Wednesday, November 19, 2014

PENGHAMBAT PERAN DAN FUNGSI PEREMPUAN DALAM DUNIA POLITIK

Makalah ini menganalisis tentang beberapa tokoh wanita yang gagal dan banyak mendapatkan hambatan yang rumit dalam menduduki karir di dunia politik. Masalah ini belum menjadi perhatian yang serius bagi pemerintahan kita. Atas alasan inilah artikel ini di tulis untuk mengekplorasi persoalan di setiap gagalnya kaum perempuan dalam menduduki karir di dunia politik. Sebagian berpandangan bahwa setiap manusia berhak menduduki dan menggeluti dunia politik tanpa membedakan gender. Partisipasi politik perempuan tidak saja di lakukan dengan memberikan suara, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah politik maupun kancah di legislatif. Namun kondisinya sekarang sangat tidak memungkinkan karena perempuan yang yang ingin terjun ke dunia politik banyak mendapat hambatan dan tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Terlebih ketika media massa tidak menunjukan dukungan melalui teknik peliputan dan framing atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik. Dalam Al-Quran juga di tuliskan dalam hadist yang tidak boleh membedakan antara laki-laki dan perempuan. Bila prinsip-prinsip tersebut dapat dan bisa di operasionalkan dalam mengelola urusan politik, maka persoalan tersebut dapat di selesaikan dengan baik dan layak
politik gender, pemerintahan, perspektif Islam

Tulisan ini mengangkat topik tentang penghambat peran dan fungsi perempuan dalam dunia politik. Dalam dunia politik memang banyak memerlukan manusia yang cerdas dan memiliki wawasan luas tidak terkecuali kaum perempuan. Tetapi kenyataannya tidak, aktor-aktor politik pada era sekarang masih banyak di kuasai oleh kaum laki-laki, banyak kaum perempuan yang terhambat jika ingin terjun ke dunia politik ataupun menjadi seorang pemimpin lembaga politik. Bahkan para kaum perempuan sudah banyak menempuh jalan hanya demi ingin terjun ke dunia politik. Bisa kita bayangkan berapa banyak kaum perempuan yang sudah mencalonkan dirinya yang ingin terjun ke dunia politik tetapi mereka seolah-olah di hambat-hambati dan tidak jarang mereka pun gagal.
Di indonesia sendiri, persoalan seperti ini selalu mencuat. Masalah ini sudah muncul sejak jaman era orde lama. Dimana kaum perempuan selalu kalah banyak dalam menduduki bangku di dunia politik. Banyak yang beranggapan jika kaum perempuan tidak cocok jika turun ke dunia politik. Kemampuan komunikasi politik yang dimiliki kaum perempuan masih jauh dari yang di harapkan. Banyak pemimpin dari kaum perempuan mengalami media abuse yang artinya selalu di rendahkan oleh media dengan membeda-bedakan jenis gender. Selain komunikasi yang kurang, kaum perempuan memang sering di isukan tidak mempunyai cara berkomunikasi yang handal. Selain itu semua, banyak juga argumen yang mengatakan bahwa perempuan “haram” jika menjadi pemimpin, itu karena peran tradisional perempuan di kawasan indonesia masih mengedepankan di ranah publik dari pada di bidang politik.
Dari hasil uraian di atas, selanjutnya saya akan menghadirkan biografi singkat beberapa kaum wanita yang gagal dalam dunia politik. Dan sebelum di tutup dengan kesimpulan, tulisan ini akan memaparkan sejumlah analisis yang ada.

Kondisi perempuan dalam dunia politik
            Politik identik dengan laki-laki. Mitos yang berkembang di masyarakat, perempuan tidak boleh bermain dan berkiprah di ranah politik. Akibatnya menjadi sulit bagi perempuan untuk mengonsolidasikan posisi dan kedudukannya dalam kancah ini. Sedikitnya proporsi keberadaan perempuan berperan dan berpartisipasi aktif di institusi-institusi politik, semakin mempersempit ruang gerak, sekaligus suara perempuan yang terwakili. Kondisi inilah yang tidak menguntungkan bagi perempuan, tidak saja bagi eksistensi dan keterlibatan perempuan di arena politik negara, tetapi juga tidak optimalnya artikulasi politik dan kepentingan perempuan.
            Usaha untuk memperjuangkan jumlah perempuan duduk di lembaga parlemen dan pemerintah, dilakukan agar keterwakilan jumlah dan suara perempuan seimbang dalam lembaga negara ini. Namun, hasil yang diperoleh hanya sebatas kuantitas atau numerik keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kuantitas ini belum memadai dibandingkan dengan kualitas suara dan peran-peran strategis perempuan sebagai kebijakan di domain politik.
            Kondisi ini dipicu oleh kurangnya suara perempuan yang terlibat dalam dunia politik untuk bersuara, atau dengan kata lain perempuan mempunyai kemampuan komunikasi politik yang kurang. Dominannya pernyataan politik yang diberikan oleh para aktor politik dan politisi laki-laki di media massa, semakin menyurutkan eksistensi perempuan. Jumlah perempuan yang terlibat politik dari tahun ke tahun bisa di lihat pada data seperti ini :
TAHUN
JUMLAH PEREMPUAN
PERSENTASE
1992-1997
63
12,3 %
1997-1999
57
11,5 %
1999-2004
45
9 %

Berdasarkan pada fenomena inilah, maka ada kebutuhan untuk menambah jumlah perempuan di kursi parlemen agar suara perempuan bisa terwakili.
            Setelah pemilu 2004 lalu, muncul wacana tentang kuota perempuan 30 persen. Sampai pada akhirnya UU pemilu telah menetapkan kuota 30 persen perempuan harus di lakukan pada pemilu 2009. Namun apa yang terjadi, hampir semua partai politik tidak siap dengan para kader dan calon yang disiapkan untuk mengisi kuota ini. Akibatnya yang terjadi “saling comot” orang keluarga sendiri, putrinya, artis perempuan dan sosok-sosok lainya yang muncul menjadi kader dadakan. Jika ini terjadi maka kualitas suara perempuan agak masih di pertanyakan. Sejak pemilu 2004, dukungan untuk mengisi 30 persen kuota parlemen diundangkan.  Maka porsi kursi perempuan di parlemen diharapkan menjadi lebih banyak. Perkembangannya, rata-rata kuota ini terpenuhi tidak hanya di pusat tetapi di daerah-daerah juga. Namun kemampuan komunikasi politik yang dimiliki oleh perempuan yang menjadi anggota parlemen masih jauh dari yang di harapkan. Kekuatan lobi-lobi perempuan di parlemen masih jauh kalah dari kekuatan dan dominasi laki-laki dalam berbagai forum pengambilan keputusan di lembaga parlemen ini.
            Kondisi di atas mengalami pergeseran pada era pemilihan umum 2010. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Pemilihan para kepala daerah selama 2010, misalnya menunjukan peningkatan jumlah perempuan yang maju dan berhasil memenangkannya. Keberhasilan itu terjadi di banyak daerah misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Sumatra. Namun itu hanya sebagian saja, sebagian besar dari perempuan yang mencalonkan maju ke dunia politik baik itu mencalonkan sebagai angggota parlemen maupun sebagai pemimpin daerah masih banyak yang gagal dan banyak ganjalan serta hambatan.

Budaya politik bagi perempuan
Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah politik selama ini belum memberikan diskursus yang positif. Ini karena posisi dan peran tradisional perempuan di ranah domestik lebih mengedepankan di bandingkan kedudukan dan posisi perempuan di ranah politik. Opini publik terhadap eksistensi perempuan dalam politik kurang mendukung. Opini mayoritas publik dengan keterlibatan perempuan dalam politik belum sampai pada tingkat mayoritas numerik. Perilaku memilih atau voting behavior perempuan juga tidak memberikan dukungan kepada perempuan-perempuan yang ada. Kuatnya nilai patriaki dengan kepercayaan “laki-laki adalah imam” begitu kuat, sehingga pada saat memilih pun, perempuan sendiri enggan memilih kaumnya[1].
Tambahan lagi, banyak studi yang menunjukan bahwa perempuan dalam area politik sering kali harus berjuang untuk menerima liputan media dan legitimasi publik dan media. Media massa di anggap sering menggambarkan politisi perempuan mempunyai masalah atau dikaitkan dengan isu-isu domestik berkaitan dengan perilaku anak dan suaminya. Namun, media tidak melakukan hal seperti ini terhadap politisi laki-laki. Menurut bistrom, media massa di anggap sering mempertanyakan politisi perempuan dengan pertanyaan berbeda yang media tanyakan kepada politisi laki-laki. Media juga dianggap telah mendeskripsikan politisi perempuan dengan berbagai cara dan kata-kata yang menekankan pada peran tradisional perempuan di rumah, persoalan penampilan mereka di publik, dan perilaku politisi perempuan di masyarakat, misalnya model rambutnya, gaunnya, atau kebiasaan menghabiskan uang miliaran untuk belanja online dan sebagainya.
Seperti yang terjadi di Amerika, ketika media lebih menonjolkan masalah model rambut Hillary Clinton yang akan maju menjadi senator politik daripada gerakan-gerakan politiknya. Calon gubernur, Texas Ann Richard dan anggota senat Amerika Lynn Yeakel yang di tonjolkan tentang isu koleksi pakaiannya, berat badannya dan penampilan fisik lainnya selama kampanye politik mereka di Amerika. Kandidat politisi dan pemimpin perempuan mengalami media abuse dengan cara di deskripsikan dan di rendahkan oleh media dengan menggunakan “gender-specific terms”. Contohnya liputan The Chicago Tribune pada kampanye kandidat perempuan Carol Moseley-Braun, Koran ini mendeskripsikan Braun dengan kata-kata “The mother with a cheerleader’s smile” yang artinya dia adalah sosok ibu dengan senyum yang mengembangkan seperti para cherrleader[2].
Perempuan yang maju di ranah politik juga sering dijadikan subjek perbedaan gender negative atau “negative gender distinctions”. Jenis kelamin perempuan sering dijadikan alasan atau hambatan untuk masuk dalam dunia politik[3]. Sebaliknya, para kandidat politikus laki-laki dideskripsikan dalam istilah “gender-neutral term” atau terminologi gender yang lebih netral.  Meskipun politisi laki-laki juga melakukan counter terhadap gambaran image mereka, tetapi secara umum kadidat laki-laki lebih memiliki kebebasan dalam berpakaian dan bertingkah laku karena publik telah telah terkondisikan atau terbiasa untuk menerima laki-laki sebagai pemimpin.

Komunikasi politik perempuan
Sering kali perempuan yang akan menjadi calon legislatif tidak mempunyai kemampuan komunikasi politik yang handal. Terkesan malu-malu dan tidak meyakinkan publik pemilihnya bahwa ia layak untuk di pilih. Potensi perempuan sebagai komunikator politik perlu digarap. Dalam banyak kasus, perempuan sendiri tidak hanya tidak mampu mengomunikasikan identitas dirinya sebagai perempuan tetapi juga mengomunikasikan agenda-agenda dan visi politiknya. Pesan perempuan (women’s message) dan perempuan adalah pesan (women Amerika Serikat a message) perlu untuk di perjelas dan dipahami. Seringkali meskipun perempuan mempunyai ruang dan posisi yang menguntungkan di parlemen, baik sebagai ketua fraksi atau DPRD sendiri, perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan, kebutuhan perempuan dan porsi pembagian persoalan kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan. Ketika perempuan mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap kelompok perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain, belum mampu secara maksimal di kedepankan, di bandingkan persoalan atau masalah yang di hadapi umum yang lebih memihak kepentingan dominan laki-laki. Perempuan sendiri masih enggan bersahabat dengan media. Perempuan harus berani tampil dan menunjukan dirinya di media massa. Tidak banyak perempuan yang sadar perlunya memasarkan citra diri di media massa. Banyak pernyataan politik penting yang dikutip dan dijadikan diskursus publik di lontarkan oleh laki-laki. Anggota legislatif, pengamat politik, menteri dan pembuat kebijakan perempuan, termasuk para bupati dan wali kota perempuan, sangat sedikit tampil di media massa dan dijadikan rujukan media dibandingkan dengan sosok laki-laki. Sehingga keterwakilan perempuan didunia politik pun menjadi bisu[4].
Para perempuan calon legislatif, maupun yang sudah menjadi anggota, sekaligus para kepala pemerintahan daerah, masih kurang mampu dan bisa memanfaatkan peran khalayak politik mereka yang perempuan. Selama ini khalayak perempuan hanya menjadi penontonan/spectator politik, sehingga keterlibatan aktif suara mereka tidak mampu diraih. Keterlibatan perempuan dalam hal jumlah atau kuantitas saja yang di perjuangkan. Tetapi, isu-isu serius perempuan seperti kesejahteraan perempuan, jaminan kesehatan, kehidupan perempuan, pekerja perempuan, dan masih banyak hal kurang digunakan sebagai amunisi retorika politik untuk dibawa ke ranah publik yang lebih besar bagi perjuangan kesetaraan dan keadilan gender bagi kaum perempuan di tanah air.

Gambaran politisi perempuan dalam media
            Seperti yang di jelaskan pada bagian atas, berbagai studi yang di lakukan di Amerika dan di Indonesia sendiri, menunjukan bahwa persoalan gender dan komunikasi politik adalah persoalan serius. Masih banyak liputan media massa yang tidak memberikan keuntungan bagi kaum perempuan yang terlibat dalam kepemimpinan politik. sehingga pada akhirnya gambaran ini akan bias mempengaruhi opini publik yang beredar di masyarakat. Erika falk (2008) melakukan studi tentang gender dan liputan media di Amerika, ketika senator Amerika Serikat Hillary Clinton mencalonkan diri menjadi presiden dari Partai Demokrat bersaing dengan Obama pada bulan Januari 2007, Falk melakukan studi analisis isi terhadap isi media massa terutama Koran-koran di Amerika terkait dengan pencalonan kedua kandidat ini.
Falk melihat ada tidaknya perbedaan media mengupas dua calon yang berbeda jenis kelaminnya atau istilah “battle fpr sexes”. Falk mengkaji liputan media tentang pengumuman candidacy Obama dan Hillary ini di enam surat kabar yang beredar di Amerika Serikat. Oleh karena mayoritas publik tidak bias bertemu langsung dengan kandidat, maka gambaran di media tentang kandidat pada permulaan kampanye menjadi hal yang sangat penting untuk mengetahui respon pemilih. Dalam kesimpulan penelitiannya, Falk menemukan bahwa meskipun memimpin dalam poling saat itu, Hillary Clinton memperoleh liputan yang lebih sedikit di bandingkan Obama [5].
Hillary juga lebih sering memiliki julukan yang rendah atau menjatuhkan, serta di panggil dengan nama pertamanya. Hal yang berbeda dilakukan kepada Obama yang lebih banyak di kutip, di beritakan, dan posisi-posisi kebijakannya yang di kutip media. Menurut Falk juga, pers tidak hanya penting untuk mengkonstruksi ide khalayak tentang kandidat, tetapi juga penting telah membentuk pemahaman budaya khalayak tentang gender dan perempuan. Falk berpendapat bahwa liputan berita tentang kandidat politisi perempuan yang stereotype, yakni yang menggambarkan bahwa perempuan lemah, tidak bisa mengambil keputusan, mempunyai masalah dengan keluarga dan lain sebagainya adalah hambatan bagi kandidat perempuan. Gambaran stereotype gender politisi perempuan seperti inilah yang akan mempengaruhi kuat-lemahnya kemungkinan perempuan terpilih menjadi pemimpin politik di wilayahnya.
            Kondisi seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Krisnha sen pernah menulis tentang tekanan-tekanan publik dan media terhadap pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia. Isu yang banyak diangkat oleh media ketika itu adalah isu-isu yang berkaitan dengan “haram” seorang pemimpin perempuan di Indonesia. Pemberitaan media massa yang lebih cenderung mendukung suara dominan yang menentang kepemimpinan politik perempuan di Indonesia. Upaya menggulingkan Megawati dari kandidat presiden perempuan ketika itu cukup kuat, yang pada akhirnya media massa berhasil membentuk agenda publik untuk memusuhi perempuan mejadi pemimpin di Indonesia.
            Apa yang tertulis di atas adalah sebagian dari hasil studi tentang gambaran politisi perempuan di media massa yang dilakukan di berbagai belahan dunia. Kesimpulan dari berbagai kasus studi yang dihasilkan menggaris bawahi bahwa meskipun perempuan sudah memulai banyak yang maju menjadi politisi, baik di parlemen, senat maupun kepala pemerintahan pusat dan daerah, tetapi media massa masih tetap saja memberitakan liputan yang kurang mengenakkan bagi perempuan. Hasil liputan media tentu saja memengaruhi cara pandang dan sikap masyarakat terhadap perempuan yang akan maju, pada gilirannya akan memengaruhi jumlah dukungan yang diperoleh perempuan untuk terpilih dan sukses dalam proses kandidasinya.

Berikut ini beberapa biografi perempuan yang gagal dalam menduduki dunia politik
      1.      Novita Wijayanti : Calon Bupati Cilacap Periode 2012-2017
Novita, 33 tahun, wanita ini merupakan wanita karier, dirinya cukup eksis di kancah politik khususnya di Kota Cilacap sendiri. Wanita ini merupakan wanita kelahiran Kota Cilacap. Wanita yang sudah berumah tangga dan mempunyai 1 orang anak ini sekarang menjabat sebagai anggota DPR propinsi Jawa Tengah. Tahun lalu di bulan November beliau mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Cilacap. Awal novita terjun ke dunia politik tidak lain karena dorongan dari sang ayah yaitu bapak Toufik. Ayahnya memang sudah lama berkecimpung di dunia politik sejak lama dan sekarang ayah dari Novita sendiri saat ini menjabat sebagai ketua DPRD Kabupaten Cilacap. Novita di usung oleh partai PDIP untuk menjadi calon Bupati Cilacap. Dalam awal kampanyenya sebagai calon bupati, novita mendapat respon yang positif dari masyarakat. Namun sayangnya saat pemilu berlangsung dia masih kalah dan gagal dari saingannya yaitu Tato Pambudi yang bukan lain adalah Bupati Cilacap yang mencalonkan kembali dirinya sebagai bupati untuk periode selanjutnya. Dalam pencalonan awalnya Novita begitu mendapat respon yang positif dari masyarakat Kota Cilacap namun, akhir-akhir dalam pencalonannya novita banyak di benci dan tidak di segani. Dalam kampanyenya novita di duga banyak menggunakan “ money politic “ untuk mendapatkan tanggapan bagi masyarakat Cilacap. Selain itu novita juga diduga tidak bisa menjalankan cara berpolitik yang benar. Dalam kampanyenya, novita banyak menyewa preman suruhan. Novita juga dianggap terlalu muda untuk maju sebagai bupati nantinya, novita dianggap masih harus belajar dan berkomunikasi politik yang baik. Dengan begitu maka novita di anggap masih harus belajar agar menjadi pintar dalam berkomunikasi khususnya dalam komunikasi politik.
Kemudian gagalnya novita juga banyak isu yang terdengar jika rumah tangga novita dengan suaminya kurang harmonis, maka dari itu banyak masyarakat yang enggan jika pemimpin Kota Cilacap nantinya adalah wanita yang gagal dirumah tangganya karena akan berpengaruh juga pada sosok kepemimpinannya. Selain karena faktor itu semua, rasa ketakutan masyarakat pun meningkat jika sosok novita berhasil menjadi bupati selanjutnya, karena warga menyadari jika sosok ayahanda dari novita adalah sosok pemimpin yang selalu premanisme, dan warga takut jika cara politik tersebut akan turun ke anaknya yaitu novita.

      2.      Fatimah : Calon Bupati Cilacap Periode 2008-2012
Sosok ibu ini memang jarang di dengar dalam dunia politik. Namanya begitu tenar mendadak di kala beliau mencalonkan sebagai kandidat salah satu calon Bupati Cilacap periode 2008-2012. Umur Bu Fatimah saat itu 40 tahun. Sebelum terjun kedunia politik, ibu Fatimah adalah seorang pengusaha yang sukses sedangkan suaminya adalah seorang kontraktor terkenal. Bu Fatimah adalah salah satu orang terkaya di Kota Cilacap saat itu, bermodalkan dengan kekayaannya dan ilmu politik yang ala kadarnya bu Fatimah beranjak dari bangku pengusaha terjun ke dunia politik. Bu Fatimah memiliki kepribadian yang baik, lemah lembut serta orang yang sabar. Fatimah dalam pencalonannya menjadi Bupati Cilacap yang  diusung oleh partai Golkar ini awalnya medapat respon yang lumayan positif, terutama oleh masyarakat yang berada di daerah terpencil di Cilacap. Karena awal kampanyenya Fatimah lebih terfokuskan ke masyarakat yang terpencil di plosok-polosok. Dengan mengusung moto “ Bupatine Wadon Bae “ yang artinya bupatinya perempuan saja, dalam kampanyenya bu fatimah berharap bisa mengalahkan saingannya, tetapi tetap saja gagal dari saingannya yaitu Probo Yulastoro. Probo Yulastoro saat itu adalah Bupati Cilacap yang kembali mencalonkan dirinya di pemilu tahun 2008 dan terpilih kembali menjadi bupati.
Terpilihnya Probo Yulastoro kembali menjadi Bupati Cilacap tidak lain karena suksesnya Probo Yulastoro dalam membangun kota Industri itu dengan banyak mendatangkan para investor dari luar kota dan luar negeri. Dalam kasus pemilu ini Bu Fatimah di duga gagal karena kurangnya mendalami ilmu politik sebagaimana orang politik yang harus tau betul politik. Bu Fatimah  juga kurang tenar yang mengakibatkan orang-orang belum tau siapa dan bagaimana sosok Fatimah. Beliau juga tidak dapat menarik perhatian yang lebih kepada sebagian masyarakat Cilacap, sebaliknya masyarakat Cilacap juga tidak bisa di bodohi begitu saja karena menurut mereka Bu Fatimah tidak memilik cara komunikasi politik yang bagus karena basiknya yang merupakan seorang pengusaha.

      2.      Megawati Soekarno Putri: Calon Presiden Indonesia Periode 2004-2009
Sosok perempuan yang sering di sapa dengan nama Bu Mega ini adalah mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-5. Beliau adalah istri dari taufik kemas yang tidak lain adalah ketua MPR Republik Indonesia saat ini. Megawati merupakan anak dari presiden pertama Plokamator Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Dari sejak muda Megawati memang sudah bekecimpung dalam dunia politik. Ini tidak heran karena beliau mengikuti jejak sang ayah. Megawati sempat menjadi presiden ke-5 Republik Indonesia, tetapi bukan lewat pemilu namun sebagai presiden pengganti setelah menggantikan Gus Dur. Dalam masa kepemimpinanya, megawati dianggap gagal karena tidak begitu berpengaruh terhadapat perubahan Republik Indonesia. Megawati saat itu hanya menjabat sebagai presiden sekitar kurang lebih 2 tahun saja. Setelah masa jabatannya habis, dalam periode selanjutnya megawati kembali mencalonkan sebagai presiden Republik Indonesia yang di usung oleh partai PDIP. Dalam pemilu tahun tersebut megawati banyak mendapat saingan karena banyak para tokoh politik yang mencalonkan menjadi presiden, saingannya yang salah satunya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono yang sekarang menjadi presiden Republik Indonesia sampai saat ini.  Kala itu Susilo Bambang Yudhoyono mendapat sambutan dan respon yang sangat positif dari berbagai masyarakat Indonesia. Dan akhirnya megawati kalah dalam pemilu tahun itu. Dalam kegagalan ini megawati di duga kalah karena megawati menjadi sosok yang terlalu egois terhadap sesuatu keputusan. Selain itu megawati merupakan sosok yang kurang berwibawa dalam menjalankan kerja di partai PDIP. Itu telihat mana kala megawati sering menyindir partai demokrat dan sistem kampanye Susilo Bambang Yudhoyono saat itu. Megawati yang saat itu adalah ketua umum Partai PDIP pusat sangat menjunjung tinggi azas nasionalisme. Dan menginginkan sekali PDIP sebagai titik pusat azas masyarakat Indonesia karena mega menganggap PDIP mempunyai azas yang sejalan dengan Negara Republik Indonesia.

      3.      Siti Khomariah : Calon Bupati Pekalongan Periode 2012-2017
Wanita yang sering di sapa khomariah ini dulunya adalah Bupati Pekalongan. Umurnya kini 35 tahun, wanita ini dikenal dengan sosok yang a’lim dan sangat menjunjung tinggi agama Islam. Khomariah berhasil menjadi bupati pekalongan saat itu karena di usung oleh partai PKB. Dalam massa kepemimpinannya menjadi bupati saat itu masyarakat banyak yang merasa kurang puas atas kebijakan-kebijakannya dalam mengeluarkan aturan. Banyak yang menyesali atas berhasilnya khomariah menjadi Bupati Pekalongan saat itu, umurnya yang dulu masih terlalu muda membuat masyarakat kurang puas memiliki sosok pemimpin yang muda dan apalagi sosoknya adalah perempuan. Saat jabatannya habis, siti khomariah mendaftar lagi pada pemilu periode selanjutnya, namun saat pemilu terjadi Siti Khomariah gagal. Ini terjadi karena masyarakat Pekalongan kurang puas atas kepemimpinannya pada masa periode kemarin. Masyarakat juga menghimbau agar Khomariah untuk lebih mengerti dasar politik dan kepemimpinan. Dalam masa kepemimpinanya Khomariah Pekalongan menjadi kota yang sepi akan semua fasilitas, hal tersebut sangat di rasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Selain itu masyarakat pekalongan juga lebih menginginkan pemimpin sosok laki-laki. Karena sosok laki-lakilah yang  mempunyai sifat tanggung jawab yang lebih di banding perempuan. Di samping itu dalam masa kepemimpinanya sosok khomariah juga di anggap kurang tegas dalam mengambil semua keputusan.

            Partisipasi politik perempuan tidak saja di lakukan dengan memberikan suara, tetapi juga dilakukan dengan cara perempuan mencalonkan dirinya dalam kancah politik. selama ini jumlah keterlibatan perempuan di dunia politik memang menunjukan proges yang menggemberikan. Tetapi, kondisinya tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Terlebih ketika media massa tidak menunjukan dukungannya melalui teknik liputan atau kerangka mengupas perempuan dalam diskursus politik.


Referensi
Henry Subiakto,Rachmah Ida.2012.Komunikasi Politik, Media,& Demokrasi. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
Terry, & Kaid, Linda.2004. Gender and Cadidate Communication. New York: Routledge
Suaedy, Ahmad.2007. Politisasi Agama. Jakarta: The Wahid Institute



[1] Henry Subiakto,dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik,Media,&Demokrasi (Jakarta:”KENCANA PRENADA MEDIA GROUP,2012”) 159.
[2] Terry,dan Linda Kaid, Gender and Candidate Commination (New York:”Routledge,2004") 163.
[3] Terry,dan Linda Kaid, Gender and Candidate Commination (New York:”Routledge,2004") 169.
[4] Ahmad Suaedy, Politisasi Agama, ( Jakarta:”The wahid Institute,2007”) 253.
[5] Henry Subiakto,dan Rachmah Ida, 2012, “ Komunikasi Politik,Media&Demokrasi”, Jakarta: Kencana Prenada Group,   hal.162

4 comments: