Wednesday, October 7, 2009

Fiskal vs Moneter Kebijakan Mana Yang Lebih Effektif ?

Pemerintah baru saja mengumumkan rencana perubahan defisit APBN 2009 dari
1,0% terhadap PDB menjadi 2,5% terhadap PDB. Pada kesempatan yang sama
Pemerintah juga menjelaskan perubahan defisit tersebut dikarenakan perubahan sejumlah
asumsi makro dalam perhitungan APBN 2009 terkait dengan dampak krisis keuangan
global. Perubahan sejumlah asumsi makro yang dimaksud antara lain penurunan target
pertumbuhan ekonomi dari 6% menjadi 5%, penurunan harga minyak mentah Indoensia
(ICP) dari 80 dollar AS per barrel menjadi 45 dollar AS per barrel. Sementara asumsi
lifting minyak 960.000 barrel per hari, inflasi sebesar 6,2% dan suku bunga SBI 3 bulan
sebesar 7,5%. Rencananya perubahan APBN 2009 tersebut akan kembali dibahas dengan
DPR pada akhir bulan Januari 2009.
Akibat perubahan beberapa asumsi makro tersebut, penerimaan negara
diperkirakan akan mengalami penurunan sebanyak Rp 128 triliun, sementara belanja
negara tetap sebesar Rp Rp322,3 triliun sehingga defisit anggaran naik menjadi Rp80,8
triliun atau 2,5% terhadap PDB. Dalam kesempatan yang sama Pemerintah juga
menjelaskan bahwa penurunan penerimaan itu disebabkan karena penerimaan pajak turun
Rp54 triliun, PNBP turun menjadi Rp184,9 triliun. Lebih lanjut Pemerintah juga
mengumandangkan rencana penguatan pada sektor usaha dan masyarakat yang terimbas
dampak krisis melalui pemberian stimulus fiskal sebesar Rp15 triliun dan akan
dialokasikan untuk memberikan subsidi dalam bentuk bea masuk maupun PPN DTP.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia juga seirama dengan Pemerintah di dalam
pemberian beberapa bantalan-bantalan penangkal dampak krisis keuangan global melalui
beberapa paket kebijakan secara sepihak(moneter saja) ataupun kebijakan yang bersamasama
dengan Pemerintah. Kebijakan yang paling dinantikan oleh sektor riil tentu saja
kebijakan yang mampu menurunkan tingkat suku bunga kredit sebagai stimulus utama
penggerak lajunya dunia usaha.
Dari penjelasan diatas, kemudian muncul pertanyaan sebetulnya kebijakan apakah
yang paling menentukan bagi suatu negara? Apakah kebijakan moneternya ataupun
fiskalnya? Apakah kebijakan moneter harus lebih mendominasi atau justru kebijakan
fiskalnya yang lebih berperan? Atau justru kedua-duanya harus berjalan seiring?
Kemudian faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar bahwa kebijakan moneter akan lebih
efektif dibandingkan kebijakan fiskal ataupun sebaliknya ?
Semua pelajar ekonomi pasti mengetahui masalah keseimbangan ekonomi. Hal
yang sama juga dipahami mengenai luas kecilnya skala perekonomian sebagai dasar
analisis utama. Ketika perekonomian masih dalam kondisi awal, kegiatan ekonomi hanya
terdiri dari kegiatan konsumsi, investasi dan pemerintah (C,I,G). Ketika muncul peran
hubungan luar negeri, perekonomian kemudian berkembang menjadi kegiatan konsumsi,
inevstasi, pemerintah dan luar negeri( C,I,G,(X-I) ). Perekonomian negara yang sudah
memasukkan unsur hubungan luar negeri tentu membawa konsekuensi munculnya sistem
aliran devisa negara serta sistem nilai tukar mata uang antar negara.
Berbicara mengenai perekonomian secara luas, kita semua pasti mengetahui
sebuah nama Mundell Flemming. Ekonom inilah yang kemudian memodifikasi bentuk
analisa IS-LM yang sederhana dengan memasukkan unsur Balance of Payment (BOP)
sehingga analisanya menjadi lebih kompleks. Dari hasil analisa IS-LM-BOP inilah
nantinya dapat dijadikan dasar penentuan apakah kebijakan fiskal atau moneter yang
lebih berperan bagi perekonomian suatau negara, berdasarkan sistem nilai tukar negara
maupun sistem aliran devisa negara.
o Kebijakan Fiskal Pada Fixed Exchange Rate
r
LM0
LM1
r1rf
r1
Y Y1 Y2 Y
A
B
C
IS1
IS0
Sebagai contoh ilustrasi ekonomi berada pada kondisi awal di titik A dengan
tingkat suku bunga domestik (r) sama dengan tingkat suku bunga luar negeri (rf). Karena
kondisinya sedang krisis, sektor swasta tidak tumbuh sebagaimana mestinya dan sektor
pemerintah lah yang memegang peranan dalam bentuk peningkatan spending government
nya(G). Kenaikan government spending (G) akan mengakibatkan kurva IS bergerak ke
kanan menuju IS1 sehingga ada dorongan bagi perekonomian untuk bergeser menuju titik
B sebagai titik keseimbangan baru. Pergeseran dari titik A menuju B tersebut akan
menyebabkan kenaikan pada tingkat suku bunga domestik menjadi r1. Kenaikan tingkat
suku bunga ke r1 menyebabkan terjadinya aliran modal masuk bertambah (capital inflow)
yang mengindikasikan adanya kenaikan permintaan terhadap Rupiah. Hal tersebut juga
dapat diartikan tingkat suku bunga domestik lebih tinggi daripada tingkat suku bunga
internasional sehingga orang tertarik untuk menabung di domestik. Naiknya demand
terhadap Rupiah menyebabkan pemerintah harus menambah supply dari Rupiah (karena
kurs tetap maka kurs tidak akan disesuaikan). Adanya kenaikan penawaran terhadap
Rupiah inilah yang menyebabkan ekspor mengalami penurunan dan impor justru
meningkat pesat.
Peningkatan dari supply Rupiah menyebabkan kurva LM bergerak menuju LM1
yang artinya kurva LM mengalami penurunan. Keseimbangan ekonomi kembali
berpindah menuju titik C dengan tingkat pendatan naik dari Y menuju Y2. Kenaikan
tingkat pendapatan inilah yang menjadi barometer kesuksesan kebijakan fiskal pada
kondisi fixed exchange rate.
o Kebijakan Moneter Pada Fixed Exchange Rate
r
r1rf
r1
Y Y1
A
B
IS
LM0 LM1
Dengan ilustrasi yang sama kita dapat menjelaskan jalannya perekonomian pada
kondisi krisis dengan kebijakan moneter di dalamnya. Perekonomian diumpamakan
berada pada kondisi keseimbangan awal di titik A dengan IS0-LM0. Perubahan yang
terjadi pada fixed exchange rate juga sama di sini hingga terjadinya kenaikan penawaran
Rupiah. Adanya peningkatan penawaran Rupiah akan menyebabkan bergeraknya LM ke
LM1 sehingga perekonomian berpindah dari titik A menuju B.
Perpindahan kondisi perekonomian dari A menuju B menyebabkan penurunan
pada tingkat bunga dari r ke r1 sehingga terjadi aliran modal keluar (capital outflow)
akibat rendahnya tingkat suku bunga domestik dibandingkan suku bunga internasional.
Meningkatnya capital outflow ini akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaah
valuta asing. Peningkatan permintaan valuta asing di satu sisi menyebabkan terjadinya
penurunan penawaran Rupiah sebagai substitusi valuta sing. Pengurangan penawaran
Rupiah sama saja artinya dengan penurunan kurva LM sehingga kurva LM kembali
bergerak dari LM1 ke LM0 dan keseimbangan kembali berpindah dari B menuju A.
Keseimbangan ini biasanya tidak permanen dan hanya terjadi pada periode jangka
pendek sehingga dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan fixed exchange rate,
kebijakan moneter tidak efektif dibandingkan kebijakan fiskal.
o Kebijakan Fiskal Pada Flexible Exchange Rate
r
r1
r1rf
Y Y1
IS0
IS1
LM0
B
A
Y
Adanya kebijakan fiskal dalam arti terjadinya kenaikan government spending
(fiskal ekspansif) akan menggerakkan kurva IS ke kanan atau berpindah dari IS0 menuju
IS1. Akibatnya suku bunga domestik mengalami kenaikan dan terjadi capital inflow dari
dunia internasional. Dengan kebijakan kurs yang flexible maka kenaikan permintaan
terhadap Rupiah akan memungkinkan perubahan kurs yang menyebabkan harga tukar
Rupiah meningkat (apresiasi Rupiah).
Efek dari apresiasi Rupiah terhadap perdagangan Indonesia cukup merugikan,
sebab secara relatif harga komoditi Indonesia lebih mahal dalam valuta asing sehingga
mengurangi permintaan ekspor kita serta meningkatkan permintaan impor. Akibatnya
apresiasi Rupiah akan kembali menurunkan kurva IS ke kiri dan menurunkan
keseimbangan ekonomi dari titik B kembali ke titik A dalam jangka panjang. Jadi dapat
disimpulkan pada negara dengan kebijakan flexible exchange rate, kebijakan fiskal tidak
efektif dibandingkan kebijakan moneter.
o Kebijakan Moneter Pada Flexible Exchange Rate
r
LM0
LM1
r1rf
r1
Y Y1 Y2
IS0
IS1
A C
B
Kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan kenaikan kurva LM
sehingga bergeser dari LM0 menuju LM1. Akibatnya tingkat suku bunga domestik turun
dan terjadinya capital outflow ke luar negeri. Dalam kondisi flexible exchange rate maka
capital outflow akan menaikkan permintaan valuta asing sehingga harga valuta asing naik
atau dengan kata lain terjadi depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah akan menaikkan
neraca perdagangan Indonesia dan kurva IS bergeser ke kanan (IS0-IS1). Keseimbangan
akhir berada pada titik C dengan tingkat pendapatan sebesar Y1. Karenanya dapat
disimpulkan kebijakan moneter justru sangat efektif untuk diterapkan di suatu negara
yang menganut sistem nilai tukar yang flexible.
o Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai efektivitas kebijakan
fiskal dan moneter di suatu negara ditentukan oleh sistem nilai tukar negaranya serta
sistem aliran devisa luar negeri. Pada suatu negara yang menganut sistem fixed exchange
rate dan sistem aliran devisa terkendali, kebijakan fiskal efektif meningkatkan
pendapatan nasional dibandingkan kebijakan moneter. Sementara di negara lain yang
menganut sistem nilai tukar yang flexibel serta aliran valuta asing yang bebas, kebijakan
moneter akan lebih efektif mengendalikan perekonomian dibandingksn kebijakan fiskal.

No comments:

Post a Comment