“Istiqomah”
menurut definisi al-Hafizh Ibnu Rojab al-Hanbali rahimahullahu ta’ala (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam) ialah senantiasa berada di atas shiroth
mustaqim (jalan yang lurus), yakni agama yang lurus, tidak
menyimpang ke kanan maupun ke kiri, mencakup seluruh ketaatan dan meninggalkan
larangan yang zhohir maupun yang bathin.
Sesuai definisinya, istiqomah merupakan hal yang tidak semua orang sanggup
melakukannya. Kenyataan yang terjadi, banyak orang dilanda krisis istiqomah
ini. Krisis istiqomah telah melanda kaum laki-laki maupun perempuan, yang sudah
berkeluarga maupun yang belum, baik para suami maupun para istri, bahkan ia
telah melanda siapa saja.
Fenomena krisis istiqomah yang tampak pada pasutri begitu memprihatinkan.
Kalau dahulu sebelum menikah calon istri rajin berpuasa sunnah Senin Kamis atau
puasa pertengahan bulan, kini setelah menikah sudah mulai jarang atau bahkan
tidak lagi melakukannya. Dahulu, calon suami itu rajin sholat malam, dhuha, dan
lainnya, setelah menikah untuk sholat fardhu berjama’ah di masjid saja sering
terlambat, dan bahkan tak jarang ia sholat di rumah berjama’ah dengan sang
istri. Dahulu jejaka dan gadis itu rajin pergi ke pengajian-pengajian dan selalu
berada di shof terdepan, kini sudah (sangat) jarang hadir.
Banyak kita jumpai saudara kita yang menjadi kendur semangat
ibadahnya sebab tidak kuasa menghadapi arus gelombang kehidupan.
Memang, dalam kehidupan seseorang banyak hal yang terjadi yang sangat
berpengaruh pada kualitas keistiqomahannya. Salah satu contohnya adalah
kehidupan berteman, oleh sebab itu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
“Seseorang itu menurut agama sahabat karibnya, maka hendaklah
seseorang di antara kalian memperhatikan orang yang ia jadikan temannya.”
(HR. Abu Dawud: 4193, Tirmidzi: 2300, dihasankan oleh al-Albani)
Ketika seseorang berkawan dengan seorang yang sholih maka ia bisa
mendapatkan faedah dari kesholihan kawannya sehingga ia pun menjadi seorang
yang sholih dan istiqomah di atas kesholihan. Sebaliknya tatkala ia berkawan
dengan orang yang tholih (tidak sholih) maka keistiqomahannya akan
goyang dan mulai menurun sehingga ia pun bisa ikut menjadi tholih
meski sebelumnya ia seorang yang sangat sholih. Semuanya disebabkan oleh kawan
karib yang selalu dekat bersahabat.
Berbicara tentang kawan karib yang selalu dekat mungkin kita lupa bahwa ada
yang lebih dekat dari sekadar hubungan berkawan, ialah hubungan antara pasutri.
Sebab pasutri bukan sekadar berkawan melainkan berpadu dalam satu ikatan
pernikahan membentuk kesatuan dalam rumah tangga. Maka bisa dipahami
bahwa kesholihan maupun ketholihan mereka
berdua akan sangat besar pengaruhnya bagi keistiqomahan diri masing-masing.
Kalau kedua orang pasutri adalah orang yang sholih maka sungguh beruntung
mereka telah mendapatkan pendamping hidup yang akan memberikan pengaruh
kesholihan serupa dan memperkuat kualitas istiqomah mereka berdua, insya Alloh
subhanahu wata’ala.
Ada apa
dengan istiqomah? Apa pentingnya istiqomah dalam hidup ini? Bila anda belum
mengetahui keutamaan istiqomah maka anda tidak akan terpanggil untuk
memilikinya, namun tidakkah anda mendambakan kebahagiaan hidup yang optimis
menatap masa depan gemilang dengan Surga yang dijanjikan dan tidak pula pesimis
melihat masa lalu? Bila anda mendambakannya dan sudah tentu, maka ketahuilah
bahwa Alloh subhanahu wata’ala hanya menganugerahkan kebahagiaan hidup kepada
mereka yang beriman dan senantiasa istiqomah. Perhatikan firman Alloh subhanahu
wata’ala berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Robb kami ialah Alloh”,
kemudian mereka tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni Surga, mereka
kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
(QS. al-Ahqof [46]: 13–14)
Sungguh benar, di balik istiqomah ada kebahagiaan. Semoga Alloh azza wajalla
menetapkan langkah kaki kita di atas istiqomah dan meneguhkan hati kita dengan
keimanan dan menganugerahkan kebahagiaan, Âmîn. Wallohul-Muwaffiq.
No comments:
Post a Comment