Seorang muslim, kapanpun dan di
manapun, dituntut bersikap teguh dan tetap berpendirian teguh dalam memurnikan
iman
Orang yang istiqamah selalu menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي
كُنْتُمْ تُوعَدُون
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS.
Fusshilat: 30)
Al Wahidi dalam Asbaab Nuzuul Al-Qur`an menulis, Atha` menerima riwayat dari
Abdullah bin Abbas radhiyallahu `anhuma yang mengatakan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu `anhu yang
memberikan bantahan atas ucapan Kaum Musyrik dan Yahudi.
Kaum Musyrik berkata, “Allah adalah Tuhan kami, sementara para malaikat
adalah anak-anak-Nya.” Kemudian orang-orang Yahudi berkata, “Allah adalah Tuhan
kami dan Uzair adalah anak-Nya, sementara Muhammad bukanlah seorang Nabi.” Baik
ucapan kaum musyrik maupun yahudi menunjukkan kebodohan dan tidak istiqamah.
Mendengar ucapan dari dua golongan tersebut, Abu Bakar mengatakan dengan
tegas, “Allah adalah Tuhan Kami Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya dan Muhammad
Shallahu ‘alaihi Wassalam adalah hamba sekaligus utusan-Nya.” Selanjutnya turun
ayat, “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah.”
Konteks Istiqamah
Kata istiqamah bisa dimaknai dalam berbagai situasi dan kondisi. Istiqamah
dalam konteks akidah, amal, keikhlasan, ketakwaan, persaksian, dan ilmu.
Konteks istiqamah telah banyak dijabarkan oleh sahabat-sahabat nabi yang
menunjukkan kedalaman mereka dalam memandang jauh makna istiqamah.
Sayidina Abu Bakar radhiyallahu `anhu, contohnya, memberikan pengertian
istiqamah sebagai teguh dalam beriman, memurnikan sesembahan, dan menjauhi
kesyirikan. Imam Thabari meriwayatkan, Abu Bakar pernah ditanya tentang
istiqamah yang terkandungan dalam bunyi ayat innalladziina Qaalu Rabbuna Allah
Tsummas Taqaamuu,” kata beliau, “(Istiqamah adalah) kamu tidak menyekutukan
Allah dengan suatu apapun.”
Di sisi lain, Sahabat Umar bin Khathtab radhiyallahu `anhu menegaskan makna
istiqamah sebagai sebuah sikap teguh dalam, “melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan, serta tidak berpaling seperti berpalingnya musang.”
Sementara, Sayidina Utsman bin Affan radhiyallahu `anhu memaknai istiqamah
sebuah suatu sikap untuk memurnikan segala tindak-tanduk kita yang berkaitan
dengan ibadah hanya untuk Allah, bukan selain-Nya. Beliau berkata tentang
istiqamah, “Ikhlaskan (bersihkan) amal karena Allah semata.”
Adapun, Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu memahami istiqamah
sebagai bentuk ketegasan sikap dalam menjalankan kewajiban. Beliau mengatakan,
“Kerjakanlah kewajiban-kewajiban.”
Dalam konteks yang berbeda, Al-Hasan menuturkan, “Mereka meneguhkan
pendirian (istiqamah) di atas jalan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga
mereka melakukan perbuatan untuk taat kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan di
jalan-Nya.”
Mujahid dan Ikrimah berujar, “Mereka meneguhkan pendirian dalam bersaksi
bahwa tiada Tuhan kecuali Allah sampai mereka bertemu dengan Allah.” Muqatil
berkata, “Mereka meneguhkan pendirian dalam ilmu dan tidak keluar dari Islam.”
Imam Nawawi dalam salah satu karya populernya, Syarh Matn Al-Arba`in
Al-Nawawiyyah, mengetengahkan sebuah hadits dengan judul Al-Istiqamah. Hadits
ini jatuh pada urutan kedua puluh satu. Bunyinya, “Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin
‘Abdullah Al-Tsaqafiy radhiyallahu anhu, ia berkata : “Aku telah berkata :
‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan yang aku
tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu.’ Bersabdalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Katakanlah : Aku telah beriman
kepada Allah, kemudian beristiqamalah kamu." (HR. Muslim).
Imam Nawawi mengatakan yang dimaksud ungkapan Nabi, Qul Aamantu Bil-Laah
Tsummas-Taqim,” (Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah, kemudian
beristiqamalah kamu’) adalah, “Beristiqamahlah sebagaimana kamu telah
diperintahkan dan dilarang mengerjakan suatu perbuatan.” Menurut Imam Nawawi,
Istiqamah adalah, “Menetapi sebuah jalan dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban
dan meninggalkan larangan-larangan.”
Makna istiqamah yang dibawakan oleh Imam Nawawi itu selaras dengan firman
Allah Subhanahu wa Ta`ala, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat
besertamu.” (QS. Huud: 112). Ayat inilah yang membuat uban tumbuh lebih cepat
di kepala Rasulullah. karena begitu beratnya perintah yang terkandung di
dalamnya, yaitu istiqamah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam besabda: “Aku
menjadi beruban karena turunnya Surat Hud dan sejenisnya.”
Sikap Muslim dalam Istiqamah
Lewat pengetahuan pemaparan makna istiqamah dalam berbagai konteksnya
seperti diungkap oleh para sahabat dan ulama, kita dapat mengetahui bahwa
istiqamah adalah suatu sikap konsisten, ajeg, dalam berbagai aspek kehidupan.
Seorang muslim, kapanpun dan di manapun, ia dituntut untuk bersikap teguh, tidak maju mundur, tetap berpendirian teguh dalam memurnikan iman dan akidah dari segala bentuk kesyirikan dan kekufuran.
Teguh dalam iman berarti memegang erat-erat dalam hati bahwa tiada tuhan
yang layak disembah selain Allah Subhanahu wa Ta`ala. Segala bentuk penyembahan
kepada selain Allah Subhanahu wa Ta`ala merupakan sikap tidak istiqamah.
Seorang Muslim, tentunya juga bersikap teguh berdiri dalam ketakwaan,
melaksakan perintah Allah Subhanahu wa Ta`ala dan menjauhi larangannya. Bertakwa tidak hanya saat berada di bulan
Ramadhan saja, atau pada momen-momen tertentu, namun harus dilaksanakan dalam
segala kondisi. Tujuannya, membangun jiwa dan pribadi yang muttaqin yang
bercirikhaskan : beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan
sebagian harta, beriman kepada Al Qur`an dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya,
dan yakin akan adanya kehidupan akhirat. (Qs. Al-Baqarah : 3-4).
Selain itu, ciri lain ketakwaan
yang Allah Subhanahu wa Ta`ala paparkan adalah, mereka istiqamah dalam
menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit, cerdas dalam meluapkan
emosi, mudah memaafkan, dan bergegas memohon ampunan kepada Allah di tiap
perbuatan dosa yang dilakukan. (QS. Ali Imran : 134-135).
Seorang Muslim, kapanpun dan di
manapun, dituntut untuk beristiqamah dalam mencari ilmu sebagai landasan
perkataan dan perbuatan kita. Artinya, orang yang istiqamah tidak akan
melakukan dan melepas suatu ucapan seleum diketahui sumber ilmu guna menegaskan
kebenaran dari perbuatan dan ucapannya.
Orang yang istiqamah selalu
menjadikan ilmu sebagai makanan hati dan ruh. Jika tubuh menjadi lunglai dan
lemas akibat tidak mengonsumsi makanan dan minuman, maka hati kita akan mati,
sunyi, berselimut kegelapan, ketika ia kosong dari asupan ilmu yang bermanfaat.
Karenanya, ilmu mestilah
diprioritaskan sebelum berbuat dan berkata. Istiqamah berarti berpendirian
teguh, konsisten dalam belajar, mencari ilmu, menghadiri kajian ilmu,
majlis-majlis ta`lim, demi terwujudnya istiqamah yang sebaik-baiknya.*/
bersambung >> “Buah Istiqomah Jaminannya Surga”
http://www.hidayatullah.com/read/21826/22/03/2012/istiqomah-lebih-mulia-dari-seribu-karomah.html
No comments:
Post a Comment