Wednesday, October 7, 2009

Menebak Arah Rupiah

Oleh : Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo - 5 Oktober 2009, 8:59:02 AM

KOMPAS - Pada bulan Maret tahun 2009 lalu, beberapa pengusaha menanyakan kepada saya mengenai arah nilai tukar rupiah.Apakah rupiah dimungkinkan mencapai sekitar Rp10.000 per dolar Amerika Serikat (AS)?

Pada saat pertanyaan tersebut dilontarkan, nilai tukar rupiah masih bergerak melemah dari sekitar Rp11.000– 12.000 per dolar AS menjadi di atas Rp12.000. Bagi pengusaha, jawaban tersebut akan sangat menentukan apakah perlu mereka melakukan perlindungan nilai dengan menggunakan kontrak nilai tukar ke depan (forward) ataukah mereka biarkan saja risiko nilai tukar tetap terbuka?

Keputusan ini akan sangat menentukan tingkat keuntungan atau kerugian mereka. Pertanyaan semacam itu tentu tidak mudah dijawab karena pergerakan nilai sebuah mata uang selalu dipengaruhi faktor yang bersifat fundamental dan sebagian teknis.Pengaruh yang bersifat fundamental biasanya akan lebih bisa dilihat dalam jangka waktu lebih panjang.

Adapun pergerakan harian lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat teknis. Oleh karena itu, jawaban saya terhadap pertanyaan tersebut selalu dilatarbelakangi oleh kedua pengaruh tersebut. Mengingat pertanyaan tersebut bersifat jangka yang lebih panjang, paling tidak sampai akhir tahun, maka saya menjawab bahwa nilai tukar rupiah sangat mungkin untuk menuju ke Rp10.000 kembali.

Jujur saya akui,dalam menjawab tersebut, hati saya kebat-kebit juga, karena jika apa yang saya katakan tidak benar, hal ini akan menyebabkan kerugian bagi pengusaha tersebut dan juga akan mengganggu kredibilitas saya. Oleh karena itu, saya merasa “bersyukur”, pada akhirnya rupiah memang kembali menguat dan bahkan mendekati nilai tukar sebesar Rp10.000.

Minimal pertaruhan nama tersebut tidaklah terlalu merugikan saya. Bahkan kita melihat, nilai rupiah dewasa ini semakin menguat dan mendekati nilai Rp9.600 setiap dolarnya. (Saya menulis artikel ini Kamis, 1 Oktober, pukul 07.00 pagi.Nilai tukar rupiah pada hari penerbitan artikel ini bisa saja sudah menembus Rp9.600 dan berada pada teritori Rp. 9.500 atau bahkan sebaliknya melemah kembali).

Arah Ke Depan

Dengan melihat pergerakan nilai tukar rupiah yang terjadi pada minggu-minggu terakhir ini, bagaimanakah arah rupiah ke depan? Pertanyaan tersebut terlontar juga dalam suatu rapat di sebuah perusahaan baru-baru ini.Jawaban saya pada waktu itu adalah bahwa dari sisi arah, tampaknya rupiah akan menuju titik keseimbangan baru dan sangat mungkin mendekati nilai Rp9.000.

Saya kembali berpikir bahwa dari sisi arah, tampaknya nilai tukar sebesar Rp9.000 tersebut sangat mungkin tercapai (atau bahkan kembali dilampaui).Tetapi mengenai waktunya, itu yang lebih sulit untuk diprediksi karena fluktuasi mata uang selalu berjalan setiap menit bahkan detik.

Oleh karena itu, jawaban saya kembali lagi dilatarbelakangi oleh perkembangan fundamental kedua negara, yaitu Indonesia dan AS. Dalam beberapa bulan terakhir, kita bisa melihat perkembangan ekonomi Indonesia yang berjalan dengan cukup kuat.Indonesia bahkan mampu untuk mencatat pertumbuhan ekonomi yang memadai bersama dua negara besar lainnya,yaitu China dan India, sementara negara-negara besar lain berada dalam keadaan resesi.

Bahkan Brasil dan Rusia,dua negara yang dijagokan banyak pihak memiliki prospek yang cemerlang dan menjadi bagian dari BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) pun mengalami resesi cukup berat. Selain pertumbuhan ekonomi yang tetap positif,keuangan pemerintah juga menunjukkan tandatanda penguatan.

APBN 2008 berada dalam keadaan yang kurang lebih seimbang, sedangkan tahun 2009 ini pun keuangan pemerintah juga terus menunjukkan daya tahannya. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami penurunan meskipun secara nominal masih naik turun,antara lain karena dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah.

Dari sisi suku bunga pun tampaknya nilai rupiah masih terbantu karena suku bunga Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan AS. Sementara itu, dalam waktu lebih dari setahun terakhir, perekonomian AS justru berada pada titik nadir. Resesi masih terus berlangsung (meskipun secara teknik statistik mungkin sudah ada tanda mendekati pertumbuhan positif kembali) dan rasanya recovery tidak akan muncul dalam waktu dekat ini.Yang lebih mengkhawatirkan adalah defisit kembar yang semakin besar.

Defisit APBN sudah melampaui USD1 triliun sehingga penumpukan utang semakin tinggi. Dewasa ini utang Pemerintah AS sudah mendekati USD12 triliun dan mengalami kenaikan secara cepat.Di akhir pemerintahan Clinton, utang pemerintah masih berada pada level USD5,7 triliun.

Repotnya lagi, karena terjadinya defisit neraca pembayaran, sebagian utang tersebut dibiayai oleh negara-negara lain, terutama dalam bentuk cadangan devisa bankbank sentral di seluruh dunia. Ini menempatkan mata uang dolar AS sebagai sandera dari kepentingan pihak lain. Jika pihak lain menginginkan nilai dolar AS melemah, maka mereka akan bisa memengaruhinya.

Dengan latar belakang tersebut, saya menduga bahwa penguatan rupiah (dan juga mata uang lain) terhadap dolar AS, bukanlah suatu hal yang sifatnya temporer, melainkan berkelanjutan. Penguatan nilai dolar AS pada awal krisis global kali ini sebetulnya justru merupakan anomali.

Pada saat AS mengalami kerapuhan ekonomi, justru nilai dolar AS menguat tajam karena terjadinya pengaliran likuiditas besar-besaran ke AS akibat terjadinya proses de-leveraging. Jika anomali tersebut berhenti, maka proses pelemahan dolar AS akan kembali berlangsung.

Itulah sebabnya saya memiliki keyakinan kuat bahwa nilai tukar rupiah kita akan menuju Rp9.000 dan bahkan mungkin akan melampauinya dengan penguatan lebih lanjut. Dengan membaca tanda-tanda zaman seperti itu,para pengusaha memang perlu mempersiapkan diri dengan berbagai skenario,

yaitu bagaimana jika nilai tukar rupiah tetap berada pada level yang ada saat ini, bagaimana jika melemah kembali, dan bagaimana jika menguat melampaui Rp9.000? Akurasi dari prediksi mereka akan sangat membantu tingkat keuntungan dunia usaha.(*)

CYRILLUS HARINOWO HADIWERDOYO
Pengamat Ekonomi

No comments:

Post a Comment