lingkungan yang mempengaruhi kehidupan organisasi itu sendiri.
·        Ketahanan Usaha (Ketahanan Lingkungan Dunia Usaha)
Organisasi manapun, termasuk oranisasi politik membutuhkan ketahanan usaha. Berapa pun besarnya pengaruh dari luar (eksternal), maupun pengaruh dari dalam (internal), yang paling menentukan adalah factor manusia.

Ketahanan Daerah
Ketahanan setingkat kabupaten dan provinsi dapat dikategorikan dalam ketahan daerah. Seperti yang kita ketahui, konsepsi ketahanan nasional mencakup ketahanan ideology, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan pertahanan dan keamanan (hankam). Dalam konsepsi ketahanan nasional (tannas), kondisi ketahanan nasional buka merupakan penjumlahan dari sejumlah kondisi ketahanan, melainkan konfigurasi kesatuan atau resultante dari kondisi ketahanan. Pembahasan ketahanan daerah akan difokuskan pada gagasan yang mengatakan bahwa setiap daerah diharapkan mampu mengupayakan tingkat ketahanan yang baik agar dapat memberi sumbangan terhadap kondisi ketahanan nasional.[16]
Hubungan timbal balik antara pembangunan nasional dan kondisi ketahanan daerah/ nasional dalam pelaksanaannya, ketahanan nasional akan terwujud melalui pembangunan nasional. Jika pembangunan nasional berhasil, kondisi ketahanan nasional akan semakin kokoh. Konsepsi ketahanan nasional mengindikasikan perlunya pananganan secara komprehensif dan integral dari ketahanan ideology, ketahanan politik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan hankam. Adalah benar bahwa politik dan ekonomi membutuhkan penanganan segera dan medesak, sedangkan masalah sosial dan budaya tergolong penting namun, penanganannya tepat waktu dan cepat.

Penyemaian Jati Diri
Jati diri seseorang akan membedakan dirinya dengan orang lain. Demikian pula dengan jati diri bangsa akan membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya. Berbagai factor eksternal-internal, ekonomi, dan sebagainya dianggap menjadi terpuruknya Indonesia. Apabila dicermati, penyebab utamanya adalah ulah pribadi manusia Indonesia sendiri.Upaya memperkaya konsepsi ketahanan nasional yang menggunakan pendekatan top down sudah sangar mendesak untuk dilakukan.[17]
Kita semua tahu, moral dan akhlak merupakan inti perwujudan penampilan jati diri. Ada tiga komponen utama yang mewarnai jati diri kita, yaitu system nilai (value system), sikap pandang (attitude), dan perilaku (behavior). Memburuknya jati diri bangsa, berkaitan erat dengan sikap meremehkan dan melupakan. Sebagai bangsa kita diharapkan untuk dapat menyatukan rasa (nilai), cipta (sikap), dan karsa (perilaku). Masalah jati diri sesungguhnya lebih hakiki dan memiliki makna kultural yang luhur, yaitu perwujudan akidah dalam bentuk rasa dan daya gerak kehidupan itu sendiri. Jati diri bukan hanya sekedar membedakan seseorang atau bangsa secara fisik, tetapi lebih yang tersurat dan tersirat secaran spiritual dan kultural.

Pembangunan Watak
Kemerosotan moral seperti yang tengah kita hadapi menunjukkan hilangnya factor-faktor mendasar. Sebagian masyarakat menyebut keterpurukan negara kita adalah akibat factor eksternal, dengan selalu menimpakan kesalahan sendiri kepada orang lain dan kita tidak memberi bantuan untuk memecahkan kesalahan tersebut. Dengan demikian, watak atau karakter yang baik hanya akan didapat bila dibina, dibangun, dan ditempa dengan kebiasaan baik secara berkelanjutan, dan dijadikan suatu  runtunan perubahan tanpa henti. Agar segera terbebas dari krisis identitas, kita harus berani mengisi reformasi total dengan melakukan hal yang terbaik.
Caranya adalah dengan melakukan suatu upaya, yang bertujuan membangun watak dalam rangka menemukan dan membangun jati diri. Dan proses upaya tersebut dalam rangka pembangunan watak harus dapat memberikan perubahan terutama pada diri sendiri dengan tahapan berikut ini :
·        Mengggugah untuk menemukan diri sendiri
·        Menemukan dimana, kemana dan bagaimana akan pergi (cita-cita)
·        Menunjukan sikap yang tulus  dan ikhlas dengan meninggalkan segala yang bersifat semu, agar selanjutnya dapat menghayati dan menikmati “kenyataan”.
·        Memiliki kemantapan hati untuk melangkah ke depan, dengan demikian dapat menjadi sosok yang disegani, dihormati, dan disenangi, karena dapat diandalkan.
·        Memadukan dengan serasi kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional; karena dengan cara itu dapat tampil sebagai pribadi yang memiliki integritas, berkompetensi dan menumbuhkembangkan kebersamaan.
Kelima klasifikasi diatas diharapkan sebagai suatu hasil dari melakukan suatu upaya dalam rangka pembangunan watak.
“Yang akan bersosialisasi dengan lingkungannya secara baik, tanpa kehilangan jati dirinya selalu kembali kepada keasliannya.[18]

1.      Ketatnya arus globalisasi dan persaingan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir menjelang millennium baru, membuat situasi dan kondisi Indonesia dilanda krisis politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukun, kepercayaan, kepemimpinan, moral, intergritas dan sebagainya.
Krisis-krisis tersebut pada hakekatnya bersumber dari krisis identitas.Itu menunjukkan betapa mendasarnya permasalahan yang tengah kita hadapi. Permasalahan yang mulanya tergolong penting (important), akhirnya menjadi sangat mendesak (urgent) untuk ditangani dan diatasi secara tepat arah dan tepat waktu.
2.      Kerasnya persaingan dan tantangan menuntut diterapkannya konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lewat konsepsi ketahanan nasional berlandaskan Pancasila, UUD 1945, dan wawasan nusantara, Indonesia telah membuktikan kemampuan mengatasi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG). Konsepsi ini perlu dibudayakan, dihayati, dan diterapkan secara konsisten, dan dilaksanakan dengan penyempurnaan-penyempurnaan yang diperlukan.
3.      Penyempurnaan dengan menggunakan pendekatan bottom up, merupakan kelengkapan dari konsepsi ketahanan nasional yang menggunakan pendekatan top down. Pendekatan bottom upakan memberikan penekanan pada pembinaan tingkat ketahanan yang diawali dari para pelaku sebagai individu, selanjutnya pada tingkat keluarga, lingkungan dan wilayah. Semua ketahanan ini pada hakekatnya diharapkan dapat mempermantap kondisi ketahanan nasional.
4.      Manusia itu pribadi yang mandiri dan memiliki akal budi, dan diharapkan menyadari tujuan serta alasan perbuatannya. Sebagai pribadi, ia mandiri dalam menegakkan kehendaknya, dan menentukan sendiri setiap perbuatannya.
Berbagai krisis yang menimpa bangsa Indonesia erat kaitannya dengan factor manusia/pelakunya. Dengan demikian manusia sebagai individu, sebagai pribadi, sangat penting untuk dicermati, disiapkan, dan dibina agar lebih mampu melaksanakan amanah hidupnya. Pancasila menyadarkan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
5.      Manusia perlu mengembangkan diri agar dapat tampil sebagai totalitas yang mantap dan harmonis. Ia juga diharapkan memiliki kepribadian yang utuh dan kuat. Seorang pribadi harus menganut nilai-nilai yang diambil dari keyakinan dan pandangan hidup bangsanya.
6.      Tata nilai keluarga perlu diestafetkan. Hal ini baru dapat dilaksanakan oleh kehidupan pribadi anggota keluarganya. Dari sini pula terbentuknya ketahanan pribadi dan ketahanan keluarga
Ketahanan keluarga akan mencerminkan :
·        Perilaku kehidupan beragama yang secara nyata melahirkan tata nilai keluarga.
·        Kebersamaaan dan kerukunan antarsesama anggota keluarga (saling asah, asih, dan asuh).
·        Pelaksanaan fungsi sosial dalam kehidupan berkeluarga sehari-hari.
7.      Ketahanan lingkungan baik di tempat tinggal (domisili), di tempat berkarya (organisasi), maupun di tempat bekerja dan berusaha (kantor dan dunia usaha) harus merupakan mata rantai yang kokoh dalam mewujudkan ketahanan daerah dan nasional, di mana kepentingan daerah tetap perlu diakomodasikan, tetapi tetap menunjang mewujudkan ketahanan nasional yang kokoh.
8.      Penyemaian jati diri harus merupakan upaya pembangunan watak dalam rangka menemukan dan membangun jati diri. Ketahanan pribadi tidak mungkin terwujud jika tidak diupayakan melalui system penyemaian benih pilihan. Artinya, sejak usia dini jati diri anak-anak harus disemai dan dijadikan bibit unggul untuk selanjutnya ditumbuhkembangkan menjadi pribadi-pribadi dengan ketahanan yang kuat dan kokoh. Agar dapat tampil sebagai pribadi yang efektif, sejak dini jadi diri perlu dibina, disemai, dan dimantapkan. Efektivitas ini hanya dapat dicapai bila yang bersangkutan mampu menunjukkan kompetensi (what be can) dan karakter (who be is) sebagai kesatuan
Karakter itu sendiri perlu selalu dibina dan dibangun secara berkelanjutan atau sejak usia sedini mungkin sampai dengan selama hayat dikandung badan.
Seorang pemimpin baru dapat disebut baik (khalifah) bila ia dapat menampilkan diri sebagai panutan. Daripada kecewa mencari panutan, jauh lebih baik bila kita berani melatih dan menampilkan diri sebagai panutan, baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun bagi setiap bahawan yang dipercaya kepada kita.


Referensi 
Dr. MA, Quraish Shihab. Wawasan Al Qur'an . Bandung : Penerbit Mizan, n.d.
Goleman, Daniel. Emotional Intellegence . Jakarta : PT Gramedia Utama , 1998.
Ken Blachard, Michael O'Connor & Jim Ballard. Managing By Value. San Francisco, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
LEMHANNAS. "Bahan Ajaraan dan khususnya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional." n.d.
Maslow, Abraham H. Motivasi dan Kepribadian . Jakarta : LPPM dan PT Pustaka Binaman Pressiud edisi 4, 1997.
Ph.D. Jeane Segal. Meningkatkan Kecerdasan Emosional . PT Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Prof. Dr. Wan Usman, MA. Ketahanan Nasional dan Catastrophe Theory. n.d.
R., Covey Stepen. The Seven Habits of Highly Effective Family. n.d.
—. The Seven Habits of Highly Effective People . New York: by Simon & Schuster, 1975.
Soedarsono, Soemarno. Menepis Krisi Identitas. Jakarta: PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia, 1990.
Warren Bennis & Burt Nanus. LEADERS. New York: Harper & Row Pubisher, 1985.



[1] Bahan Ajaran LEMHANNAS dan khususnya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
[2] Bahan Ajaran LEMHANNAS dan khususnya Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
[3] Bahan Ajaran Pancasila dan UUD 1945
[4] Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[5] Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[6] Ken Blanchard. Michael O’Connor & Jim Ballard, 1997, Managing By Value, San Francisco, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama  
[7] Abraham Maslow, 1997, Motivasi dan Kepribadian, Jakarta, LPPM dan PT Pustaka Binaman Pressiud edisi 4
[8] Quraish Shihab, Dr. MA, 1996, Wawasan Al Qur’an, Bandung, Penerbit Mizan
[9] Stepen R. Covey: The Seven Habits of Highly Effective People
[10] Daniel Goleman, 1995, Emotional Intellegence, Penerbit PT Gramedia Utama, Jakarta 
[11] Jeanne Segal, Ph.D., 1997, Meningkatan Kecerdasan Emosional, PT Citra Aksara
[12] Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[13] Warren Bennis & Burt Nanus, 1985, LEADERS, New York, Harpers & Row Publisher
[14] Prof. Dr. Wan Usman, MA, Ketahanan Nasional dan Catastrophe Theory.  
[15] Stepen R. Covey: The Seven Habits of Highly Effective Family
[16] Prof. Dr. Wan Usman, MA, Ketahanan Nasional dan Catastrophe Theory.  
[17] Sumarno Sudarsono, Menepis Krisis Identitas, Jakarta, PT ELEK KOMPUTINDO Kelompok Gramedia
[18] Anton Soeparwoto dan Herman Joseph Oey, Istilah Walet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar