Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah orang yang menuntun kami untuk
mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu gigih
menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun selalu
memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada kami.
Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi seorang
pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu
demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin
tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi petunjuk oleh
Allah.
Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal lebih mendalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar)
dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup
pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan
meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang
disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.
Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian
mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan
ahli tafsir:
- Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
- Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
- Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]
Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya
tidak saling bertentangan.
Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas
tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya
ketika maut menjemput[3] “Janganlah takut dan janganlah bersedih“.
Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah
takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia
yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga,
harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.”
Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan
mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan.
[4]
Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan
ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari
berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]
Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]
Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian
mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al Ahqaf: 13-14)
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah
kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam
sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain
setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"].
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah:
“Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan
itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]
Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan
istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh.
Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman
Allah Ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka
tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun
kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah
sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan
mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada
kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini
adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung
taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Ada beberapa
sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap
teguh dalam keimanan.
Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat
dengan baik dan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan
orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS.
Ibrahim: 27)
Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .
الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .
“Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, maka inilah tafsir
ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh
itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.“[9]
Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman
di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih.
Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab
pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah
diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]
Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal
sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan
malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah
karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat
syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar.
Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah
berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.
Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama
dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para
sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan
tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan
yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan
yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan
senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan
merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman
dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala
berfirman,
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11]
menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk
meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
terdapat dalam ayat,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”
(QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya.
[12] Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang
ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi
Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang
beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai
Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar
bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang
yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya
menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat
merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam
agama ini. Inilah kiat yang mesti
kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.
Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam
menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah
seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam
beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih
dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai
oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan
selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]
An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan,
itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah
bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir,
pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan
membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan
akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan
yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[16]
Ibnu Rajab Al Hambali
menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang
memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah
melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu
‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al
‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata padanya,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai ‘Abdullah, janganlah
engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun
sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[18]
Selain amalan yang kontinu
dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur”
(jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang
akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka
rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada.
Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun
jumlahnya sedikit.
Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih
sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak
diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang
terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut
ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala
berfirman,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah dari
rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami
teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)
Contohnya kita bisa mengambil
kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)
“Mereka berkata: “Bakarlah
dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”.
Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi
Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan
mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata,
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Akhir perkataan Ibrahim ketika
dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil”
(Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).”[19]
Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut?
Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu
pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana
yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang
Nabi.
Begitu pula kita dapat mengambil
pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
“Maka setelah kedua golongan
itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita
benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul;
sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.”
(QS. Asy Syu’aro: 61-62). Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam
ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan pertolongan Allah
yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh.
Oleh karena itu, para salaf
sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil
teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.
Basyr bin Al Harits Al Hafi
mengatakan,
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ
“Betapa banyak manusia yang
telah mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat hati menjadi hidup
karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu
orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati karena melihat mereka.“[20]
Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati
semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita.
Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah kisah-kisah para artis, yang
menjadi public figure. Walaupun mereka hidup, bukan malah membuat hati
semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka mati membuat kita semakin tamak
pada dunia dan gila harta. Wallahul muwaffiq.
Imam Abu Hanifah juga lebih
senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah
mengatakan,
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ
“Kisah-kisah para ulama dan
duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih.
Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur
mereka.“[21]
Begitu pula yang dilakukan oleh
Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “Kedua mataku ini
tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling bagus dari umat ini kecuali
Ibnul Mubarok.“[22]
Nu’aim bin Hammad mengatakan,
“Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang
menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab,
“Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah
merasa kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Itulah pentingnya merenungkan
kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana,
serta hati akan terus kokoh.
Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi
keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman
adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas
kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang
beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika
menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148
“Dan berapa banyaknya nabi
yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang
bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb
kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan
dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap
kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia
dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
“Ya Rabb kami, limpahkanlah
kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami
terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan
keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Do’a yang paling sering Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ
“Ya muqollibal qulub tsabbit
qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut
yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya
menjawab,
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang
namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang
Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja
yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
“Sesungguhnya hati berada di
tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]
Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an
bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat
Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Bagaimana mungkin (tidak
mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian,
dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang
teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Allah juga memerintahkan agar
selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang
dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً
“Seseorang yang duduk
(berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman
dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan
minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya.
Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau
pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”
[26]
Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang
dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan
agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan
dunia.”[27]
Para ulama pun memiliki nasehat
agar kita selalu dekat dengan orang sholih.
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ
“Pandangan seorang mukmin
kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28] Maksud beliau adalah
dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh
karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam
ibadah, mereka pun
mendatangi orang-orang sholih lainnya.
‘Abdullah bin Al Mubarok
mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih
dan merasa diri penuh kekurangan.”
Ja’far bin Sulaiman mengatakan,
“Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa
perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk
atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi
Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau
dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami
rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]
Itulah pentingnya bergaul dengan
orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari
lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam
menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika
lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang
selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.
Kalau dalam masalah persahabatan
yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik,
apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami
istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau
istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari
pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.
Demikian beberapa kiat mengenai
istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama
yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati,
teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.
***
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al
Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304,
Mawqi’ At Tafasir.
[3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua,
tahun 1420 H.
[4] Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.
[5] Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 245.
[6] HR. Muslim
no. 38.
[7] Jaami’ul
‘Ulum wal Hikam, hal. 246.
[8] Idem
[9] HR. Bukhari
no. 4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
[10] Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/502.
[11] Malaikat
Jibril disebut ruhul qudus oleh Allah agar beliau tersucikan dari segala macam
‘aib, sifat khianat, dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman,
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1423 H). Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril
memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan
bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam
menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq.
[12] Lihat Wasa-il
Ats Tsabat, Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
[13] Lihat Jaami’ul
Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar
Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[14] Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/184.
[15] HR. Muslim
no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang
kontinu dan amalan lainnya.
[16] Syarh
Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[17] Fathul
Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah
[18] HR. Bukhari no. 1152.
[19] HR. Bukhari no. 4564.
[20] Shifatush Shofwah, Ibnul Jauziy, 2/333, Darul
Ma’rifah, Beirut,
cetakan kedua, tahun 1399 H.
[21] Al Madkhol, 1/164, Mawqi’ Al Islam
[22] Shifatush Shofwah, 1/438.
[23] Idem.
[24] HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[25] HR. Ahmad (3/257). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini qowiy
(kuat) sesuai syarat Muslim.
[26] HR. Bukhari
no. 2101, dari Abu Musa.
[27] Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
[28] Siyar
A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
[29] Ta’thirul
Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul
‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
[30] Lihat Shahih
Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy
==========
No comments:
Post a Comment