Perkembangan Industri dan
Pengaruh Kebijakan Publik
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Serang, Banten
Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, tuntutan akan reformasi
sistem kebijakan pemerintah Indonesia terus mendapatkan dukungan yang begitu
besar dari rakyat Indonesia. Terlebih, saat itu rezim Orde Baru yang otoritarian telah berada di titik kritisnya
dalam memimpin pemerintahan di Indonesia, dikarenakan berbagai permasalahan
sosial, ekonomi, dan politik negeri yang semrawut tidak mampu diatasi dengan
baik. Tulisan ini, akan mengkaji permasalahan pasca reformasi yang berkaitan
dengan kebijakan desentralisasi serta upaya pembangunan ekonomi daerah melalui
aglomerasi industri. Mengaitkan dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 sebagai
landasan yuridis otonomi daerah, ternyata pelaksanaan desentralisasi di negeri
ini belum mampu dimaksimalkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat.
Akhirnya, kebijakan yang pincang terus menggayuti keadaan pemerintahan di era
reformasi ini.
Aglomerasi Industri, Otonomi Daerah,
Kebijakan Publik, dan Corporate Social
Responsibility
Sejak abad ke-20,
perkembangan industri di seluruh dunia mulai menunjukkan pertumbuhan yang
begitu pesatnya. Abad ke-18 sebagai awal mula perkembangan ini telah menjadikan
sinar terang bagi kehidupan sosial ekonomi manusia, di mana Revolusi Industri
yang terjadi di Inggris menandai mulai berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1796 merupakan
awal yang menentukan perkembangan industri modern. Modernisasi kehidupan
mendapat arah baru ketika pada tahun 1796 Ia memperkenalkan mesin uapnya yang
menggunakan kondensor. Mesin uap yang ditemukan itu terus menerus disempurnakan
menjadi alat yang sangat ampuh dan sempurna daripada alat yang digerakkan oleh
tenaga manusia maupun hewan.
Perkembangan tersebut sesuai
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang terus menerus menjadikan teknologi
semakin canggih dan memudahkan manusia dalam segala aktivitas termasuk perindustrian
suatu negara. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia pun juga merasakan
manfaat dari berkembangya ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang
industri. Industri yang sedang berkembang di Indonesia ini merupakan salah satu
dari serangkaian alat perekonomian yang dijadikan sebagai tumpuan kemajuan
bangsa. Berkembangnya modernisasi ternyata telah merubah berbagai aspek di
segala kehidupan, mungkin lebih tepatnya lagi jika dikatakan sebagai era
gobalisasi. Seperti yang dikatakan oleh Bhagwati (2004) dalam bukunya In defense
of Globalization mendefinisikan globalisasi sebagai proses dalam masyarakat
global yang terintegrasi dalam lingkup ekonomi, sosial, budaya dikarenakan
adanya komunikasi dan perdagangan.
Melalui globalisasi, tuntutan akan majunya segala bidang termasuk dengan modernisasi
bidang perekonomian, merupakan pilihan terbaik untuk menuju posisi negara maju
yang sering ditandakan dengan industri yang canggih serta berkembang dengan baik.
Tak heran, jika saat ini pemerintah Indonesia terus mengupayakan Industri
sebagai wadah perekonomian bangsa meskipun pada hakikatnya negeri ini merupakan
negara agraris dan maritim yang seharusnya lebih mampu untuk menjadikan kedua
bidang tersebut sebagai tumpuan ekonomi yang bersifat kerakyatan di dalam negeri.
Banyak berbagai daerah yang
kini mulai mengembangkan eksistensinya dalam bidang perindustrian. Dimulai dari
wilayah Pantai Utara Jawa yang sudah menunjukkan eksistensinya lebih dulu pada
bidang industri sejak zaman Orde Baru. Kemudian mulai diikuti banyak daerah
yang ingin meningkatkan pertumbuhan ekonominya baik di pulau Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi maupun daerah Timur Indonesia. Selain karena otonomi daerah yang telah
dicanangkan oleh pemerintah pusat, kebutuhan untuk memajukan perekonomian
daerah juga menjadi alasan mengapa industri terus berkembang. Jika dilihat
keberadaan industri tersebut, miris sekali kondisi sarana dan prasarana dari industri
yang ada. Terkadang suatu kawasan industri yang dibangun ini, mengalami masalah
kekurangan sumber daya untuk menopang perindustrian, akibatnya industri tidak
mampu berjalan dengan sebaik mungkin. Kebanyakan industri yang gagal dibangun
tersebut dikarenakan faktor akan kurangnya sumber daya, akses menuju pasar, maupun akses
administrasi yang efektif dan efisien.
Oleh karena itu, mungkin
inilah yang menjadi faktor mengapa pemerintah melakukan restrukturasi terhadap
format pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar lebih memfokuskan jenis
industri yang akan dibangun dalam suatu daerah dengan tetap memikirkan sumber
daya lokal yang ada. Pasalnya, ketika pembangunan industri tidak terarah dan
tidak sesuai dengan format pembangunan nasional yang telah ditetapkan,
akibatnya industri yang dibangun pada sembarang tempat tidak mampu berjalan
dengan baik karena masalah sulitnya menemukan faktor pendukung berjalannya
industri di suatu daerah yang sesuai dengan tujuan dan standar kualitas
perindustrian.
Daerah-daerah yang menjadi
fokus pembangunan industri tersebut biasa disebut sebagai daerah aglomerasi
industri. Aglomerasi adalah gabungan kumpulan dua atau lebih pusat kegiatan,
tempat pengelompokkan berbagai macam kegiatan dalam satu lokasi atau kawasan tertentu.
Menurut Keppres RI No. 41/1996, kawasan tempat pemusatan kegiatan industri
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha. Demikian
aglomerasi industri yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah yaitu untuk
memusatkan berbagai kegiatan industri dalam satu kawasan dapat terwujud. Tujuan
pemerintah untuk memaksimalkan potensi industri pun dapat terjaga kualitasnya
dan sesuai dengan mutu pengembangan industri yang terbaik.
Pasca rezim Orde Baru yaitu era
reformasi saat ini, pengembangan industri di berbagai daerah semakin massive tingkat pertumbuhannya. Apalagi
ditambah dengan kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan pemerintah pusat di
era ini sebagai bentuk pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam
mengembangkan potensi lokal daerah setempat.
Dengan demikian, pemerintah daerah bukan lagi berpangku tangan dengan
pemerintah pusat, yang mana yang pada rezim orde baru dirasa tidak adil karena
pembangunan yang ada hanya berfokus pada kota-kota sebagai pusat pemerintahan.
Akibatnya, perkembangan daerah-daerah di Indonesia terbengakalai dan rendah
akan kualitas kesejahteraannya. Hal ini tidak lain disebabkan karena kurangnya
kepedulian pemerintah pada waktu itu.
Kini, masyarakat boleh
berbangga terhadap program otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintah. Melalui
kebijakan ini, diharapkan dapat menopang dan meningkatkan kesejahteraan daerah
melalui pengembangan sarana dan prasarana. Berbagai macam industri pun mulai
dikembangkan, mulai dari industri mikro seperti industri kreatif masyarakat
hingga industri makro seperti perusahaan-perusahaan atau pabrik-pabrik yang
dibangun, semuanya ditujukan untuk mengembangkan potensi daerah agar menjadi
lebih baik.
Namun, ada permasalahan yang
harus dilirik dan diatasi segera terkait perkembangan industri makro seperti
pembangunan pabrik-pabrik ini. Ternyata terjadi sebuah ketimpangan sosial dalam
penentuan kebijakan terhadap rancangan aglomerasi industri yang dijalankan oleh
pemerintah. Alasannya, kebijakan ini telah berdampak terhadap kondisi sosial
ekonomi masyarakat sekitar kawasan aglomerasi. Sebagai contoh Kabupaten Serang,
Provinsi Banten sebagai daerah yang menjadi salah satu pusat industri,
seharusnya mampu lebih sejahtera kondisi masyarakatnya dibalik pembangunan
areal pabrik-pabrik. Pasalnya, keberadaan pabrik di wilayah ini yang jumlahnya
sekitar 227 perusahaan
sudah pasti akan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Apalagi pihak
perusahaan pun telah mendapatkan izin dari pemerintah setempat untuk
menggunakan lahan di sekitar wilayah pemukiman.
Menurut pandangan The
Bussiness Roundtable,
keberadaan perusahaan sangat bergantung kepada dukungan masyarakat secara luas.
Perusahaan juga memperoleh berbagai keistimewaan perlakuan (privileges) seperti kewajiban terbatas (limited liabilities), umur kegiatan
usaha tidak terbatas (indefinite life),
dan perlakuan pajak khusus. Oleh sebab itu, perusahaan memiliki tanggung jawab
terhadap masyarakat secara luas sebagai salah satu bagian dari konstituen,
karena masyarakat dan para konstituen telah memungkinkan perusahaan memperoleh
berbagai perlakuan istimewa tersebut.
Demikian, dengan adanya pembangunan lokasi
perusahaan yang berupa pabrik, baik pihak pemerintah Kabupaten Serang maupun pihak
perusahaan mampu berkomitmen untuk saling bekerjasama dan saling memberikan
manfaat dalam satu kesatuan pengembangan industri. Sedangkan permasalahan kini,
usaha tersebut kurang bisa diindahkan baik oleh pemerintah setempat maupun
pihak perusahaan. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar areal pabrik
tersebut, ternyata tidak mendapatkan manfaat sepenuhnya dari proses industrialisasi
yang ada. Hasil dari proses kerja pabrik malahan hanya mengakibatkan limbah di
sekitar pemukiman masyarakat, dan menyebabkan gangguan terhadap kesehatan serta
kehidupan sosial masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
perusahaan yang ingin memberikan keuntungan sosial bagi masyarakat sekitar
lokasi perusahaan.
Atas asumsi tersebut, penulisan
ini secara lebih detail ingin membahas (1) bagaimana kebijakan otonomi daerah mampu
melayani masyarakat dengan baik, (2) membahas akan manfaat dan dampak dari
berkembangnya kawasan aglomerasi industri dan (3) menjelaskan bagaimana hubungan
dua aspek antara kebijakan pemerintah daerah dengan adanya pusat industri di
kawasan pemukiman untuk memberikan keuntungan sosial (social advantages) dan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar.
Reformasi
Kebijakan Melalui Otonomi Daerah
Mohammad Ma’ruf pernah mengemukakan pendapatnya saat masih
menjadi Menteri Dalam Negeri tahun 2006 mengenai kualitas pelayanan publik oleh
aparatur birokrasi. Beliau mengatakan bahwa salah satu indikator dalam
membangun kepemerintahan yang lebih baik (good
governance) adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik, untuk itu perlu
terus menerus didorong upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi, terutama
pada setiap unit pelayanan.
Jika menelaah perkataan Ma’ruf, hal ini mengindikasikan bahwa penciptaan
kondisi kepemerintahan yang lebih baik perlu adanya kerjasama dari tingkatan
birokrasi yang paling atas hingga yang paling bawah. Selain itu, elaborasi
kerjasama antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat harus seimbang melalui
prinsip-prinsip (good governance)
yang ada (Lihat Figur 1 Bentuk Hubungan dalam Good Governance).
Prinsip-prinsip tersebut antara lain : pengawasan, akuntabilitas, daya tanggap,
professionalisme, efisiensi dan efektifitas, transparansi, kesetaraan, wawasan
ke depan, partisipasi dan penegakkan hukum. Kesepuluh prinsip yang ditawarkan
dalam konsep good governance ini
sudah seharusnya dijadikan sebagai acuan untuk membentuk reformasi birokrasi
saat ini.
Figur
1. Bentuk Hubungan dalam Good Governance
Pasalnya, kini perkembangan
dinamika sosial masyarakat Indonesia semakin kompleks permasalahannya. Baik itu
dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik tingkat keruwetan masalahnya
semakin besar hingga terlihat begitu krusialnya. Mungkin ini merupakan akibat
dari kesalahan masa lalu, yaitu pada era rezim Orde Baru yang terkenal dengan
kekuasaan otoritariannya, di mana birokrasi begitu mudahnya dipermainkan oleh
para elit negeri ini. Sebab, pada era rezim Orde Baru pemerintahan itu sarat
akan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang ada di kalangan para birokrat.
Segala kebijakan yang diterapkan pada rezim ini, hanya sebagai usaha untuk
memperkaya kelompok elit di tingkat pusat. Rakyat pun hanya menerima
penderitaan karena kurangnya keadilan dari pemerintah yang meskipun terus
melakukan pembangunan-pembangunan infrastruktur. Malahan pembangunan tersebut
tidak dianggap sebagai sebuah keadilan, karena masalahnya sistem pembangunan
sentralistik yang dibangun tidak menghendaki kemandirian pembangunan daerah
sehingga kebutuhan daerah juga terbengkalai. Akhirnya, hal ini berimbas
terhadap ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah sendiri.
Setelah beberapa tahun pasca
tumbangnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia terus berusaha untuk memperbaiki
sistem pemerintahnya agar tercipta pemerintahan yang bersih, jujur dan adil.
Hal ini diupayakan agar permasalahan yang selama ini merongrong wajah bangsa
perihal buruknya kinerja dan skandal para birokrat di pemerintahan Orde Baru,
tidak terulang kembali pada Orde Reformasi
ini. Reformasi kebijakan merupakan usaha yang tepat untuk mengatasi kondisi
serta berbagai masalah dalam tubuh pemerintahan. Reformasi yang sejak awal
tahun 1990 ini disuarakan akhirnya mampu dicapai dengan dalih agar sifat pemerintahan
yang sentralistik dapat mentransformasikan dirinya agar lebih terbuka dan
demokratis terhadap segala usaha pembangunan daerah.
Pada era reformasi, dalam
menjalankan pemerintahan yang baik dan bersih perlu usaha keras untuk merombak
segala refleksi buruk dari adat birokrasi pada era rezim Orde Baru. Buruknya sistem
pemerintahan sebelumnya, mengharuskan negara mengubah sistem pemerintahan
melalui reformasi kebijakan. Salah satu usaha penting yang dilakukan adalah
dengan mengubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Awal Januari 2001, Indonesia
melalui UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 mengubah dirinya menjadi negara yang
desentralististis, yang memberikan kewenangan besar kepada kabupaten/kota serta
propinsi untuk mengelola kepentingan dan kebutuhan mereka. Desentralisasi
ternyata tidak hanya menimbulkan manfaat tetapi juga beberapa mudharat sehingga
pemerintah kembali merevisi sistem pemerintahan yang desentralistis tersebut
pada Oktober 2004 melalui UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.
Perubahan dan penetapan
sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik merupakan dambaan
setiap negara. Bahkan hingga masyarakat kecil pun sangat mempercayai sistem ini
sebagai arah acuan pembangunan yang tepat. Selain mendapatkan kebebasan untuk
mengurus pemerintahan daerahnya, dengan ini kedaulatan daerah sebagai penopang
kedaulatan negara juga terwujud. Karena melalui sistem desentralistik,
pemerintah daerah tidak lagi mendapatkan tekanan atau otoritas kekuasaan yang
berlebihan dari pemerintah pusat. Jika pada sistem sentralistik, wewenang
pembuatan keputusan berbagai kebijakan publik berada di tangan pemerintah
pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya merupakan kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat. Sebaliknya, pada sistem desentralistik sebagian kewenangan
pengelolaan urusan kebijakan publik dilimpahkan kepada pemerintah di tingkat
propinsi, kota/kabupaten daerah. Dengan adanya sistem yang desentralistis,
daerah bisa lebih mengontrol dan membangun kebutuhan daerahnya di segala bidang
seperti sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
Sebelumnya, ada hal yang
perlu dipahami terkait pengartian tentang definisi desentralisasi. Banyak
beragam definisi yang dipahami oleh beberapa orang terkait kata
‘desentralisasi’. Rondinelli dan Cheema (1983) memahami decentralization
secara luas, yaitu perpindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dalam
perencanaan pemerintahan serta manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat
nasional ke tingkat daerah. Menurut mereka ada empat bentuk desentraliasi,
yaitu dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi atau debirokratisasi.
Dekonsentrasi merupakan pengalihan kewenangan (dan tanggungjawab) administrasi
dalam suatu departemen. Dalam hal ini tidak ada transfer yang nyata karena
bawahan menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggungjawab kepada
atasannya. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan tanggungjawab fungsi-fungsi
tertentu kepada organisasi-organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan
dikontrol tidak secara langsung oleh pemerintah pusat.
Sementara devolusi ialah
pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintah di tingkat lokal oleh
pemerintah pusat. Pemerintah pusat melakukan kontrol seminimal mungkin dan
terbatas pada bidang-bidang tertentu. Inilah yang kiranya dalam praktik kita
sekarang ini dimaknai sebagai desentralisasi dari satu sisi atau otonomisasi di
sisi yang lain. Terakhir, privatisasi atau debirokratisasi adalah pelepasan
tanggungjawab kepada organisasi-organisasi non pemerintah (NGO) atau
perusahaan-perusahaan tertentu.
Sedangkan Bryant (1987)
berpendapat bahwa terdapat dua bentuk desentralisasi, yaitu desentralisasi yang
bersifat politik (kurang lebih sama dengan devolusi) dan yang bersifat
administratif (kurang lebih sama dengan dekonsentrasi). Desentraliasi politik
yaitu wewenang membuat peraturan dan melakukan fungsi kontrol tertentu terhadap
sumber daya yang diberikan kepada badan-badan pemerintah yang berada pada
daerah otonom. Sedangkan desentralisasi administratif adalah pendelegasian
wewenang pelaksanaan kepada pejabat tingkat lokal yang berkedudukan sebagai
wilayah administratif. Pejabat tersebut bekerja sesuai dengan rencana dan
sumber pembiayaan yang sudah ditentukan.
Dari berbagai pendapat atau
definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa desentralisasi merupakan sebuah
otoritas atau kewenangan untuk menentukan nasib sendiri dan mengelola sumber
daya yang dimiliki guna mencapai tujuan bersama. Pemahaman tentang desentralisasi
pun terkadang bersifat subjektif, karena hal ini bergantung terhadap perkembangan
interpretasi masyarakat dalam memahami desentralisasi itu sendiri. Meskipun
terkadang makna desentraliasi tersebut diartikan secara distortif, hal tersebut
tidak jauh dari kondisi dan pengalaman masyarakat dalam urusan berpolitik dan
pembangunan sosial maupun ekonomi selama ini.
Pertanyaannya sekarang
adalah mengapa kita perlu sekali mengubah sistem sentralistis menjadi sistem
desentralistis? Ada beberapa alasan yang menjadi dasar perlunya pemerintah
pusat mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah provinsi dan
kota/kabupaten, di antaranya yaitu:
a.
Dari segi politik, desentralisasi
dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, baik untuk
kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan
nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah. Dengan
demikian, ada kesetetaraan dalam partisipasi politik serta merupakan media
pendidikan politik untuk belajar berdemokrasi secara nyata.
b.
Dari segi manajemen pemerintahan,
desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan akuntabilitas
publik, terutama dalam penyelenggaraan layanan publik yang good governance.
c.
Dari segi kultural, desentralisasi
dimaksudkan untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan atau kontekstualitas
suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk, kebudayaan atau pun latar
belakang sejarahnya.
d.
Dari segi pembangunan,
desentralisasi dapat melancarkan proses formulasi dan implementasi program
pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga. Ketika pemerintah
propinsi atau kabupaten mempunyai kewenangan untuk merumuskan sekaligus
mengimplementasikan kebijakan pembangunan di daerahnya, maka kebijakan tersebut
akan lebih efektif dibandingkan jika wewenang ini dipegang oleh pemerintah
pusat. Mengingat kedudukannya yang berada di daerah, maka pemerintah daerah
seharusnya lebih peka terhadap persoalan dan kebutuhan masyarakat setempat.
e.
Dilihat dari kepentingan
pemerintah pusat sendiri, desentralisasi dapat mengatasi kelemahan pemerintah
pusat dalam mengawasi program-programnya.
f.
Desentralisasi dapat meningkatkan
persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga
mendorong pemerintah lokal untuk inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan
kepada warga.
Mendalami akan pentingnya
desentralisasi, reformasi kebijakan melalui otonomi daerah seolah menjadi juru
kunci bagi proses demokratisasi di Indonesia. Menjadikan negara yang demokratis,
adil, terbuka, dinamis dan kosmopolit adalah harapan yang besar sejak proklamasi
kemerdekaan tahun 1945 dikumandangkan di seluruh penjuru negeri ini. Pemerintah
pun tidak tinggal diam, kian waktu berjalan restrukturasi sistem kebijakan
negeri terus diperbaiki demi menyongsong Indonesia yang lebih sejahtera.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa reformasi yang dilakukan akan diupayakan
untuk menstabilkan setiap bidang kehidupan layaknya sosial, ekonomi, politik, budaya
dan hukum. Tidak salah, sejak dikeluarkannya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004, yang
sebelumnya merupakan revisi dari UU No. 22 dan 25 Tahun 1999, berbagai daerah
di Indonesia mulai mengibarkan sayap kedaulatannya untuk mengatur nasib
daerahnya sendiri. Sebagai contohnya, Provinsi Banten sejak tahun 2000
memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat menjadi daerah otonom yang mandiri.
Lalu, usaha ini mulai diikuti oleh berbagai daerah pula seperti Provinsi
Sulawesi Barat pada tahun 2004. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya pada
tingkatan provinsi melainkan tingkatan kota/kabupaten daerah, yang pada
kesempatan selanjutnya juga turut serta dalam membangun daerah otonomi baru. Hal
ini diupayakan demi melancarkan proses demokratisasi di era reformasi dengan
mengacu kepada UU otonomi daerah tersebut.
Reformasi memang sudah
berjalan selama satu dekade ini, tetapi masih ada berbagai permasalahan yang
menyangkut pelaksanaan otonomi daerah. Namun demikian, yang riil politik
desentralisasi selama era pasca-Soeharto telah
secara fundamental mengubah konfigurasi politik lokal di Indonesia. Adakalanya, permasalahan terhadap desentralisasi muncul terkait
reformasi kebijakan atau sistem yang ada tidak dituruti oleh perubahan budaya
birokrasi di negeri ini. Akhirnya, terjadi suatu ketimpangan dalam proses penentuan
kebijakan otonomi di berbagai daerah. Cerminan buruk patologi sosial seperti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan
hal yang masih melekat dalam tubuh birokrasi dan sulit untuk dihilangkan dari
praktek kepemerintahan hingga sekarang. Beberapa yang bisa dijadikan contoh
kasus antara lain yaitu kasus Pro-Kontra atas mekanisme pemilihan Gubernur
untuk Yogyakarta sebagai daerah istimewa terkait RUU Keistimewaan DIY, yang baru saja diselesaikan oleh DPR pada UU No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY atau UU Keistimewaan.
Kasus lainnya yaitu soal pengembangan daerah pemekaran
yang dianggap mubazir. Adanya wacana moratorium pemekaran daerah perlu
diterapkan di Indonesia menjadi beigtu hangat dibicarakan oleh masyarakat
akhir-akhir ini. Pemekaran daerah merupakan konsekuensi logis dari semangat
otonomi daerah dinilai sudah memabukkan dan tidak tertahankan. Terakhir
tercatat lebih dari 150 daerah yang baru mekar. Hal ini menjadi dilematis
ketika pemerintah membuka hasil evaluasi bahwa sebagian besar daerah baru
dinyatakan gagal untuk dinilai mampu berdiri sebagai daerah otonom baru dilihat
dari sisi kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang baik dan pelayanan
publik. Memang terlihat semakin kompleks permasalahannya ketika kita menjadikan
otonomi daerah dengan menempatkan kabupaten sebagai basis otonomi yang
berakibat pada pelimpahan pegawai negeri sipil pusat ke daerah, sementara
sebagian besar pemerintah daerah belum siap melaksanakan otonomi.
Kelemahannya terutama terletak pada sumber daya manusia, rendahnya kecakapan
dalam menanggapi persoalan masyarakat serta wawasan pemerintahan yang sempit.
Hal yang sama mungkin juga bisa dibilang menimpa birokrasi
pemerintahan di Kabupaten Serang, soal menetapkan kebijakan tentang pembangunan
industri di sekitar pemukiman masyarakat. Pasalnya terjadi sebuah ketimpangan
bagi masyarakat sekitar kawasan industri yang kurang mendapatkan keuntungan dari
kebijakan yang dibuat pemerintah maupun pihak perusahaan. Pemerintah daerah yang
memiliki otoritas dalam penentu kebijakan, sejatinya harus mampu memberikan
angin segar kepada masyarakat dalam meraih kesejahteraan. Ditambah lagi dengan
program otonomi daerah yang harus dimaksimalkan proses dan pelaksanaanya di
kehidupan bernegara.
Menanggapi segala macam permasalahan yang telah
disebutkan di atas, disadari atau tidak pelaksanaan reformasi kebijakan melalui
otonomi daerah di Indonesia belum maksimal untuk dilaksanakan pada level
pemerintah lokal. Era globalisasi yang menyentuh Indonesia pun, perlu
disesuaikan melalui pemikiran-pemikiran dan aktivitas-aktivitas yang strategis.
Reformasi sistem pemerintahan harus dibentuk sedemikian rupa agar arah tujuan
reformasi dapat tercapai seperti efficiency,
efectiveness, responsiveness concern in their admininstrative systems.
Oleh sebab itu, jika hendak melakukan reformasi
birokrasi Rayanto (2009) menyarankan agar melakukan (1) penataan kelembagaan
dan ketatalaksanaan melalui jalur regulasi, (2) peningkatan kapasitas SDM, (3)
pengawasan yang ketat terhadap kinerja aparatur, dan (4) peningkatan kualitas
pelayanan publik. Keempat poin tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara
desentralisasi administrasi negara, restrukturasi sistem kebijakan yang ada
serta mengubah budaya organisasi birokrasi sesuai dengan kinerja swasta agar
tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Demikian permasalahan yang mengikat Indonesia
selama ini perihal kinerja birokrasi yang buruk dapat segera teratasi, asalkan
ada komitmen yang kuat terhadap reformasi kebijakan saat ini.
Era
Otonomi Daerah dan Usaha Pengembangan Aglomerasi Industri
Era reformasi yang sudah
berjalan selama lebih dari satu dekade ini merupakan usaha yang tidak sia-sia
untuk mendemokratisasi Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh
pemerintah untuk melakukan reformasi sistem kepemerintahan. Otonomi daerah pun
menjadi sebuah pilihan yang matang untuk melaksanakan perubahan tersebut.
Hingga kini, pelaksanaan otonomi daerah masih belum mampu diterapkan di
berbagai daerah di Indonesia. Masih ada kendala yang menyelimuti proses berjalannya
otonomi ini, baik dari sisi sistem dan kebijakan yang ada maupun sumber daya
yang kurang mendukung berjalannya pemerintahan daerah. Malahan kesalahan pelaksanaan
sering terjadi akibat tindakan yang “asal-asalan” dalam pembuatan berbagai
peraturan dan kebijakan publik sehingga menimbulkan Trial and Error yang sering terjadi di Indonesia. Kita boleh
memaklumi keadaan bangsa kita saat ini, sejauh Indonesia masih muda sekali
umurnya dibanding negara-negara besar yang maju seperti Amerika serikat, Jepang,
maupun Inggris dalam kehidupan beragam negara di dunia. Begitu pun reformasi,
umurnya yang masih muda atau bisa dikatakan baru “seumur jagung” ini pastinya
masih perlu banyak perubahan sistem agar dapat sesuai dengan cita-cita dan
tujuan bernegara Republik Indonesia.
Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa proses otonomi daerah untuk mengubah sistem sentralistis
menjadi sistem desentralistis memiliki banyak makna pengertian dan arahan dalam
menginterpretasikannya melalui arahan kebijakan reformasi. Jelasnya,
desentralisasi ini bagi kebanyakan orang memaknainya sebagai kekuasaan daerah
untuk mengurus dirinya sendiri tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah
pusat. Setiap daerah diberi kewenangan dan keleluasan untuk membangun kehidupan
sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum yang disepakati oleh segenap warga
setempat tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar bernegara yaitu Pancasila dan
UUD 1945.
Memaknai otonomi daerah dari
segi ekonomi, banyak jenis usaha dan kebijakan yang dilakukan oleh setiap
kepala daerah di Indonesia. Hal itu pun juga tidak terlepas dari bantuan
pemerintah pusat sebagai lembaga tertinggi negara untuk mengawasi beragam
kebijakan daerah-daerah di Indonesia. Provinsi Banten yang sejak tahun 2000
menjadi daerah otonomi baru, merasa bahwa reformasi kebijakan di daerah otonomi
perlu dilakukan segera. Khususnya dalam bidang ekonomi, provinsi ini terus
mengupayakan beragam unit perekonomian baik dari segi pertanian, pariwisata,
usaha mikro serta usaha makro untuk menumbuhkembangkan kualitas ekonomi daerah.
Bicara soal usaha makro,
pemerintah Banten lebih cenderung pada arah pengembangan industri pabrik-pabrik
di daerah kabupaten/kota sekitar wilayah provinsi ini. Kepercayaan bahwa negara
maju adalah negara yang industrinya berkembang pesat menjadi mindset tersendiri bagi kebanyakan orang
di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat Banten sepertinya juga setuju dengan
pandangan ini. Terlebih sejak sebelum era reformasi bergulir, beberapa daerah
di Provinsi Banten telah menjadi kawasan industri tersendiri. Di antaranya
seperti di daerah Tangerang, Serang dan Cilegon menjadi ladang industri yang
begitu besar. Selanjutnya, daerah-daerah tersebut semakin pesat pertumbuhan
ekonomi dan masyarakatnya dalam kehidupan sosial. Hubungan industri dan
masyarakat yang tercipta di kawasan industri pun telah memunculkan berbagai
komunitas yang pada hakikatnya memiliki hubungan timbal-balik dengan industri.
Secara fundamental, industri mempengaruhi lembaga, organisasi dan kelompok
dalam komunitas keluarga, kelas-kelas sosial, lingkungan sosial, kelompok
rekreasional dan ragam tokoh agama. Dengan cara inilah industri dan komunitas
saling mempengaruhi.
Dibalik hubungan timbal
balik antara industri dan komunitas setempat termasuk pemerintah daerah. Ada
satu hal yang menjadikan industri begitu vital bagi kehidupan masyarakat. Keberadaan
kawasan industri di suatu daerah akan membuat proses pertumbuhan ekonomi,
sosial dan politik daerah tersebut semakin meningkat. Ini disebabkan dengan
adanya usaha-usaha yang sengaja dilakukan oleh industri untuk mempengaruhi
masyarakat, atau oleh masyarakat untuk mempengaruhi industri. Baik manajemen
maupun buruh berusaha menyelesaikan suatu perselisihan dalam komunitas, misalnya
dengan mempengaruhi pendapat umum atau dengan para politikus dan
perundang-undangan. Demikian juga pada zaman sekarang, negara terus-menerus
mengendalikan industri; mengendalikan organisasi internnya, hubungan antar
buruh dan manajemen serta syarat-syarat penjualan produk industri tersebut.
Hubungan antara pihak manajemen suatu industri
dengan komunitas (dalam hal ini masyarakat dan pemerintah setempat) terkadang
tidak seharmonis yang kita kira. Sebagaimana akan dilihat nantinya, industri
tidak mengintegrasi secara sempurna kepada masyarakat. Dalam beberapa hal,
kurang baiknya integrasi ini telah menimbulkan konflik di mana masing-masing
pihak berusaha menguasai pihak lain demi keuntungannya sendiri.
Sebagai bukti, yaitu kasus permasalahan dari adanya kawasan industri di areal
pemukiman warga di Kabupaten Serang, Banten. Eksistensi kawasan industri di
wilayah ini sudah menjadi tulang punggung pendapatan daerah yang begitu besar.
Selain mampu menopang perekonomian di Serang, industri juga mampu menyerap berbagai
komunitas masyarakat yang pengangguran untuk bekerja di lahan-lahan industri
tersebut.
Masalah yang terjadi di sini
bukan sekadar pembicaraan seputar gaji buruh atau sebagainya. Melainkan lebih
ke dalam manfaat yang diberikan pihak perusahaan pabrik-pabrik dari adanya
pemusatan kawasan industri (aglomerasi industri) di wilayah pemukiman warga.
Alasannya karena keberadaan pusat industri di Serang tidak sepenuhnya mampu
menjalankan fungsi dan tujuan dari industri yang sesuai amanat dari
undang-undang Perseroan Terbatas yaitu UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Seperti yang dijelaskan dan disampaikan
bahwa setiap industri yang bersifat makro seperti Perseroan Terbatas (jenis
pabrik-pabrik biasanya) dalam melaksanakan proses kerja industri juga harus
memperhatikan manfaatnya bagi lingkungan sekitar. Namun, yang terjadi di Serang
adalah bahwa pemusatan kawasan industri malah menyebabkan dampak bagi
lingkungan sekitar, baik itu bagi masyarakat maupun lingkungan alam. Berbagai
masalah tersebut antara lain kasus pencemaran limbah industri di sekitar sungai-sungai
di Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang serta munculnya lingkungan pemukiman
yang kumuh (slum area) menyelimuti kawasan
industri ini.
Padahal, pihak perusahaan pun
sering mendapatkan teguran dari warga akan masalah ini. Tetapi pada akhirnya
tidak ada tanggapan yang berarti dari manajemen pabrik tersebut. Pemerintah pun
juga seolah-olah tidak tahu-menahu seputar persoalan ini dan hanya sekadar memberikan
pengarahan yang kurang intens terhadap pihak perusahaan dan masyarakat. Akibatnya,
persoalan ini terbengkalai karena tidak adanya niatan baik untuk membenahi
kasus yang menimpa pemukiman warga di kawasan industri.
Banjir di desa Selikur Kecamatan
Kragilan yang kembali terjadi beberapa hari yang lalu merupakan bukti dari
lemahnya manajemen industri di daerah Serang, Banten. Dalam pemaparannya, Angga
Hermawan seorang warga dari Desa Selikur mengatakan bahwa banjir sudah sering
terjadi hampir setiap tahun dikala hujan mengguyur. Hal ini disebabkan oleh
saluran air yang tersumbat di areal sekitar pemukiman warga serta akibat dari
pendangkalan sungai karena limbah pabrik yang ada di sekitar areal industri
dibuang begitu saja melalui sungai Ciujung ini.
Akibatnya, hampir setiap tahun banjir terus melanda daerah sekitar kawasan
industri ini meskipun kondisinya tidak begitu parah.
Bukan hanya itu, di desa
lainnya pun turut mengalami hal yang serupa. Sebagai contohnya Desa Undar-andir
yang masih satu kecamatan dengan Desa Selikur, desa tersebut juga mengalami
kebanjiran setiap musim hujan. Hal yang memperparah adalah kondisi ini ternyata
berimbas kepada Jalan Tol Jakarta-Merak Km.
58 di dekat desa Undar-andir yang harus terputus akibat banjir yang menggenangi
lahan tol di sekitarnya. Dampak dari terputusnya jalan tol yaitu arus kendaraan
baik dari arah Jakarta maupun Merak harus terganggu bahkan tidak bisa melewati
jalanan itu sendiri. Pada akhirnya, persoalan ini juga imbasnya kepada berbagai
aktivitas masyarakat termasuk industri. Seperti yang dikemukakan oleh Sapto
Rahardjo
seorang karyawan swasta yang bekerja di daerah Tangerang, beliau menjelaskan
bahwa sudah dua hari hujan deras
mengguyur Serang, sehingga daerah yang biasa terkena langganan banjir harus
mengalami kebanjiran lagi. Bukan hanya memutus jalan, banjir juga memutus akses
beberapa karyawan yang bekerja di daerah Tangerang, dan harus merelakan untuk
tidak pergi bekerja karena jalan yang terputus.
Sudah sekian lama persoalan di
Kabupaten Serang ini terjadi. Dampaknya sering menimpa masyarakat daerah
sekitar yang selalu merasakan bencana banjir dikala musim penghujan datang. Bukan
hanya banjir, limbah industri yang dibuang di sekitar pemukiman warga juga
mempengaruhi kualitas lingkungan setempat. Akan tetapi, jika permasalahan ini
hanya dibiarkan saja tanpa tindakan yang lebih lanjut, bagaimanakah kondisi
masyarakat serta kelestarian alam sekitarnya ke depannya? Padahal komitmen
pemerintah dan industri yaitu untuk menciptakan lingkungan yang lebih teratur
dan dinamis sesuai kemajuan zaman. Dan bagaimanakah seharusnya peran perusahaan
dan pemerintah sebagai dua lembaga yang memiliki hubungan otoritas dalam
pengaturan kebijakan? Apakah harus berdiam diri saja tanpa melakukan tindakan
yang intensif?
Perusahaan dan pemerintah
sebagai dua lembaga yang paling dominan dalam faktor penentu kebijakan di era
otonomi daerah dan aglomerasi industri, justru terlihat seperti mencari
“kambing hitam” sendiri terkait berbagai persoalan yang timbul di kawasan
pemukiman dan industri. Hubungan antara industri dengan pemerintah memang sudah
berjalan sedemikian rupa panjangnya jika dilihat dari sisi historisnya.
Industri yang telah membentuk suatu komunitas tersendiri tidak dapat kita tolak
keberadaannya, melainkan harus didukung melalui bekerja sama yang efektif dari
masyarakat dalam melaksanakan pembangunan.
Perubahan-perubahan dalam
industri dan masyarakat terhadap peradaban industri merupakan suatu hal yang
tidak dapat dicegah. Melainkan perubahan yang direncanakan untuk membentuk tata
kelola kehidupan yang lebih canggih ini, harus mampu menyesuaikan dengan
tuntutan di zaman globalisasi yang menuntut masyarakat agar lebih maju. Semakin
berkembangya masyarakat di era industrialiasi, semakin besar pula tuntutan
hidup dan tata kelola pemerintahan yang baik, dan seharusnya juga dapat
diciptakan di kawasan aglomerasi industri yang ada.
Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa good governance merupakan kunci dari pelaksanaan
otonomi daerah di era reformasi ini. Sekaligus sebagai usaha memajukkan
kemakmuran bangsa, industri juga turut ikut berperan dalam penentuan masa depan
bangsa. Melalui pertumbuhannya yang begitu pesat, diprediksikan Indonesia di
masa yang akan datang akan menjadi salah satu dari kekuatan ekonomi dunia.
Demikianlah, harus ada persiapan yang matang dalam menentukan berbagai
kebijakan otonomi.
Good Governance
dalam Menciptakan Kesejahteraan Masyarakat Serang, Banten
Terdapat hubungan yang seimbang antara good governance,
aglomerasi industri dan corporate social responsibility dalam pengembangan
masyarakat. Era industrialiasi yang sedang berkembang pesat merupakan
serangkaian sistem yang saling terhubung untuk menciptakan tata kelola
pemerintahan yang baik. Otonomi daerah yang telah dicanangkan sejak awal tahun
2000, menaruh banyak pengharapan bagi rakyat seluruh di penjuru Nusantara.
Runtuhnya sistem pemerintahan yang otoriter seolah-olah menjadi mimpi buruk
yang tidak ingin terulang kembali pada pemerintahan selanjutnya.
Dengan ini, reformasi
kebijakan yang berlandaskan prinsip good governance diharapkan mampu
menjadi sistem arahan yang tepat dalam mengatasi berbagi persoalan di era
globalisasi yang semakin kompleks. Istilah good governance pun semakin tersebar
di kebanyakan orang melalui interpretasi yang berbeda-beda terhadap makna terminologi
ini. Terminologinya juga tidak dapat diartikan secara independen ke dalam
Bahasa Indonesia, sehingga masih tetap dipertahankan sesuai bentuk asli
kata-katanya. Satu titik yang menjadi inti makna dari good governance
adalah suksesi pelaksanaan demokratisasi di Indonesia melalui nilai-nilai yang
besifat kebebasan, kesamaan, dan keadilan.
Serang sebagai salah satu
daerah otonomi provinsi, juga terus melakukan upaya untuk melaksanakan pemerintahan
yang good governance. Adanya pusat kawasan industri di Kabupaten Serang,
menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam mewujudkan otonomi daerah yang
berkualitas dan mampu mensejahterakan masyarakat setempat. Selain itu,
permasalahan yang sebelumnya sudah dijelaskan perihal aglomerasi industri dan
kebijakan publik terhadap kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Serang perlu
dibahas dan ditemukan solusinya secara berkelanjutan. Pada sesi ini, akan
dipaparkan tulisan mengenai rencana strategis yang akan memberikan ruang bagi
industri untuk membangun komunitas masyarakat menjadi lebih baik melalui
prinsip-prinsip good governance dan corporate social responsibility (CSR).
Menilik kembali lemahnya
manajemen publik di Kabupaten Serang yang pada bab sebelumnya dijelaskan. Untuk
memulai mengatasi berbagai persoalan yang timpang di kawasan industri Kabupaten
Serang, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan melalui prinsip-prinsip corporate
social responsibility yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan maupun industri. Mengingat pula pentingnya sebuah
manajemen perusahaan berdasarkan tanggung jawab sosial untuk diterapkan dalam
masyarakat sekitar industri, ide perancangan CSR ini menjadi topik yang hangat
dibicarakan di abad 20-an ke atas. Selain idenya yang menarik terkait konsep memanusiakan
manusia dalam bidang industri, CSR ternyata telah membantu beragam problem baik
intern maupun ekstern industri dari masyarakat tersebut.
1.
Perkembangan Konsep CSR di
Era Tahun 1990an sampai Saat Ini
Pada tahun 1987, The World Comission on
Environment and development yang lebih dikenal dengan The Bruntland Comission
mengeluarkan laporan yang dipublikasikan oleh Oxford University Press berjudul
“Our Common Future”. Salah satu poin penting dalam laporan tersebut adalah
diperkenalkannya konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), yang didefinisikan oleh The Bruntland Comission sebagai
berikut.
“Sustainable
development is development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generetions to meet their own needs”
Konsep sustainability development sendiri,
mengandung dua ide utama di dalamnya, antara lain:
(a) Untuk melindungi lingkungan, dibutuhkan pembangunan ekonomi. Kemiskinan
yang terjadi di berbagai negara berkembang telah menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan. Hal ini terjadi karena buruknya sikap masyarakat dalam menggunakan sumber
daya yang ada dengan asal-asalan karena lemahnya pengetahuan yang disebabkan
oleh faktor kemiskinan. Oleh karena itu, melindungi lingkungan hidup agar
tercipta pelestariannya di masa yang akan datang merupakan keputusan yang tepat
untuk diambil.
(b) Bukan hanya itu, pembangunan ekonomi pun harus memperhatikan
keberlanjutan, yakni dengan melindungi sumber daya yang dimiliki bumi bagi
generasi mendatang. Tidak diperbolehkan dalam melakukan pengembangan ekonomi
dengan merusak hutan, lahan pertanian, air dan udara sebagai pendukung
kelestarian sumber daya.
The
Bruntland Comission dibentuk untuk menanggapi keprihatinan yang semakin meningkat
dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan
hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Hal ini tidak lain juga
disebabkan dari sektor industri di berbagai negara maju di dunia seperti
Amerika Serikat.
Menanggapai
pendapat dari The Bruntland Comission, dapat dijelaskan bahwa kasus kebanjiran
di sekitar kawasan industri di Kabupaten Serang Banten yang lebih tepatnya di
Kecamatan Kragilan ini, telah mengindikasikan bahwa keberadaan industri di
sekitar pemukiman warga di sana belum memenuhi kriteria prinsip-prinsip perusahaan
yang sesuai dengan CSR. Oleh karena itu, bencana alam seperti banjir bisa
terjadi melihat kondisi kawasan pusat industri di Kabupaten Serang yang kumuh (slum
area).
2.
Good Corporate Governance
dan Keterkaitannya dengan CSR
Istilah “Corporate governance” (tata
kelola perusahaan) merupakan tindakan kolektif yang hendak dilakukan dalam
mencapai tujuan tertentu. Ini lebih menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku
perusahaan dalam menjalin kerjasama dengan berbagai komunitas pendukung
berjalannya industri atau perusahaan tertentu. OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) mengemukakan corporate governance
sebagai berikut.
“Corporate
Governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak dan
kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti
dewan direksi, para manajer, para pemegang saham, dan pemangku kepentingan
lainnya”.
Beragam alasan yang
mendorong pentingya isu Good Corporate Governance, disebabkan oleh
beberapa faktor seperti munculnya gelombang privatisasi, Merger dan
pengambilalihan perusahaan (takeovers), deregulasi dan integrasi pasar modal,
serta krisis ekonomi merupakan poin penting dalam menjawab permasalahan ini.
Sehingga problema yang terjadi akan cepat diselesaikan dengan segera mungkin
melalui prinsip-prinsip yang tepat.
Implementasi program CSR
oleh perusahaan pada hakikatnya bersifat orientasi dari dalam ke luar. CSR yang
bersifat voluntary ini mengharuskan setiap perusahaan (termasuk
industri) sebelum melaksanakan kebijakan CSR, perusahaan harus bisa terlebih
dahulu untuk membenahi kepatuhan perusahaan terhadap hukum. Perusahaan juga
harus menjalankan bisnisnya sebaik mungkin sesuai dengan good corporate
governance, sehingga penjaminan terhadap peraihan laba yang besar akan terwujud
(economic responsibility).
Implementasi CSR juga
merupakan salah satu prinsip pelaksanaan GCG, sehingga perusahaan yang
melaksanakan GCG sudah terlebih dahulu melaksanakan CSR. Seperti yang
dijelaskan dalam Pedoman Umun Good Corporate Governance Indonesia bahwa
“Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan”, sehingga pada akhirnya akan
ada pengakuan sebagai pelaksana good corporate governance. Di Indonesia,
pelaksananaan corporate social responsibility (CSR) berkaitan dengan
pelaksanaan CSR untuk kategori (discretionary responsibility), yang
dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda.
Pertama, pelaksanaan CSR memang praktik bisnis secara sukarela (discretonary
bussiness practice) artinya pelaksanaan CSR lebih banyak berasal dari
inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang dituntut untuk
dilakukan perusahaan oleh perundang-undangan yang berlaku di negara Republik
Indonesia. Kedua, pelaksanaan CSR bukan lagi merupakan discretionary
bussiness practice, melainkan pelaksanaannya sudah diatur oleh
undang-undang (besifat mandatory). Sebagai contoh, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) memiliki kewajiban untuk menyisihkan sebagian laba yang diperoleh
perusahaan untuk menunjang kegiatan sosial seperti pemberian modal bergulir
untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Demikian halnya bagi perusahaan yang
menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam atau berkaitan dengan
sumber daya alam, diwajibkan untuk melaksanakan CSR sebagaimana diatur oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 74.
Selain dilihat dari dasar
hukum pelaksanaannya, CSR di Indonesia secara konseptual masih harus dipilah antara
pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan besar (korporasi) atau
pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah (small-medium
enterprise-SME). Sebab, sering terjadi kekeliruan bahwa CSR indentik dengan
perusahaan besar, yang pada kenyataannya juga dibutuhkan bagi pelaksanaan
perusahaan kecul dan menengah. Oleh karena itu, perlu dicermati pelaksanaan CSR
dalam konteks good governance secara menyeluruh dengan terus
memperhatikan faktor-faktor lainnya. (Lihat Figur 2 menggambarkan kategori
pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia)
Figur
2. Kategori Pelaksanaan CSR di Indonesia
Dari perbincangan di
atas, dapat disimpulkan bahwa reformasi kebijakan di era desentralisasi ini
merupakan cerminan yang harus kita buat dalam menyambut demokrasi di Indonesia.
Perubahan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistik pasca
bergulirnya reformasi di tahun 1998 dijadikan sebagai titik loncatan
pembangunan bangsa ke depannya, di mana pada era sebelum reformasi negara ini
begitu “damainya” dengan pemerintahan yang otoriter, sehingga rakyat di negeri
ini pun cenderung menutup diri dan pasif dalam setiap kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah pusat.
Otonomi daerah yang
berkembang saat ini, memberikan keleluasan tersendiri bagi daerah-daerah di
Indonesia. Praktek demokrasi lokal yang dilaksanakan di bawah UU No. 32 Tahun
2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, menjadi landasan berpijak dalam upaya reformasi
kebijakan pemerintahan negara. Rezim Orde Baru yang hanya menjadikan pemerintah
daerah sebagai “babu” kepentingan pemerintah pusat, tidak akan kita temukan
lagi di era desentralisasi ini. Pembangunan di daerah yang semula terbengkalai,
akan dijamin oleh pemerintah agar tidak mengalami hal yang serupa di kemudian
hari. Pemerintah pun berusaha menerapkan kepemerintahan yang good governance,
untuk mengatasi berbagai problem pemerintahan seperti buruknya citra birokrasi
di era sebelumnya. Pengharapan yang besar dipanjatkan oleh rakyat di berbagai
daerah di Indonesia pada kepemerintahan yang demokratis ini. Melalui kebijakan
desentralisasi serta otonomi daerah, harapannya pelayanan publik terhadap
pembangunan di daerah dapat terwujud sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
Pengembangan industri
beserta kawasannya di berbagai daerah di Indonesia merupakan fokus tersendiri
dari usaha pemerintah dalam menjalankan kepemerintahan di era otonomi ini.
Prinsip-prinsip good governance yang dijadikan landasan pada proses
kepemerintahan, akan diupayakan sekuat-kuatnya mengingat kebutuhan akan
birokrasi kepemerintahan yang baik di era globalisasi ini. Lebih tepatnya jika
dalam pengembangan kawasan Industri, perlu adanya prinsip-prinsip corporate
social responsibility atau sustainability development agar tercipta
suatu komunitas industri yang sehat, ramah lingkungan, mandiri dan kreatif.
Oleh karena itu, perlu adanya komitmen bersama untuk mewujudkan reformasi
kebijakan publik di Indonesia, melihat banyak sisi positif dari program otonomi
daerah yang dijalankan. Demikian pemerintahan yang good governance dan
menjunjung tinggi keberlanjutan pembangunan akan dapat terwujud di masa depan
melalui beragam upaya kebijakan yang progresif.
Referensi:
Buku
Badrika, I Wayan. Sejarah
Nasional Indonesia dan Umum Untuk SMU Kelas 2. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2003.
Brothers, Edwards. Michigan and Ann Arbor. The Chicago Manual of Style 16th Edition. USA: The University
of Chicago Press, Ltd, London. 2010.
Bryant, Coralie dan Louise
G. White. Managing Development in the Third World. Colorado: Westview
Press, 1982.
Rondinelli, Dennis. Decentralization and Development: Policy
Implementation in Developing Countries. Edited by G. Shabbir Cheema. Beverly Hills: Sage
Publications, 1983.
Solihin, Ismail. Corporate
Social Responsibility. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Baron dan P. David. Bussiness and Its Environment, Edisi ke-5.
Upper Saddle River. New Jersey: Pearson Education Inc, 2006.
Permasalahan
ini muncul setelah era reformasi bergulir, yang menginginkan di era demokrasi
sistem pemerintahan setiap daerah harus disamakan. Bagi yang pro-pemilihan, alasannya
karena dalam demokrasi sudah seharusnya mekanisme pemilihan kepala daerah harus
berdasarkan peraturan UU No. 32 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa kepala daerah
harus dipilih secara demokratis oleh rakyat bukan secara turun temurun. Bagi
yang pro-penetapan, mengaitkan Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah terbentuk
entitas wilayahnya sebagai daerah istimewa, sebenarnya sudah memposisikan diri
sejak tahun 1945 melalui UUD 1945 Pasal 18B ayat 1, bahwa DIY akan dijadikan
sebagai daerah istimewa yang memiliki kekhususan pemerintahannya sendiri.
Bagitu sama halnya dengan Nanggroe Aceh Darussalam dengan sistem pemerintahan
syariahnya. Mendefinisikan makna demokrasi bagi rakyat DIY, sebenarnya dengan
menetapkan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai kepala dan wakil kepala
daerah sudah merupakan demokrasi tersendiri bagi rakyat DIY.